Jodoh Warisan
Namaku Malea, aku tumbuh dalam keluarga terpandang. Di kenal di lingkungan sebagai gadis berpendidikan.
Cantik, tinggi, berprestasi.
Aku anak pertama dari dua bersaudara.
Dimas, adik laki-lakiku selalu patuh pada perintah ibu. Beda denganku yang akan langsung menolak jika aku keberatan.
Dan ibuku adalah wanita keras kepala yang selalu mengedepankan gengsi, egois, namun tegas.
Sangat menjaga nama baik keluarga.
Sejak ayah meninggal tiga tahun lalu, ibuku mengambil alih semua keputusan keluarga.
Termasuk keputusan yang akan mengubah hidupku sepenuhnya.
Sore hari, tepatnya pukul 16:00 Wib, aku baru saja pulang dari kantor.
Aku yang hendak menaiki tangga menuju kamar, langkahku terjeda saat mendengar panggilan ibu.
Aku berhenti, menoleh ke belakang, baru kemudian berbalik.
"Iya bu, ada apa?" Ku lihat wajah ibu sangat serius, seperti menyimpan sesuatu yang besar.
"Kemarilah, ibu mau bicara!"
Mendengar kalimatnya, akupun melangkah menghampirinya.
Ketika sudah berada di depan ibu, beliau menggandeng tanganku dan membawaku ke ruang keluarga.
Kompak, kami duduk saling berhadapan di sofa.
Satu detik setelah kami berada di posisi masing-masing, dan setelah sebelumnya ibu menghela napas panjang, beliau bersuara.
"Malea, kamu sudah cukup umur. Ibu ingin kamu menikah" Ucapnya tenang, tapi tegas.
Aku tertawa kecil, menganggap kalau kalimat ibu hanya sebuah candaan.
Ya... Sebab menikah bukanlah perkara gampang. Harus ada calon suami yang sesuai menurut kriteria.
"Soal itu, nanti juga aku akan menikah, bu. Dan soal jodoh, kalau waktunya tiba, nanti akan datang sendiri" Balasku santai.
Ibu menatapku lurus.
"Bukan nanti, tapi Minggu depan kamu menikah"
Aku kaget, darahku seketika naik.
"Apa maksud ibu?" Tanyaku datar, tanpa ekspresi. "Menikah itu nggak semudah membalikkan telapak tangan bu, aku bahkan tidak punya pacar"
"Ibu sudah memilihkan jodoh yang pas buat kamu" Katanya, seakan apa yang sedang di bicarakan adalah hal sepele.
"Lelaki itu orang baik, dan ini demi kehormatan keluarga kita"
Entah dari mana datangnya, mendadak aku di kuasai api amarah. Bagaimana tidak, ini bukanlah jaman Siti Nurbaya, kenapa main jodoh-jodohan?
"Siapa dia, bu? Anak pejabat? Rekan bisnis ibu? Atau anak teman ibu, kah?" Nada suaraku sungguh tak enak di dengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
Ibu diam sejenak, lalu menjawab perlahan dan terkesan ragu-ragu.
"Dia.. orang yang setiap hari duduk di depan terminal bus. D-dia mengemis di sana"
Mendengarnya, duniaku rasanya runtuh persekian detik di hadapanku.
"Seorang pengemis?" Kataku tak percaya, seraya menahan gejolak amarah yang tiba-tiba memuncak.
"Iya, ibu sudah janji pada almarhum ayahmu. Kami pernah berhutang Budi padanya, dan ini adalah bagian dari janji yang harus ibu tepati"
"Aku tidak mau, Bu!" Tolakku tegas. Tentu saja.
Wanita independent sepertiku harus menikah dengan pria lusuh seorang pengemis.
Ini gila..
Siapa yang berjanji, siapa pula yang harus menepati?
Aku,, di jadikan alat untuk menepati janji kedua orang tuaku.
Tidak bisa...
"Apa maksudmu tidak mau, Lea?" Tanya ibu. Tatapannya memerah seperti menahan marah.
"Yang benar saja Bu... Ibu mau menikahkan ku dengan seorang pengemis? Apa ibu nggak malu pada teman ibu, para tetangga, dan saudara-saudara kita?"
"Tapi ini demi kehormatan keluarga kita"
"Kehormatan yang mana? Justru ini adalah petaka untuk keluarga kita Bu"
"Pokoknya ibu nggak mau tahu. Ibu sudah mempersiapkan segalanya, pernikahan itu akan di langsungkan Minggu depan. Mau nggak mau, setuju nggak setuju, kamu tetap akan menikah" Tegasnya.
Usai mengatakan itu, ibu langsung bangkit dari duduknya. Sebelum beranjak dari hadapanku, dia kembali menyerukkan suaranya.
"Dia pria baik-baik Lea, kamu akan beruntung menjadi istrinya. Dan ini juga untuk kebaikanmu, jadi menurutlah!" Tanpa rasa bersalah, ibu kemudian pergi meninggalkanku yang masih duduk termangu dengan raut heran.
menarik napas panjang, aku masih belum percaya dengan permintaan ibu.
Padahal di luar sana ada banyak ibu yang rata-rata menginginkan anaknya di nikahi oleh seorang pria kaya, punya kedudukan tinggi, dan nama baik yang bagus. Tapi ibuku?
Beliau malah memintaku menikah dengan seorang pengemis.
Ibu bilang ini demi kehormatan keluarga, lantas bagaimana dengan kehormatanku? Bagaimana dengan nama baikku di depan teman-teman, rekan kerja dan tetangga?
Apakah ibu tidak berfikir kesana?
Ku gelengkan kepalaku ringan.
Ku jaga mahkotaku demi pria yang setara denganku, yang akan ku jadikan teman hidupku kelak, tapi aku justru harus menikahi pria rendahan.
"Pengemis?" Gumamku, tersenyum miring.
***
Hubunganku dengan ibuku kian menegang, ku pikir ini cuma ancaman atau permainan emosi, tapi di hari-hari berikutnya berubah menjadi neraka.
Ibu mengancamku akan menghapus namaku dari kartu keluarga, menarik semua fasilitasku, bahkan memblokir semua akses ke rekeningku.
Serius, terlalu serius.
Puncaknya detik ini, aku di seret secara emosional oleh kata-kata terakhir ibu.
Saat sedang makan malam, ibu kembali membahas soal perjodohan itu.
"Kamu pikir kamu siapa, Malea? Kalau bukan karena ayahmu, kamu tidak akan pernah hidup senyaman ini"
"Tapi bu_"
"Kamu tidak berhak menolak, kamu juga tidak berhak memilih jodohmu sendiri!" Potong ibu dengan nada galak. "Ini semacam balas Budi, dan kamu harus membayarnya"
Sadis, sangat sadis. Terutama nada bicara ibu.
"Dengan menikahi seorang pengemis, Bu?"
"Hmm...!!"
Spontan air mataku mengalir, dan aku tahu aku kalah.
Dari perkataan ibu itu, aku tidak bisa lagi membantah. Aku tahu persis bahwa di keluarga ini, kehormatan serta hutang budi lebih penting dari pada kebahagiaan anak sendiri.
"Ibu melakukan ini demi kamu, lelaki itu akan menjagamu, menjaga kehormatan dan nama baikmu"
"Ibu tidak memikirkan perasaanku sebelum ibu menentukannya, bu?" Aku mencoba bernegoisasi untuk meminta belas kasih.
"Justru sudah ibu pikirkan matang-matang"
"Lebih baik menurut saja mbak, aku yakin ini yang terbaik buat embak" Adiku Dimas, ikut nimbrung.
"Masalahnya dia seorang pengemis, Dimas!" Balasku dengan nada penuh penekanan.
"Jaga bicaramu, Lea" Sentak Ibu, seakan tak terima saat aku menyebutnya seorang pengemis. "Dia calon suamimu, hargai dan hormati dia!"
"Ibu memintaku untuk menghargai dan menghormati pria yang tidak aku kenal, ibu terlalu mendramatisir semuanya"
"Ibu tidak mau mendengar bantahanmu, pernikahan kamu akan di langsungkan dalam tiga hari ke depan, ibu tidak mau ada perdebatan lagi darimu, mengerti!" Ibu lantas meraih gelas, setelah meminumnya hingga air itu tak tersisa, dia lantas mengelap mulutnya menggunakan tisu, baru kemudian bangkit.
"Sebenarnya aku juga keberatan mbak nikah dengan seorang pengemis, tapi ibu tak terbantahkan, mbak" Ujar Dimas usai kepergian ibu dari meja makan.
"Mbak nggak tahu setan mana yang merasuki ibu"
"Hus.. Jangan ngomong gitu, mbak. Mungkin ini adalah keputusan ibu yang paling baik buat mbak. Mbak tahu kan kalau selama ini langkah yang ibu ambil nggak pernah meleset"
"Terbaik apanya? Terburuk, iya" Gerutuku kesal.
"Aku harap mbak Lea nggak ada niat buat kabur di hari pernikahan. Ingat ancaman ibu, mbak" Kata-kata Dimas bagaikan sembilu yang sangat tajam. "Mbak bukan lagi bagian dari keluarga ini jika mbak melakukan itu. Dan mbak tahu sendiri ibu sangat berpengaruh dalam hidup mbak. Mbak Lea tidak akan bisa hidup tanpa fasilitas dari ibu"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
yellya
aduh udh 14 episode aja ini, hai kak anne
2025-07-12
0
Miko Celsy exs mika saja
hadir mba anne
2025-06-28
0
Lyzara
krya bru siap baca
2025-06-26
0