NovelToon NovelToon

Menanti Cinta Sang Letnan

Bab 1 Penolakan Marini

     Letnan Arkaffa Belanegara, seorang perwira menengah berpangkat Letnan Satu, mengepalkan tangannya erat. Wajahnya kecewa dan muram, setelah mendapat penolakan dari sang kekasih Sersan Satu Marini, untuk diajaknya menikah.

     "Aku belum siap sekarang, Bang. Tolonglah mengerti. Aku masih mengejar karir aku, lagipula aku masih muda dan butuh mental yang kuat untuk membina suatu hubungan yang terikat." Sertu Marini memberi alasan.

     Arkaffa, atau lebih akrab dipanggil Kaffa, memalingkan muka kecewa. Bukan kali ini saja ia mendapat penolakan dari sang kekasih atas ajakannya menikah.

     "Karir apa lagi, sih, Sayang? Kamu sudah mapan berkarir. Sersan satu di pundak. Karir kamu nanti juga menanjak kalau sudah waktunya, naik pangkat atau jabatan," sela Kaffa memberi penegasan.

     "Aku tidak hanya sekedar menunggu begitu saja untuk naik pangkat. Tapi, aku ingin sekolah lagi ke jenjang perwira. Kamu nggak ingin gitu melihat aku memiliki pangkat seperti yang Abang sandang? Kalau sama-sama perwira, kan asik," ujarnya memperkuat alasan.

     Kaffa melebarkan bibir kecut, sungguh itu alasan yang konyol. Marini ingin mengejar jenjang karir ke jenjang perwira hanya karena alasan asik. Kaffa justru khawatir, setelah Marini sama seperti dirinya atau pangkat lebih darinya, maka akan ada kesenjangan sosial diantara mereka. Tidak jarang, apabila pangkat perempuannya lebih tinggi, maka hubungan percintaan ikut dikorbankan. Banyak yang seperti itu, dan Kaffa tidak mau itu terjadi.

     "Kamu jangan terlalu terobsesi, Dik. Setelah menikah, jika kamu memang pengen mengejar perwira, itu bisa. Sekarang, akan lebih baik kita pikirkan rencana awal kita yang pernah dirancang setahun yang lalu."

     "Aku berubah pikiran. Aku ingin mengejar karir aku dulu. Mumpung tahun ini sekolah Secapa sedang dibuka," tuturnya kembali mempertegas niatnya.

     Kaffa terdiam, dia meremas jambulnya kuat. Susah sekali meluluhkan gadis cantik berambut sebahu itu. Dia masih terobsesi dengan jenjang karir yang lebih tinggi. Sementara rencana menikah yang pernah dirancang berdua tahun lalu, terpaksa harus batal.

     "Baiklah, aku pulang, ya." Marini mengangkat tubuhnya dari sofa.

     "Beri aku kepastian, Sayang," pinta Kaffa masih berusaha sabar.

     Marini diam dan berpikir untuk beberapa saat, "Sekolah Secapa, naik pangkat, penempatan, setelah itu ...."

     "Pergilah. Jika itu yang kamu mau," potong Kaffa. Marini menoleh sesaat ke arah Kaffa, tidak ada kesedihan di wajahnya, lalu dia keluar dari ruang tamu rumah orang tua Kaffa.

     Deru motor terdengar, Marini berlalu, meninggalkan hati Kaffa yang kecewa. Kaffa menghela napasnya kasar, tangannya terkepal erat. Dia benar-benar kecewa dengan keputusan yang diambil Marini. Padahal rencana pernikahan itu, sempat mereka obrolkan bersama orang tua Marini. Namun, jawaban Marini, justru mengambang, setelah rencana itu berlalu setahun kemudian.

     Davira, segera menjauh dari balik tembok ruang tamu. Dia sudah mendengar semua pembicaraan sang kakak angkat dengan kekasihnya tadi. Bukan sekali, tetapi beberapa kali obrolan itu berhasil dia rekam dalam ingatannya.

     Davira memasuki kamarnya. Dia menduduki ranjang. Rasa iba menyelinap begitu saja di dalam dadanya.

     "Setampan dan mapan Kak Kaffa, masih saja ditolak Mbak Marini. Kak Kaffa sepertinya sangat mencintai Mbak Marini. Seandainya aku yang jadi Mbak Marini, pasti sudah aku terima pinangan Kak Kaffa," gumam gadis berhijab itu penuh harap.

     Akan tetapi, Davira segera menepis andaian itu, sebab dirinya bukanlah siapa-siapa. Davira hanyalah seorang anak angkat di keluarga ini.

     "Tapi, tidak salah bukan kalau aku mencinta Kak Kaffa?" batinnya bertanya.

     Perasaan itu muncul seiring berjalannya waktu. Sikap Kaffa yang dingin dan jarang bicara padanya, membuat Davira jatuh hati. Terlebih setelah suatu kejadian enam bulan lalu. Davira yang digendong Kaffa ketika kakinya terpeleset di depan teras rumah yang licin.

     Saat itu Kaffa memberikan pertolongan pertama pada Davira. Mengurut kaki Davira yang keseleo, sampai Davira bisa berjalan kembali dengan normal.

     "Sejak saat itu, aku mencintai kakak. Aku tidak tahu kenapa perasaan ini semakin hari semakin muncul dan besar saja. Bahkan aku tidak bisa melupakan wajah kakak dalam pikiran aku."

     Davira menuliskan perasaannya di sebuah buku diary. Semua tentang Kaffa, ditulisnya di sana.

     "Dengan cara apa lagi aku harus meluluhkan hati Marini? Dia tidak bisa seperti ini, membiarkan hatiku kecewa. Aku mencintaimu Marini. Kalau aku harus menunggu, maka akan kutunggu." Alih-alih kecewa, Kaffa justru akan tetap menunggu Marini.

***

     Sebulan berlalu, Kaffa masih menjalin kasih dengan Marini. Dia belum menyerah, sebab Kaffa memang sangat mencintai Marini. Mereka sudah dekat sejak pendidikan dulu. Ketika itu, Kaffa menjadi pembinanya. Cinta pun tumbuh diantara mereka sampai sekarang.

     "Aku tetap akan menunggu kamu, Sayang. Berapa lama, dua tahun? Sampai kamu penempatan? Aku akan segera melamar kamu setelah itu, dua tahun hanya sebentar. Lagipula tahun ini, aku juga dikirim Satgas ke Papua. Aku bisa menunggu," ujarnya sedikit merasa lega.

     Kaffa sedikit bernapas lega, setelah dirinya ternyata masuk ke dalam daftar personil yang dikirim Satgas ke Papua.

     Marini tidak menjawab, dia membiarkan Kaffa bicara dan meremas jemarinya.

     Pembicaraan itu sudah seminggu berlalu. Kaffa melangkahkan kaki, menuju rumah kedua orang tuanya.

     "Gimana Kaf, apa Marini berubah pikiran?" Bu Daisy sang mama menyambut kedatangan sang anak di muka pintu. Dia penasaran dengan kabar hubungan sang putra dengan kekasihnya.

     "Marini masih tetap ingin sekolah perwira, Ma. Tapi, Kaffa akan menunggunya."

     "Berapa lama, setahun, dua tahun? Mama rasa belum tentu hanya setahun dua tahun. Bisa lebih malah," tukas Bu Daisy.

     "Mama, jangan melemahkan harapan Kaffa. Harusnya Mama doakan biar Marini bisa luluh dan melupakan obsesinya."

     Bu Daisy tersenyum hambar. "Vira, tolong ambilkan minum buat kakakmu," suruh Bu Daisy ketika bayangan Davira melintas. Davira patuh, ia segera menuju dapur, menuangkan air bening dari dispenser untuk Kaffa.

***

     Sudah beberapa hari ini, Kaffa tinggal di rumah kedua orang tuanya. Padahal dia sudah memiliki rumah sendiri. Rumah impian yang rencananya akan dia tinggali bersama Marini.

     Kaffa menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua. Begitupun Davira, kamarnya sama berada di lantai atas.

     Davira segera memasuki kamarnya. Davira semakin nelangsa ketika dia mendengar Kaffa masih akan menunggu Marini. Marini yang sebenarnya justru tidak setia terhadap Kaffa.

     "Aku melihat dua kali, Mbak Marini jalan dengan seorang Perwira Polisi. Aku tidak tahu ada hubungan apa mereka. Tapi, kalau sekedar teman, kenapa mereka begitu mesra dan sempat saling suap-suapan di kafe dekat kampus?"

     "Kenapa Kak Kaffa harus mencintai Mbak Marini seperti itu? Tidak bolehkah aku berharap?" Lalu dengan cara apa aku bisa menyadarkan bahkan membuat Kak Kaffa berpaling dari Mbak Marini?" Davira kembali menuliskan apa yang dia pikirkan ke dalam buku diarynya.

    Hingga malam itu, sebuah cara licik merasuki pikiran Davira. Hanya untuk sebuah alasan, supaya Kaffa menjauhi Marini.

     Kaffa terbangun dengan tubuh terlilit selimut tipis. Di sampingnya, Davira dalam keadaan yang sama. Sialnya lagi, keadaan mereka dipergoki sang mama.

     "Apa yang kalian lakukan? Daviraaaa." Bu Daisy berpekik sambil menarik lengan Davira di samping Kaffa.

     Kira-kira apa yang terjadi antara Kaffa dan Davira?

Tes ombak ya. Mana nih like dan komennya. Kalau suka, Author akan rajin up date.

Kisah ini hanya hiburan, mohon maaf jika kisahnya kurang relate dengan kehidupan nyata. Karena ini kisah fiktif. Kesamaan nama atau tempat, mohon dimaklumi. 🙏🙏🙏

Bab 2 Murkanya Orang Tua Arkaffa

     Suara teriakan Bu Daisy mengguncang pagi itu. “Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan? Daviraaaa!”

     Tubuh Kaffa seketika tersentak bangun. Kepalanya berat, matanya berkunang-kunang. Dia mendapati dirinya terbaring di ranjang Davira, tubuhnya masih dibalut selimut tipis. Jantungnya langsung berdegup kencang, sementara pikiran bercabang ke segala arah.

     "K–kenapa aku bisa di sini?” gumamnya dengan suara parau.

     Tangannya refleks menyingkap selimut, memastikan pakaiannya masih lengkap. Ya, seragam tidurnya masih terpasang rapi, hanya kusut karena semalaman berguling. Namun, itu tidak serta merta meredakan keterkejutannya. Karena tepat di sebelahnya, Davira juga terbangun dengan wajah pucat pasi, mata melebar seperti hendak menelan seluruh dunia.

     “M-ma .…" Suara Davira bergetar, mencoba menjelaskan, tapi lidahnya kelu.

     Bu Daisy berdiri di ambang pintu dengan wajah murka. Sorot matanya tajam, menusuk bagai belati. Tangannya mencengkeram erat lengan Davira dan menariknya kasar. “Kamu sudah keterlaluan, Vira! Bagaimana bisa kamu tidur seranjang dengan Kakakmu sendiri?”

     "Mama, bukan begitu …." Davira mencoba berkilah, air matanya langsung pecah. “Aku-aku bisa jelaskan .…”

     “Tidak perlu ada penjelasan lagi!” bentak sang Mama. “Papa ...!" teriaknya memanggil suaminya dari lantai bawah.

     Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki berat menghentak menaiki tangga. Papa Daka muncul dengan wajah tegas dan penuh amarah. Lelaki paruh baya itu mengenakan kaos loreng tangan pendek bertuliskan sniper. “Ada apa ribut-ribut pagi buta?” tanyanya dengan nada keras.

     “Mereka, Pah.” Bu Daisy menunjuk ke arah ranjang. “Aku mendapati Kaffa dan Davira tidur satu ranjang!”

     Pak Daka terperanjat. Sorot matanya beralih ke Kaffa, penuh kekecewaan. “Kaffa! Apa maksudmu ini? Kau mempermalukan keluarga kita?"

     “Tidak, Pa! Aku … aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini,” jawab Kaffa terbata-bata. Dia bangkit, berdiri di sisi ranjang dengan wajah pucat. “Demi Allah, Pa, Ma. Aku tidak ingat apa pun. Aku tidur di kamarku semalam. Ketika bangun, tiba-tiba sudah di sini.”

     Pak Daka menggeleng keras. “Jangan buat alasan yang tidak masuk akal! Kamu sudah dewasa, kamu juga seorang Letnan. Bagaimana bisa kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan?” Ucapan Pak Daka tegas. Sebagai seorang purnawirawan TNI, Pak Daka tentu saja memiliki pembawaan tegas.

     “Mama, Papa, aku… aku juga tidak tahu. Aku tidak bermaksud seperti ini,” suara Kaffa melemah. Hatinya panas, kepalanya dipenuhi kebingungan.

     Sementara itu, Davira terisak, memegangi lengannya yang masih dicengkeram sang Mama. Dalam hati, rasa bersalah dan ketakutan bercampur jadi satu. Rencana kecil yang semula hanya ingin membuat Kaffa menjauhi Marini kini justru menjadi bumerang besar.

     “Mama … aku bersumpah tidak terjadi apa-apa,” mohon Davira.

     Namun, Bu Daisy justru semakin emosi. “Lalu siapa yang harus aku salahkan? Kamu, Vira? Anak angkat yang sudah mama besarkan, tapi berani mencoreng nama baik keluarga ini?”

     Kalimat itu menghantam dada Davira lebih sakit daripada tamparan. Anak angkat. Ya, status itu yang selama ini selalu ia simpan dalam-dalam. Kini dilontarkan tepat di saat ia merasa rapuh.

     “Mama … jangan bicara seperti itu,” lirihnya sambil menangis tersedu.

     Pak Daka menghela napas panjang, lalu menatap keduanya bergantian. “Kalian sadar tidak, apa yang orang luar akan pikirkan jika tahu soal ini? Apa kata keluarga besar kita? Apa kata orang-orang satuanmu, Kaf?”

     Kaffa menunduk dalam. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga rasa terhina yang tiba-tiba merayap. Sebagai seorang perwira, harga dirinya runtuh begitu saja di hadapan kedua orang tuanya.

     “Papa, percayalah. Aku tidak melakukan apa-apa pada Davira. Aku tidak mungkin .…” suaranya tercekat.

     Namun Pak Daka mengibaskan tangan, memotong pembelaannya. “Cukup! Entah apa yang kalian lakukan semalam, yang jelas ini sudah melewati batas. Mau tidak mau, harus ada jalan keluar.”

     Keheningan menyelimuti ruang tamu sore itu. Bu Daisy duduk dengan wajah muram, matanya sembab karena lelah menangis sejak pagi. Sementara Pak Daka berdiri di dekat jendela, tangannya bersedekap, sorot matanya gelap penuh amarah dan kekecewaan.

     Kaffa duduk di kursi, tubuhnya tegak tapi wajahnya tertunduk. “Pa, Ma, sekali lagi aku tegaskan. Aku tidak melakukan apa-apa pada Davira. Aku tidak pernah berniat … menyentuhnya.” Suaranya bergetar menahan emosi.

     Namun, Bu Daisy menatapnya dengan mata tajam. “Kalau benar begitu, kenapa Mama menemukan kalian seranjang? Jangan kira Mama bisa percaya dengan alasan ‘aku tidak ingat apa-apa.’ Kaffa, kamu anak tentara, bukan anak kecil lagi. Kamu harus bisa menjaga diri!”

     “Mama!” suara Kaffa meninggi. “Aku juga korban dalam kejadian ini. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di kamar Vira. Aku tidur di kamarku sendiri semalam! Demi Allah, aku tidak bohong!”

     Davira hanya bisa menunduk, air matanya menetes tanpa henti. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi lidahnya kelu. Jika ia mengaku bahwa semua itu rekayasa ulahnya, maka habislah dirinya. Ia bisa diusir dari rumah, bahkan kehilangan satu-satunya kesempatan dekat dengan Kaffa.

     “Vira …” Suara Pak Daka terdengar berat, dalam. “Jujurlah. Apa benar tidak terjadi apa-apa semalam?”

     Davira mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca. "Papa, demi Allah ... Vira tidak tahu apa yang terjadi. Tapi percayalah, Vira tidak berniat merusak keluarga ini," bantah Davira, membuat Kaffa muak mendengarnya.

     "Mama tanya sekali lagi sama kamu Vira, apa yang kamu masukkan ke dalam air minum yang kamu berikan pada kakakmu tadi malam sebelum dia pergi tidur?" Mata Bu Daisy nyalang, penuh gertakan. Dia mencurigai kalau Davira memasukkan sesuatu ke dalam minuman Kaffa. Karena sebelumnya, menurut pengakuan Kaffa, bahwa Davira memberinya minum malam itu.

     Davira menggeleng, dia tetap menyangkal, meskipun dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dia dalang di balik kekacauan ini.

     "Akhhhhh. Mama muak dengan semua ini. Kamu, Vira. Sudah kami angkat anak, kami sayang sepenuh hati. Tapi, apa balasanmu? Kamu justru menghancurkan kepercayaan kamu, kehormatan kami. Dasar kurang ajar, tidak tahu diri," murka Bu Daisy mengacak meja.

     Pak Daka dan Kaffa berusaha menenangkan Bu Daisy yang kalap. Bagaimana tidak? Bu Daisy yang merasa keluarganya aman tentram, tiba-tiba dikacaukan dengan kejadian tidak pantas seperti ini. Dia tidak menyangka kalau Davira sehina itu.

     "Apa gunanya kepalamu kau tutupi hijab Davira, kalau faktanya kamu berbuat seperti itu? Kenapa kamu lakukan itu pada keluargamu sendiri?" tunjuk Bu Daisy geram sambil menangis.

     "Ma, tenang dulu. Ini semua tidak semata-mata salah Davira. Kita jangan menyudutkan salah satu pihak. Papa rasa kesalahan ini tidak hanya dilakukan Davira. Tapi, Kaffa juga patut dipersalahkan," bujuk Pak Daka mencoba bijaksana menyikapi hal yang baru terjadi di dalam keluarganya.

     Kaffa mendengus mendengar ucapan sang papa yang dinilainya masih menduga, bahwa dirinya melakukan hal itu atas dasar keinginannya.

Bab 3 Dugaan Negatif Tentang Davira

     Di keheningan sore, Kaffa sengaja menemui Davira di kamarnya. Dia menerobos masuk ke dalam kamar, begitu pintu kamar dibuka Davira.

     Davira terkejut dia sangat kaget. Sosok yang dia cinta datang dengan sorot marah dan dingin. Wajahnya tegas diperjelas dengan rahang yang mengeras.

     Kaffa menarik lengan Davira keluar kamar, kemudian ia membawa Davira ke taman di atas roof top.

     "Katakan, apa yang kamu mau Vira? Selama ini aku sudah menganggapmu sebagai adikku, tapi kamu tega berbuat seperti ini. Apa sebenarnya maumu? Katakan!" desak Kaffa dengan mata melotot.

     Davira tertegun menunduk, dadanya berdebar. Meskipun ia mencintai sosok kakak angkatnya ini, akan tetapi ketika Kaffa marah, Davira gentar juga.

     "Ck. Aku tidak tahu kamu sudah pernah melakukan hal ini berapa kali pada pria-pria di luaran sana. Luarnya saja kamu bungkus rapi, dan kesannya baik, tapi dalamnya bobrok dan rusak," dengusnya pahit, sepahit empedu.

     Dada Davira sakit teriris, saat ini juga ia ingin mengatakan kalau sesungguhnya ia tidak pernah melakukan hal sekotor itu. Tapi, demi cinta dan demi menyelamatkan Kaffa dari kebohongan Marini, Davira rela bungkam. Dia lebih memilih disudutkan dan dianggap tidak baik.

     "Kenapa kamu diammmm, Daviraaa. Bicaralah!" pekik Kaffa keras, tangannya terangkat. Di lapangan, separah apapun adik leting melakukan kesalahan, Kaffa belum pernah melayangkan tangannya untuk menampar, tapi kali ini, di hadapan wajah Davira, ia berani mengangkat telapak tangannya.

     Air mata Davira menetes banyak, membasahi pipinya yang lembut. Wajah yang ayu menarik itu basah dengan derai air mata. Tapi, Davira tetap bungkam. Dia membiarkan dirinya dihujat dan ditunjuk.

     "Aku pantas mendapatkannya, Kak." Davira membatin.

     Kaffa kesal karena Davira tetap bungkam, ia mengalihkan telapak tangannya , meraih dagu Davira dan mencengkramnya.

     "Air mata palsu. Dengar, ya. Apapun yang telah terjadi malam itu antara kita, aku tidak akan pernah mengakui kalau aku sudah melakukan itu kepadamu. Dan ingat. Semua yang kamu lakukan padaku, tidak akan mengubah apapun diantara kita. Kita tetap seperti ini, aku kakak angkatmu dan kamu hanyalah adik angkat yang tidak tahu diri," tegasnya di hadapan wajah Davira, lalu menghempas dagu Davira dengan kasar.

     Kaffa meninggalkan Davira yang menangis. Dia tidak peduli Davira sangat terluka oleh ucapannya.

     "Maafkan aku, kak. Aku terpaksa melakukan itu semua. Semua demi kebaikan kakak, agar kakak menjauhi Mbak Marini," bisik Davira sembari mengusap air matanya

     "Aku hanya melakukan itu demi kebaikan kak Kaffa. Agar Kak Kaffa menjauhi Mbak Marini, dengan alasan sudah menodai aku. Maafkan aku Kak Kaffa. Ma, Pa. Aku terpaksa melakukan ini." Davira kembali menulis di buku diarynya, sebagai curahan hatinya hari ini.

     Di ruang tamu, Bu Daisy dan Pak Daka, tengah bicara serius. Mereka terlibat ketegangan sisa kemarin yang belum usai.

     "Ini gimana dong, Pa. Bagaimana kalau Davira hamil? Mama tidak bisa menyembunyikan muka mama di depan orang-orang. Apa kata mereka, kalau tiba-tiba mereka melihat Davira perutnya membesar," ujar Bu Daisy sambil menghela napas kasar.

     "Tapi, mereka tidak mengakui telah melakukan perbuatan itu.

     "Papa percaya begitu saja. Papa tidak melihat, saat mereka mama pergoki, Kaffa seperti orang ling-ling. Dia itu seperti dalam pengaruh obat. Maka, tidak menutup kemungkinan sudah terjadi hal yang tidak-tidak diantara mereka, walaupun secara tidak sadar."

     "Lantas kita harus apa, Ma?" Pak Daka menatap sang istri. Siapa tahu Bu Daisy ada solusi.

     "Jalan satu-satunya adalah, menikahkan mereka. Mama tidak mau tetangga menggunjing setelah tahu Davira hamil. Dan itu sangat mencoreng nama baik kita, nama baik Kaffa juga," cetus Bu Daisy akhirnya.

    "Tapi, Ma. Apa dengan menikahkan mereka, masalah bisa selesai?"

     "Setidaknya kita tidak terlalu menanggung malu atas kehamilan Davira nanti. Daripada tidak dinikahkan," ujar Bu Daisy dengan muka yang memerah. Dia terpaksa mengambil keputusan itu, meskipun nanti bakal ditentang Kaffa.

***

     "Apa, Mama mau aku menikahi Davira? Yang benar saja, Ma. Aku tidak menyentuhnya. Kenapa harus menikahinya?" Kaffa menolak keputusan sang mama yang dianggap menyudutkannya.

     "Tidak ada cara lain, Kaffa. Daripada menanggung malu, lebih baik kalian diikat dengan pernikahan. Kaffa, kamu sudah dewasa. Kamu tahu betul bagaimana menjaga kehormatan keluarga. Kalau benar tidak terjadi apa-apa, maka pernikahan ini hanya akan jadi pelindung nama baik kita," tukas Bu Daisy.

     Pak Daka mengangguk pelan, meski sorot matanya masih dingin. “Papa setuju dengan Mama-mu. Daripada aib ini tercium keluar, lebih baik segera kita perbaiki dengan cara yang benar.”

     Kaffa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya jungkir balik. Di satu sisi, ia masih menyimpan cinta mendalam pada Marini, wanita yang terus ia perjuangkan meski selalu menolak. Di sisi lain, ia dipaksa menerima kenyataan pahit, menikahi Davira, adik angkat yang selama ini hanya ia anggap sebagai adik angkatnya semata.

     “Tidak, Pa … Ma … aku mohon. Jangan putuskan sekarang. Aku butuh waktu. Aku harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi semalam." Suara Kaffa bergetar, memberikan penolakan.

     Tapi Bu Daisy tak bergeming. “Waktu hanya akan memperbesar gosip. Kau pikir orang tidak akan tahu? Rumah ini bukan di tengah hutan. Tetangga bisa saja sudah mendengar suara ribut kita barusan.”

     Davira hanya menunduk pasrah. Di dalam hatinya, ada rasa getir sekaligus harap yang membingungkan. Ia tidak pernah menginginkan semua ini terjadi dengan cara seperti ini. Namun, di balik tangisnya, ada bisikan kecil yang berkata. Jika benar pernikahan itu terjadi, setidaknya aku bisa menyelamatkan Kak Kaffa dari Mbak Marini.

     Sementara itu, Kaffa merasa dunia runtuh menimpa kepalanya. Setelah penolakan Marini yang menghancurkan hatinya, kini dia justru terseret dalam masalah besar yang mengancam kehormatan dirinya sebagai seorang perwira, dan sebagai anak.

     Dia benar-benar merasa terjebak.

     Malamnya, Kaffa terduduk di kamarnya. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Di meja kerjanya, tergeletak bingkai foto dirinya bersama Marini saat Marini wisuda pendidikan dulu. Senyum Marini dalam foto itu terasa menyakitkan kini.

     “Aku mencintaimu, Marini … tapi kenapa jalan hidupku malah dipaksa ke arah lain?” lirihnya sambil menutup mata.

     "Lihat saja, jika sampai pernikahan ini terjadi, aku pastikan, aku tidak akan pernah menganggap Davira sebagai istri. Aku yakin ini semua rencananya. Davira ternyata licik, sudah diangkat anak, tapi justru ingin lebih," duga Kaffa negatif.

     "Bahkan, kalau ternyata dia hamil, aku tidak percaya kalau anak itu anakku. Pasti anak yang dikandungnya adalah anak pria lain di luaran sana," gumamnya lagi masih menuduh.

     Sementara itu, waktu semakin bergulir. Rencana pernikahan Kaffa dan Davira, beberapa hari lagi digelar.

     "Aku masih ada waktu untuk membatalkan rencana ini. Dengan cara berterus terang. Tapi, aku mencintai Kak Kaffa," lirihnya di dalam kamar yang kini bagaikan tempat satu-satunya berlindung dari murkanya mama dan papanya, termasuk murkanya Kaffa.

Apakah Davira akhirnya berterus terang atau menerima dinikahkan begitu saja dengan risiko?

Jangan lupa dukungannya, duhhh sepi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!