Namaku Malea, aku tumbuh dalam keluarga terpandang. Di kenal di lingkungan sebagai gadis berpendidikan.
Cantik, tinggi, berprestasi.
Aku anak pertama dari dua bersaudara.
Dimas, adik laki-lakiku selalu patuh pada perintah ibu. Beda denganku yang akan langsung menolak jika aku keberatan.
Dan ibuku adalah wanita keras kepala yang selalu mengedepankan gengsi, egois, namun tegas.
Sangat menjaga nama baik keluarga.
Sejak ayah meninggal tiga tahun lalu, ibuku mengambil alih semua keputusan keluarga.
Termasuk keputusan yang akan mengubah hidupku sepenuhnya.
Sore hari, tepatnya pukul 16:00 Wib, aku baru saja pulang dari kantor.
Aku yang hendak menaiki tangga menuju kamar, langkahku terjeda saat mendengar panggilan ibu.
Aku berhenti, menoleh ke belakang, baru kemudian berbalik.
"Iya bu, ada apa?" Ku lihat wajah ibu sangat serius, seperti menyimpan sesuatu yang besar.
"Kemarilah, ibu mau bicara!"
Mendengar kalimatnya, akupun melangkah menghampirinya.
Ketika sudah berada di depan ibu, beliau menggandeng tanganku dan membawaku ke ruang keluarga.
Kompak, kami duduk saling berhadapan di sofa.
Satu detik setelah kami berada di posisi masing-masing, dan setelah sebelumnya ibu menghela napas panjang, beliau bersuara.
"Malea, kamu sudah cukup umur. Ibu ingin kamu menikah" Ucapnya tenang, tapi tegas.
Aku tertawa kecil, menganggap kalau kalimat ibu hanya sebuah candaan.
Ya... Sebab menikah bukanlah perkara gampang. Harus ada calon suami yang sesuai menurut kriteria.
"Soal itu, nanti juga aku akan menikah, bu. Dan soal jodoh, kalau waktunya tiba, nanti akan datang sendiri" Balasku santai.
Ibu menatapku lurus.
"Bukan nanti, tapi Minggu depan kamu menikah"
Aku kaget, darahku seketika naik.
"Apa maksud ibu?" Tanyaku datar, tanpa ekspresi. "Menikah itu nggak semudah membalikkan telapak tangan bu, aku bahkan tidak punya pacar"
"Ibu sudah memilihkan jodoh yang pas buat kamu" Katanya, seakan apa yang sedang di bicarakan adalah hal sepele.
"Lelaki itu orang baik, dan ini demi kehormatan keluarga kita"
Entah dari mana datangnya, mendadak aku di kuasai api amarah. Bagaimana tidak, ini bukanlah jaman Siti Nurbaya, kenapa main jodoh-jodohan?
"Siapa dia, bu? Anak pejabat? Rekan bisnis ibu? Atau anak teman ibu, kah?" Nada suaraku sungguh tak enak di dengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
Ibu diam sejenak, lalu menjawab perlahan dan terkesan ragu-ragu.
"Dia.. orang yang setiap hari duduk di depan terminal bus. D-dia mengemis di sana"
Mendengarnya, duniaku rasanya runtuh persekian detik di hadapanku.
"Seorang pengemis?" Kataku tak percaya, seraya menahan gejolak amarah yang tiba-tiba memuncak.
"Iya, ibu sudah janji pada almarhum ayahmu. Kami pernah berhutang Budi padanya, dan ini adalah bagian dari janji yang harus ibu tepati"
"Aku tidak mau, Bu!" Tolakku tegas. Tentu saja.
Wanita independent sepertiku harus menikah dengan pria lusuh seorang pengemis.
Ini gila..
Siapa yang berjanji, siapa pula yang harus menepati?
Aku,, di jadikan alat untuk menepati janji kedua orang tuaku.
Tidak bisa...
"Apa maksudmu tidak mau, Lea?" Tanya ibu. Tatapannya memerah seperti menahan marah.
"Yang benar saja Bu... Ibu mau menikahkan ku dengan seorang pengemis? Apa ibu nggak malu pada teman ibu, para tetangga, dan saudara-saudara kita?"
"Tapi ini demi kehormatan keluarga kita"
"Kehormatan yang mana? Justru ini adalah petaka untuk keluarga kita Bu"
"Pokoknya ibu nggak mau tahu. Ibu sudah mempersiapkan segalanya, pernikahan itu akan di langsungkan Minggu depan. Mau nggak mau, setuju nggak setuju, kamu tetap akan menikah" Tegasnya.
Usai mengatakan itu, ibu langsung bangkit dari duduknya. Sebelum beranjak dari hadapanku, dia kembali menyerukkan suaranya.
"Dia pria baik-baik Lea, kamu akan beruntung menjadi istrinya. Dan ini juga untuk kebaikanmu, jadi menurutlah!" Tanpa rasa bersalah, ibu kemudian pergi meninggalkanku yang masih duduk termangu dengan raut heran.
menarik napas panjang, aku masih belum percaya dengan permintaan ibu.
Padahal di luar sana ada banyak ibu yang rata-rata menginginkan anaknya di nikahi oleh seorang pria kaya, punya kedudukan tinggi, dan nama baik yang bagus. Tapi ibuku?
Beliau malah memintaku menikah dengan seorang pengemis.
Ibu bilang ini demi kehormatan keluarga, lantas bagaimana dengan kehormatanku? Bagaimana dengan nama baikku di depan teman-teman, rekan kerja dan tetangga?
Apakah ibu tidak berfikir kesana?
Ku gelengkan kepalaku ringan.
Ku jaga mahkotaku demi pria yang setara denganku, yang akan ku jadikan teman hidupku kelak, tapi aku justru harus menikahi pria rendahan.
"Pengemis?" Gumamku, tersenyum miring.
***
Hubunganku dengan ibuku kian menegang, ku pikir ini cuma ancaman atau permainan emosi, tapi di hari-hari berikutnya berubah menjadi neraka.
Ibu mengancamku akan menghapus namaku dari kartu keluarga, menarik semua fasilitasku, bahkan memblokir semua akses ke rekeningku.
Serius, terlalu serius.
Puncaknya detik ini, aku di seret secara emosional oleh kata-kata terakhir ibu.
Saat sedang makan malam, ibu kembali membahas soal perjodohan itu.
"Kamu pikir kamu siapa, Malea? Kalau bukan karena ayahmu, kamu tidak akan pernah hidup senyaman ini"
"Tapi bu_"
"Kamu tidak berhak menolak, kamu juga tidak berhak memilih jodohmu sendiri!" Potong ibu dengan nada galak. "Ini semacam balas Budi, dan kamu harus membayarnya"
Sadis, sangat sadis. Terutama nada bicara ibu.
"Dengan menikahi seorang pengemis, Bu?"
"Hmm...!!"
Spontan air mataku mengalir, dan aku tahu aku kalah.
Dari perkataan ibu itu, aku tidak bisa lagi membantah. Aku tahu persis bahwa di keluarga ini, kehormatan serta hutang budi lebih penting dari pada kebahagiaan anak sendiri.
"Ibu melakukan ini demi kamu, lelaki itu akan menjagamu, menjaga kehormatan dan nama baikmu"
"Ibu tidak memikirkan perasaanku sebelum ibu menentukannya, bu?" Aku mencoba bernegoisasi untuk meminta belas kasih.
"Justru sudah ibu pikirkan matang-matang"
"Lebih baik menurut saja mbak, aku yakin ini yang terbaik buat embak" Adiku Dimas, ikut nimbrung.
"Masalahnya dia seorang pengemis, Dimas!" Balasku dengan nada penuh penekanan.
"Jaga bicaramu, Lea" Sentak Ibu, seakan tak terima saat aku menyebutnya seorang pengemis. "Dia calon suamimu, hargai dan hormati dia!"
"Ibu memintaku untuk menghargai dan menghormati pria yang tidak aku kenal, ibu terlalu mendramatisir semuanya"
"Ibu tidak mau mendengar bantahanmu, pernikahan kamu akan di langsungkan dalam tiga hari ke depan, ibu tidak mau ada perdebatan lagi darimu, mengerti!" Ibu lantas meraih gelas, setelah meminumnya hingga air itu tak tersisa, dia lantas mengelap mulutnya menggunakan tisu, baru kemudian bangkit.
"Sebenarnya aku juga keberatan mbak nikah dengan seorang pengemis, tapi ibu tak terbantahkan, mbak" Ujar Dimas usai kepergian ibu dari meja makan.
"Mbak nggak tahu setan mana yang merasuki ibu"
"Hus.. Jangan ngomong gitu, mbak. Mungkin ini adalah keputusan ibu yang paling baik buat mbak. Mbak tahu kan kalau selama ini langkah yang ibu ambil nggak pernah meleset"
"Terbaik apanya? Terburuk, iya" Gerutuku kesal.
"Aku harap mbak Lea nggak ada niat buat kabur di hari pernikahan. Ingat ancaman ibu, mbak" Kata-kata Dimas bagaikan sembilu yang sangat tajam. "Mbak bukan lagi bagian dari keluarga ini jika mbak melakukan itu. Dan mbak tahu sendiri ibu sangat berpengaruh dalam hidup mbak. Mbak Lea tidak akan bisa hidup tanpa fasilitas dari ibu"
Bersambung
Hari pernikahan pun tiba, dan ini pertama kalinya aku melihat wajah si pengemis itu.
Di depan beberapa saksi serta penghulu, aku duduk bersanding dengan pria berpakaian lusuh.
Wajahnya kusam, kulitnya gelap karena matahari, rambutnya acak-acakan, dan penampilannya sangat jauh dari kata pantas.
Meskipun sudah memakai pakaian rapi, tetap saja kesan pengemis masih melekat dalam dirinya.
Tak banyak orang yang menghadiri pernikahanku, sebab aku memberikan syarat jika pernikahan hanya akan di hadiri oleh keluarga dan tetangga sekitar rumah.
Dan orang-orang yang datang untuk menyaksikan pernikahanku, memandangku dengan sorot aneh sekaligus kasihan.
Aku, Malea...
Lulusan universitas ternama di Surabaya, seorang menejer di perusahaan elit, menikah dengan seorang pengemis terminal, namanya Argantara.
Nama yang tak asing bagiku, seperti sebuah nama perusahaan besar. Tapi apalah daya, itu hanya sebuah nama.
Mendengkus lirih...
Dalam situasi yang menegangkan, pria itu menjabat tangan Dimas erat-erat.
Ibuku, menjadikan adikku wali nikah untukku.
"Saudara Argantara Diharjo, saya nikahkan engkau, dengan kakak saya Melea Aureli Hidayat, binti Adi Hidayat, almarhum, dengan seperangkat alat sholat dan uang di bayar, tunai"
Pria itu, dalam satu tarikan nafas menyahut.
"Saya terima nikah dan kawinnya Malea Aureli Hidayat, binti Adi Hidayat, almarhum, dengan mahar yang telah di sebutkan, tunai"
"Bagaimana para saksi? Sah?" Tanya si penghulu.
"Sah" Jawab dari ke dua saksi di samping kanan kiri.
Penghulu pun memanjatkan sebuah kalimat untuk mendoakan kelanggengan pernikahan ini.
Setelah ijab selesai, pria yang biasa di panggil Arga oleh ibuku memandangku lalu berucap.
"Terimakasih Lea, sudah bersedia menikah denganku"
Aku berpaling, aku bahkan tidak sanggup membalas sepasang manik gelapnya, merasa jijik jika harus bersitatap dengannya.
Dalam hati aku bersumpah,
Pernikahan ini hanyalah formalitas, dia bukan siapa-siapa, dia tidak akan pernah bisa menyentuhku. Dan aku akan berusaha cari cara untuk keluar dari pernikahan ini.
Secepat mungkin.
Tapi aku tidak tahu itu kapan, karena drama paling besar ini baru saja aku mulai. Dan aku menjadi lakon di kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku.. hanya bisa menghembuskan nafas frustasi.
****
Pesta pernikahan yang hambar dan minim tamu akhirnya selesai, aku buru-buru naik memasuki kamar.
Tak ku hiraukan pria yang baru saja sah menjadi suamiku akan tidur dimana, yang pasti aku tidak sudi membawanya masuk ke kamarku.
Tepat pukul sebelas malam, pintu kamar di ketuk dari luar.
Ibu memanggil namaku setelah beberapa kali berusaha memutar handle pintu. Namun tak berhasil di buka.
"Buka pintunya, Lea!" Serunya dengan sedikit agak keras.
Aku pun bangkit lalu melangkah.
"Iya, bu" Kataku sesaat setelah aku membuka pintu.
Bukannya meresponku, ibu malah beralih menoleh ke arah pria yang berdiri di belakangnya.
"Arga masuklah, ini kamar Malea, kamar kamu juga"
"Terimakasih, Bu"
Ibu tersenyum, lalu pergi tanpa menatapku barang sebentar.
Sebenarnya aku enggan menyuruhnya masuk, tapi apa boleh buat.
"Masuklah!" Perintahku dingin.
"Tapi ingat, jangan sentuh apapun karena pernikahan kita hanya berlaku di depan ibu saja" Tambahku, kali ini dengan sorot menghujam.
Dia mengangguk paham.
Setelah masuk, aku menyuruhnya membersihkan diri.
"Di kamar mandi ada sabun batang, kamu bisa pakai itu. Nanti setelah mandi kamu bisa tidur di sofa" Nadaku Masih dingin, sedingin cuaca malam ini yang sedang hujan.
Bagi sepasang suami istri yang menikah karena cinta, mungkin ini akan menjadi malam yang indah dan berkesan.
Namun tidak bagiku..
Malam pertama sebagai suami istri, tidak ada suasana romantis, tidak ada perbincangan manis, tidak ada tatapan cinta.
Hanya keheningan yang menyelimuti kami sampai tiba waktu subuh.
***
Dua hari setelah pernikahan, aku di boyong ke rumah kontrakan kecil di pinggir kota.
Rumah ini sempit, dindingnya terbuat dari triplek yang sangat tipis.
Arga membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk.
Tanpa menatapku ia berkata.
"Maaf rumahnya kecil" Suaranya rendah dan terdengar lembut, akan tetapi tak serta Merta membuatku luluh hingga iba padanya, tidak sama sekali.
Aku tidak menjawab. Aku langsung melangkah melewatinya.
Begitu masuk, aku menelusuri seluruh ruangan dengan jijik. Ku tatap perabotannya yang tampak sangat sederhana namun lengkap.
Tempat duduk di ruang tamu yang terbuat dari kayu, tv tabung yang menurutku tidak layak, serta peralatan dapur yang ala kadarnya.
Semuanya amat sangat jauh dari kata mewah.
"Ini kamarku!" Dia membuka pintu kamar. "Kamu bisa tidur di sini"
Aku berdecak dalam hati.
Bahkan kasurnya hanya beralaskan tikar dengan bantal tipis dan lusuh, yang entah sudah berapa tahun tidak di ganti.
Kamar ini sangat tidak layak untuk aku tempati. Bahkan rumah ini sekalipun, sangat berbanding terbalik dengan kenyamanan di rumah orang tuaku.
Dimana aku bisa tidur dengan tenang, mandi?
Apakah aku bisa hidup nyaman di sini?
Malamnya, setelah kami makan malam dalam diam, aku langsung masuk ke kamar.
Aku duduk di pojok ranjang sambil memeluk lututku sendiri, sementara Arga duduk di lantai dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Pandangannya terangkat, menatap langit-langit kamar.
Menurutku pria itu tak banyak bicara, dia bahkan tak berani menatapku secara langsung.
"Aku tahu kamu tidak menginginkan ini, Alea" Tiba-tiba dia bersuara.
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu"
Aku meliriknya sekilas, lalu berpaling sembari menyahut dengan nada dingin.
"Itu bagus, karena kalau kamu sampai menyentuhku, aku akan pergi dari rumah ini saat itu juga"
Pria itu mengangguk, seolah mengerti semua amarah dan kebencianku terhadapnya.
"Aku cuma ingin menepati janji, itu saja" Katanya ringan.
"Janji?" Balasku.
"Tidurlah, sudah malam" Perintahnya.
Aku berdecak kesal dalam hati.
Janji, janji dan janji..
Mereka yang berjanji, tapi aku yang tidak tahu apa-apa harus terlibat.
***
Paginya, aku beraktivitas seperti biasa.
Menyiapkan sarapan, mandi, dan pergi ke kantor. Sementara itu, aku tak mau tahu perihal aktivitas Arga. Baik urusannya, atau apapun yang berhubungan dengan dia.
Sungguh aku tidak mau tahu.
Apa yang dia lakukan bukan urusanku, begitupun sebaliknya.
Bahkan pakaian kami sekalipun berada di lemari yang berbeda, meski ada dalam satu kamar yang sama.
Kami juga mencuci pakaian kami masing-masing. sendiri...
"Aku minta sama kamu, jangan pernah muncul di hadapanku jika aku sedang bersama teman-temanku" Kataku, setelah sarapan selesai.
"Aku juga minta sama kamu untuk tidak ikut campur urusanku. Jangan menyentuhku, jangan sentuh barang-barangku, Ingat!! Kita hanya suami-istri di depan ibuku saja. Jika kamu tidak terima dengan peraturanku, kamu bisa menalakku"
"Sesuai keinginanmu Alea, tapi aku tidak akan pernah menceraikanmu" Balasnya dengan gestur tenang yang justru membuatku was-was.
"Aku akan pulang malam, kamu tidak perlu menungguku, aku ada lembur di kantor"
"Kalau bisa sebelum maghrib sudah ada di rumah"
"Maaf, aku nggak janji"
Dia menghela napas berat, aku sendiri mengabaikannya lalu bergegas pergi.
Terlalu muak jika harus berlama-lama duduk dengannya.
Masih tak habis fikir dengan keputusan ibu menikahkanku dengannya.
Ingin sekali menangis, tapi percuma. Tidak ada yang peduli akan tangisanku, tidak ada yang bisa membawaku keluar dari gubuk derita ini.
Semoga saja aku tidak sampai hilang akal menjalani hari-hariku yang kelam ini, dan semoga aku tidak gila memiliki suami seperti dia.
Bersambung
Hari demi hari berlalu, aku menjalankannya tanpa ingin tahu apa yang Arga lakukan.
Aku bahkan menghindari terminal saat jalan pulang dari kantor, tidak sanggup jika harus melihatnya meminta-minta.
Setiap malam aku tidak pernah bisa tidur nyenyak, bukan karena rumah yang sempit, kamar tanpa alas busa, atau tempat yang tidak nyaman, tapi karena rasa sakit hati, serta kehancuran harga diri.
Kehidupan miris seperti ini sungguh tidak ada dalam bayanganku sebelumnya.
"Aku baru membeli springbed, aku harap kamu ada di rumah saat kurir mengantarnya besok" Ucapku saat aku duduk dengan memangku laptopku, sementara dia duduk menghadap ke layar tv yang menyala terang.
"Siapa yang mengizinkanmu membeli barang itu?"
Aku terkejut mendengarnya.
"Apa aku harus minta ijinmu atas sesuatu yang aku beli dengan uangku sendiri? Apa kamu tidak menyadari kalau aku tidak bisa tidur di setiap malamku?"
Pria itu diam, dan aku kembali bersuara.
"Seharusnya kamu memahamiku, dari yang sebelumnya aku hidup nyaman, namun dalam waktu persekian detik, tiba-tiba aku harus hidup seperti ini, dan itu karenamu, dimana empatimu?"
"Aku hanya ingin mengajarkanmu tentang hidup miskin, hidup sederhana tanpa bergelimang harta, dan pastinya aku hanya ingin tahu seberapa mampu kamu bertahan dengan kehidupan seperti ini"
"Mengajarkan hidup miskin, kamu bilang?" Aku menatapnya dalam-dalam "Siapa kamu? Jangan terlalu primitif lah, dimana-mana seorang suami akan berupaya memberikan hidup layak untuk istrinya, bukan kehidupan seperti di neraka"
"Aku rasa ini cukup layak untuk kita"
"Kita?" Aku tersenyum miring. "Hanya kamu tapi tidak bagiku"
Pria itu lantas menatapku, namun hanya sesaat. Dia langsung memutus kontak mata kami saat aku membalasnya.
"Tidak ada springbed atau perabot apapun yang akan datang ke rumah ini. Kamu tidak berhak membeli apapun tanpa persetujuanku. Dan aku minta kamu tetap seperti itu, biasakan hidup apa adanya, lupakan kemewahan yang orang tuamu pernah berikan. Aku yang akan menentukan karena aku kepala keluarga di sini"
Kalimat tegasnya barusan, membuatku reflek menggelengkan kepala, lengkap dengan sorot sinis yang aku tunjukan ke wajahnya.
Aku Alea, wanita berpendidikan harus di atur hidupnya oleh seorang pengemis.
Harga diriku benar-benar turun drastis.
Apa jadinya jika rekan kerja dan teman-temanku tahu tentang ini?
***
Keesokan harinya aku pergi ke kantor setelah menyiapkan sarapan.
Aku pergi tanpa mengisi perutku lebih dulu, karena yang ku masak hanya oseng bayam dan tempe goreng.
Seumur-umur aku tidak pernah makan hanya dengan lauk dan sayur seperti itu, tapi mulai hari ini dia memintaku untuk memasak hanya dengan uang yang dia berikan setiap harinya.
Uang belanja yang tak kurang dari seratus ribu. Di hari pertama dan kedua aku menolak uang sebesar enam puluh ribu, aku masih bisa belanja dengan uangku sendiri, tapi di hari ketiga dia memintaku untuk memasak sesuai dengan uang yang dia berikan itu.
Aku keberatan, tapi ancamannya selalu membuatku tak berkutik.
Dia selalu mengingatkanku bahwa apa yang aku miliki hanyalah titipan, Tuhan bisa merenggutnya kembali kapanpun Tuhan mau.
Seperti apa yang menimpaku setelah aku baru sampai di kantor, aku terkejut saat menerima pesan M-banking dari perusahaan tempat aku bekerja. Pasalnya aku hanya menerima gaji sebesar dua juta, dari yang sebelumnya delapan juta.
Aku langsung menuju ke HRD untuk mengajukan komplain. Aku harap ini hanya salah transfer, dan perusahaan akan mentransfer sisa gaji yang belum masuk.
"Silakan masuk" Kata orang yang ada di dalam ruangan HRD setelah aku mengetuk pintu.
"Permisi, pak. Bisa saya bicara sebentar!"
"Tentu bu Alea" Balasnya ramah, lengkap dengan seulas senyum.
Aku duduk menghadapnya.
"Ada yang bisa saya bantu, bu?" Pria yang duduk bersebrangan denganku menatapku.
"Begini pak, saya baru saja mendapat pesan m-banking dari perusahaan perihal gaji, dan saya hanya menerima transferan dua juta, apakah pihak perusahaan sudah salah mentransfer gaji saya, pak?"
"Sebentar bu, akan saya cek"
"Baik"
Aku menghela napas, menunggu selama beberapa menit.
"Maaf bu, perusahaan tidak salah transfer, mulai bulan ini dan bulan-bulan berikutnya bu Alea memang hanya menerima gaji sebesar dua juta saja"
"Apa?! Dengan posisi saya sebagai General manager, saya hanya di gaji dua juta?"
"Iya bu, itu sudah keputusan final dari atasan"
"Tapi kenapa? Bukankah posisi itu layak mendapat gaji tinggi"
"Betul, tapi mulai bulan ini akan ada pak Dana yang juga menempati posisi itu, pak Dana akan membantu melakukan pekerjaan ibu"
"Peraturan dari mana itu?" Protesku tak terima.
"Ini peraturan dari atasan, bu. Jika ibu tidak bisa menerimanya, ibu bisa mengundurkan diri dari perusahaan ini"
Aku diam, mulutku terkatup rapat. Bagaimana bisa sebuah perusahaan besar bersikap tidak adil terhadap karyawannya?
"Kalau begitu saya akan mengajukan banding" Ucapku akhirnya.
"Percuma bu, ibu tidak akan bisa melakukan itu"
"Kenapa tidak bisa?"
"Atasan kami sudah antisipasi jika ibu keberatan. Pihak kami juga sudah bekerja sama dengan kepolisisan dan pengadilan, jadi hanya ada dua pilihan untuk bu Malea. Menerima keputusan ini dengan gaji dua juta, atau mengundurkan diri"
Untuk kesekian kalinya aku di buat melongo.
Setelah pernikahanku dengan seorang pengemis, kini aku harus di hadapkan dengan aturan yang membuatku merasa terintimidasi.
Benar-benar duniaku seakan di buat sebagai permainan. Aku harus bicara dengan ibu, beliau yang sudah memasukkanku ke perusahaan ini, semoga ibu bisa membantu mengatasi masalahku ini.
Sesaat setelah keluar dari ruangan HRD, aku buru-buru melangkah menuju ruanganku.
Ku raih ponselku yang masih ada di dalam tas.
Ku sentuh nomor ibu dan langsung tersambung dengannya.
"Assalamu'alaiku, Malea!"
"Wa'alaikumsalam, bu. Apa kabar?"
"Ibu baik, ada apa nak?"
"Bu, apa ibu bisa membantuku untuk bicara dengan perusahaan tempat aku bekerja bu, bulan ini aku hanya menerima gaji dua juta saja, dan itu tidak sebanding dengan posisiku saat ini"
"Berusahalah mengatasi masalahmu sendiri, jangan selalu meminta bantuan ibu ataupun melibatkan ibu ke dalam masalahmu"
"Tapi yang aku hadapi ini tidak masuk akal, bu"
"Memangnya kenapa dengan gaji dua juta? menurut ibu itu pantas-pantas saja" Ibu malah mendukungnya. Aneh, ibu macam apa dia?
"Dengar Alea" Lanjut ibu, tanpa ku tahu seperti apa ekspresinya. "Dengan gaji dua juta, jika kamu mensyukurinya, kamu akan merasa cukup, tapi jika kamu tidak mensyukurinya, kamu akan selalu merasa kekurangan meski dengan gaji tinggi, jadi belajarlah untuk ikhlas menerima seberapa besar hasil yang kamu raih"
"Tapi bu_"
"Ibu sibuk Alea, dan untuk kedepannya jangan pernah meminta bantuan apapun dari ibu, kamu bukan tanggung jawab ibu lagi. Ada suamimu, jadi memintalah bantuan padanya"
"Apa yang bisa dia bantu bu? Dia hanya seorang peminta-minta"
"Ibu sarankan kamu tetap bertahan di situ jika tidak ingin menjadi pengangguran, dan berhenti mengatai pekerjaan suamimu"
Ibu memutus sambungan telfon begitu saja usai mengatakan itu.
"Arggh...! Kenapa hidupku sesial ini, apa benar yang ibu katakan, jika bukan karena ayah, aku tidak akan bisa menjadi seperti ini?" Gerutuku kesal.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!