Revan membuka pintu kamar pengantin itu dengan gerakan santai.
Cklek!
Pintu terbuka, "Masuk!" titah Revan dengan nada datar.
Anya tak menjawab atau membantah, ia melangkah masuk dengan langkah enggan dan ragu, tapi ia bisa apa selain menurut. Begitu langkahnya tepat di dalam kamar pengantin, ia bisa bisa melihat dengan jelas, kamar yang luas dan mewah, didominasi warna putih dan emas yang sangat elegan. Ranjang berukuran besar yang telah di lapisi seprai sutra putih, dan di atasnya bertaburan kelopak bunga mawar merah.
Di setiap sudut ruangan, terdapat lilin yang tertata rapi dan menyala dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Jika pengantin wanita pada umumnya pasti merasa sangat senang dan bahagia melihat suasana kamar yang begitu romantis dan mewah.
Tapi tidak untuk Anya, Anya tidak merasakan kehangatan atau romantisme apa pun. Ia malah merasakan yang sebaliknya, dingin dan takut memenuhi rongga dadanya.
Revan dengan cepat menutup pintu dan menguncinya. Setelah Anya berada di dalam kamar.
Klik!
Suara bunyi pintu terkunci begitu nyaring di telinga Anya, seketika Anya menegang. Ia dengan refleks berbalik dan menatap Revan, mencoba membaca ekspresi suaminya. Tapi wajah Revan datar, tanpa emosi.
"Kau bisa ganti baju," ucap Revan, menunjuk ke arah kamar mandi.
"Aku akan menunggu di sini." lanjutnya tanpa kelembutan apa lagi sikap romantis yang biasa di tunjukkan pengantin baru.
Anya tak menjawab ia hanya bisa mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah berada di dalam kamar mandi Ia menutup pintu dengan cepat lalu bersandar di sana, mencoba mengatur napas yang memburu. Jantungnya berdebar kencang, dan tangannya berkeringat dingin. Ia merasa seperti seorang tahanan yang akan dieksekusi mati malam ini juga.
Ia menatap dirinya di cermin yang tergantung tepat di diding di hadapannya. Riasannya masih terlihat sempurna, tapi matanya terlihat sayu dan lelah.
Anya membuka tiara di kepalanya dengan kasar dan meletakkannya di atas wastafel. Kemudian, ia mulai melepaskan gaun pengantinnya perlahan.
Saat ia membuka ritsleting gaun itu, ia merasakan air mata mengalir di pipinya tanpa diperintah. Ia sudah mencoba untuk menahannya, tapi air mata itu terus mengalir, seolah ada bendungan yang jebol di dalam dirinya. Ia menangis tersedu-sedu, tubuhnya merosot ke lantai yang dingin, Anya sekuat tenaga menahan suara tangisnya supaya Revan tak mendengarnya dari luar.
Sambil memeluk lututnya sendiri ia mencoba meluapkan semua kesedihan dan ketakutannya ia terus menangis tanpa suara, sampai air mata itu mengering dengan sendirinya.
Setelah puas menangis, ia sedikit merasa lega dan tenang lalu buru-buru mencuci wajahnya dan mengganti gaun pengantinnya dengan gaun tidur sutra berwarna putih yang telah di sediakan.Tak berapa lama setelahnya Ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Revan sedang duduk di sofa, sedang memegang sebuah gelas berisi minuman berwarna cokelat di dalamnya.
"Kau sudah selesai?" tanya Revan, tanpa menoleh kearah Anya.
Anya hanya mengangguk, meskipun Revan tak menatapnya.
"Kemari lah," perintah Revan, menunjuk ke arahnya.
Anya berjalan mendekat dengan langkah ragu. Ia berdiri di depan Revan, menunggu perintah selanjutnya.
Revan menatap Anya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya, tatapannya membuat Anya merasa seperti objek yang dinilai. Ia merasa te****ng meskipun mengenakan gaun tidur sutra.
"Duduk," ujar Revan, menunjuk ke sofa di sampingnya.
Anya duduk dengan kaku, menjaga jarak antara dirinya dan Revan. Suasana di antara mereka tegang dan tidak nyaman. Keheningan langsung menyelimuti kamar pengantin itu.
Revan meneguk minumannya hingga tak bersisa, lalu meletakkan gelasnya di meja. Ia menoleh ke arah Anya, tatapannya tajam dan menusuk.
"Kau tahu kenapa kita menikah, kan?" tanya Revan, suaranya datar dan dingin.
Anya mengangguk. Ia tahu. Ia tahu tentang hutang keluarganya, tentang perjanjian bisnis, dan tentang semua alasan logis di balik pernikahan ini. Tapi ia tidak ingin mendengarnya diucapkan dengan gamblang.
"Pernikahan ini adalah bisnis," lanjut Revan seolah menegaskan posisi Anya.
"Kau adalah aset, dan aku adalah pemiliknya. Kau harus melakukan apa pun yang aku perintahkan, kapan pun aku menginginkannya." tekannya dengan tegas tanpa ada ruang bantahan.
Anya menelan salivanya dengan susah payah. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi mendengar kata-kata itu diucapkan dengan jelas di badannya langsung membuatnya merasa ngeri dan putus asa.
"Aku mengerti," jawab Anya, suaranya sedikit bergetar menahan emosi yang meluap di dalam dadanya. Hancur, kecewa, dan perih itu sudah pasti.
"Bagus," balas Revan dengan menyunggingkan senyum sinis nya.
"Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan." lanjut Revan masih dengan seringai sinis di bibirnya.
Lalu Revan berdiri dan berjalan mendekat ke Anya. Ia membungkuk dan memulai aksinya Revan me***um leher Anya. Ci**an itu dingin dan tanpa ga**ah, hanya sentuhan bibir yang menekan kulitnya. Anya hanya mematung tanpa membalasnya ia hanya berusaha mengendalikan rasa takutnya.
Setelahnya Revan mendekatkan wajahnya tepat telinga Anya, lalu mulai berbisik.
"Malam ini, kau akan memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri," bisik Revan pelan.
"Dan kau akan menikmatinya." lanjut Revan lalu kembali menegakkan tubuhnya.
Anya memejamkan matanya, air mata kembali mengalir di pipinya. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan ia juga tahu bahwa malam ini akan mengubah hidupnya selamanya. Malam di mana air mata pernikahan akan benar-benar tumpah.
# Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Apriyanti
kasian bgt JD Anya cm JD aset doang,,semoga nanti nya Revan bakalan berbalik bucin dgn anya
2025-08-25
1
Rita
ta bs berkata2 sakit yg pasti
2025-08-26
1
Bu Kus
semoga kamu kuat anya
2025-08-27
1