Setelah sebulan berada dalam pernikahan ini, hidupku seakan kian hari selalu di rundung keresahan, ketakutan, serta rasa tidak tenang.
Satu bulan tinggal di sini dengan apa adanya, lambat laun aku menjadi terbiasa, bahkan aku lupa seperti apa rasanya hidup enak.
Aku terpaksa menerima uang nafkah sebesar lima puluh ribu per hari dari suamiku, sebab gajiku sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhanku setiap bulan.
Baru kali ini aku merasa kekurangan, dan aku tidak tahu kemana aku harus mengadu. Dunia seakan menentangku dan tidak memihak padaku.
Putus asa?
Tentu saja, kadang terbersit di pikiranku untuk pergi dari sini, tapi kemana aku harus pergi?
Ibu yang selalu mengingatkanku untuk tetap bertahan, dan adikku yang juga mendukung sikap ibuku, seolah tidak ada yang benar-benar bisa aku mintai pertolongan.
Minta tolong ke teman??
Ah tidak mungkin, ini saja tidak ada rekan kantor yang tahu kalau gajiku menurun. Apa jadinya jika mereka tahu kondisiku yang sebenarnya, mereka pasti akan menertawakanku, bahkan mengejekku habis-habisan.
Menarik napas, tiba-tiba ku dengar suara pintu terbuka, lalu seseorang mengucap salam.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" Sahutku terdengar cuek di telingaku.
Hari ini hari liburku, dan seharian ini aku berada di rumah saja. Sendirian, karena Arga pergi entah kemana.
"Dari mana saja, kamu?" Tanyaku tanpa melihatnya. Fokusku penuh tertuju ke halaman majalah yang sedang aku baca.
"Dari terminal"
"Oh, ya? Di sebelah mana kamu meminta-minta? Aku tidak melihatmu tadi?"
"Aku bekerja"
"Kerja apa?"
"Jadi kuli panggul di pasar"
"Baguslah setidaknya kamu ingat pesanku untuk berhenti meminta-minta"
Pria itu langsung pergi menuju dapur, namun baru saja tiga langkah, aku buru-buru mencegahnya.
"Tunggu!" Ku tatap punggungnya penuh selidik.
"Ada apa?" Dia bersuara tanpa berbalik menghadapku.
"Kamu bilang jadi kuli panggul, kok aku nggak melihat rasa lelah di wajahmu? Apa kamu membohongiku? Kamu masih mengemis di sana?"
Dia mendesah pelan. "Aku sudah istirahat sebelum pulang"
"Tapi kenapa bajumu nggak kotor?"
Kali ini ku lihat dia menarik napas dalam-dalam.
"Aku capek, aku mau mandi" Ujarnya, kemudian Arga kembali melanjutkan langkah.
Aku diam termangu, tapi ku pikir ya sudahlah, mungkin benar dia sudah istitarahat, jadi lelahnya pun sudah hilang.
Beberapa menit kemudian, dia yang sudah selesai mandi dan tampak lebih segar dari sebelumnya, tahu-tahu menghampiriku lalu menyodorkan uang satu lembar seratus ribuan.
Dia berkata sembari meletakkan uang kertas itu di atas meja.
"Masaklah yang lebih enak besok, aku dapat uang lebih hari ini"
Ckkk... Uang lebih?? Cuma seratus ribu dia bilang uang lebih?
Aku berdecak meremehkan.
Ada rasa curiga sebenarnya, tapi aku segera menepis karena yang aku tahu Arga termasuk orang yang agamis, dia bahkan tak pernah melewatkan sholat wajib dan sholat malam barang sehari. Sholat duha juga dia lakukan sebelum pergi ke terminal. Rasanya mustahil kalau dia berbohong. Tidak mungkin..
Yaa tidak mungkin dia masih mengemis.
"Tadi aku nggak sengaja bertemu ibu di pasar, beliau titip salam untukmu" Cicitnya setelah ada jeda sesaat.
"Cuma nitip salam? Kenapa nggak kamu ajak kemari?"
"Ckck... Pasti kamu malu membawa ibuku ke rumah sempit ini kan? dan ibu pasti juga nggak sudi kalau harus main ke sini" Aku menjawab untuk pertanyaanku sendiri sambil terus memindai dirinya yang hendak duduk di kursi.
"Terimakasih sudah lebih ikhlas dari sebelumnya? Berkat keihlaksanmu bersedia tinggal di rumah kecil ini. Rezekiku sedikit bertambah. Teruslah seperti ini, supaya rezeki suamimu lancar"
Apa?? Bukannya menanggapi kalimatku soal ibu, malah dia bicara mengenai hal lain?
Ikhlas?
Bukan ikhlas, tapi terpaksa lebih tepatnya.
Benar-benar tidak ada canda tawa di antara kami, hanya sorot dingin dan kaku yang selalu kami tunjukkan. Bukan kami, hanya aku yang selalu ketus padanya.
Tapi belakangan ini aku merasa tersanjung oleh sikapnya yang lemah lembut dan bersahaja, tidak pernah marah, dan selalu berbicara dengan nada rendah padaku.
Dia tidak pernah komplain dengan rasa masakan yang aku buat, selalu menghabiskannya padahal rasanya terkadang tidak pas di lidah.
Selalu mencuci bajunya sendiri, dan kadang juga membantuku mengurus rumah.
Sesabar itu memang...?
Tapi tetap saja tidak mampu membuatku terpesona, apalagi mencintainya.
Dia pria asing yang tiba-tiba merubah hidupku seratus delapan puluh derajat, karena kehadirannya pula, nasibku menjadi apes begini.
Dia pembawa sial, pembawa malapetaka buatku.
Sampai kapanpun, aku akan tetap membencinya.
***
Pukul 21:30 malam, aku bersiap tidur di atas ranjang yang sama sekali tidak ada busa. Dulu badanku sampai pegal-pegal, tapi seiring berjalannya waktu, aku benar-benar sudah terbiasa tidur di tempat seperti ini.
Dan malam ini, tidurku sangat nyenyak, aku tidak terbangun sama sekali. Sampai tiba waktu subuh, aku yang hendak membuka mata, urung ku lakukan sebab aku tengah memergoki Arga pergi secara diam-diam.
Ini aneh, sudah tiga kali ku pergoki dia pergi di pagi buta begini, dan selalu pulang malam dalam kondisi tubuh yang tidak kotor, bahkan terlihat bersih dan segar seakan dia tidak benar-benar bekerja sebagai kuli panggul, ataupun mengemis.
Biasanya aku tak memperdulikannya, tapi kali ini naluriku seakan memintaku untuk mencari tahu alasan Arga pergi diam-diam tanpa berpamitan padaku.
Pelan, aku bangkit dari ranjang, berjalan keluar kamar tanpa sepengetahuan Arga.
Dia pun sama, keluar mengendap-endap, dengan tanpa suara sedikitpun. Mungkin dia takut aku terbangun.
Saat dia berhasil keluar dari rumah, dia mengunci pintu utama dari luar, aku bergegas lari lantas mengintipnya dari balik jendela melalui celah korden yang ku buka sedikit.
"Mau kemana dia?" Gumamku lirih.
Sepasang mataku tak lepas dari pria yang perlahan menjauh dari pandanganku.
Semakin jauh melangkah, aku terkejut sebab dia menghampiri sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumah tetangga kami.
Ya,, mobil yang sering kulihat di sana.
Tak hanya itu, dia memasuki mobil berwarna hitam mengkilap tersebut, lalu kemudian melajukannya dengan kecepatan sedang.
Reflek, ku tutup mulutku sendiri menggunakan telapak tangan.
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang sudah ku lihat.
Seorang pengemis, apa mungkin memiliki mobil mewah yang hanya di miliki oleh kalangan elit saja? Seorang pengemis yang begitu lihai dalam mengendalikan sebuah mobil? Seakan-akan menyetir adalah hal yang sudah biasa dia lakukan.
Siapa sebenarnya suamiku?
Jantungku berdegup kencang seperti mau lepas dari tempatnya.
Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti masuk secara bertubrukan ke dalam otakku.
"Apa yang dia sembunyikan dariku?"
"Rahasia apa yang dia miliki?"
"Sejak kapan?"
"Kenapa harus ada rahasia?"
Tanpa sadar tubuhku merosot dan akhirnya aku terduduk lesu di lantai.
Masih dengan pemikiranku.
Sebagian dari diriku merasa tak percaya, tapi faktanya dia memasuki mobil itu, aku melihatnya sendiri dengan kedua mataku.
"Argantara?!" Lirihku sambil terus mengingat-ingat sesuatu di balik nama itu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
tiara
rahasia suami yang dibilang pengemis oleh ibunya sepertinya mulai terungkap tunggu kejutan berikutnya pasti tambah kaget
2025-06-26
0
Tiah Fais
tar juga klu tahu si Arga kaya nyesel lo
2025-06-26
0
Ny Naya
prnh baca Kya gini jg,tp lupaa dmna
2025-06-26
0