Bab 3 Dugaan Negatif Tentang Davira

     Di keheningan sore, Kaffa sengaja menemui Davira di kamarnya. Dia menerobos masuk ke dalam kamar, begitu pintu kamar dibuka Davira.

     Davira terkejut dia sangat kaget. Sosok yang dia cinta datang dengan sorot marah dan dingin. Wajahnya tegas diperjelas dengan rahang yang mengeras.

     Kaffa menarik lengan Davira keluar kamar, kemudian ia membawa Davira ke taman di atas roof top.

     "Katakan, apa yang kamu mau Vira? Selama ini aku sudah menganggapmu sebagai adikku, tapi kamu tega berbuat seperti ini. Apa sebenarnya maumu? Katakan!" desak Kaffa dengan mata melotot.

     Davira tertegun menunduk, dadanya berdebar. Meskipun ia mencintai sosok kakak angkatnya ini, akan tetapi ketika Kaffa marah, Davira gentar juga.

     "Ck. Aku tidak tahu kamu sudah pernah melakukan hal ini berapa kali pada pria-pria di luaran sana. Luarnya saja kamu bungkus rapi, dan kesannya baik, tapi dalamnya bobrok dan rusak," dengusnya pahit, sepahit empedu.

     Dada Davira sakit teriris, saat ini juga ia ingin mengatakan kalau sesungguhnya ia tidak pernah melakukan hal sekotor itu. Tapi, demi cinta dan demi menyelamatkan Kaffa dari kebohongan Marini, Davira rela bungkam. Dia lebih memilih disudutkan dan dianggap tidak baik.

     "Kenapa kamu diammmm, Daviraaa. Bicaralah!" pekik Kaffa keras, tangannya terangkat. Di lapangan, separah apapun adik leting melakukan kesalahan, Kaffa belum pernah melayangkan tangannya untuk menampar, tapi kali ini, di hadapan wajah Davira, ia berani mengangkat telapak tangannya.

     Air mata Davira menetes banyak, membasahi pipinya yang lembut. Wajah yang ayu menarik itu basah dengan derai air mata. Tapi, Davira tetap bungkam. Dia membiarkan dirinya dihujat dan ditunjuk.

     "Aku pantas mendapatkannya, Kak." Davira membatin.

     Kaffa kesal karena Davira tetap bungkam, ia mengalihkan telapak tangannya , meraih dagu Davira dan mencengkramnya.

     "Air mata palsu. Dengar, ya. Apapun yang telah terjadi malam itu antara kita, aku tidak akan pernah mengakui kalau aku sudah melakukan itu kepadamu. Dan ingat. Semua yang kamu lakukan padaku, tidak akan mengubah apapun diantara kita. Kita tetap seperti ini, aku kakak angkatmu dan kamu hanyalah adik angkat yang tidak tahu diri," tegasnya di hadapan wajah Davira, lalu menghempas dagu Davira dengan kasar.

     Kaffa meninggalkan Davira yang menangis. Dia tidak peduli Davira sangat terluka oleh ucapannya.

     "Maafkan aku, kak. Aku terpaksa melakukan itu semua. Semua demi kebaikan kakak, agar kakak menjauhi Mbak Marini," bisik Davira sembari mengusap air matanya

     "Aku hanya melakukan itu demi kebaikan kak Kaffa. Agar Kak Kaffa menjauhi Mbak Marini, dengan alasan sudah menodai aku. Maafkan aku Kak Kaffa. Ma, Pa. Aku terpaksa melakukan ini." Davira kembali menulis di buku diarynya, sebagai curahan hatinya hari ini.

     Di ruang tamu, Bu Daisy dan Pak Daka, tengah bicara serius. Mereka terlibat ketegangan sisa kemarin yang belum usai.

     "Ini gimana dong, Pa. Bagaimana kalau Davira hamil? Mama tidak bisa menyembunyikan muka mama di depan orang-orang. Apa kata mereka, kalau tiba-tiba mereka melihat Davira perutnya membesar," ujar Bu Daisy sambil menghela napas kasar.

     "Tapi, mereka tidak mengakui telah melakukan perbuatan itu.

     "Papa percaya begitu saja. Papa tidak melihat, saat mereka mama pergoki, Kaffa seperti orang ling-ling. Dia itu seperti dalam pengaruh obat. Maka, tidak menutup kemungkinan sudah terjadi hal yang tidak-tidak diantara mereka, walaupun secara tidak sadar."

     "Lantas kita harus apa, Ma?" Pak Daka menatap sang istri. Siapa tahu Bu Daisy ada solusi.

     "Jalan satu-satunya adalah, menikahkan mereka. Mama tidak mau tetangga menggunjing setelah tahu Davira hamil. Dan itu sangat mencoreng nama baik kita, nama baik Kaffa juga," cetus Bu Daisy akhirnya.

    "Tapi, Ma. Apa dengan menikahkan mereka, masalah bisa selesai?"

     "Setidaknya kita tidak terlalu menanggung malu atas kehamilan Davira nanti. Daripada tidak dinikahkan," ujar Bu Daisy dengan muka yang memerah. Dia terpaksa mengambil keputusan itu, meskipun nanti bakal ditentang Kaffa.

***

     "Apa, Mama mau aku menikahi Davira? Yang benar saja, Ma. Aku tidak menyentuhnya. Kenapa harus menikahinya?" Kaffa menolak keputusan sang mama yang dianggap menyudutkannya.

     "Tidak ada cara lain, Kaffa. Daripada menanggung malu, lebih baik kalian diikat dengan pernikahan. Kaffa, kamu sudah dewasa. Kamu tahu betul bagaimana menjaga kehormatan keluarga. Kalau benar tidak terjadi apa-apa, maka pernikahan ini hanya akan jadi pelindung nama baik kita," tukas Bu Daisy.

     Pak Daka mengangguk pelan, meski sorot matanya masih dingin. “Papa setuju dengan Mama-mu. Daripada aib ini tercium keluar, lebih baik segera kita perbaiki dengan cara yang benar.”

     Kaffa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya jungkir balik. Di satu sisi, ia masih menyimpan cinta mendalam pada Marini, wanita yang terus ia perjuangkan meski selalu menolak. Di sisi lain, ia dipaksa menerima kenyataan pahit, menikahi Davira, adik angkat yang selama ini hanya ia anggap sebagai adik angkatnya semata.

     “Tidak, Pa … Ma … aku mohon. Jangan putuskan sekarang. Aku butuh waktu. Aku harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi semalam." Suara Kaffa bergetar, memberikan penolakan.

     Tapi Bu Daisy tak bergeming. “Waktu hanya akan memperbesar gosip. Kau pikir orang tidak akan tahu? Rumah ini bukan di tengah hutan. Tetangga bisa saja sudah mendengar suara ribut kita barusan.”

     Davira hanya menunduk pasrah. Di dalam hatinya, ada rasa getir sekaligus harap yang membingungkan. Ia tidak pernah menginginkan semua ini terjadi dengan cara seperti ini. Namun, di balik tangisnya, ada bisikan kecil yang berkata. Jika benar pernikahan itu terjadi, setidaknya aku bisa menyelamatkan Kak Kaffa dari Mbak Marini.

     Sementara itu, Kaffa merasa dunia runtuh menimpa kepalanya. Setelah penolakan Marini yang menghancurkan hatinya, kini dia justru terseret dalam masalah besar yang mengancam kehormatan dirinya sebagai seorang perwira, dan sebagai anak.

     Dia benar-benar merasa terjebak.

     Malamnya, Kaffa terduduk di kamarnya. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Di meja kerjanya, tergeletak bingkai foto dirinya bersama Marini saat Marini wisuda pendidikan dulu. Senyum Marini dalam foto itu terasa menyakitkan kini.

     “Aku mencintaimu, Marini … tapi kenapa jalan hidupku malah dipaksa ke arah lain?” lirihnya sambil menutup mata.

     "Lihat saja, jika sampai pernikahan ini terjadi, aku pastikan, aku tidak akan pernah menganggap Davira sebagai istri. Aku yakin ini semua rencananya. Davira ternyata licik, sudah diangkat anak, tapi justru ingin lebih," duga Kaffa negatif.

     "Bahkan, kalau ternyata dia hamil, aku tidak percaya kalau anak itu anakku. Pasti anak yang dikandungnya adalah anak pria lain di luaran sana," gumamnya lagi masih menuduh.

     Sementara itu, waktu semakin bergulir. Rencana pernikahan Kaffa dan Davira, beberapa hari lagi digelar.

     "Aku masih ada waktu untuk membatalkan rencana ini. Dengan cara berterus terang. Tapi, aku mencintai Kak Kaffa," lirihnya di dalam kamar yang kini bagaikan tempat satu-satunya berlindung dari murkanya mama dan papanya, termasuk murkanya Kaffa.

Apakah Davira akhirnya berterus terang atau menerima dinikahkan begitu saja dengan risiko?

Jangan lupa dukungannya, duhhh sepi.

Terpopuler

Comments

Ella

Ella

Jujur knpa lah devira ini, klo mau bantu menyelamatkan saudara angkatmu bukan dgn cara ky gni.. gemas sm si vira ini

2025-08-26

1

Happy Kids

Happy Kids

cetek kali mikirnya. kl dia mau jauhi marini yaa tinggal cari bukti prslingkujan mrini aja

2025-09-09

1

Dian Isnawati

Dian Isnawati

lanjut

2025-08-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!