Langit mendung menggantung di atas kantor Eve sore itu. Jendela kaca di lantai delapan memantulkan bayangan wajahnya yang pucat, sementara suara hujan mulai mengetuk perlahan.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir suara-suara yang terus berdengung di kepalanya sejak pagi: bisik-bisik rekan kerja, notifikasi grup keluarga, dan ... kabar itu.
Celline hamil.
Adik tirinya. Masih muda. Belum menikah. Tak tahu siapa ayahnya.
Atau setidaknya ... begitu katanya.
Dia meninggalkan kantor lebih awal tanpa banyak bicara, menyetir sendiri pulang ke rumah orangtuanya. Dia pikir, dia akan mendengar penjelasan.
Tapi ….
Di atas sofa ruang tamu, Celline duduk memeluk lengan Jenny—ibu mereka. Wajahnya sayu dan memelas, sementara Jenny menatap Eve seolah melihat sampah yang baru saja dibawa masuk.
Eve mendekat, berdiri di hadapan mereka. “Apa yang terjadi? Apa semua itu benar?”
Jenny mendengus pelan, senyum mengejek melintas di bibirnya. “Setelah semua ini, kau masih bisa bertanya seperti orang bodoh? Seolah-olah kau benar-benar tidak tahu apa-apa?”
“Kalau aku tahu, aku tidak akan repot-repot datang dan bertanya, Bu,” sahut Eve tajam. “Lagipula itu masalah Celline. Kenapa kau bicara seolah aku yang harus bertanggung jawab?”
Jenny mengangkat alis. “Kau sebut ini cuma masalah Celline?” Nada suaranya berubah. Matanya melotot. Lehernya mengeras.
“Celline tidak akan mengalami semua ini… jika bukan karena kau! Kau yang membuatnya begini! Semua ini salahmu!”
“Aku?” Mata Eve membelalak. “Bu, kalau kau tidak suka padaku, aku mengerti. Tapi menyalahkanku untuk sesuatu yang bahkan bukan urusanku? Itu keterlaluan.”
Jenny menyeringai kecil. “Kau ingin tahu kenapa aku berkata begitu?”
Celline mendadak berdiri, ekspresinya panik. Ia menggenggam lengan ibunya, menggeleng-geleng seolah memohon agar Jenny menghentikan kata-katanya.
Tapi Jenny menepis tangan itu dingin. “Tidak, Celline. Dia harus tahu. Sekarang.”
Tatapannya kembali beralih ke Eve. Kali ini tak ada lagi kepura-puraan. Hanya kebencian mentah.
“Kau mandul, Eve.”
“Kau tidak akan pernah bisa melahirkan keturunan keluarga Alison! Jadi kau harus terima—kalau wanita lain yang melakukannya untukmu. Bukan orang asing, tapi adik kandungmu sendiri.”
“Ibu ….” Celline terdengar gugup, mencoba menengahi. Tapi Eve sudah menatapnya seperti melihat kotoran di sepatu.
“Apa? Dia harus tahu!” sang Ibu meledak lagi. “Dia mandul! Untuk apa kau merasa bersalah, Celline? Bahkan keluarga Noah mendukung kalian! Mereka tahu ini satu-satunya cara punya pewaris!”
“Tapi Ibu tidak bisa bicara seperti itu—!” Celline mencoba meraih tangan Eve, namun tangan itu justru menampar udara, menolak.
“Jangan sentuh aku.”
Celline terdorong mundur, dan tepat saat itu, Noah masuk, menangkap tubuh wanita yang telah mengkhianati istrinya sendiri.
“Noah?” Celline terkejut, tapi lebih panik karena Eve menyaksikan semuanya.
Dia buru-buru melepaskan diri, berdiri menjauh.
Noah melangkah, wajahnya tenang seperti tak ada darah di nadinya.
"Eve, Celline mengandung anakku. Itu hanya ... hubungan satu malam. Tidak sengaja. Tapi dia hamil. Dia sempat ingin menggugurkan, tapi aku mencegahnya."
Seolah itu pembenaran. Seolah Eve hanya butuh alasan logis untuk dikhianati.
“Kami menyembunyikan ini demi perasaanmu, tapi kami tidak bisa terus berbohong.”
Kalimat itu menusuk Eve lebih dalam daripada pisau mana pun.
Ia tertawa getir. Pria yang dulu bersumpah akan menjaganya hingga maut, kini bicara soal anak haramnya sendiri tanpa rasa bersalah.
“Semua ini … sudah dibicarakan oleh keluargaku dan keluargamu,” lanjut Noah. “Kami tidak akan menceraikanmu. Tapi keluarga kami butuh pewaris, dan Celline akan memberikannya. Anak itu ... akan jadi milik kita.”
"Dan aku? Aku cuma penonton dalam keputusan kalian? Apa kau juga tidak mempertimbangkan bagaimana perasaanku, Noah?”
“Eve, aku bersumpah, setelah bayi ini lahir, aku akan—”
“Cukup, Celline.” Eve memotong. Tatapannya sedingin es. “Meskipun itu hanya satu malam ... kau menikmatinya, bukan? Kau menyukai tidur dengan suamiku. Jangan berpura-pura.”
“Dan sekarang kau ingin menyerahkan anak itu padaku?”
“Kalau kau memang senang memelihara anak dari suami orang, ambil saja prianya sekalian. Jangan jadi penjahat setengah-setengah.”
Ia berbalik dan pergi tanpa menoleh.
Mobilnya meluncur cepat, menuju satu-satunya tempat yang bisa memberinya pelarian: bar tempat Darren bekerja.
“Eve, aku sudah tahu kau akan datang malam ini.” Darren, bartender yang mengenalnya lebih dari siapa pun, menghampiri. “Pertunjukannya … luar biasa, bukan?”
Dia tahu. Dia tahu terlalu banyak.
Eve menatapnya. Matanya menyipit. “Kau juga sudah tahu dan kau tidak mengatakannya padaku?”
Namun Darren hanya mengangguk ringan. “Ya. Sehari sebelum ini. Noah sendiri yang menceritakannya padaku. Dia juga bilang kalau dia sendiri yang akan mengatakannya padamu.”
“Aku juga tidak menyangka atas semuanya. Sampai akhirnya … berita itu menyebar. Entah dari mana, padahal awalnya tidak. Sampai Celline hamil delapan bulan sekarang, dan semua orang baru mendengarnya.”
“Tutup mulutmu. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi mengenai mereka.” Eve menarik gelas dari tangan Darren, meletakkannya kasar ke meja. “Hanya malam ini, jangan biarkan gelasku kosong.”
Jam terus bergulir. Botol demi botol menipis. Senyum Eve memudar. Cahayanya mati perlahan.
“Cukup, Eve. Kau sudah minum terlalu banyak.”
“Aku baik-baik saja!” katanya sembari tertawa miring, tapi matanya buram. Suaranya gemetar. Dia bukan sedang mabuk. Dia sedang terluka.
Akhirnya, Eve bangkit. Sempoyongan. “Aku mau kamar mandi.”
Darren mengawasi punggungnya menghilang. Tapi setelah berjam-jam, Eve tak kembali.
Khawatir, Darren mencari ke seluruh ruangan, dari toilet ke ruang VIP, tapi Eve menghilang.
Mobilnya masih ada. Tapi dia tidak.
“Sialan. Harusnya aku tidak membiarkanmu sendiri,” geramnya. Kepalan tangannya gemetar.
Malam berlalu seperti mengedipkan mata.
Saat Eve terbangun, kepalanya seperti tertindih batu besar. Berat.
Pandangannya buram. Namun, dia sadar apa yang ia lihat bukan sesuatu yang biasa. Bukan kamarnya. Juga bukan kamar Darren.
Seorang pria sedang sarapan di dekat jendela. Telapak tangannya lebar. Alat makannya seperti sesuatu yang kecil di genggamannya.
“Siapa kau?” serunya panik.
“Orang yang cukup baik untuk tidak meninggalkanmu di toilet semalam,” jawab pria itu santai, menyuap tanpa menoleh.
Eve memeriksa tubuhnya. Bajunya asing. Tapi dia masih berpakaian lengkap. Tidak ada yang terasa janggal.
“Kita … kita tidak—”
“Berhubungan dengan wanita mabuk dan tak sadar bukan hobiku,” potong pria itu cepat. “Bajumu penuh muntahan kemarin. Jadi … ya, aku menggantikannya.”
Pria itu berdiri. Tubuhnya tegap. Dadanya lebar. Kaki panjangnya mendekat tanpa ragu. Tangan kanannya menggenggam segelas air, menyodorkan itu padanya dengan sebutir obat.
“Untuk menghilangkan pengarmu,” katanya.
“Terima kasih. Maaf merepotkanmu.”
Bibir pria itu bungkam, tapi matanya menelisik wajah Eve dalam-dalam.
“Jika saja kau jadi milikku, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat tidur selama seminggu.”
Eve terkesiap. Kata-kata itu jatuh begitu saja—tanpa ragu, tanpa malu.
Buru-buru Eve menelan obat, menarik tasnya dari meja.
“Sekali lagi, terima kasih. Aku harus pergi.”
***
Taxi berhenti di depan gerbang rumah Noah. Eve turun dengan langkah lunglai. Tubuhnya masih lelah, tapi pikirannya lebih kacau dari semalam.
Hujan belum reda sepenuhnya. Udara masih bau tanah.
Di depan pintu, Noah sudah berdiri. Wajahnya muram, matanya menyala seperti binatang yang sedang terluka—atau kehilangan kendali.
Eve menarik napas dalam. Lalu melangkah.
Tepat saat dia tiba di depan mata Noah, pria itu memekik, "Akhirnya kau muncul juga. Dari mana saja kau, hah?!"
“Bersenang-senang.” Ucapan Eve datar. Tatapan dan suaranya sama-sama dingin, seperti seseorang yang dibungkus kabut.
Noah mendekat dengan mata membara. "Jadi ini balasanmu? Kau menghilang semalaman dan membiarkan semua orang mencarimu?! Apa kau tahu betapa memalukannya kau di mata keluargaku?!"
"Memalukan?" Eve tertawa pendek. “Setelah kau tidur dengan adikku dan menghamilinya, kau masih bicara soal malu? Lucu sekali.”
Noah mendengus, lalu mencibir tajam. “Jangan bertingkah seperti kau korban paling suci. Kau pikir siapa yang membuat keluarga kita seperti ini? Kau! Karena kau mandul! Keluargaku tidak butuh istri yang tidak bisa menghasilkan keturunan.”
Ucapan itu seperti tamparan keras yang membuat dadanya sesak. Meski begitu, sorot mata Eve tidak goyah.
“Lalu kau putuskan tidur dengan adikku sebagai solusinya? Kau 4njing, Noah. Bahkan bin4tang pun lebih tahu batas.”
Noah mendekat lebih agresif. “Jaga mulutmu, Eve! Aku tetap suamimu! Jangan pikir hanya karena kau semalaman menghilang bersama pria lain, kau bisa berbicara seperti itu!”
Eve mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Kau pikir aku tidak tahu kau bermalam dengan pria lain? Kau pikir aku bodoh?” Noah mencengkram lengan Eve. “Apa kalian tidur bersama? Hah?”
“Tidur bersama atau tidak, aku tidak perlu menjelaskan itu padamu. Bukankah kau juga melakukan itu padaku?”
Noah tertawa, penuh ejekan. “Sekarang begini ucapanmu pada suamimu sendiri? Karena kau mandul, kau bisa tidur dengan pria sesukamu dan sebanyak yang kau mau?”
“Kau tidak tahu apa-apa, dan kau juga tidak berhak menghakimi siapa pun.”
“Lihat dirimu, Eve. Kau hanya wanita rusak yang tidak bisa jadi istri sempurna. Sekarang kau pulang dengan pakaian yang bahkan bukan milikmu. Apa lagi yang harus kupikirkan, hah?”
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi Eve berdiri tegak. Matanya menyala seperti bara. Luka itu tidak membuatnya lemah—justru memperkuat nadanya saat bicara.
“Jangan khawatir. Suatu hari nanti, aku akan benar-benar melahirkan seorang anak — anakku sendiri — bukan dengan pengkhianat sepertimu, dan bukan dari tubuh adikku.” Dia mengambil napas. “Dan hari itu, aku pastikan hidupmu tidak akan pernah tenang lagi.”
Noah menggertakkan giginya, tapi Eve tak peduli. Dia berbalik, meninggalkan Noah yang masih mematung di belakangnya—pria yang kini bahkan tak pantas disebut suami.
Namun setelah selangkah, dia kembali berhenti.
“Kita bercerai, Noah. Aku tidak sudi melihatmu lagi. Membayangkan kau tidur dengan Celline seperti melihat sepasang babi yang berkembang biak. Teruskanlah! Kalian memang cocok.”
Eve melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Langkahnya berat, tapi hatinya lebih ringan daripada dua hari terakhir. Ia tak tahu ke mana harus pergi—dan untuk pertama kalinya, ia tak peduli.
Yang ia tahu, rumah itu bukan tempatnya lagi.
Dan orang-orang di dalamnya bukan lagi keluarganya.
Langit masih kelabu. Hujan belum berhenti sepenuhnya. Tapi Eve terus melangkah—menjauh, menghilang, dan membiarkan dirinya ditelan oleh dunia yang lebih luas dari luka yang ditinggalkan.
Dua hari telah berlalu.
Dan tak seorang pun di kantor tahu ke mana Eve menghilang.
“Dia bahkan tidak memberi kabar,” gumam Amanda sambil mengetuk-ngetuk pena di mejanya, gelisah.
Kantor baru saja memulai denyutnya—printer mulai berbunyi, aroma kopi menguar dari pantry, dan suara sapaan antar karyawan terdengar riuh rendah.
Tapi satu pemandangan membuat beberapa orang diam menahan napas.
Eve masuk.
Langkahnya pelan tapi mantap. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tetap dingin dan tenang seperti es. Dia mengenakan blazer hitam polos, rambut disisir rapi, dan tidak ada sedikit pun jejak bahwa dia baru saja melewati neraka.
Amanda yang baru saja duduk, mendongak kaget.
“Eve …? Ya Tuhan, kau kembali ….”
Eve hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Senyum yang terlihat sekali dipaksakan.
Amanda menarik kursi, duduk di sisinya.
"Astaga Eve ... Kau dari mana saja? Tiga hari kau menghilang, bahkan kau juga mengabaikan panggilanku. Asal kau tahu, aku hampir lapor polisi gara-gara kau!"
"Pelankan suaramu, Manda! Kau menarik perhatian semua orang sekarang."
"Oke, oke. Maaf." Manda menarik kursinya, lebih dekat lagi. "Katakan, apa yang terjadi? Aku mencarimu di rumah, tapi ... tapi kenapa justru adikmu yang muncul di rumah kalian? Noah juga bilang kalau kau tidak ada. Apa yang terjadi? Kenapa Celline di rumah kalian?"
Eve tersenyum getir. Sudah tiga hari dia tidak keluar ataupun mau tahu dengan apa yang terjadi pada mereka.
Celline … di rumah Noah? Eve menelan ludah, dadanya sesak mendengar itu. Dunia seakan kembali mengolok-oloknya.
"Aku akan segera resmi bercerai dengannya."
"Apa?!" pekik Manda, setengah berdiri dari kursinya. Matanya membelalak, mulutnya terbuka. "Tidak mungkin ...."
Eve diam, tapi helaan napasnya panjang dan berat.
Dan diamnya Eve membenarkan segalanya.
"Tapi ... kenapa? Selama ini kalian baik-baik saja, kan? Apa yang terjadi?"
Ya, Manda benar. Selama ini mereka memang baik-baik saja. Tapi ternyata, kenyamanan itu justru membuatnya seperti lelucon.
Bahkan setelah Eve menceritakan semuanya, Manda masih tidak bisa percaya.
"Eve," panggilnya pelan. "Kehamilan Celline sudah sangat besar. Mungkin juga akan segera melahirkan. Dan ... Dan selama ini mereka diam?"
Tidak ada jawaban. Kepala Eve tertunduk, bahunya meringsut.
"Sudahlah. Memang mereka semua baj!ng4n! Sudah bagus kalian bercerai. Semua lelaki memang tidak bisa dipercaya. Ngomong-ngomong, kau tinggal di mana sekarang?"
"Apartemen."
"Itu bagus. Aku bisa menginap di tempatmu sesukaku. Kita juga bisa melakukan banyak hal, minum sampai pagi, tanpa perlu khawatir seseorang akan marah. Kita harus pergi jalan-jalan keluar negeri, dan kita akan melakukan banyak hal yang tidak bisa kita lakukan. Kita akan merayakan perceraianmu dari pria egois seperti dia."
Sepertinya itu menyenangkan." Senyum Eve kembali.
"Kau tahu, hari ini Presiden Direktur perusahaan akan datang. Semua orang heboh membicarakannya, dan kau tidak akan percaya."
"Apa?"
"Katanya ... dia imp0ten." Manda berbisik seperti mau membocorkan rahasia negara.
"Sungguh?"
"Iya!"
"Siapa yang bilang? Apa ada dari mereka yang pernah tidur dengannya?"
"Entahlah. Tapi gosipnya sudah menyebar ke tiga lantai. Aku jadi penasaran, bagaimana wajah Direktur kita. Selama ini dia mengatur perusahaan dari belakang meja. Tidak tahu apa yang membuat dia baru turun tangan langsung."
Langkah kaki terdengar dari arah lorong.
Tumit sepatu kulit menghantam lantai marmer dengan irama pasti dan mantap. Semua suara nyaris terhenti. Para pegawai yang semula sibuk, kini saling menoleh lalu bergegas berdiri. Manda melotot ke arah Eve dan mencubit lengannya.
"Itu dia!" bisiknya panik.
Seorang pria tinggi melangkah masuk. Setelan jas hitamnya terpasang sempurna, dasi terikat rapi, wajahnya tajam dan dingin seperti diukir dari marmer mahal. Matanya gelap, menyorot penuh wibawa. Bibirnya terkatup rapat tanpa senyum. Seisi ruangan seketika sunyi.
Alexander Ace telah tiba.
Di belakangnya, seorang pria muda mengikuti langkahnya dengan mantap. Tinggi, berwajah bersih dan tenang, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu-abu gelap, dengan iPad di tangan. Rayyan, Asisten Pribadi Alexander, pria yang dikenal hampir seperti bayangan Alex sendiri—selalu ada, selalu tahu, dan mengurus segalanya tanpa celah.
Tak banyak bicara, gerakannya efisien dan terukur. Semua orang tahu: jika Rayyan memanggil seseorang ke ruangannya, maka itu bukan pertanda baik.
Di antara semua yang tertegun, Eve adalah satu-satunya yang benar-benar menegang.
Pria itu ....
Pria yang sama yang membawanya ke hotel saat ia mabuk. Pria yang mengganti bajunya.
Astaga ...!
Dia ... dia Presiden Direktur di sini?
Wajah Eve langsung pucat. Jantungnya seperti ditarik turun ke perut. Dia bergerak pelan, mundur sedikit ke belakang Manda, mencoba menyembunyikan diri.
Kepalanya tertunduk begitu rendah. Kalau bisa, dia ingin menghilang begitu saja.
Tapi ....
Bukankah mereka bilang dia imp0ten?
Lucu juga. Pria yang katanya imp0ten itu sempat bilang tidak akan membiarkanku lepas dari ranjang selama seminggu. Ha! Omong kosong macam apa itu?
Eve hampir tertawa sendiri, tapi tawa itu terhenti seketika.
Alexander berhenti.
Tepat di depan mejanya.
Eve menahan napas. Ia tak berani mengangkat kepala. Yang terlihat hanya sepatu kulit mengkilap itu, lalu kaki panjang hingga batas lutut. Tapi jelas—sangat jelas—pria itu sedang berdiri menghadapnya.
"Apakah ada yang salah, Tuan?" tanya Rayyan, suaranya datar namun tajam.
Pertanyaan itu menusuk telinga Eve.
Pelan-pelan, Eve mengangkat kepalanya.
Mata mereka bertemu.
Dunia seolah berhenti.
Tatapan Alex masih sama seperti pagi itu—dingin, tajam, menyelidik.
Dan Eve?
Eve hanya bisa tersenyum kaku, menahan gugup yang mengguncang tubuhnya.
"Tidak ada," jawab Alex, tenang.
Namun sorot matanya berkata lain.
Alex kembali melangkah, tanpa sepatah kata pun. Suasana tetap sunyi bahkan setelah ia menghilang di balik pintu kaca besar yang menuju ruang direksi.
Beberapa detik kemudian, Rayyan yang masih berdiri di tempat semula, mengangkat wajahnya dari layar iPad.
"Evelyna Geraldine," ucapnya, suara tenangnya membuat seluruh ruangan kembali menegang.
Jantung Eve berhenti sejenak.
"Ikut saya."
Tidak ada penjelasan lain. Semua tatapan kini beralih padanya. Manda sempat menarik lengan bajunya pelan, tetapi Eve sudah berdiri, kaku dan canggung, sebelum akhirnya mengikuti Rayyan menuju ruangan yang hanya dihuni oleh satu orang yang kini menghantui pikirannya.
Pintu itu tertutup rapat di belakangnya.
Ruangan luas itu dipenuhi cahaya alami, dengan dinding kaca yang menampilkan panorama kota. Meja besar berwarna hitam mengkilap berdiri di tengah ruangan, dan di baliknya, Alexander duduk dengan tenang.
Ia tidak langsung bicara. Hanya menatapnya.
Lama.
“Mulai hari ini, kau sekretarisku,” katanya dengan nada tak terbantahkan.
Apa? Kenapa aku? Apa yang dia inginkan setelah malam itu?
Eve menelan ludah.
“Ada … alasan tertentu, Tuan?” tanyanya pelan.
Mata Alex menyipit sedikit. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya—nyaris tidak terlihat, tapi cukup untuk membuat Eve merasa seperti seekor kelinci yang baru masuk ke sarang serigala.
"Kenapa aku perlu alasan? Ini perusahaanku, dan aku memiliki wewenang sepenuhnya. Jika kau tidak mau, kau bisa memilih mengemas barangmu. Pintu perusahaan ada di lantai bawah."
***
Langit Scott City masih memerah lembut ketika Eve baru keluar dari lift lantai dasar. Langkahnya biasa, tapi hatinya masih sedikit tegang sisa adrenalin dari pertemuan tadi.
Angin sore menerpa rambutnya yang mulai berantakan, tapi dia tidak peduli. Sorot matanya jauh tanpa tujuan.
Sedangkan di depan halaman itu, Darren sudah berdiri sejak beberapa menit yang lalu. Bersandar di pintu mobil dengan seputung rokok yang tersisa setengah.
Tatapannya langsung menangkap sosok Eve di antara karyawan-karyawan yang baru keluar dari kantor.
Mulutnya sedikit membuka, seolah ingin memanggil, menghampiri, tapi langkahnya tertahan.
Tidak jadi.
Dia melihat sesuatu.
Dari balik punggung Eve, dua sosok muncul—gagah, rapi, dan dingin seperti angin dari ruangan penuh AC.
Alexander Ace, dalam setelan hitam yang tidak meninggalkan ruang untuk cela, melangkah keluar. Di sebelahnya, Rayyan, dengan raut wajah kaku.
Mata Darren terpaku.
Detik itu, dunia terasa melambat.
Rokok di tangan kanannya sedikit bergetar, nyaris tak kentara. Napasnya menggantung di udara, namun matanya tetap tak berkedip, menatap pria yang kini berjalan hanya beberapa meter dari Eve.
Ada sesuatu di sana—dalam kerutan kecil di antara alisnya. Rahangnya mengeras diam-diam.
Alex, sebaliknya, berjalan tanpa memedulikan siapa pun di sekitarnya. Seperti biasa. Tapi...
Tepat ketika ia melintas di sisi Eve, tatapannya bergerak sekilas—bukan ke Eve.
Ke Darren.
Tak ada kata. Tak ada anggukan. Hanya sekejap. Tapi cukup untuk membuat udara terasa tebal.
Melihat Darren di depan matanya, Eve mempercepat langkah kakinya.
“Darren? Kau di sini?”
Baru saat itu pria itu tersadar. Ia memaksa senyum yang terlalu tipis untuk disebut nyaman, lalu memadamkan rokok yang masih tersisa.
“Sejak kau pergi dari bar-ku, aku selalu di sini setiap sore.” Darren mendekat, wajahnya berubah kesal. “Dari mana saja kau? Setelah malam itu, kau pikir aku tidak khawatir? Aku mencarimu ke mana-mana, bahkan menunggumu setiap sore di sini. Sekarang kau bertanya seolah tak pernah berdosa padaku.”
Eve mengulas senyum, halus dan manis. “Maaf. Tapi … aku butuh waktu sendiri.”
“Aku mengerti. Tapi setidaknya kabari aku sekali. Kau benar-benar membuatku kualahan.” Darren mendengus, namun ekspresi itu berubah lega setelahnya. “Tapi aku senang melihatmu lagi di sini. Masuklah! Kita perlu lebih banyak bicara.”
Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Eve masuk dengan ringan, duduk di sisinya. Sesekali Darren mencuri pandang. Melihat Eve tidak seberatakan seperti waktu itu, seharusnya membuat Darren ikut lega juga. Tapi ternyata tidak. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Darren, lihatlah ke depan! Jangan melihatku terus! Kau mau membuatku mati kedua kali?”
“Hanya … senang saja melihatmu tidak terjebak terlalu lama. Kupikir aku masih harus menghiburmu lebih lama lagi.”
“Awalnya … aku juga berpikir semua sudah berakhir. Tapi tidak. Aku memiliki duniaku sendiri. Aku akan segera resmi bercerai dengannya. Aku tidak peduli lagi mengenai mereka. Membayangkan mereka tidur bersama saja membuatku jijik.”
“Bagaimana dengan Ayahmu? Apa dia tidak berkomentar apa pun mengenai hubungan kalian?”
Eve tertawa getir. Pandangannya terlempar ke jendela. “Aku sudah lupa kapan terakhir bicara dengannya. Meski begitu, aku juga tidak ingin mendengar komentarnya. Hasil akhirnya sudah jelas.”
Darren melihatnya dari sisi, ekspresinya menghangat. “Tidak peduli seberapa banyak orang yang meninggalkanmu, kau harus tahu kalau kau masih memilikiku.”
Eve menoleh, senyumnya melebar. “Aku tahu. Aku juga tidak takut. Kau lihat, aku masih hidup hingga sekarang. Bahkan aku hidup lebih baik dari sebelumnya. Kau tahu? Hari ini aku naik jabatan. Aku menjadi Sekretaris Presdir.”
Darren terdiam.
Matanya tidak fokus pada jalan. Jemarinya mengepal ringan di setir. “Presdir?” gumamnya pelan. “Yang tadi?”
“Selama ini Presiden Direktur tidak pernah menunjukkan diri di perusahaan. Tadi pagi adalah pertama kali dia muncul. Dan ternyata, pria itu adalah pria yang sama yang menolongku saat di bar waktu itu. Katanya aku salah masuk toilet, dan aku pingsan di sana. Dia yang membawaku.”
Tiba-tiba Darren memotong jalur mendadak, menginjak rem tanpa perhitungan. Tubuh Eve yang terikat dengan seatbelt terdorong maju, lalu tertarik mundur lagi dengan keras.
Dada Eve berdebar keras. Dia merasa nyawanya baru saja terlempar.
“Darren, kau apa-apaan, sih?”
Namun Darren tidak melihatnya. Tatapannya lurus, tajam dan dalam. Seluruh tubuhnya menegang, hingga Eve bisa melihat permukaan dadanya yang naik turun dengan cepat.
“Darren, ada apa?” tanyanya lagi.
“Eve, aku … aku minta kau berhenti dari pekerjaanmu.”
“Apa?!” Tidak percaya, Eve melihatnya lebih dekat. “Kau bilang apa tadi? Kau memintaku berhenti dari pekerjaanku?”
“Eve.” Darren melihatnya, dan kali ini tatapan mata pria itu benar-benar tidak memiliki keraguan sedikit pun. “Pria yang kau bicarakan itu, Presiden Direkturmu, dia pria berbahaya. Jangan pernah dekat dengannya dengan alasan apa pun.”
“Tapi- tapi kenapa? Apanya yang berbahaya?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, keluar saja dari perusahaan itu. Selama ini aku diam karena dia tidak pernah menunjukkan diri. Dan sekarang tiba-tiba muncul, dan memintamu menjadi Sekretarisnya. Apa kau tidak curiga?”
“Aku butuh pekerjaan, Darren!”
“Aku bisa mencarikan yang lain.”
“Tapi tidak ada perusahaan yang menggaji karyawan mereka sebesar Ace Corporation.”
“Eve—“
“Darren.” Eve memotong lebih dulu. “Jika aku keluar, ke mana lagi harus cari kerja dengan bayaran yang setara dengan yang aku peroleh saat ini? Selain itu, aku hanya bekerja sebagai Sekretarisnya. Selesai jam kerja, aku pulang. Hanya itu.”
Memang apa yang berbahaya? Dia hanya lelaki imp0ten! Bahkan saat menggantikan pakaiannya kemarin saja, tidak ada yang terjadi di antara mereka. Jika itu pria lain, sudah pasti akan berbeda cerita.
Sudah seminggu berlalu sejak perceraian itu resmi tercatat.
Tanpa tangisan. Tanpa pengacara yang berlarut.
Eve tidak menuntut apa-apa. Dan mungkin karena itulah Noah tak keberatan mempercepat semuanya.
Sekarang, dia bukan lagi Ny. Noah Alison.
Ironisnya, setelah semua luka itu, Eve justru merasa … lega.
Bukan karena perpisahan ini yang ia inginkan. Bukan karena ia tak pernah mencintai Noah.
Justru sebaliknya. Dulu, dia mencintai pria itu dengan segala ketulusannya.
Namun semua itu hancur seperti kaca dibanting ke lantai. Digantikan oleh satu rasa yang kini mendiami seluruh rongga dadanya—jijik.
Hari ini, dia ingin merayakan perceraiannya.
Eve melangkah santai ke arah eskalator, hendak turun ke lantai bawah. Musik instrumental mengalun pelan dari speaker mall. Aroma kopi dari café-café bersaing dengan parfum wanita dari toko-toko sekitar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa menjadi dirinya sendiri.
Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok familiar.
Di lorong dekat toko perlengkapan bayi, berdiri seorang wanita dengan perut membuncit, dikelilingi keranjang belanja berisi botol susu, popok, dan beberapa pakaian bayi.
Celline.
Mata mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Perutnya jauh lebih besar dari yang ia duga. Delapan bulan lebih, mungkin.
Eve hendak berlalu begitu saja.
Namun tentu saja, Celline tidak akan membiarkannya.
“Hai Kak, lama tidak melihatmu,” katanya sembari mengulas senyum. Matanya menelisik Eve, sekilas memandang barang belanjaan wanita itu juga. “Aku tidak menyangka, akhirnya … kau menyerah. Begitu cepat dari yang aku pikirkan.”
Eve mendengus sinis. “Aku punya hal-hal yang lebih berharga untuk kulakukan daripada buang waktu menghadapi akting murahanmu. Lagipula … kalian memang cocok. Ambil saja. Bukankah kau menyukai itu?”
“Kau tidak salah mengatakan itu? Bukankah di sini kau adalah pihak yang dibuang? Jika tidak, mana mungkin bayi kami bertahan hingga sekarang?” Celline menyeringai, mendekat selangkah tepat di depan mata Eve.
Jemari lentiknya mengusap lengan Eve. Gerakannya halus dan hangat, tapi sorot matanya tajam. “Kakak, aku merasa kasihan padamu. Pada akhirnya, tidak peduli apa pun yang kau katakan, kau tidak bisa memungkiri bahwa tidak ada yang tersisa untukmu selain wanita sampah!”
Jari-jari Celline yang dingin menyentuh lengan Eve, seolah hendak mengelus, tapi cengkeramannya tiba-tiba mencubit kuat. Gerakannya halus, tapi penuh tekanan, seperti ular yang siap menggigit.
Eve mengibaskan lengannya, tidak sengaja mendorong Celline. Siapa yang akan menyangka bahwa dorongan itu memberi efek yang lebih besar?
Celline terdorong mundur beberapa langkah, tubuhnya jatuh dengan keras menghantam trolli sampai dia jatuh ke atas lantai.
Jeritan nyaring menggema. Beberapa orang langsung berlari. Eve terpaku, matanya membesar saat melihat tubuh Celline tergeletak sambil mengerang, kedua tangannya menggenggam perutnya.
"Aaahh—aku sakit—aku sakit!!"
Darah mulai merembes dari bagian bawah rok putih yang ia kenakan.
Aku tidak mendorongnya. Aku tidak … sengaja. Sial … apa yang baru saja terjadi?
“Panggil ambulans!” teriak seseorang.
Eve membeku. Dunia terasa seperti pecah di telinganya.
Orang-orang mulai menatapnya. Beberapa sudah mengangkat ponsel mereka, merekam. Mulut-mulut mulai berbisik, dan akhirnya memaki terang-terangan.
“Kau benar-benar tidak punya hati! Bagaimana kau bisa tega mendorong wanita hamil?!”
Dan sekarang Celline pingsan di depan matanya. Dada Eve terasa sesak.
Di sekelilingnya, kamera merekam. Mata menatap tajam.
Dan hanya satu kalimat yang menggema dalam kepalanya, berulang-ulang:
‘Ini bukan salahku … bukan … salahku.’
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!