Suara teriakan Bu Daisy mengguncang pagi itu. “Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan? Daviraaaa!”
Tubuh Kaffa seketika tersentak bangun. Kepalanya berat, matanya berkunang-kunang. Dia mendapati dirinya terbaring di ranjang Davira, tubuhnya masih dibalut selimut tipis. Jantungnya langsung berdegup kencang, sementara pikiran bercabang ke segala arah.
"K–kenapa aku bisa di sini?” gumamnya dengan suara parau.
Tangannya refleks menyingkap selimut, memastikan pakaiannya masih lengkap. Ya, seragam tidurnya masih terpasang rapi, hanya kusut karena semalaman berguling. Namun, itu tidak serta merta meredakan keterkejutannya. Karena tepat di sebelahnya, Davira juga terbangun dengan wajah pucat pasi, mata melebar seperti hendak menelan seluruh dunia.
“M-ma .…" Suara Davira bergetar, mencoba menjelaskan, tapi lidahnya kelu.
Bu Daisy berdiri di ambang pintu dengan wajah murka. Sorot matanya tajam, menusuk bagai belati. Tangannya mencengkeram erat lengan Davira dan menariknya kasar. “Kamu sudah keterlaluan, Vira! Bagaimana bisa kamu tidur seranjang dengan Kakakmu sendiri?”
"Mama, bukan begitu …." Davira mencoba berkilah, air matanya langsung pecah. “Aku-aku bisa jelaskan .…”
“Tidak perlu ada penjelasan lagi!” bentak sang Mama. “Papa ...!" teriaknya memanggil suaminya dari lantai bawah.
Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki berat menghentak menaiki tangga. Papa Daka muncul dengan wajah tegas dan penuh amarah. Lelaki paruh baya itu mengenakan kaos loreng tangan pendek bertuliskan sniper. “Ada apa ribut-ribut pagi buta?” tanyanya dengan nada keras.
“Mereka, Pah.” Bu Daisy menunjuk ke arah ranjang. “Aku mendapati Kaffa dan Davira tidur satu ranjang!”
Pak Daka terperanjat. Sorot matanya beralih ke Kaffa, penuh kekecewaan. “Kaffa! Apa maksudmu ini? Kau mempermalukan keluarga kita?"
“Tidak, Pa! Aku … aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini,” jawab Kaffa terbata-bata. Dia bangkit, berdiri di sisi ranjang dengan wajah pucat. “Demi Allah, Pa, Ma. Aku tidak ingat apa pun. Aku tidur di kamarku semalam. Ketika bangun, tiba-tiba sudah di sini.”
Pak Daka menggeleng keras. “Jangan buat alasan yang tidak masuk akal! Kamu sudah dewasa, kamu juga seorang Letnan. Bagaimana bisa kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan?” Ucapan Pak Daka tegas. Sebagai seorang purnawirawan TNI, Pak Daka tentu saja memiliki pembawaan tegas.
“Mama, Papa, aku… aku juga tidak tahu. Aku tidak bermaksud seperti ini,” suara Kaffa melemah. Hatinya panas, kepalanya dipenuhi kebingungan.
Sementara itu, Davira terisak, memegangi lengannya yang masih dicengkeram sang Mama. Dalam hati, rasa bersalah dan ketakutan bercampur jadi satu. Rencana kecil yang semula hanya ingin membuat Kaffa menjauhi Marini kini justru menjadi bumerang besar.
“Mama … aku bersumpah tidak terjadi apa-apa,” mohon Davira.
Namun, Bu Daisy justru semakin emosi. “Lalu siapa yang harus aku salahkan? Kamu, Vira? Anak angkat yang sudah mama besarkan, tapi berani mencoreng nama baik keluarga ini?”
Kalimat itu menghantam dada Davira lebih sakit daripada tamparan. Anak angkat. Ya, status itu yang selama ini selalu ia simpan dalam-dalam. Kini dilontarkan tepat di saat ia merasa rapuh.
“Mama … jangan bicara seperti itu,” lirihnya sambil menangis tersedu.
Pak Daka menghela napas panjang, lalu menatap keduanya bergantian. “Kalian sadar tidak, apa yang orang luar akan pikirkan jika tahu soal ini? Apa kata keluarga besar kita? Apa kata orang-orang satuanmu, Kaf?”
Kaffa menunduk dalam. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga rasa terhina yang tiba-tiba merayap. Sebagai seorang perwira, harga dirinya runtuh begitu saja di hadapan kedua orang tuanya.
“Papa, percayalah. Aku tidak melakukan apa-apa pada Davira. Aku tidak mungkin .…” suaranya tercekat.
Namun Pak Daka mengibaskan tangan, memotong pembelaannya. “Cukup! Entah apa yang kalian lakukan semalam, yang jelas ini sudah melewati batas. Mau tidak mau, harus ada jalan keluar.”
Keheningan menyelimuti ruang tamu sore itu. Bu Daisy duduk dengan wajah muram, matanya sembab karena lelah menangis sejak pagi. Sementara Pak Daka berdiri di dekat jendela, tangannya bersedekap, sorot matanya gelap penuh amarah dan kekecewaan.
Kaffa duduk di kursi, tubuhnya tegak tapi wajahnya tertunduk. “Pa, Ma, sekali lagi aku tegaskan. Aku tidak melakukan apa-apa pada Davira. Aku tidak pernah berniat … menyentuhnya.” Suaranya bergetar menahan emosi.
Namun, Bu Daisy menatapnya dengan mata tajam. “Kalau benar begitu, kenapa Mama menemukan kalian seranjang? Jangan kira Mama bisa percaya dengan alasan ‘aku tidak ingat apa-apa.’ Kaffa, kamu anak tentara, bukan anak kecil lagi. Kamu harus bisa menjaga diri!”
“Mama!” suara Kaffa meninggi. “Aku juga korban dalam kejadian ini. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di kamar Vira. Aku tidur di kamarku sendiri semalam! Demi Allah, aku tidak bohong!”
Davira hanya bisa menunduk, air matanya menetes tanpa henti. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi lidahnya kelu. Jika ia mengaku bahwa semua itu rekayasa ulahnya, maka habislah dirinya. Ia bisa diusir dari rumah, bahkan kehilangan satu-satunya kesempatan dekat dengan Kaffa.
“Vira …” Suara Pak Daka terdengar berat, dalam. “Jujurlah. Apa benar tidak terjadi apa-apa semalam?”
Davira mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca. "Papa, demi Allah ... Vira tidak tahu apa yang terjadi. Tapi percayalah, Vira tidak berniat merusak keluarga ini," bantah Davira, membuat Kaffa muak mendengarnya.
"Mama tanya sekali lagi sama kamu Vira, apa yang kamu masukkan ke dalam air minum yang kamu berikan pada kakakmu tadi malam sebelum dia pergi tidur?" Mata Bu Daisy nyalang, penuh gertakan. Dia mencurigai kalau Davira memasukkan sesuatu ke dalam minuman Kaffa. Karena sebelumnya, menurut pengakuan Kaffa, bahwa Davira memberinya minum malam itu.
Davira menggeleng, dia tetap menyangkal, meskipun dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dia dalang di balik kekacauan ini.
"Akhhhhh. Mama muak dengan semua ini. Kamu, Vira. Sudah kami angkat anak, kami sayang sepenuh hati. Tapi, apa balasanmu? Kamu justru menghancurkan kepercayaan kamu, kehormatan kami. Dasar kurang ajar, tidak tahu diri," murka Bu Daisy mengacak meja.
Pak Daka dan Kaffa berusaha menenangkan Bu Daisy yang kalap. Bagaimana tidak? Bu Daisy yang merasa keluarganya aman tentram, tiba-tiba dikacaukan dengan kejadian tidak pantas seperti ini. Dia tidak menyangka kalau Davira sehina itu.
"Apa gunanya kepalamu kau tutupi hijab Davira, kalau faktanya kamu berbuat seperti itu? Kenapa kamu lakukan itu pada keluargamu sendiri?" tunjuk Bu Daisy geram sambil menangis.
"Ma, tenang dulu. Ini semua tidak semata-mata salah Davira. Kita jangan menyudutkan salah satu pihak. Papa rasa kesalahan ini tidak hanya dilakukan Davira. Tapi, Kaffa juga patut dipersalahkan," bujuk Pak Daka mencoba bijaksana menyikapi hal yang baru terjadi di dalam keluarganya.
Kaffa mendengus mendengar ucapan sang papa yang dinilainya masih menduga, bahwa dirinya melakukan hal itu atas dasar keinginannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
dewi_nie
lanjut thot
2025-08-24
1