Bab 4 Pernikahan Dan Melepas Kepergian Satgas

     Hari itu, ruang tamu kediaman Pak Daka begitu hening. Langit sore mendung, seakan ikut merasakan beratnya suasana. Hanya beberapa kursi kayu yang disusun seadanya mengelilingi meja kecil.

     Di atas meja itu ada Al-Qur’an, selembar kain putih, dan sebuah nampan dengan seperangkat alat salat serta cincin emas satu gram. Semua sederhana, jauh dari gemerlap pesta pernikahan yang biasanya penuh senyum dan tawa.

     Kaffa duduk bersila, mengenakan kemeja putih polos dan celana hitam. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, dan matanya menatap lurus ke lantai seolah tak ingin beradu pandang dengan siapa pun. Di hadapannya, penghulu yang diundang Bu Daisy duduk bersiap, memandangnya dengan wibawa.

     Davira duduk di sisi lain, mengenakan kebaya sederhana berwarna biru muda. Wajahnya pucat, matanya sembab karena terlalu sering menangis malam-malam sebelumnya. Tangannya gemetar menggenggam kain jarik yang menutupi lututnya.

     “Saudara Arkaffa Belanegara," Suara penghulu mulai terdengar, pelan namun jelas, "Dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dan cincin emas satu gram, tunai, apakah Saudara menerima pernikahan dengan Davira binti Arman?”

     Ruangan mendadak semakin hening. Semua mata tertuju pada Kaffa.

     “Saya terima nikahnya Davira binti Arman dengan mas kawin tersebut, tunai,” jawab Kaffa lantang, tanpa ragu, tapi juga tanpa ekspresi sedikit pun.

     Seisi ruangan menarik napas lega. Secara syariat, pernikahan mereka sah.

     Air mata Davira jatuh pelan. Bukan karena bahagia, melainkan campuran getir dan luka. Hatinya berkata ingin bersyukur, tapi akal sehatnya sadar, suaminya sendiri tidak menginginkannya. Pernikahan ini lahir dari keterpaksaan, bukan dari cinta.

     Bu Daisy menyeka ujung matanya. Meski pernikahan ini jauh dari harapan indahnya, ia sedikit lega karena akhirnya Davira terlindungi. Sedangkan Pak Daka hanya menunduk, wajahnya kaku, menahan perasaan bercampur aduk antara marah dan kecewa pada anak lelakinya.

     Tidak ada doa bersama panjang, tidak juga tepuk tangan ucapan selamat. Begitu ijab kabul selesai, suasana hening kembali. Penghulu dan dua saksi juga wali hakim dari pihak Penghulu, berpamitan beberapa saat setelah acara selesai.

     Kaffa bangkit. Ia menatap Davira hanya sekilas, lalu menarik lengan gadis itu dan membawanya ke ruang yang sepi di dalam rumah itu.

     "Aku tahu malam itu adalah jebakan darimu. Dan kini, tujuanmu sudah tercapai Vira. Katakan apa sebenarnya yang menjadi tujuanmu? Sebelum aku pergi satgas, katakan alasanmu, agar kebencianku padamu tidak berkarat dan menggunung setelah aku kembali nanti," desak Kaffa dengan wajah bengis.

     "A~aku. Sebenarnya ...." Davira menunduk gugup, kata-katanya terputus. Lidah dia seakan kelu untuk mengungkapkan kebenaran, lagipula ini sudah terlambat, karena Kaffa sudah menikahinya dan resmi menjadi suaminya, meskipun siri.

     "Percuma kalau aku katakan sekarang, Kak Kaffa tidak akan percaya. Lagipula dia tidak ada waktu untuk menyelidiki benar atau tidak Mbak Arini berselingkuh di belakangnya," batin Davira.

     "Katakan ... atau kamu lebih memilih kebencianku padamu tidak terbendung lagi." Kaffa mencengkram lengan Davira kuat.

     "Aku ... sebetulnya aku, ti~tidak ingin Kak Kaffa dibohongi Mbak Marini," ucap Davira akhirnya.

     Kaffa terhenyak, mata ia melotot dengan tajam."

     "Apa kamu bilang? Jangan pernah melemparkan kesalahan pada orang lain. Kamu kira aku percaya?" ucap Kaffa menghempas lengan Davira kasar.

     "Ingat, ya. Mulai malam ini aku akan tinggal di rumahku sendiri. Walau kita sudah menikah, tapi kamu jangan pernah ikut campur dalam hidupku. Davira …." suaranya terdengar dingin, menusuk hati.

     "Aku harap kamu tahu diri. Kamu tahu bukan pernikahan ini karena apa? Jadi, jangan pernah mencoba mendekatiku," tegasnya.

     Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan.

     Davira menunduk, menggenggam tangannya erat. Hatinya perih seakan diremas, namun ia berusaha tersenyum tipis. Sudah ia duga, Kaffa tidak akan percaya dengan apa yang dikatakannya. "Biar saja aku tidak Kak Kaffa percaya, aku rela, asal Kak Kaffa tidak hancur karena Mbak Marini,” bisiknya dalam hati.

     Dia rela tersakiti atau dipandang rendah, hanya demi cintanya pada Kaffa dan sebagai cara menjauhkan Kaffa dari tipu daya Marini.

***

     Seminggu setelah pernikahan itu, Kaffa menyiapkan keberangkatannya ke Papua. Perintah itu adalah kehormatan, sekaligus beban berat. Sebagai perwira, ia tidak bisa menolak tugas negara.

     Namun menjelang keberangkatan, hatinya masih terpaut pada Marini. Ia mencoba menghubungi lewat telepon.

     "Besok aku berangkat. Bisa kita ketemu?” Suaranya bergetar, menahan rindu.

     “Besok aku ada acara keluarga, Bang. Aku nggak bisa keluar. Maaf, ya .…" jawab Marini lembut, penuh alasan.

     Kaffa menghela napas kasar, ia terdiam, kecewa. “Baiklah,” katanya singkat, lalu menutup telepon.

     Malamnya, ketika ia hendak menuju markas untuk persiapan, matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Di sebuah kafe kecil, di balik jendela kaca, duduklah Marini. Ia tertawa, wajahnya tampak bahagia. Namun yang membuat darah Kaffa mendidih adalah pria asing yang duduk berhadapan dengannya.

     Kaffa menghentikan mobilnya kaku. Niatnya ingin masuk. Sayang area parkir di kafe itu penuh, terlihat dari papan informasi yang menyatakan bahwa parkir penuh. Kaffa juga tidak bisa berhenti begitu saja di bahu jalan, karena bahu jalan yang ia lewati termasuk jalan yang sempit. Terpaksa ia melanjutkan perjalanannya menuju markas dengan pelan.

     Hati Kaffa bertanya-tanya dan penasaran, siapa pria yang bersama dengan Marini? Di sela menyetir, ia meraih Hp nya dan menghubungi Marini.

     Lama panggilannya tidak diangkat Marini. Kaffa kembali mengulang panggilannya dan beberapa menit kemudian, panggilan itu mulai diangkat tuannya.

     "Halo, Sayang. Kamu di mana?"

     "Halo Abang, aku ada di rumah bersama keluarga aku," bohongnya.

     "Kamu serius?"

     "Serius. Kenapa? Kamu nggak percaya kalau aku sedang berada di rumah ada acara?" balas Marini masih menyangkal.

     "Bukan tidak percaya. Tapi, yang berada di dalam kafe Nuansa bersama seorang pria itu siapa? Bukan kamu?" tuduh Kaffa.

     "Si-siapa? Kamu jangan sembarangan tuduh Bang. Barangkali itu orang yang mirip dengan aku." Marini teguh menyangkal.

     "Tapi, itu jelas kamu, Marini."

     "Tididddd."

     Suara klakson membuyarkan fokus Kaffa. Mobilnya yang melambat, membuat kendaraan lain yang mau lewat lebih cepat jadi terhambat.

     Kaffa menarik setirnya dan mempercepat laju mobilnya, karena di belakangnya mobil sudah memberi peringatan dengan suara klaksonnya.

     Kecurigaan dan rasa penasaran Kaffa menguap begitu saja terhadap Marini, seiring laju mobilnya semakin menjauh dari tempat itu. Dan Hp nya yang tadi masih menyala, sambungannya sudah dimatikan Marini.

     "Siapakah pria tadi? Aku harus bertanya pada Marini besok di kantor sebelum aku pergi," putusnya menahan gejolak penasaran di dalam dadanya.

     Keesokan paginya, lapangan batalyon sudah dipenuhi prajurit berseragam lengkap. Truk-truk hijau berderet, bendera berkibar, dan suara komando menggema. Suasana penuh wibawa, tapi juga sarat dengan air mata keluarga yang melepas kepergian mereka.

     Kaffa berdiri tegap bersama pasukannya. Sorot matanya tajam, namun di dalam dadanya berkecamuk badai perasaan.

     Marini datang. Ia menghampiri Kaffa dengan wajah sendu. Hatinya tengah menahan gejolak rasa yang berusaha ia sembunyikan dari Kaffa.

     "Jaga dirimu di sana, Bang. Aku akan selalu merindukanmu,” bisiknya sebelum memeluk erat tubuh pria itu.

     Kaffa membalas pelukan itu, menutup mata sejenak. Di pelukan itu, ia merasa ada sedikit ketenangan, meski keraguan masih menghantui.

     "Siapa pria tadi malam di kafe?" Sesaat setelah melepaskan pelukan, Kaffa menyempatkan bertanya menyinggung masalah yang tadi malam dia lihat.

     "Itu ... Baiklah aku katakan, aku jujur sama kamu. Semalam aku memang bertemu seseorang. Di rumah memang ada acara, tapi tiba-tiba sepupu aku menghubungi. Dia ingin dijemput karena tidak tahu jalan ke tempatku," alasannya.

     Kaffa menatap Marini penuh keraguan. "Sungguh, itu sepupu aku," tekan Marini kemudian.

     "Ok, baik. Saat ini aku percaya itu sepupu kamu. Baiklah, sepertinya aku sudah tidak punya waktu banyak lagi di sini. Aku harus segera menaiki truk-truk itu." Kaffa akhirnya melepaskan Marini dengan berat hati, meskipun rasa penasaran itu masih menjalar dalam dada.

     "Baiklah. Hati-hati di sana, Bang. Aku akan selalu merindukanmu," ulang Marini sembari menatap Kaffa yang mulai melangkah.

     Tidak jauh dari sana, Davira berdiri diam di antara kerumunan keluarga. Ia mengenakan gamis putih dan kerudung sederhana, memeluk tas kecil berisi botol air mineral yang tadi sempat ia berikan kepada Kaffa, namun ditolak halus.

     Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan tangis. Bibirnya terkatup rapat, seolah tak berhak bersuara.

Terpopuler

Comments

dewi_nie

dewi_nie

kasian kau Kaffa ditipu marini..

2025-08-29

1

Dian Isnawati

Dian Isnawati

lanjut

2025-08-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!