NovelToon NovelToon

Kurebut Suamiku

Aku Istrinya, Bukan Tamu

Langkah Lania terasa berat saat memasuki lobi utama kantor Sagara Corp. Sepatu haknya berdenting ringan di lantai marmer, tetapi detak jantung dalam dada jauh lebih nyaring. Di tangannya, ada amplop berisi selembar kertas berwarna hitam putih. Dia belum tidak boleh menyerah sekarang.

Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu—tragedi yang menghapus sebagian ingatan Sagara, suaminya. Tidak semuanya. Justru sebagian, bagian yang paling rumit.

Sagara ingat mereka memiliki hubungan yang kuat, tetapi yang terus muncul di pikiran, yang terus menghantuinya, merupakan potongan memori terakhir sebelum kecelakaan—ketika Lania memintanya untuk berpisah.

Alasan di balik keinginan Lania menggugat cerai, Sagara tidak mengingat itu semua. Justru Adisty, sahabat lama sekaligus si asisten pribadi, memperkeruh suasana.

Malah berbuat sebaliknya—Adisty diam-diam mendorong jarak yang semakin melebar di antara mereka.

“Selamat pagi, Bu Lania.” Suara resepsionis terdengar ragu, seperti menahan napas. Mereka semua tahu posisinya tak lagi jelas di kantor ini.

“Aku ingin bertemu Sagara,” ucap Lania tegas.

Resepsionis melirik layar komputer sebentar. “Pak Sagara sedang tidak menerima tamu.”

“Bilang saja, aku membawa makan siang kesukaannya,” katanya sambil mengangkat tas bekal di tangan.

Resepsionis tampak ragu, tetapi akhirnya menekan tombol interkom.

"Pak Sagara masih rapat internal. Mungkin—"

"Aku tahu dia bersama Adisty saat ini," potong Lania pelan dan tegas. "Dan aku istrinya. Bukan tamu."

Resepsionis tampak canggung. "Saya mengerti, Bu. Tapi… sejak kecelakaan itu, Pak Sagara belum siap bertemu banyak orang."

"Banyak orang?" Lania tersenyum miris. "Aku bukan ‘banyak orang’. Aku rumahnya."

Masa bodoh! Lania akan masuk tanpa persetujuan.

Butuh waktu lima menit bagi Lania untuk menguatkan diri, dia pun berjalan santai menuju lift khusus pemegang jabatan penting di sana.

Dia sudah berdiri di depan ruang berpintu kayu ganda berukuran raksasa.

Tawa renyah terdengar di dalam kantor direktur utama, Lania membuka penuh percaya diri ruangan itu.

Dibukanya pintu lebar-lebar, menatap tajam wanita yang sedang duduk santai di pinggiran meja kaca direktur. Adisty segera berdiri, senyumnya tipis.

Lania melangkah masuk. Ruangan itu masih sama—netral, rapi, dan tenang. Namun, yang duduk di balik meja kini bukan lagi pria yang dia kenal sepenuhnya.

“Pergi. Aku ingin berdua saja,” jawab Lania dingin.

Tanpa kenal takut, Adisty menolak perintah Lania. “Kami sedang sibuk, Lan.”

“Tidak tau malu, statusmu apa sampai berani bertingkah seperti itu kepada istri atasanmu!” hardik Lania.

Adisty langsung menghampiri Lania. “Tanyakan sendiri pada Sagara.”

“Kau....” Lania sudah mengangkat tangan, siap mendaratkan tamparan di pipi wanita itu, tetapi urung. “Cih! Aku bahkan tak sudi menyentuhmu. Pergi sebelum kesabaran ku habis.”

“Tentu, ada pekerjaan yang lebih penting daripada meladeni mu.” Usai membalas ucapan Lania Adisty pergi.

Lania mengabaikan wanita seksi itu, kemudian menghampiri kursi bundar bersandar depan meja direktur utama. Melihat lembut pria yang kini bersandar pada kursi berukuran besar.

Pandangan pria di sana tampak hampa, lantas berpaling dan melanjutkan pekerjaan. Seolah-olah tidak merasakan kehadiran Lania.

“Aku bawa makan siang buatmu.”

Tidak lama Adisty masuk kembali, rantang berisi makanan dibawa, senyum centil menghias sudut bibir wanita itu. Dia sengaja melirik sinis Lania setelah meletakkan bekal ke atas meja di sudut lain ruangan.

“Ga—”

"Lania." Hanya satu kata, tak hangat, tidak juga dingin, tetapi memancing tanda tanya di kepala Lania. “Tinggalkan aja makanan di sana dan pulanglah.” Sagara menatapnya. Tatapan tajam, seutuhnya asing.

Ucapan Lania dipotong begitu saja oleh direktur itu, acuh tak acuh berjalan menuju meja tempat rantang Adisty.

“Aku hanya ingin bicara sebentar. Aku tahu kamu kecewa. Tapi yang kamu ingat... itu hanya sebagian. Lihatlah dulu aku membawa makanan kesukaan mu.” Lania pantang menyerah.

Sagara berdiri perlahan, memasukkan kedua tangannya ke saku. “Aku ingat kamu ingin pergi. Aku ingat kamu menangis. Dan bilang sudah lelah.”

Lania menggigit bibir. “Aku lelah... karena Adisty.”

Sagara terdiam.

“Karena aku merasa pernikahan kita selalu punya orang ketiga di dalam ruang yang seharusnya cuma milik kita berdua,” lanjut Lania, pelan berbalut kepastian.

Adisty yang duduk di salah satu sofa menahan napas. Sagara menatap Lania lekat-lekat, ekspresinya sedikit melunak.

"Aku tidak datang untuk mengharap mu kembali," lanjut Lania, “tapi aku datang untuk mengembalikan ingatanmu. Supaya kamu tahu kenapa aku memilih menjauh. Supaya kamu bisa memilih sendiri... bukan berdasarkan kebohongan yang dibuat orang lain.”

Sagara menunduk. Tak ada kata keluar dari bibirnya. Namun, jemari kirinya mulai menggenggam erat sesuatu—cincin pernikahan yang masih ada di saku jasnya, meski tak lagi dipakai.

Kerutan dalam terlihat di kening pria itu, lalu Adisty bergegas memeganginya. “Cukup untuk hari ini Lania, kau masih punya pikiran yang waras kan? Jangan terlalu memaksa.”

Kali ini Adisty benar, dia harus berhenti kalau tidak mau membebani pikiran Sagara.

Adisty merangkul bahu Sagara, membimbingnya duduk. Wanita itu selalu tampil modis. Rambut gelombangnya selalu terikat rapi ke belakang, suara selembut sutera, tatapan mata pun terkesan tenang. Dia tahu cara berbicara di hadapan Sagara, menjawab dengan tepat saat media bertanya, bahkan tahu kapan harus diam ketika direksi sedang murung.

Lania tahu satu hal pasti, Sagara adalah alat bagi Adisty, untuk mendapatkan posisi lebih tinggi.

Sejak kecelakaan itu, ketika Sagara kehilangan sebagian ingatan, Adisty adalah orang pertama yang menemaninya sadar di rumah sakit. Wanita itu ada di sana sebelum Lania sempat datang. Dia menyentuh tangan Sagara, entah apa yang sudah perempuan itu bisikkan. Seakan-akan, Adisty ingin unjuk diri.

Sagara lupa hari pernikahannya.

Namun, dia ingat... Adisty.

Celakanya, Adisty tak pernah mengingatkan apa yang perlu Sagara ingat.

“Jangan terlalu dipaksa, Ga. Ingatan yang hilang bisa kembali pelan-pelan. Jangan biarkan itu menyakitimu,” ucap Adisty lembut seakan-akan memberi ketenangan. Padahal setiap kalimat yang terucap merupakan racun dalam hubungan Sagara dan Lania.

Di kantor, Adisty perlahan menggantikan posisi yang dulu hanya milik Lania. Dia menyiapkan kopi favorit Sagara. Juga menyarankan warna kemeja, bahkan memilih musik latar untuk ruang kerja.

Dan setiap kali Sagara mencoba membuka album foto, mengingat, atau bertanya lebih dalam tentang masa lalunya dengan Lania... Adisty selalu mengalihkan ke hal lain.

Masih dengan perasaan terpukul, Lania bertahan di dalam ruangan itu.

Usai membantu Sagara duduk, Adisty menarik napas sejenak serta berkata, “Sagara sedang banyak tekanan akhir-akhir ini. Aku tidak yakin hari ini waktu yang tepat.”

“Dan kamu selalu tahu kapan waktu yang ‘tepat’ untuk Sagara, ya?” Lania menoleh pelan, nadanya masih stabil, mata menusuk tajam ke arah Adisty.

Dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah, Adisty menarik napas, lalu duduk di sisi lain sofa.

“Mungkin kamu belum tahu,” lanjut Lania, lembut, “Sagara pernah cerita tentang kamu. Dia bilang kamu orang yang bisa dipercaya. Yang setia, tenang, tahu diri…”

“Cukup, Lania!” bentak Sagara, “Mari saling introspeksi diri.”

“Sagara,” bisik Lania, tetapi suaminya meletakkan jari telunjuk ke bibir, isyarat agar dia diam.

Air mata bergulir hangat membasahi pipi, Lania pun memilih pergi. Namun, saat tiba di ambang pintu dia berbalik badan.

“Aku hanya ingin menunjukkan ini.” Selembar kertas hitam putih Lania letakkan ke atas meja, “usianya baru 4 Minggu.”

Itu... Anak Kita, Atau...?

Sesaat setelah tiba di rumah, Lania membuka album, menatap satu foto. Sagara memeluk dari belakang di tepi pantai, di hari ulang tahun pernikahan mereka. Senyumnya—bahagia sekali.

“Dia lupa momen ini,” kata Lania pelan. “Tapi aku belum. Dan aku akan buat kamu ingat, Sagara. Bukan karena aku tak rela kehilanganmu. Tapi karena aku ingin kamu memutuskan sendiri, bukan diarahkan oleh bisikan-bisikan manis dari seseorang yang ‘selalu ada dan memiliki kecenderungan ikut campur’.”

Lania menangis tersedu-sedu. Perlahan tangis mereda, dia menutup album dan berdiri.

“Adisty seharusnya tahu cara menempatkan diri. Supaya tidak salah tempat berdiri,” monolog Lania di depan kaca meja rias.

Ketika Lania meletakkan hasil USG di kantor tadi, Lania melihat perubahan wajah Adisty—mata wanita itu tak setenang sebelumnya.

“Aku tak akan menyerah begitu saja,” ucap Lania tegas.

Ruangan itu sunyi. Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya lembut sore masuk membias ke meja kayu cokelat tua. Aroma susu cokelat mengendap di udara.

Pintu kamar diketuk dari luar, Lania menoleh, ketika mendengar pintu terbuka, dia tahu siapa yang masuk. Sagara berdiri di sana, memandang dengan sejuta tanya.

“Lania,” sapa Sagara.

Langkahnya pelan. Tidak terburu-buru. Tidak ragu.

“Kamu tidak sibuk?” tanya Lania, masih berdiri di dekat meja rias.

Sagara tak langsung menjawab. Dia duduk perlahan ke atas kasur, matanya menatap wajah Lania dengan ekspresi rumit—campuran kenal, asing, dan tertahan.

“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Aku masih bimbang.”

Dengan tenang, Lania duduk di sofa berbentuk persegi. “Aku tahu kamu belum mengingat semuanya. Tapi aku juga tahu... kamu tidak sepenuhnya lupa.”

Tarikan napas Sagara begitu dalam. Dia mengambil album kecil yang ada di atas kasur. Jemari besarnya membalik lembaran tebal satu per satu.

“Aku lihat foto-foto ini,” ujarnya. “Ada yang terasa akrab... tapi buram. Seperti mimpi yang setengah teringat.”

Dalam keheningan panjang, Sagara meneliti tiap foto. Dia sudah sampai di lembar terakhir. “Sialnya, yang paling aku ingat jelas... kamu bilang ingin pisah.”

Kali ini, Lania menimbang keputusan untuk mendekat. Dia tetap pada posisi, duduk di kursi seberang Sagara. “Itu benar. Tapi kamu lupa alasan aku minta pisah.”

Kepala terangkat perlahan, Sagara menatapnya. “Karena aku terlalu sibuk?”

“Bukan hanya itu.” Lania menatapnya lekat. “Karena aku merasa kamu bosan sama aku. Karena kamu lebih percaya orang lain dibanding aku. Karena Adisty... mulai mengambil ruang yang bukan miliknya.”

Jemari menggenggam sisi album, Sagara menunduk. Suasana mendadak tegang.

“Dia bilang... kamu kecewa karena terlalu cemburu.”

Dada seperti tertusuk sembilu, Lania tersenyum pahit. “Tentu. Karena aku tidak ingin wanita lain mengambil alih hidupmu yang seharusnya hanya untukku. Kamu pikir itu cemburu? Mungkin. Tapi itu juga cinta. Dan kamu dulu tahu bedanya.”

Hening beberapa detik.

Kening mengernyit singkat, sebelum Sagara menutup rapat kelopak mata. “Lucu ya... ingatan bisa hilang, tapi rasa tetap tinggal.”

Lania menunduk, menahan napas.

Sagara menatapnya lagi. “Aku tidak tahu siapa yang harus aku percaya sekarang. Tapi satu hal... saat kamu duduk di sini, aku merasakan sebuah rumah.”

Lania tersenyum tipis, matanya kembali berkaca-kaca.

“Kalau kamu mau waktu, aku akan tunggu. Aku tidak akan biarkan kamu membangun keyakinan dari potongan ingatan yang salah,” ucap Lania pelan. “Aku akan bantu kamu... mengingat semuanya. Dan setelah itu, kalau kamu tetap ingin pergi, aku akan terima.”

Mata tajam Sagara mulai terbuka. Dia menatap perempuan di depannya. Masih ada kabut di kepala, tetapi sesuatu mulai tampak jelas.

“Sagara, kamu ingin—”

“Aku butuh penjelasan.” Suaranya dalam, tegas. Dia tidak marah, meski ada tekanan di sana.

Lania diam. Pandangan langsung tertuju pada dua foto di tangan Sagara. Ia tahu akhirnya saat itu tiba.

Sagara menatap hasil USG itu lama sebelum meletakkannya di atas meja. Kemudian, beralih pada foto satunya. Lania dan Pandu.

“Itu... anak kita atau...?” tanya Sagara pelan.

Saliva di tenggorokan sulit di telan, Lania menghindari tatapan Sagara. Takut kecewa. Matanya berpaling dari iris hitam pekat yang dulu selalu Lania rindukan. Tatapan memuja suaminya.

“Apa perlu aku jawab?” dengkus Lania, “Anak kita— setidaknya... kalau kamu mengingat sedalam apa hubungan kita.”

Lania menahan napas, mencoba bicara dengan suara yang lebih tenang. “Aku hamil... Aku tidak langsung bilang karena kita sedang terlibat pertengkaran. Dan saat akhirnya aku siap bilang... kamu bahkan hanya mengingat Adisty dan urusan kantor.”

Ada ketegangan dalam sorot matanya, Sagara terdiam—antara bingung, marah, dan terluka.

“Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?” tanya Sagara. “Berhenti bertele-tele, kamu tinggal jawab... bahwa bayi yang ada di perut anak kita.”

“Aku ingin bilang begitu,” bisik Lania. “Tapi aku ingin kamu benar-benar hadir waktu aku bicara. Bukan hanya duduk di ruangan yang sama sambil sibuk membuka laptop dan menyuruh Adisty mencatat.”

Napasnya tak stabil, Sagara memalingkan wajah.

Butuh beberapa detik sebelum Lania menjawab. Suara tangisnya pecah saat berkata, “Kalau kamu belum mengingat segalanya, aku bisa membesarkan anak ini sendiri.”

Keheningan turun seperti badai tanpa suara.

“Aku datang ke rumah sakit sendirian. Tidak ada kamu. Tidak ada siapa-siapa. Dan saat aku keluar... kamu bahkan tidak sadar aku pergi semalaman. Pergi ke rumah Mama Yuris.” Satu kebenaran Lania ungkapkan, dia mengadu kepada ibu mertua. Yah, walaupun tidak persis seperti itu, hanya butuh pengalihan.

Meski memorinya tidak lengkap, kata-kata Lania menampar sisi emosi terdalam, Sagara menutup matanya. Dia bingung harus percaya kepada siapa, Lania atau Adisty.

“Aku tidak menuntut mu,” pungkas Lania. “Tapi... aku benar-benar merasa tidak dipilih lagi. Tidak diprioritaskan. Aku bukan istrimu—aku hanya seseorang yang kamu ingat untuk diantar ke acara keluarga.”

Napas Lania tersendat sembari melanjutkan, “... bahkan kini bertambah... secara tidak langsung kamu menuduhku berselingkuh!”

Sagara berdiri pelan, berjalan mendekati Lania. Hujan mulai turun dan air membentur kaca jendela dengan keras.

“Adisty tidak pernah bilang apa pun tentang ini. Dia selalu memberi saran masuk akal ketika kita mulai renggang. Dia tidak pernah menunjukkan rasa tertarik terhadapku. Foto ini diambil dari lama, tetapi Adisty tidak pernah menunjukkan kepadaku.”

Tawa getir terdengar, Lania mengukir senyum pahit. “Tentu tidak. Karena jika kamu tahu tujuan nya... kamu akan menghindar. Dan dia tidak akan biarkan itu terjadi.”

Kediaman Sagara kali ini berbumbu ragu serta gelisah. Logikanya tidak menemukan keganjalan dalam perilaku Adisty selama ini. Akan tetapi, penyataan Lania mengguncang jiwanya.

Dia tahu... ada hal besar yang telah Sagara abaikan. Perasaan bersalah dan takut tanpa alasan kini tumbuh, lebih nyata daripada amnesia itu sendiri.

“Aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Sagara, seperti janji yang wajib terpenuhi sebelum meninggalkan kamar.

Lania kembali terisak, dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Merasa Bersalah

Tidak banyak perbedaan dari hari ke hari, aktif di kantor berjalan monoton. Para pegawai datang pagi pulang sore, karena kondisi pasar tidak terlalu ramai. Sepertinya dampak dari corona beberapa tahun silam masih terasa.

“Pagi Pak Sagara,” sapa pegawai yang kebetulan berpapasan dengan direksi perusahaan.

“Pagi,” jawab Sagara tanpa mengurangi kecepatan langkah. Dia harus menyelesaikan banyak hal, membuat peluang agar bisnisnya tidak lekas gulung tikar. Agenda padat, rapat direksi, laporan bertumpuk.

Tadi pagi sewaktu bangun, Sagara sedikit pusing. Informasi yang dia terima terasa tumpang tindih.

Di balik ekspresi tenangnya hari ini, pikiran dipenuhi oleh dua nama, Adisty dan Lania.

Kedua wanita itu seperti saling menyerang, Sagara tidak pernah menyadari sebelumnya sebab Adisty sudah seperti kerabat.

Sudah bertahun-tahun wanita itu mendampingi langkah profesionalnya. Namun, setelah percakapan semalam dengan Lania—tentang kepergian, kehamilan, dan kepercayaan—ada sesuatu yang menggoyahkan keyakinannya.

Ada sesuatu yang coba Adisty tutupi. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai kedekatan Lania dengan pria lain.

Kendati demikian, pernyataan Lania tak kalah mengusik pikiran. Istrinya yakin bahwa diam-diam Adisty menyimpan perasaan terhadapnya.

Terdengar pintu diketuk sekali, Adisty masuk membawa tablet dan map laporan.

“Pagi, Ga,” sapanya seperti biasa.

Senyum tipis Sagara tunjukkan, lantaran tidak ingin niatnya terbongkar di awal. “Kirim semua file kegiatan dua bulan sebelum kecelakaan ke email pribadi saya.”

Seperti mempertimbangkan sesuatu, Adisty terdiam sebentar. “Untuk apa... ada sedang kamu cari?”

Bolpen yang sedari tadi dipegang, Sagara menatap Adisty cukup lama sebelum akhirnya bicara, “Hanya meninjau ulang beberapa hal.”

“Baik, saya kirim segera.” Adisty tersenyum simpul, ekspresi tenang seperti biasa.

Setelah wanita itu keluar, Sagara membuka laptopnya dan langsung masuk ke arsip email lama. Dia mencari satu hal: korespondensi antara Adisty dan pihak luar, khususnya selama masa peralihan tugas Lania sebelum berhenti mengurus perusahaan.

Beberapa jam kemudian, Sagara menemukan sesuatu yang janggal. Email tanpa subjek. Dikirim Adisty ke alamat email tak dikenal, isinya hanya satu kalimat:

"Sudah selesai. Dia setuju dengan tanggal yang sudah kita tentukan."

Jadwalnya... tiga hari sebelum Lania benar-benar undur diri.

Sagara bersandar di kursi, rahangnya mengeras. Dia belum tahu konteksnya, tetapi intuisi yang selama ini diabaikan mulai menuntut jawaban. Jemarinya membuka rekaman CCTV internal yang dikirim ke emailnya.

Pada pukul 20.17 malam—hari yang sama dengan tanggal email itu—terlihat Lania keluar dari ruangannya. Wajahnya tampak lelah dan kecewa.

Beberapa menit kemudian, Adisty masuk ke ruangannya, tersenyum kecil sambil membawa berkas—satu tangan masih memegang ponsel.

Sagara menatap layar. Yakin ada sesuatu yang tidak beres dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan, merasa memegang kendali.

Mulai hari ini... dia yang akan lebih berhati-hati dalam bertindak.

Ketukan pelan terdengar, Adisty masuk membawa dokumen dan tablet seperti biasa. Dia mengamati perubahan sikap direksi pagi ini, Sagara tidak seperti biasanya.

Bosnya agak pendiam. Tatapan matanya lebih tajam dan dalam. Cara bicara yang lebih lambat, tetapi juga penuh penegasan.

“Ini laporan yang kamu minta,” ucap Adisty sambil meletakkan berkas ke meja. “Tapi, untuk data CCTV lama, arsipnya masih dikunci oleh sistem lama IT. Aku sudah minta tim mengaksesnya.”

Sagara hanya mengangguk. “Terima kasih.”

Adisty memperhatikan setiap gerakan Sagara. Cenderung datar dan minim respons, dia tidak merasakan sikap penurut laki-laki itu.

Ini aneh, tidak seperti pasca kecelakaan. Adisty melangkah mundur, tetapi pandangan melekat kepada Sagara.

“Kamu sedang menyelidiki sesuatu? Sejauh ini tidak ada masalah serius dalam perusahaan.” tanya Adisty hati-hati. Pertanyaan yang terdengar ringan... tetapi berbalut keinginan tahuan.

Pandangan Sagara bertabrakan dengan mata Adisty. Dia pun buru-buru mengalihkan tatapan ke arah lain. Pertanyaan terdengar disertai tawa ringan, “Apa maksudmu?”

Adisty balas tersenyum kecil. “Aneh aja, kamu minta data dari dua bulan sebelum kecelakaan.”

Jemari Sagara kembali mengambil pena. Dia menulis sesuatu, kemudian menatap Adisty. “Untuk kebutuhan marketing, kita perlu meninjau ulang.”

“Kebutuh marketing? Aku bisa bantu,” balas Adisty cepat, senyum lebar kian terpampang.

Sagara sengaja memberi jeda. Dia tidak mau Adisty merasa diselidiki. Dia tidak mau salah dalam menilai. Wanita ini penting bagi perusahaan.

“Bisa panggil Kanaya,” pinta Sagara.

“Kanaya?”

“Ehem.” Sagara mengangguk.

“Baik.” Adisty bergegas keluar ruang.

Sagara membuang napas keras, menunggu sambil memeriksa laporan. Dan beberapa menit kemudian interkom berbunyi. Dia tidak mau repot mengangkat gagang telepon, jadi menekan tombol pengeras suara.

“Ga, Kanaya lagi stok opname.”

“Oh, okay. Makasih.”

Telepon pun dimatikan, Sagara mengambil napas dalam-dalam. Dia akan menemui gadis itu nanti saja.

Satu jam

Dua jam

Istirahat makan siang terlewat.

Sagara sengaja menyibukkan diri dan mengurangi interaksi dengan Adisty.

Langit mulai meredup di balik jendela kaca gedung Sagara Corp. Di lantai 18—jauh dari lantai utama direksi—suasana lebih tenang, nyaris senyap. Di ruangan inilah Naya, staf PR senior, bekerja. Wanita itu dikenal kalem, rajin, dan... pernah cukup dekat dengan Lania saat masih aktif di kantor.

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak lama, Sagara muncul di depan mejanya.

“Naya,” sapanya tenang.

Naya refleks berdiri. “Pak Sagara! Maaf, saya tidak tahu Bapak—”

“Tenang saja. Saya cuma ingin bicara sebentar, santai.” Dia melirik ke ruang pantry kecil. “Boleh saya duduk sebentar di sini?”

“Silakan, Pak,” jawab Naya sambil menata dua gelas air mineral. Dia gugup—bukan karena takut, tetapi karena tidak pernah melihat Sagara turun sendiri, tanpa Adisty.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk berhadapan di meja kecil. Sagara menatapnya dengan tatapan lembut.

“Kamu dulu cukup dekat dengan Lania, kan?” tanyanya pelan.

Naya sedikit kaget, tapi mengangguk. “Ya, Pak. Bu Lania orang yang hangat dan memperlakukan pegawai dengan baik.”

“Menurutmu... apa yang membuat dia mengundurkan?” Sagara lupa alasan Lania berhenti, atau malah benar-benar tidak tahu sama sekali.

Naya menunduk dan terdiam. Matanya menatap meja, ragu.

“Jawabanmu penting bagiku,” tambah Sagara cepat. “Aku hanya ingin tahu versi orang lain. Versi yang mungkin... tidak pernah sampai kepadaku.”

Naya menarik napas.

“Waktu itu... Bu Lania sering terlihat lelah. Bukan cuma fisik, tapi emosional. Kadang dia diam di pantry, menatap layar kosong. Kadang pulang mendadak. Tapi setiap dia cerita... dia selalu bilang ‘tidak apa-apa’”.

“Hanya itu.” Sagara menunduk sedikit.

“Ya, tapi Bu Lania pernah melamun dan bicara sendiri “ Dia merasa kalah saing.”

“Kalah saing?”

Naya mengangguk. “Dia merasa tersingkir pelan-pelan. Banyak keputusan kantor yang melibatkan Pak Sagara, tapi Bu Lania seolah ditahan untuk ‘tidak ikut campur’. Dan... maaf, Pak—dari luar, Bu Adisty mendominasi. Bukan cuma sebagai asisten, tapi... seperti ingin melindungi posisinya.”

Wajah Sagara tetap tenang, tapi rahangnya mengencang. Tangan mengepal di bawah meja, dia tidak menyadari hal ini sebelumnya.

“Lania pernah bilang sesuatu soal aku?” tanyanya.

Kanaya tersenyum miris. “Dia cuma bilang satu hal, Pak. ‘Sagara terlalu sibuk menjaga reputasi sampai lupa menjaga hubungan sendiri’ maaf Pak, Bu Lania tidak mengatakan langsung, saya tidak sengaja mendengarkan sewaktu akan masuk ruangan.”

Hening.

Oksigen dihirup panjang sebelum Sagara berdiri pelan. “Terima kasih, Naya. Ini... cukup membuka mata saya.”

Saat Dia melangkah pergi, Kanaya memanggilnya pelan.

“Pak Sagara?”

Sagara menoleh.

“Bu Lania bukan pergi karena menyerah. Dia pergi karena terlalu lama diam.”

Sagara menatapnya dalam, lalu mengangguk. Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, dia benar-benar merasa bersalah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!