Hari pernikahan pun tiba, dan ini pertama kalinya aku melihat wajah si pengemis itu.
Di depan beberapa saksi serta penghulu, aku duduk bersanding dengan pria berpakaian lusuh.
Wajahnya kusam, kulitnya gelap karena matahari, rambutnya acak-acakan, dan penampilannya sangat jauh dari kata pantas.
Meskipun sudah memakai pakaian rapi, tetap saja kesan pengemis masih melekat dalam dirinya.
Tak banyak orang yang menghadiri pernikahanku, sebab aku memberikan syarat jika pernikahan hanya akan di hadiri oleh keluarga dan tetangga sekitar rumah.
Dan orang-orang yang datang untuk menyaksikan pernikahanku, memandangku dengan sorot aneh sekaligus kasihan.
Aku, Malea...
Lulusan universitas ternama di Surabaya, seorang menejer di perusahaan elit, menikah dengan seorang pengemis terminal, namanya Argantara.
Nama yang tak asing bagiku, seperti sebuah nama perusahaan besar. Tapi apalah daya, itu hanya sebuah nama.
Mendengkus lirih...
Dalam situasi yang menegangkan, pria itu menjabat tangan Dimas erat-erat.
Ibuku, menjadikan adikku wali nikah untukku.
"Saudara Argantara Diharjo, saya nikahkan engkau, dengan kakak saya Melea Aureli Hidayat, binti Adi Hidayat, almarhum, dengan seperangkat alat sholat dan uang di bayar, tunai"
Pria itu, dalam satu tarikan nafas menyahut.
"Saya terima nikah dan kawinnya Malea Aureli Hidayat, binti Adi Hidayat, almarhum, dengan mahar yang telah di sebutkan, tunai"
"Bagaimana para saksi? Sah?" Tanya si penghulu.
"Sah" Jawab dari ke dua saksi di samping kanan kiri.
Penghulu pun memanjatkan sebuah kalimat untuk mendoakan kelanggengan pernikahan ini.
Setelah ijab selesai, pria yang biasa di panggil Arga oleh ibuku memandangku lalu berucap.
"Terimakasih Lea, sudah bersedia menikah denganku"
Aku berpaling, aku bahkan tidak sanggup membalas sepasang manik gelapnya, merasa jijik jika harus bersitatap dengannya.
Dalam hati aku bersumpah,
Pernikahan ini hanyalah formalitas, dia bukan siapa-siapa, dia tidak akan pernah bisa menyentuhku. Dan aku akan berusaha cari cara untuk keluar dari pernikahan ini.
Secepat mungkin.
Tapi aku tidak tahu itu kapan, karena drama paling besar ini baru saja aku mulai. Dan aku menjadi lakon di kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Aku.. hanya bisa menghembuskan nafas frustasi.
****
Pesta pernikahan yang hambar dan minim tamu akhirnya selesai, aku buru-buru naik memasuki kamar.
Tak ku hiraukan pria yang baru saja sah menjadi suamiku akan tidur dimana, yang pasti aku tidak sudi membawanya masuk ke kamarku.
Tepat pukul sebelas malam, pintu kamar di ketuk dari luar.
Ibu memanggil namaku setelah beberapa kali berusaha memutar handle pintu. Namun tak berhasil di buka.
"Buka pintunya, Lea!" Serunya dengan sedikit agak keras.
Aku pun bangkit lalu melangkah.
"Iya, bu" Kataku sesaat setelah aku membuka pintu.
Bukannya meresponku, ibu malah beralih menoleh ke arah pria yang berdiri di belakangnya.
"Arga masuklah, ini kamar Malea, kamar kamu juga"
"Terimakasih, Bu"
Ibu tersenyum, lalu pergi tanpa menatapku barang sebentar.
Sebenarnya aku enggan menyuruhnya masuk, tapi apa boleh buat.
"Masuklah!" Perintahku dingin.
"Tapi ingat, jangan sentuh apapun karena pernikahan kita hanya berlaku di depan ibu saja" Tambahku, kali ini dengan sorot menghujam.
Dia mengangguk paham.
Setelah masuk, aku menyuruhnya membersihkan diri.
"Di kamar mandi ada sabun batang, kamu bisa pakai itu. Nanti setelah mandi kamu bisa tidur di sofa" Nadaku Masih dingin, sedingin cuaca malam ini yang sedang hujan.
Bagi sepasang suami istri yang menikah karena cinta, mungkin ini akan menjadi malam yang indah dan berkesan.
Namun tidak bagiku..
Malam pertama sebagai suami istri, tidak ada suasana romantis, tidak ada perbincangan manis, tidak ada tatapan cinta.
Hanya keheningan yang menyelimuti kami sampai tiba waktu subuh.
***
Dua hari setelah pernikahan, aku di boyong ke rumah kontrakan kecil di pinggir kota.
Rumah ini sempit, dindingnya terbuat dari triplek yang sangat tipis.
Arga membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk.
Tanpa menatapku ia berkata.
"Maaf rumahnya kecil" Suaranya rendah dan terdengar lembut, akan tetapi tak serta Merta membuatku luluh hingga iba padanya, tidak sama sekali.
Aku tidak menjawab. Aku langsung melangkah melewatinya.
Begitu masuk, aku menelusuri seluruh ruangan dengan jijik. Ku tatap perabotannya yang tampak sangat sederhana namun lengkap.
Tempat duduk di ruang tamu yang terbuat dari kayu, tv tabung yang menurutku tidak layak, serta peralatan dapur yang ala kadarnya.
Semuanya amat sangat jauh dari kata mewah.
"Ini kamarku!" Dia membuka pintu kamar. "Kamu bisa tidur di sini"
Aku berdecak dalam hati.
Bahkan kasurnya hanya beralaskan tikar dengan bantal tipis dan lusuh, yang entah sudah berapa tahun tidak di ganti.
Kamar ini sangat tidak layak untuk aku tempati. Bahkan rumah ini sekalipun, sangat berbanding terbalik dengan kenyamanan di rumah orang tuaku.
Dimana aku bisa tidur dengan tenang, mandi?
Apakah aku bisa hidup nyaman di sini?
Malamnya, setelah kami makan malam dalam diam, aku langsung masuk ke kamar.
Aku duduk di pojok ranjang sambil memeluk lututku sendiri, sementara Arga duduk di lantai dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Pandangannya terangkat, menatap langit-langit kamar.
Menurutku pria itu tak banyak bicara, dia bahkan tak berani menatapku secara langsung.
"Aku tahu kamu tidak menginginkan ini, Alea" Tiba-tiba dia bersuara.
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu"
Aku meliriknya sekilas, lalu berpaling sembari menyahut dengan nada dingin.
"Itu bagus, karena kalau kamu sampai menyentuhku, aku akan pergi dari rumah ini saat itu juga"
Pria itu mengangguk, seolah mengerti semua amarah dan kebencianku terhadapnya.
"Aku cuma ingin menepati janji, itu saja" Katanya ringan.
"Janji?" Balasku.
"Tidurlah, sudah malam" Perintahnya.
Aku berdecak kesal dalam hati.
Janji, janji dan janji..
Mereka yang berjanji, tapi aku yang tidak tahu apa-apa harus terlibat.
***
Paginya, aku beraktivitas seperti biasa.
Menyiapkan sarapan, mandi, dan pergi ke kantor. Sementara itu, aku tak mau tahu perihal aktivitas Arga. Baik urusannya, atau apapun yang berhubungan dengan dia.
Sungguh aku tidak mau tahu.
Apa yang dia lakukan bukan urusanku, begitupun sebaliknya.
Bahkan pakaian kami sekalipun berada di lemari yang berbeda, meski ada dalam satu kamar yang sama.
Kami juga mencuci pakaian kami masing-masing. sendiri...
"Aku minta sama kamu, jangan pernah muncul di hadapanku jika aku sedang bersama teman-temanku" Kataku, setelah sarapan selesai.
"Aku juga minta sama kamu untuk tidak ikut campur urusanku. Jangan menyentuhku, jangan sentuh barang-barangku, Ingat!! Kita hanya suami-istri di depan ibuku saja. Jika kamu tidak terima dengan peraturanku, kamu bisa menalakku"
"Sesuai keinginanmu Alea, tapi aku tidak akan pernah menceraikanmu" Balasnya dengan gestur tenang yang justru membuatku was-was.
"Aku akan pulang malam, kamu tidak perlu menungguku, aku ada lembur di kantor"
"Kalau bisa sebelum maghrib sudah ada di rumah"
"Maaf, aku nggak janji"
Dia menghela napas berat, aku sendiri mengabaikannya lalu bergegas pergi.
Terlalu muak jika harus berlama-lama duduk dengannya.
Masih tak habis fikir dengan keputusan ibu menikahkanku dengannya.
Ingin sekali menangis, tapi percuma. Tidak ada yang peduli akan tangisanku, tidak ada yang bisa membawaku keluar dari gubuk derita ini.
Semoga saja aku tidak sampai hilang akal menjalani hari-hariku yang kelam ini, dan semoga aku tidak gila memiliki suami seperti dia.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Wahyuningsih 🇮🇩🇵🇸
sepertinya seru nih..lanjut thor..dan tolong yg kisah shanum jgn lama2 up nya ya😊🙏
2025-06-25
0
Lyzara
sadis juga ya Malea.. kali ini yg dingin pihak ceweknya.
2025-06-26
0
Miko Celsy exs mika saja
janjinya msh sdbuah tanda tnya....
2025-06-28
0