NovelToon NovelToon

Dendam Di Balik Gaun Pengantin

Bab 1

Dalam sebuah ruangan yang sudah si sulap dengan begitu megah dan mewah, lampu kristal menggantung anggun di atasnya, memantulkan cahaya ke seluruh ballroom yang dipenuhi dekorasi bernuansa serba putih.

Bunga-bunga segar beraroma harum semerbak, dan alunan musik klasik mengiringi langkah-langkah para tamu undangan yang berpakaian rapi. Dari luar, pernikahan ini tampak sempurna di mata siapapun yang memandang.

Seorang wanita cantik dengan senyum hambar, berdiri di atas altar, mengenakan gaun pengantin impian setiap wanita.

Gaun sutra putih nan lembut memeluk tubuhnya begitu indah, renda halus menghiasi bagian atasnya, dan taburan kristal membuatnya berkilauan di bawah cahaya lampu.

Rambutnya ditata dengan elegan, dihiasi dengan tiara kecil yang berkilauan. Anya seharusnya merasa bahagia, tapi hatinya terasa hampa.

Di sampingnya, berdiri seorang pria tampan dengan setelan jas hitam yang pas. Dia adalah Revan, yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Revan tersenyum padanya, senyum yang seharusnya membuatnya merasa aman dan dicintai. Tapi senyum itu tidak mencapai matanya, matanya tetap dingin dan kosong.

Pendeta mengucapkan kata-kata yang seharusnya menyentuh hati, tapi Anya hanya mendengarkannya dengan setengah hati.

Ia menatap ke arah para tamu undangan, mencoba mencari wajah yang familiar, wajah yang bisa memberinya sedikit kekuatan.

Sampai tatapannya bertemu pada sosok seorang wanita paruh baya, Ibunya tersenyum padanya, tapi senyum itu tampak dipaksakan.

Ayahnya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara bangga dan khawatir.

Saat Revan mengucapkan janji pernikahan, Anya merasakan tangan Revan menggenggam tangannya terlalu erat.

Sakit, tapi ia tidak berani meringis. Ia hanya menatap lurus ke depan, mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

"Anda boleh mencium pengantin wanita," ucap pendeta dengan suara lantang.

Revan mencondongkan tubuhnya dan mencium Anya. Ciuman itu seharusnya manis dan penuh cinta, tapi terasa dingin dan hambar. Anya memejamkan matanya, mencoba untuk tidak menangis. Ia tahu, ini baru permulaan.

Ciuman itu berakhir, dan tepuk tangan membahana di seluruh ruangan. Anya membuka matanya, merasa seperti terbangun dari mimpi buruk.

Revan masih tersenyum padanya, senyum yang sama dinginnya seperti tadi. Ia menggandeng tangan Anya dan membawanya menghadap para tamu undangan.

"Perkenalkan, istriku," kata Revan dengan suara lantang.

Anya tersenyum, senyum yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan. Ia melambai pada para tamu, mencoba untuk terlihat bahagia. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti orang asing, terjebak dalam pernikahan yang bukan pilihannya.

Saat mereka berjalan melewati para tamu, Anya mendengar bisikan-bisikan lirih. Beberapa mengucapkan selamat, beberapa memuji gaunnya, tapi ada juga yang menatapnya dengan tatapan aneh, tatapan yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Dia terlihat tidak bahagia," bisik seorang wanita paruh baya pada temannya.

"Aku dengar pernikahan ini diatur," balas temannya, suaranya hampir tidak terdengar.

Anya mencoba untuk tidak menghiraukan bisikan-bisikan itu, tapi kata-kata mereka menghantuinya.

"Apakah semua orang tahu? Apakah mereka bisa melihat kesedihan yang ia sembunyikan di balik senyum palsunya?" gumamnya dalam hati.

Saat mereka sampai di meja prasmanan, Revan menawarkan Anya segelas sampanye. Anya menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau," katanya, suaranya pelan.

"Ayolah, Anya. Ini hari bahagia kita," balas Revan, memaksa segelas sampanye ke tangannya.

Anya menatap sampanye itu dengan jijik. Ia tidak ingin merayakan apa pun. Ia hanya ingin melarikan diri, menjauh dari semua orang, menjauh dari pernikahan ini. Tapi ia tahu, ia tidak bisa melakukannya.

Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Terlalu banyak harapan yang ia pikul di pundaknya. Keluarga, tradisi, dan terutama … hutang.

Hutang yang mengikat keluarganya pada keluarga Revan, hutang yang hanya bisa dilunasi dengan pernikahan ini.

Anya menyesap sampanye, rasa manisnya terasa pahit di lidahnya. Ia menatap Revan, mencoba mencari jejak kebaikan di wajahnya.

Dulu, ia pernah melihatnya. Dulu, sebelum semua perjanjian bisnis dan perjodohan ini dimulai, ia pernah melihat Revan tersenyum tulus, tertawa lepas, dan memperlakukannya dengan lembut.

Tapi itu dulu. Sekarang, Revan adalah pria yang berbeda. Dingin, perhitungan, dan seringkali … membuatnya merasa takut.

"Kau harus lebih banyak tersenyum, Anya," bisik Revan, suaranya rendah tapi dengan nada mengancam.

"Kau membuatku terlihat buruk di depan para tamu." lanjutnya dengan mengertakkan giginya dan melayangkan tatapan tajamnya pada Anya.

Anya menelan ludah dengan susah payah lalu mencoba untuk tersenyum lebih lebar. Ia tahu, Revan benar. Ia harus memainkan perannya dengan sempurna. Ia harus menjadi istri yang bahagia, menantu yang patuh, dan wanita yang memenuhi semua harapan mereka.

Tapi sampai kapan ia bisa bertahan? Sampai kapan ia bisa menyembunyikan kesedihan dan ketakutannya di balik senyum palsu? Sampai kapan ia bisa menahan air mata pernikahan yang siap tumpah kapan saja?

Malam semakin larut, dan para tamu mulai berpamitan. Anya merasa lega, setidaknya sandiwara ini akan segera berakhir.

Tapi ia tahu, malam ini hanyalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh dengan ketidakpastian dan bayangan gelap.

Saat para tamu sudah meninggalkan ruangan, Revan gegas membawanya ke kamar pengantin, Anya merasakan jantungnya berdebar kencang.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia hanya tahu, ia harus bersiap menghadapi apa pun yang menunggunya di balik pintu itu. Pintu menuju pernikahan yang diwarnai air mata.

# Bersambung ...

Bab 2

Revan membuka pintu kamar pengantin itu dengan gerakan santai.

Cklek!

Pintu terbuka, "Masuk!" titah Revan dengan nada datar.

Anya tak menjawab atau membantah, ia melangkah masuk dengan langkah enggan dan ragu, tapi ia bisa apa selain menurut. Begitu langkahnya tepat di dalam kamar pengantin, ia bisa bisa melihat dengan jelas, kamar yang luas dan mewah, didominasi warna putih dan emas yang sangat elegan. Ranjang berukuran besar yang telah di lapisi seprai sutra putih, dan di atasnya bertaburan kelopak bunga mawar merah.

Di setiap sudut ruangan, terdapat lilin yang tertata rapi dan menyala dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Jika pengantin wanita pada umumnya pasti merasa sangat senang dan bahagia melihat suasana kamar yang begitu romantis dan mewah.

Tapi tidak untuk Anya, Anya tidak merasakan kehangatan atau romantisme apa pun. Ia malah merasakan yang sebaliknya, dingin dan takut memenuhi rongga dadanya.

Revan dengan cepat menutup pintu dan menguncinya. Setelah Anya berada di dalam kamar.

Klik!

Suara bunyi pintu terkunci begitu nyaring di telinga Anya, seketika Anya menegang. Ia dengan refleks berbalik dan menatap Revan, mencoba membaca ekspresi suaminya. Tapi wajah Revan datar, tanpa emosi.

"Kau bisa ganti baju," ucap Revan, menunjuk ke arah kamar mandi.

"Aku akan menunggu di sini." lanjutnya tanpa kelembutan apa lagi sikap romantis yang biasa di tunjukkan pengantin baru.

Anya tak menjawab ia hanya bisa mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah berada di dalam kamar mandi Ia menutup pintu dengan cepat lalu bersandar di sana, mencoba mengatur napas yang memburu. Jantungnya berdebar kencang, dan tangannya berkeringat dingin. Ia merasa seperti seorang tahanan yang akan dieksekusi mati malam ini juga.

Ia menatap dirinya di cermin yang tergantung tepat di diding di hadapannya. Riasannya masih terlihat sempurna, tapi matanya terlihat sayu dan lelah.

Anya membuka tiara di kepalanya dengan kasar dan meletakkannya di atas wastafel. Kemudian, ia mulai melepaskan gaun pengantinnya perlahan.

Saat ia membuka ritsleting gaun itu, ia merasakan air mata mengalir di pipinya tanpa diperintah. Ia sudah mencoba untuk menahannya, tapi air mata itu terus mengalir, seolah ada bendungan yang jebol di dalam dirinya. Ia menangis tersedu-sedu, tubuhnya merosot ke lantai yang dingin, Anya sekuat tenaga menahan suara tangisnya supaya Revan tak mendengarnya dari luar.

Sambil memeluk lututnya sendiri ia mencoba meluapkan semua kesedihan dan ketakutannya ia terus menangis tanpa suara, sampai air mata itu mengering dengan sendirinya.

Setelah puas menangis, ia sedikit merasa lega dan tenang lalu buru-buru mencuci wajahnya dan mengganti gaun pengantinnya dengan gaun tidur sutra berwarna putih yang telah di sediakan.Tak berapa lama setelahnya Ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Revan sedang duduk di sofa, sedang memegang sebuah gelas berisi minuman berwarna cokelat di dalamnya.

"Kau sudah selesai?" tanya Revan, tanpa menoleh kearah Anya.

Anya hanya mengangguk, meskipun Revan tak menatapnya.

"Kemari lah," perintah Revan, menunjuk ke arahnya.

Anya berjalan mendekat dengan langkah ragu. Ia berdiri di depan Revan, menunggu perintah selanjutnya.

Revan menatap Anya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya, tatapannya membuat Anya merasa seperti objek yang dinilai. Ia merasa te****ng meskipun mengenakan gaun tidur sutra.

"Duduk," ujar Revan, menunjuk ke sofa di sampingnya.

Anya duduk dengan kaku, menjaga jarak antara dirinya dan Revan. Suasana di antara mereka tegang dan tidak nyaman. Keheningan langsung menyelimuti kamar pengantin itu.

Revan meneguk minumannya hingga tak bersisa, lalu meletakkan gelasnya di meja. Ia menoleh ke arah Anya, tatapannya tajam dan menusuk.

"Kau tahu kenapa kita menikah, kan?" tanya Revan, suaranya datar dan dingin.

Anya mengangguk. Ia tahu. Ia tahu tentang hutang keluarganya, tentang perjanjian bisnis, dan tentang semua alasan logis di balik pernikahan ini. Tapi ia tidak ingin mendengarnya diucapkan dengan gamblang.

"Pernikahan ini adalah bisnis," lanjut Revan seolah menegaskan posisi Anya.

"Kau adalah aset, dan aku adalah pemiliknya. Kau harus melakukan apa pun yang aku perintahkan, kapan pun aku menginginkannya." tekannya dengan tegas tanpa ada ruang bantahan.

Anya menelan salivanya dengan susah payah. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi mendengar kata-kata itu diucapkan dengan jelas di badannya langsung membuatnya merasa ngeri dan putus asa.

"Aku mengerti," jawab Anya, suaranya sedikit bergetar menahan emosi yang meluap di dalam dadanya. Hancur, kecewa, dan perih itu sudah pasti.

"Bagus," balas Revan dengan menyunggingkan senyum sinis nya.

"Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan." lanjut Revan masih dengan seringai sinis di bibirnya.

Lalu Revan berdiri dan berjalan mendekat ke Anya. Ia membungkuk dan memulai aksinya Revan me***um leher Anya. Ci**an itu dingin dan tanpa ga**ah, hanya sentuhan bibir yang menekan kulitnya. Anya hanya mematung tanpa membalasnya ia hanya berusaha mengendalikan rasa takutnya.

Setelahnya Revan mendekatkan wajahnya tepat telinga Anya, lalu mulai berbisik.

"Malam ini, kau akan memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri," bisik Revan pelan.

"Dan kau akan menikmatinya." lanjut Revan lalu kembali menegakkan tubuhnya.

Anya memejamkan matanya, air mata kembali mengalir di pipinya. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan ia juga tahu bahwa malam ini akan mengubah hidupnya selamanya. Malam di mana air mata pernikahan akan benar-benar tumpah.

# Bersambung ....

Bab 3

Anya tak menjawab. Ia membiarkan air mata mengalir, membasahi kulit lehernya di tempat Revan m*****mnya. Sentuhan Revan terasa seperti bara api yang membakar jiwanya, bukan kehangatan cinta yang ia impikan.

Revan menarik diri dan menatap Anya. Anya mendongak memberanikan diri menatap mata Revan mencoba mencari secercah harapan di matanya, akan tetapi di matanya Revan jelas terlihat bukan cinta atau hasrat, melainkan tuntutan dan kuasa. Sebuah tatapan yang mengatakan, "Kau milikku."

"Aku tidak akan memaksamu," ujar Revan, suaranya rendah dan dingin.

"Tapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika kau menolak, kau akan mengecewakan keluargamu. Kau akan membuat mereka kehilangan segalanya."

Kata-kata Revan seperti belati yang menusuk tepat di jantung Anya. Ia tahu Revan benar. Ia tidak bisa egois. Ia tidak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya, meskipun ia tahu mereka bukan orang tua kandungnya.

Tapi selama ini mereka merawatnya dengan penuh kasih dan memperlakukan dirinya seperti anak kandungnya sendiri. Mungkin hanya dengan ini cara satu-satunya ia membalas kebaikan keluarga itu, dengan mengorbankan dirinya sendiri.

"Aku ... aku akan melakukannya," jawab Anya lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Revan tersenyum sinis. Ia meraih tangan Anya dan menariknya berdiri. Anya mengikuti langkah Revan menuju ranjang, tubuhnya terasa kaku dan berat.

Saat mereka berdua berbaring di ranjang, Anya memejamkan matanya. Ia mencoba untuk tidak merasakan apa pun, untuk tidak memikirkan apa pun. Ia mencoba untuk mengosongkan pikirannya, untuk menjadi seperti boneka yang tak memiliki perasaan.

Revan mulai me****mnya, menyentuhnya. Sentuhan itu tidak membuatnya merasa be*****ah atau dicintai. Sentuhan itu terasa seperti kewajiban, seperti tugas yang harus ia selesaikan.

Anya membuka matanya dan menatap langit-langit kamar. Di luar jendela, rembulan bersinar terang, memancarkan cahaya pucat ke dalam kamar. Rembulan itu seperti saksi bisu atas penderitaannya, atas air mata pernikahan yang ia tahan selama ini.

Ia membiarkan Revan melakukan apa pun yang ia inginkan. Ia hanya berbaring diam, mencoba untuk tidak menangis, mencoba untuk tidak berteriak. Ia merasa seperti jiwanya terpisah dari tubuhnya.

Jiwa Anya terasa melayang, menjauh dari tubuh yang terasa begitu asing di bawah sentuhan Revan. Ia seolah menyaksikan dirinya dari atas, seorang wanita muda yang terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan keluarganya.

Pemandangan itu begitu menyakitkan, hingga ia ingin berteriak, membangunkan dirinya dari mimpi buruk ini.

Namun, ia tak bisa. Mulutnya terkunci, tubuhnya membeku. Ia hanya bisa merasakan air mata terus mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya. Air mata itu bukan hanya air mata kesedihan, tapi juga air mata kemarahan, air mata penyesalan, dan air mata keputusasaan dan DEMDAM.

Di tengah rasa sakit dan kepedihan yang mendalam, Anya mencoba mencari secercah harapan. Ia mencoba mengingat janji-janji yang pernah ia buat pada dirinya sendiri, janji untuk selalu kuat, untuk selalu mandiri, dan untuk selalu memperjuangkan kebahagiaannya.

Namun, janji-janji itu terasa begitu jauh dan mustahil untuk di gapainya saat ini. Ia merasa terjebak dalam sangkaran emas, terkekang oleh hutang dan tradisi. Ia merasa tidak berdaya, tidak memiliki kendali atas hidupnya sendiri.

Revan terus melakukan apa yang ia inginkan, tanpa memperdulikan perasaan Anya. Ia hanya melihat Anya sebagai objek, sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Ia tidak melihat wanita di hadapannya, wanita yang memiliki mimpi, harapan, dan perasaan.

Saat Revan akhirnya selesai, Anya merasa tubuhnya hancur dan jiwanya terluka. Ia memejamkan matanya, berharap malam ini segera berakhir, berharap matahari segera terbit dan membawanya pergi dari neraka ini.

Revan bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Anya tetap berbaring di sana, tidak bergerak, dan tanpa kata. Ia hanya bisa merasakan air mata terus mengalir, air mata pernikahan yang tak berujung. Dalam hatinya ia bertanya-tanya.

Apakah ia akan merasakan kebahagiaan lagi? Apakah ia akan bisa mencintai dan dicintai dengan tulus? Dan apakah hidupnya akan selalu diwarnai dengan air mata dan penyesalan? Tapi sampai kapan?

Anya terus bergelut dengan pikirannya tanpa terasa ia telah tertidur dengan sendirinya di atas ranjang yang empuk itu, bagi Anya seperti bara api yang membakar seluruh harapannya tanpa tersisa.

Tak berapa lama Revan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, ia menatap sekilas tubuh polos Anya yang kini telah tertidur lelap dengan air mata yang setia menemani tidurnya.

Revan memasang wajah datar lalu menarik selimut tersebut melempar kasar ke atas tubuh Anya, tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Setelahnya ia gegas mengantikan pakaian tidurnya lalu ikut membaringkan tubuhnya di sisi Anya, namun ia membelakangi tubuh Anya.

Tengah malam Anya merasa menggigil dan terbangun dari tidurnya. Ia melihat Revan tertidur nyaman di sampingnya, lalu dengan langkah pelan dan hati-hati sambil menahan rasa sakit dan perih di bagian intinya, ia berjalan ke almari baju, ia meraih asal baju di dalamnya lalu memakainya cepat.

Setelah memakai pakaian ia merasa tubuhnya sedikit hangat. Dan karena masih larut malam ia kembali menuju ranjang, ia naik dengan perlahan dan hati-hati, ia takut menganggu Revan tidur, dan berimbas pada dirinya lagi.

Anya mencoba memejamkan matanya lagi, fisiknya masih sangat lemah dan jiwanya masih terluka, ia hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya untuk sesaat, sebelum menyambut hari esok.

# Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!