Dendam Di Balik Gaun Pengantin
Dalam sebuah ruangan yang sudah si sulap dengan begitu megah dan mewah, lampu kristal menggantung anggun di atasnya, memantulkan cahaya ke seluruh ballroom yang dipenuhi dekorasi bernuansa serba putih.
Bunga-bunga segar beraroma harum semerbak, dan alunan musik klasik mengiringi langkah-langkah para tamu undangan yang berpakaian rapi. Dari luar, pernikahan ini tampak sempurna di mata siapapun yang memandang.
Seorang wanita cantik dengan senyum hambar, berdiri di atas altar, mengenakan gaun pengantin impian setiap wanita.
Gaun sutra putih nan lembut memeluk tubuhnya begitu indah, renda halus menghiasi bagian atasnya, dan taburan kristal membuatnya berkilauan di bawah cahaya lampu.
Rambutnya ditata dengan elegan, dihiasi dengan tiara kecil yang berkilauan. Anya seharusnya merasa bahagia, tapi hatinya terasa hampa.
Di sampingnya, berdiri seorang pria tampan dengan setelan jas hitam yang pas. Dia adalah Revan, yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Revan tersenyum padanya, senyum yang seharusnya membuatnya merasa aman dan dicintai. Tapi senyum itu tidak mencapai matanya, matanya tetap dingin dan kosong.
Pendeta mengucapkan kata-kata yang seharusnya menyentuh hati, tapi Anya hanya mendengarkannya dengan setengah hati.
Ia menatap ke arah para tamu undangan, mencoba mencari wajah yang familiar, wajah yang bisa memberinya sedikit kekuatan.
Sampai tatapannya bertemu pada sosok seorang wanita paruh baya, Ibunya tersenyum padanya, tapi senyum itu tampak dipaksakan.
Ayahnya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara bangga dan khawatir.
Saat Revan mengucapkan janji pernikahan, Anya merasakan tangan Revan menggenggam tangannya terlalu erat.
Sakit, tapi ia tidak berani meringis. Ia hanya menatap lurus ke depan, mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
"Anda boleh mencium pengantin wanita," ucap pendeta dengan suara lantang.
Revan mencondongkan tubuhnya dan mencium Anya. Ciuman itu seharusnya manis dan penuh cinta, tapi terasa dingin dan hambar. Anya memejamkan matanya, mencoba untuk tidak menangis. Ia tahu, ini baru permulaan.
Ciuman itu berakhir, dan tepuk tangan membahana di seluruh ruangan. Anya membuka matanya, merasa seperti terbangun dari mimpi buruk.
Revan masih tersenyum padanya, senyum yang sama dinginnya seperti tadi. Ia menggandeng tangan Anya dan membawanya menghadap para tamu undangan.
"Perkenalkan, istriku," kata Revan dengan suara lantang.
Anya tersenyum, senyum yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan. Ia melambai pada para tamu, mencoba untuk terlihat bahagia. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti orang asing, terjebak dalam pernikahan yang bukan pilihannya.
Saat mereka berjalan melewati para tamu, Anya mendengar bisikan-bisikan lirih. Beberapa mengucapkan selamat, beberapa memuji gaunnya, tapi ada juga yang menatapnya dengan tatapan aneh, tatapan yang membuatnya merasa tidak nyaman.
"Dia terlihat tidak bahagia," bisik seorang wanita paruh baya pada temannya.
"Aku dengar pernikahan ini diatur," balas temannya, suaranya hampir tidak terdengar.
Anya mencoba untuk tidak menghiraukan bisikan-bisikan itu, tapi kata-kata mereka menghantuinya.
"Apakah semua orang tahu? Apakah mereka bisa melihat kesedihan yang ia sembunyikan di balik senyum palsunya?" gumamnya dalam hati.
Saat mereka sampai di meja prasmanan, Revan menawarkan Anya segelas sampanye. Anya menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mau," katanya, suaranya pelan.
"Ayolah, Anya. Ini hari bahagia kita," balas Revan, memaksa segelas sampanye ke tangannya.
Anya menatap sampanye itu dengan jijik. Ia tidak ingin merayakan apa pun. Ia hanya ingin melarikan diri, menjauh dari semua orang, menjauh dari pernikahan ini. Tapi ia tahu, ia tidak bisa melakukannya.
Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Terlalu banyak harapan yang ia pikul di pundaknya. Keluarga, tradisi, dan terutama … hutang.
Hutang yang mengikat keluarganya pada keluarga Revan, hutang yang hanya bisa dilunasi dengan pernikahan ini.
Anya menyesap sampanye, rasa manisnya terasa pahit di lidahnya. Ia menatap Revan, mencoba mencari jejak kebaikan di wajahnya.
Dulu, ia pernah melihatnya. Dulu, sebelum semua perjanjian bisnis dan perjodohan ini dimulai, ia pernah melihat Revan tersenyum tulus, tertawa lepas, dan memperlakukannya dengan lembut.
Tapi itu dulu. Sekarang, Revan adalah pria yang berbeda. Dingin, perhitungan, dan seringkali … membuatnya merasa takut.
"Kau harus lebih banyak tersenyum, Anya," bisik Revan, suaranya rendah tapi dengan nada mengancam.
"Kau membuatku terlihat buruk di depan para tamu." lanjutnya dengan mengertakkan giginya dan melayangkan tatapan tajamnya pada Anya.
Anya menelan ludah dengan susah payah lalu mencoba untuk tersenyum lebih lebar. Ia tahu, Revan benar. Ia harus memainkan perannya dengan sempurna. Ia harus menjadi istri yang bahagia, menantu yang patuh, dan wanita yang memenuhi semua harapan mereka.
Tapi sampai kapan ia bisa bertahan? Sampai kapan ia bisa menyembunyikan kesedihan dan ketakutannya di balik senyum palsu? Sampai kapan ia bisa menahan air mata pernikahan yang siap tumpah kapan saja?
Malam semakin larut, dan para tamu mulai berpamitan. Anya merasa lega, setidaknya sandiwara ini akan segera berakhir.
Tapi ia tahu, malam ini hanyalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh dengan ketidakpastian dan bayangan gelap.
Saat para tamu sudah meninggalkan ruangan, Revan gegas membawanya ke kamar pengantin, Anya merasakan jantungnya berdebar kencang.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia hanya tahu, ia harus bersiap menghadapi apa pun yang menunggunya di balik pintu itu. Pintu menuju pernikahan yang diwarnai air mata.
# Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
partini
baru mulai udah begini Weh Weh ,,tapi penasaran
2025-08-28
0
Rita
hhmmmmm awal yg nyesek
2025-08-26
0
Zain malik
izin baca
2025-08-25
1