Bab 5 Fakta Menyedihkan Davira

     "Semoga kamu selamat Kak. Lancar dalam tugas dan kembali ke rumah tanpa kurang satu apapun." Di dalam hati Davira berkata dengan sedih.

     Sebenarnya ada yang lebih sedih bagi Davira ketika Kaffa memeluk Marini sebelum beranjak pergi.

     "Aku ini istrimu, Kak. Walau hanya siri, dan kamu tidak ingin mengakuiku … aku tetap istrimu. Tapi kenapa pelukan itu bukan untukku?” Hatinya kembali berbisik lirih, begitu sakit hingga tubuhnya bergetar.

     Komandan segera memberi aba-aba. Prajurit naik ke atas truk satu per satu. Suara mesin meraung, debu jalanan ikut terangkat berterbangan dan lambaian tangan keluarga memenuhi udara.

     Kaffa sempat menoleh sekali. Sekilas matanya menangkap Davira yang berdiri di kejauhan. Gadis itu mencoba tersenyum, meski jelas terlihat air matanya jatuh.

     Truk bergerak meninggalkan markas, meninggalkan keluarga, meninggalkan istri yang diam-diam mencintainya.

     Davira menangis dalam diam. Dia tidak kuasa menangis dengan lepas, sebab di sampingnya ada Bu Daisy yang berdiri melambai ke arah Kaffa. Davira tahu, ibu angkat atau kini ibu mertuanya kini, bersikap yang sama seperti Kaffa. Dingin dan memusuhinya.

     Kaffa pergi dengan hati yang terpaut pada Marini, membawa luka dan amarah yang belum selesai kepada Davira. Sementara Davira tinggal dengan kesepian, memeluk janji dalam hatinya.

     "Aku akan tetap menunggumu, Kak Kaffa. Meski kamu membenciku, meski kamu tidak pernah mengakuiku. Aku akan tetap menunggumu, karena aku istrimu." Davira berjanji. Kemudian janji itu ia tuangkan ulang ke dalam buku diarynya.

     Setelah truk-truk pengangkut para prajurit itu meninggalkan batalyon, keluarga, orang tua dan istri dari prajurit yang berangkat satgas, kembali pulang dan meninggalkan batalyon.

     Davira mengikuti Bu Daisya dan Pak Daka dari belakang. Dia kembali pulang ke rumah orang tua angkatnya atau mertuanya kini. Pastinya dengan situasi yang berbeda dari sebelumnya.

***

     Langit Papua sore itu berwarna merah tembaga, disapu kabut tipis dan suara serangga hutan. Kaffa duduk bersandar pada ranselnya, tubuhnya lelah setelah patroli panjang. Senapan masih ia letakkan di pangkuannya, keringat membasahi leher, namun pikirannya jauh terbang dari hutan belantara ini.

     Ia menyalakan ponsel, berharap ada sebaris sinyal muncul di pojok layar. Namun, hanya garis kosong.

     "Ah, sial,” gumamnya, memukul pelan ponselnya, kesal dengan sinyal yang tidak muncul.

     Beberapa menit menunggu, barulah satu garis sinyal menyala. Jarinya segera bergerak, ia mengetik pesan untuk Marini.

     "Sayang, aku kangen. Hari ini patroli berat sekali. Kamu baik-baik saja kan di sana?"

     Pesan terkirim, tapi tanda centang abu dua belum muncul. Kaffa menunggu, menatap layar ponsel dengan sabar campur resah.

     Malam tiba, sinyal hilang lagi. Ia mencoba menelepon, tapi suara operator menyalak dingin. "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, atau berada di luar jangkauan."

     Kaffa mendesah berat. Dalam gelap, hanya lampu kecil di tenda prajurit yang menemani. Hatinya meronta, tapi ia tidak tahu apakah Marini sedang sibuk, ataukah ia memang sedang bersama yang lain dan mulai menata diri menjauh darinya?

     Di luar tenda, suara jangkrik bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa ia sedang terperangkap ribuan kilometer dari rumah. Rumah, yang kini tengah menunggu seorang gadis muda yang baru saja menjadi istri, tapi tidak diakui istri.

     Jauh dari hutan belantara Papua, di rumah kecil di pinggir kota Lembang. Davira duduk sendiri di teras. Malam terasa panjang. Sejak Kaffa berangkat, rumah terasa lebih sunyi, meski sebenarnya sejak awal pun Kaffa tidak pernah benar-benar menyapanya dengan lembut.

     Davira memeluk lutut, menatap bulan yang separuh. Matanya sembab, pikirannya melayang ke saat terakhir ia melihat suaminya di truk pasukan. Hanya sekilas tatapan, lalu hilang ditelan debu jalanan.

     Bu Daisy menghampiri Davira. Davira tersentak, lalu duduk kembali dengan benar.

     "Vira, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu sengaja ingin mengundang tetangga mencurigai apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Bu Daisy berkata dengan sedikit menyalak tidak seperti sebelumnya.

     "Vi~Vira, hanya mencari angin, Ma," alasannya.

     "Mencari angin? Di balkon kamar juga bisa, kenapa di sini?" Mata Bu Daisy berkilat melotot seakan memberi kode supaya Davira segera angkat kaki dari teras rumah.

     Davira mengerti, ia berdiri lalu berjalan ke dalam. Davira menaiki tangga, mengarahkan kaki menuju kamarnya, diantar tatap sang mama mertua yang menahan amarah di dalam dadanya sejak seminggu ini.

     Hari berganti, Davira kini mulai membiasakan diri melakukan dua kegiatan sekaligus. Pagi setelah sholat subuh, dia segera turun ke dapur membantu Bi Dioh bekerja. Bi Dioh melarang Davira dengan perasaan tidak enak.

     "Jangan Neng. Tidak perlu lakukan itu. Ini semua tugas bibi. Sudah, Neng Vira duduk saja di kursi makan, bibi akan buatkan teh jahe hangat untuk Neng Vira." Bi Dioh segera beranjak menuju rak, meraih gelas untuk Davira.

     Tidak kalah akal, Davira yang dicegah Bi Dioh untuk membantunya bekerja, ia bergegas menuju ruang tengah dan ruang tamu. Membuka gorden, lalu menyapu lantai yang kotor dengan sedikit debu dan sampah kecil.

     Pekerjaan itu selesai sampai tiba jam enam pagi. Bi Dioh, tercengang melihat ruang tamu dan ruang tengah sudah terbuka gordennya, serta seluruh ruangan yang sudah wangi karbol cemara yang biasa dia gunakan untuk ngepel.

     "Neng Vira melakukan semua ini?" cengangnya merasa tidak enak.

     "Ya, Bi. Tidak apa-apa, Bi Dioh santai saja."

     "Tapi, Neng. Gimana kalau ibu marah pada bibi karena membiarkan sebagian pekerjaan rumah ini malah diselesaikan Neng Vira?" Bi Dioh was-was.

     "Tidak akan, Bi. Biar ini jadi tanggung jawab saya. Saya akan bilang sama mama, bahwa semua ini kemauan saya," tekan Davira membuat Bi Dioh setengah lega campur was-was.

     "Bi Dioh, biarkan saja apapun yang mau dilakukanya." Suara Bu Daisy tiba-tiba menggema. Dia baru saja menuruni tangga diikuti Pak Daka yang masih bercelanakan sarung.

     Davira menunduk, tidak ada yang perlu dia katakan apa-apa. Kemudian Davira berjalan mengikuti Bu Daisy dan Pak Daka menuju meja makan.

     Di sini, Davira akan beraksi, menjalankan perannya sebagai menantu yang melayani kedua mertuanya, meskipun hal inipun tidak akan membuat Davira langsung diterima oleh mereka berdua. Davira memang sedang cari perhatian kedua mertuanya, agar memaafkan semua yang terjadi selama seminggu ini.

     Davira meraih piring, bermaksud menuangkan nasi goreng ke dalam piring Bu Daisy.

     "Tidak perlu, aku masih bisa lakukan ini untukku dan suamiku," cegahnya menggema ke dalam gendang telinganya.

     Davira meletakkan kembali piring itu, dan membiarkan Bu Daisy menuangkan sarapan paginya ke dalam piringnya.

     Davira segera menjauh, tidak ada halauan atau ajakan sarapan pagi seperti yang biasa dilakukan kedua orang tua angkatnya itu sebelum kejadian malam itu ketahuan.

     Sikap dingin kedua orang tua Davira masih berlanjut. Untungnya masih sekedar sikap dingin dan datar, tidak samapi kekerasan atau kontak fisik sehingga melukai Davira.

     "Hahhhh. Maafkan mama Davira, mama tidak bermaksud menyakiti hatimu seperti ini. Tapi, perlakuanmu pagi itu bersama Kaffa, membuat mama dan papa hilang respek dan kasih sayang padamu. Mama hanya kecewa dengan apa yang sudah kamu perbuat pada Kaffa dan keluarga ini."

     Bu Daisy menghela napas dalam, dan membatin.

     "Vira, sebelum kamu pergi kuliah, kamu ke pasar. Belikan apa yang ada di dalam catatan ini." Bu Daisy tiba-tiba menyuruh Davira ke pasar, padahal biasanya Bi Dioh yang ke pasar.

     Davira tidak membantah, dia meraih kertas catatan beserta lembaran uang merah dari sang mama mertua.

     Davira bergegas pergi dan membeli segala kebutuhan yang sudah dituliskan Bu Daisy di secarik kertas.

     Bu Daisy menatap kepergian Davira keluar rumah, sambil menahan sesak di dada. Sesungguhnya ia tidak sanggup membenci Davira. Anak yang dia pungut dari seorang janda muda miskin yang saat itu meninggal dunia sehari setelah Davira dilahirkan.

Flash back

     Seorang suster dari rumah sakit saat itu kalang kabut karena ibu dari seorang bayi menghembuskan nafas sehari setelah melahirkan Davira. Bu Daisy dan Pak Daka saat itu kebetulan sedang berada di rumah sakit yang sama, anak kedua atau adik dari Kaffa sakit demam.

     Bu Daisy dan Pak Daka datang bak malaikat penolong. Mereka lalu bersedia membayar biaya rumah sakit dan mengurus kematian orang tua Davira yang teryata seorang janda muda yang sudah ditinggal wafat oleh suaminya karena sakit kanker.

     Tanpa adanya proses adopsi, sebab Davira saat itu juga sudah memiliki pengantar pembuatan akte lahir, Bu Daisy dan Pak Daka langsung menyanggupi membawa bayi itu dan akan mengurus segala keperluannya, dengan mengakui sebagai kerabat dari ibu bayi tersebut.

Flash back end

     "Aku hanya membenci kelakuanmu Davira, tapi tidak jiwamu. Aku malah sangat kasihan padamu. Sejak bayi kamu tidak mendapat kasih sayang orang tua kandungmu."

Terpopuler

Comments

dewi_nie

dewi_nie

selamat berjuang davira...

2025-08-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!