Sesaat setelah tiba di rumah, Lania membuka album, menatap satu foto. Sagara memeluk dari belakang di tepi pantai, di hari ulang tahun pernikahan mereka. Senyumnya—bahagia sekali.
“Dia lupa momen ini,” kata Lania pelan. “Tapi aku belum. Dan aku akan buat kamu ingat, Sagara. Bukan karena aku tak rela kehilanganmu. Tapi karena aku ingin kamu memutuskan sendiri, bukan diarahkan oleh bisikan-bisikan manis dari seseorang yang ‘selalu ada dan memiliki kecenderungan ikut campur’.”
Lania menangis tersedu-sedu. Perlahan tangis mereda, dia menutup album dan berdiri.
“Adisty seharusnya tahu cara menempatkan diri. Supaya tidak salah tempat berdiri,” monolog Lania di depan kaca meja rias.
Ketika Lania meletakkan hasil USG di kantor tadi, Lania melihat perubahan wajah Adisty—mata wanita itu tak setenang sebelumnya.
“Aku tak akan menyerah begitu saja,” ucap Lania tegas.
Ruangan itu sunyi. Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya lembut sore masuk membias ke meja kayu cokelat tua. Aroma susu cokelat mengendap di udara.
Pintu kamar diketuk dari luar, Lania menoleh, ketika mendengar pintu terbuka, dia tahu siapa yang masuk. Sagara berdiri di sana, memandang dengan sejuta tanya.
“Lania,” sapa Sagara.
Langkahnya pelan. Tidak terburu-buru. Tidak ragu.
“Kamu tidak sibuk?” tanya Lania, masih berdiri di dekat meja rias.
Sagara tak langsung menjawab. Dia duduk perlahan ke atas kasur, matanya menatap wajah Lania dengan ekspresi rumit—campuran kenal, asing, dan tertahan.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Aku masih bimbang.”
Dengan tenang, Lania duduk di sofa berbentuk persegi. “Aku tahu kamu belum mengingat semuanya. Tapi aku juga tahu... kamu tidak sepenuhnya lupa.”
Tarikan napas Sagara begitu dalam. Dia mengambil album kecil yang ada di atas kasur. Jemari besarnya membalik lembaran tebal satu per satu.
“Aku lihat foto-foto ini,” ujarnya. “Ada yang terasa akrab... tapi buram. Seperti mimpi yang setengah teringat.”
Dalam keheningan panjang, Sagara meneliti tiap foto. Dia sudah sampai di lembar terakhir. “Sialnya, yang paling aku ingat jelas... kamu bilang ingin pisah.”
Kali ini, Lania menimbang keputusan untuk mendekat. Dia tetap pada posisi, duduk di kursi seberang Sagara. “Itu benar. Tapi kamu lupa alasan aku minta pisah.”
Kepala terangkat perlahan, Sagara menatapnya. “Karena aku terlalu sibuk?”
“Bukan hanya itu.” Lania menatapnya lekat. “Karena aku merasa kamu bosan sama aku. Karena kamu lebih percaya orang lain dibanding aku. Karena Adisty... mulai mengambil ruang yang bukan miliknya.”
Jemari menggenggam sisi album, Sagara menunduk. Suasana mendadak tegang.
“Dia bilang... kamu kecewa karena terlalu cemburu.”
Dada seperti tertusuk sembilu, Lania tersenyum pahit. “Tentu. Karena aku tidak ingin wanita lain mengambil alih hidupmu yang seharusnya hanya untukku. Kamu pikir itu cemburu? Mungkin. Tapi itu juga cinta. Dan kamu dulu tahu bedanya.”
Hening beberapa detik.
Kening mengernyit singkat, sebelum Sagara menutup rapat kelopak mata. “Lucu ya... ingatan bisa hilang, tapi rasa tetap tinggal.”
Lania menunduk, menahan napas.
Sagara menatapnya lagi. “Aku tidak tahu siapa yang harus aku percaya sekarang. Tapi satu hal... saat kamu duduk di sini, aku merasakan sebuah rumah.”
Lania tersenyum tipis, matanya kembali berkaca-kaca.
“Kalau kamu mau waktu, aku akan tunggu. Aku tidak akan biarkan kamu membangun keyakinan dari potongan ingatan yang salah,” ucap Lania pelan. “Aku akan bantu kamu... mengingat semuanya. Dan setelah itu, kalau kamu tetap ingin pergi, aku akan terima.”
Mata tajam Sagara mulai terbuka. Dia menatap perempuan di depannya. Masih ada kabut di kepala, tetapi sesuatu mulai tampak jelas.
“Sagara, kamu ingin—”
“Aku butuh penjelasan.” Suaranya dalam, tegas. Dia tidak marah, meski ada tekanan di sana.
Lania diam. Pandangan langsung tertuju pada dua foto di tangan Sagara. Ia tahu akhirnya saat itu tiba.
Sagara menatap hasil USG itu lama sebelum meletakkannya di atas meja. Kemudian, beralih pada foto satunya. Lania dan Pandu.
“Itu... anak kita atau...?” tanya Sagara pelan.
Saliva di tenggorokan sulit di telan, Lania menghindari tatapan Sagara. Takut kecewa. Matanya berpaling dari iris hitam pekat yang dulu selalu Lania rindukan. Tatapan memuja suaminya.
“Apa perlu aku jawab?” dengkus Lania, “Anak kita— setidaknya... kalau kamu mengingat sedalam apa hubungan kita.”
Lania menahan napas, mencoba bicara dengan suara yang lebih tenang. “Aku hamil... Aku tidak langsung bilang karena kita sedang terlibat pertengkaran. Dan saat akhirnya aku siap bilang... kamu bahkan hanya mengingat Adisty dan urusan kantor.”
Ada ketegangan dalam sorot matanya, Sagara terdiam—antara bingung, marah, dan terluka.
“Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?” tanya Sagara. “Berhenti bertele-tele, kamu tinggal jawab... bahwa bayi yang ada di perut anak kita.”
“Aku ingin bilang begitu,” bisik Lania. “Tapi aku ingin kamu benar-benar hadir waktu aku bicara. Bukan hanya duduk di ruangan yang sama sambil sibuk membuka laptop dan menyuruh Adisty mencatat.”
Napasnya tak stabil, Sagara memalingkan wajah.
Butuh beberapa detik sebelum Lania menjawab. Suara tangisnya pecah saat berkata, “Kalau kamu belum mengingat segalanya, aku bisa membesarkan anak ini sendiri.”
Keheningan turun seperti badai tanpa suara.
“Aku datang ke rumah sakit sendirian. Tidak ada kamu. Tidak ada siapa-siapa. Dan saat aku keluar... kamu bahkan tidak sadar aku pergi semalaman. Pergi ke rumah Mama Yuris.” Satu kebenaran Lania ungkapkan, dia mengadu kepada ibu mertua. Yah, walaupun tidak persis seperti itu, hanya butuh pengalihan.
Meski memorinya tidak lengkap, kata-kata Lania menampar sisi emosi terdalam, Sagara menutup matanya. Dia bingung harus percaya kepada siapa, Lania atau Adisty.
“Aku tidak menuntut mu,” pungkas Lania. “Tapi... aku benar-benar merasa tidak dipilih lagi. Tidak diprioritaskan. Aku bukan istrimu—aku hanya seseorang yang kamu ingat untuk diantar ke acara keluarga.”
Napas Lania tersendat sembari melanjutkan, “... bahkan kini bertambah... secara tidak langsung kamu menuduhku berselingkuh!”
Sagara berdiri pelan, berjalan mendekati Lania. Hujan mulai turun dan air membentur kaca jendela dengan keras.
“Adisty tidak pernah bilang apa pun tentang ini. Dia selalu memberi saran masuk akal ketika kita mulai renggang. Dia tidak pernah menunjukkan rasa tertarik terhadapku. Foto ini diambil dari lama, tetapi Adisty tidak pernah menunjukkan kepadaku.”
Tawa getir terdengar, Lania mengukir senyum pahit. “Tentu tidak. Karena jika kamu tahu tujuan nya... kamu akan menghindar. Dan dia tidak akan biarkan itu terjadi.”
Kediaman Sagara kali ini berbumbu ragu serta gelisah. Logikanya tidak menemukan keganjalan dalam perilaku Adisty selama ini. Akan tetapi, penyataan Lania mengguncang jiwanya.
Dia tahu... ada hal besar yang telah Sagara abaikan. Perasaan bersalah dan takut tanpa alasan kini tumbuh, lebih nyata daripada amnesia itu sendiri.
“Aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Sagara, seperti janji yang wajib terpenuhi sebelum meninggalkan kamar.
Lania kembali terisak, dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
2025-07-23
0
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
2025-07-24
0