Anya tak menjawab. Ia membiarkan air mata mengalir, membasahi kulit lehernya di tempat Revan m*****mnya. Sentuhan Revan terasa seperti bara api yang membakar jiwanya, bukan kehangatan cinta yang ia impikan.
Revan menarik diri dan menatap Anya. Anya mendongak memberanikan diri menatap mata Revan mencoba mencari secercah harapan di matanya, akan tetapi di matanya Revan jelas terlihat bukan cinta atau hasrat, melainkan tuntutan dan kuasa. Sebuah tatapan yang mengatakan, "Kau milikku."
"Aku tidak akan memaksamu," ujar Revan, suaranya rendah dan dingin.
"Tapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika kau menolak, kau akan mengecewakan keluargamu. Kau akan membuat mereka kehilangan segalanya."
Kata-kata Revan seperti belati yang menusuk tepat di jantung Anya. Ia tahu Revan benar. Ia tidak bisa egois. Ia tidak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya, meskipun ia tahu mereka bukan orang tua kandungnya.
Tapi selama ini mereka merawatnya dengan penuh kasih dan memperlakukan dirinya seperti anak kandungnya sendiri. Mungkin hanya dengan ini cara satu-satunya ia membalas kebaikan keluarga itu, dengan mengorbankan dirinya sendiri.
"Aku ... aku akan melakukannya," jawab Anya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Revan tersenyum sinis. Ia meraih tangan Anya dan menariknya berdiri. Anya mengikuti langkah Revan menuju ranjang, tubuhnya terasa kaku dan berat.
Saat mereka berdua berbaring di ranjang, Anya memejamkan matanya. Ia mencoba untuk tidak merasakan apa pun, untuk tidak memikirkan apa pun. Ia mencoba untuk mengosongkan pikirannya, untuk menjadi seperti boneka yang tak memiliki perasaan.
Revan mulai me****mnya, menyentuhnya. Sentuhan itu tidak membuatnya merasa be*****ah atau dicintai. Sentuhan itu terasa seperti kewajiban, seperti tugas yang harus ia selesaikan.
Anya membuka matanya dan menatap langit-langit kamar. Di luar jendela, rembulan bersinar terang, memancarkan cahaya pucat ke dalam kamar. Rembulan itu seperti saksi bisu atas penderitaannya, atas air mata pernikahan yang ia tahan selama ini.
Ia membiarkan Revan melakukan apa pun yang ia inginkan. Ia hanya berbaring diam, mencoba untuk tidak menangis, mencoba untuk tidak berteriak. Ia merasa seperti jiwanya terpisah dari tubuhnya.
Jiwa Anya terasa melayang, menjauh dari tubuh yang terasa begitu asing di bawah sentuhan Revan. Ia seolah menyaksikan dirinya dari atas, seorang wanita muda yang terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan keluarganya.
Pemandangan itu begitu menyakitkan, hingga ia ingin berteriak, membangunkan dirinya dari mimpi buruk ini.
Namun, ia tak bisa. Mulutnya terkunci, tubuhnya membeku. Ia hanya bisa merasakan air mata terus mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya. Air mata itu bukan hanya air mata kesedihan, tapi juga air mata kemarahan, air mata penyesalan, dan air mata keputusasaan dan DEMDAM.
Di tengah rasa sakit dan kepedihan yang mendalam, Anya mencoba mencari secercah harapan. Ia mencoba mengingat janji-janji yang pernah ia buat pada dirinya sendiri, janji untuk selalu kuat, untuk selalu mandiri, dan untuk selalu memperjuangkan kebahagiaannya.
Namun, janji-janji itu terasa begitu jauh dan mustahil untuk di gapainya saat ini. Ia merasa terjebak dalam sangkaran emas, terkekang oleh hutang dan tradisi. Ia merasa tidak berdaya, tidak memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Revan terus melakukan apa yang ia inginkan, tanpa memperdulikan perasaan Anya. Ia hanya melihat Anya sebagai objek, sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Ia tidak melihat wanita di hadapannya, wanita yang memiliki mimpi, harapan, dan perasaan.
Saat Revan akhirnya selesai, Anya merasa tubuhnya hancur dan jiwanya terluka. Ia memejamkan matanya, berharap malam ini segera berakhir, berharap matahari segera terbit dan membawanya pergi dari neraka ini.
Revan bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Anya tetap berbaring di sana, tidak bergerak, dan tanpa kata. Ia hanya bisa merasakan air mata terus mengalir, air mata pernikahan yang tak berujung. Dalam hatinya ia bertanya-tanya.
Apakah ia akan merasakan kebahagiaan lagi? Apakah ia akan bisa mencintai dan dicintai dengan tulus? Dan apakah hidupnya akan selalu diwarnai dengan air mata dan penyesalan? Tapi sampai kapan?
Anya terus bergelut dengan pikirannya tanpa terasa ia telah tertidur dengan sendirinya di atas ranjang yang empuk itu, bagi Anya seperti bara api yang membakar seluruh harapannya tanpa tersisa.
Tak berapa lama Revan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, ia menatap sekilas tubuh polos Anya yang kini telah tertidur lelap dengan air mata yang setia menemani tidurnya.
Revan memasang wajah datar lalu menarik selimut tersebut melempar kasar ke atas tubuh Anya, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Setelahnya ia gegas mengantikan pakaian tidurnya lalu ikut membaringkan tubuhnya di sisi Anya, namun ia membelakangi tubuh Anya.
Tengah malam Anya merasa menggigil dan terbangun dari tidurnya. Ia melihat Revan tertidur nyaman di sampingnya, lalu dengan langkah pelan dan hati-hati sambil menahan rasa sakit dan perih di bagian intinya, ia berjalan ke almari baju, ia meraih asal baju di dalamnya lalu memakainya cepat.
Setelah memakai pakaian ia merasa tubuhnya sedikit hangat. Dan karena masih larut malam ia kembali menuju ranjang, ia naik dengan perlahan dan hati-hati, ia takut menganggu Revan tidur, dan berimbas pada dirinya lagi.
Anya mencoba memejamkan matanya lagi, fisiknya masih sangat lemah dan jiwanya masih terluka, ia hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya untuk sesaat, sebelum menyambut hari esok.
# Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Marsya
ceritanya sangat sedih tapi menarik untuk di ikuti, aku sangat penasaran dengan kelanjutan ceritanya, lanjut Thor
2025-08-25
0
Rita
hhmmmmm
2025-08-26
0
Rita
apa ada sebabnya ???
2025-08-26
0