Sinar mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, membelai wajah Anya yang pucat pasi. Ia membuka mata perlahan, merasakan tubuhnya remuk dan jiwanya kosong. Malam itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan, sebuah trauma yang terukir dalam benaknya.
Anya melirik kesisi ranjang di sampingnya, yang ternyata ranjangnya sudah kosong Revan sudah tidak ada di ranjang. Anya melirik ke sekeliling kamar, mencari keberadaan Revan. Sampai Ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
"Hm, ternyata dia sedang dikamar mandi," gumam Anya pelan.
Anya mencoba bangkit dari ranjang, tapi tubuhnya terasa terlalu lemah untuk bergerak. Ia terbaring di sana, menatap langit-langit kamar, membiarkan air mata kembali mengalir. Ia merasa kotor, hina, dan tidak berharga.
Tak lama kemudian, Revan keluar dari kamar mandi dengan mengenakan jubah mandi. Ia menatap Anya dengan tatapan datar.
"Cepat bangun dan bersiaplah," kata Revan, suaranya dingin.
"Kita akan sarapan dengan keluarga." lanjutnya masih dengan nada yang sama.
Anya mengangguk tanpa menjawab. Ia mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menahan rasa perih dan ngilu di bagian bawahnya, meninggalkan jejak air mata di atas bantal itu.
Di kamar mandi, Anya menatap dirinya di cermin. Wajahnya pucat dan bengkak, matanya merah dan sayu. Ia terlihat seperti orang yang sudah lama tidak tidur.
Ia mencuci wajahnya dan menyikat giginya, mencoba menghilangkan semua jejak malam yang mengerikan.
Ia mandi dengan air hangat, berharap dapat membersihkan tubuh dan jiwanya yang kini sedang tidak baik-baik saja.
Setelah selesai mandi, ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Ia tidak ingin menarik perhatian. Ia hanya ingin menghilang, menyembunyikan dirinya dari dunia.
Sebelum melangkah keluar kamar mandi Anya menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, ia mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi Revan setelah ini.
Setelah merasa lebih baik Anya keluar dari kamar mandi, Revan sudah menunggunya di luar. Ia menatap Anya dengan tatapan menilai.
"Kau terlihat lebih baik," ucap Revan.
"Tapi jangan harap ini akan mengubah apa pun." tambahnya dengan nada mengancam.
Anya tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Revan keluar dari kamar pengantin, menuju ruang makan tempat keluarga mereka menunggu.
Ia tahu, sandiwara ini harus terus berlanjut. Di depan keluarga, mereka harus menampilkan citra pasangan bahagia, pasangan yang saling mencintai dan menghormati. Citra yang palsu, namun harus dipertahankan demi menjaga perdamaian dan menyelamatkan keluarganya.
Anya melangkah pelan mengikuti langkah lebar Revan, Saat mereka memasuki ruang makan, semua mata tertuju pada mereka.
Keluarga Revan dan keluarga Anya sudah duduk di meja makan, menunggu kedatangan mereka. Senyum-senyum palsu terukir di wajah mereka, namun Anya bisa merasakan ketegangan di udara.
"Selamat pagi, pengantin baru!" sapa nyonya Ambar ibunya Revan dengan suara yang dibuat-buat ceria.
"Selamat pagi, Ma," jawab Revan dengan senyum yang dipaksakan. Ia menarik kursi untuk Anya dan mempersilakannya duduk di sampingnya.
Anya duduk dengan kaku, mencoba untuk tersenyum. "Pagi, semua," ujar Anya.
Ia mengucapkan selamat pagi pada semua orang, suaranya pelan dan gemetar.
Setelah menyapa singkat mereka semua melanjutkan sarapan. Sarapan berlangsung dalam suasana yang canggung. Semua orang mencoba untuk berbasa-basi, membahas hal-hal ringan seperti cuaca dan rencana liburan.
Namun, Anya bisa merasakan tatapan tajam Nyonya Ambar yang mengamatinya dengan seksama.
"Bagaimana malam pertama kalian?" tanya Tuan Handoyo ayahnya Revan, memecah keheningan.
Anya tersentak kaget. Ia menatap Revan, meminta pertolongan. Revan tersenyum licik dan merangkul Anya.
"Sangat indah, Pa," jawab Revan.
"Anya sangat kelelahan, dia tidur nyenyak sepanjang malam." lanjut Revan dengan nada menyakinkan semua orang lalu menyunggingkan senyum palsunya.
Anya menunduk, merasa malu dan hina. Ia tidak bisa menatap siapa pun. Ia tahu mereka semua tahu bahwa Revan berbohong. Ia tahu mereka semua tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
"Baguslah," balas Tuan Handoyo, tatapannya menyelidik. "Kami berharap kalian segera memberikan kami cucu."
Anya langsung terswndak lalu dengan cepat meraih air mineral di depannya dan meneguknya sampai habis. Semua mata kembali tertuju kepadanya dengan tatapan penuh tanda tanya
Anya hanya bisa tersenyum canggung merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu harus menjawab apa, ia bahkan tidak ingin memiliki anak dengan Revan. Ia tidak ingin membawa anak ke dunia yang penuh dengan kepalsuan dan penderitaan ini.
"Tentu, Pa," jawab Revan cepat, suaranya penuh janji palsu.
"Kami akan berusaha secepatnya." Ia mengeratkan rangkulannya pada Anya, seolah menegaskan kepemilikannya.
Anya hanya bisa diam, menahan air mata yang ingin tumpah. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan oleh orang lain, tidak memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Tuan Handoyo mengangguk-angguk pelan tanda ia paham. Dan suasana hening kembali menyelimuti ruang makan itu, mereka semua melanjutkan sarapan hingga selesai.
Tak berapa lama kemudian, sarapan selesai, Anya membantu membersihkan meja. Ia ingin menjauh dari semua orang, mencari kesibukan agar tidak perlu berbicara atau berinteraksi dengan siapa pun.
Anya dengan cekatan membantu para pelayan mencuci piring, tiba-tiba Nyonya Ambar menghampirinya. Anya menegang di tempat. Ia tahu, ia akan menghadapi interogasi.
"Anya," panggil ibu Revan dengan suara lembut. "Bagaimana kabarmu? Apa kau bahagia?" tanyanya penuh selidik.
Anya menoleh dan menatap Nyonya Ambar. Ia melihat tatapan tajam yang tersembunyi di balik senyum manisnya.
"Anya baik, Ma," jawab Anya, mencoba tersenyum.
"Anya sangat bahagia." lanjutnya.
Ibu Revan mengamati Anya dengan seksama, seolah mencoba membaca pikirannya.
"Benarkah?" tanyanya, suaranya meragukan.
"Kau terlihat sedikit pucat. Apa Revan memperlakukanmu dengan baik?" tanyanya lebih lanjut, seolah belum puas dengan jawaban Anya sebelumnya.
Anya menelan ludah dengan susah payah. Ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh mengatakan apa pun yang bisa membahayakan dirinya atau keluarganya.
"Revan sangat baik pada Anya, Ma," jawab Anya dengan suara yang lebih meyakinkan.
"Dia sangat perhatian dan penyayang." tambah Anya lalu tersenyum manis, seolah-olah ia wanita paling beruntung di dunia ini.
Nyonya Ambar ikut tersenyum.
"Syukurlah," balas Nyonya Ambar.
"Kami hanya ingin kau bahagia. Keluarga kami sangat menyayangimu, Anya. Anggap saja kami sebagai keluargamu sendiri." tuturnya dengan lembut.
Anya mengangguk, dan tersenyum hangat padahal jauh di dalam hatinya ia sungguh merasa mual. Ia tahu ibu Revan berbohong. Mereka tidak menyayanginya. Mereka hanya menginginkan apa yang bisa ia berikan kepada mereka: keturunan, koneksi, dan kekuasaan.
"Anya sangat berterima kasih, Ma," jawab Anya dengan suara yang dipaksakan.
Ibu Revan menepuk bahu Anya dengan lembut.
"Istirahatlah kalau begitu," lanjut Nyonya Ambar mencoba menjadi mertua idaman.
"Kau pasti lelah setelah pesta pernikahan dan malam pertama. Jangan sungkan untuk meminta apa pun yang kau butuhkan, ya?"
Anya mengangguk lagi, merasa seperti burung dalam sangkar emas. Ia tahu, meskipun ia dikelilingi kemewahan dan perhatian, ia tetaplah seorang tawanan.
Setelah Nyonya Ambar pergi, Anya menghela napas panjang, merasa lega untuk sesaat. Ia melanjutkan pekerjaannya, mencuci piring dengan gerakan mekanis.
Pikirannya melayang, membayangkan masa depannya. Masa depan yang penuh dengan kepalsuan, tekanan, dan mungkin ... air mata yang tak berkesudahan.
Ia bertanya-tanya, apakah ada jalan keluar dari situasi ini? Apakah ia akan selamanya terikat pada Revan dan keluarga mereka? Apakah ia bisa menemukan kebahagiaan yang sejati?
Di tengah keputusasaannya, Anya tiba-tiba teringat pada mimpinya. Mimpinya untuk menjadi seorang desainer sukses, mimpinya untuk memiliki butik sendiri, mimpinya untuk menciptakan karya-karya indah yang bisa menginspirasi orang lain.
Mimpi itu terasa begitu jauh sekarang, seperti bintang yang tak terjangkau. Namun, Anya menolak untuk menyerah. Ia tidak akan membiarkan pernikahan ini menghancurkan semua yang ia impikan.
Ia akan mencari cara untuk mewujudkan mimpinya, meskipun harus menghadapi rintangan yang berat.
Ia menggenggam tangannya erat-erat, berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Ia akan bertahan, ia akan berjuang, dan ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Meskipun harus meneteskan air mata di sepanjang jalan, ia tidak akan membiarkan air mata itu memadamkan api semangatnya.
Ia akan membuktikan pada Revan dan keluarganya bahwa ia bukan hanya sekadar aset atau boneka yang bisa mereka kendalikan.
Ia adalah Anya, seorang wanita yang kuat, cerdas, dan penuh dengan potensi. Dan ia akan menunjukkan pada dunia apa yang bisa ia lakukan.
# Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Apriyanti
semangat Anya kamu pasti bisa memenuhi cita² mu 💪💪😘
2025-08-26
0
Meggy
semangat Anya
2025-08-28
0
Rita
semangat y Anya
2025-08-26
0