Selama beberapa menit, aku terkulai duduk menyandar daun pintu. Pikiranku kacau, kepalaku bahkan sampai pusing membendung berbagai macam pertanyaan juga rasa penasaran.
Sungguh aku merasa hidupku berantakan, aku di paksa menikah, harus tinggal di rumah seperti ini, gajiku turun, tapi aku tidak berani mengundurkan diri.
Seperti kata ibu, jika aku keluar dari perusahaan otomotif itu, aku takut tidak akan mendapat pekerjaan di tempat lain. Dan kalau aku nganggur, bagaimana dengan nasib keuanganku? Aku masih belum mampu jika harus mengatur uang belanja yang Arga berikan.
Meski hanya dua juta gaji yang aku terima, masih mending dari pada tidak sama sekali.
Di sini aku sadar, mereka yang berduit akan selalu menang, aku seperti orang yang paling terdzolimi, padahal memiliki jabatan tinggi.
Dan sekarang aku malah di tipu habis-habisan oleh suamiku sendiri.
Siapa sebenarnya Arga? Pria yang mengaku sebagai pengemis dan menikahiku?
Siapa dia?
Pertanyaan yang terus menerus bergulir memenuhi kepalaku.
"Ibu!!" Tiba-tiba aku teringat ibuku. "Ibu pasti tahu semua ini"
"Nggak mungkin ibu berani menikahkan dan menyerahkan anak perempuan satu-satunya pada pria sembarangan, apalagi seorang pengemis"
"Tidak mungkin"
Kepalaku tergeleng pelan, bermonolog dengan spekulasi yang ku buat sendiri.
"Tapi kenapa harus di sembunyikan? Bukankah aku harusnya tahu bagaimana latar belakang pria yang menikahiku, aku seharusnya tahu seperti apa keluarganya?"
"Dan anehnya, kenapa tidak ada satu pun keluarga Arga yang hadir menyaksikan pernikahan kami?"
"Ah.. Ibu pasti punya jawaban untuk pertanyaanku ini"
"Ya, beliau pasti tahu. Bahkan kemungkinan besar ibu ikut andil dalam merencanakan drama penipuan ini"
Mengusap wajah dengan kasar, ku hembuskan napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara pelan. Fokusku mendadak buyar ketika mendengar suara ayam berkokok. Ternyata sudah lebih dari sepuluh menit aku terduduk di lantai..
Ku sibakkan korden sedikit untuk melihat ke luar, rupa-rupanya hari sudah agak terang.
Perlahan aku bangkit, langkahku tertuju ke arah kamar.
Aku sudah memutuskan akan mencari tahu sendiri, sebab feelingku percuma saja jika bertanya pada ibu, beliau pasti tidak akan menjawab semua pertanyaanku.
Sama seperti waktu itu, ketika aku ingin tahu sesuatu, dan aku bertanya pada ibu, ibu hanya menjawab.
Bukan apa-apa nak, ini hanya laporan kesehatan ayah. Ayah sehat kok.
Padahal saat itu aku hanya ingin tahu perihal rekam medis dari rumah sakit yang menyatakan tentang penyakit ayah. Dan aku baru tahu satu minggu setelah ayah meninggal, ternyata beliau mengidap kanker paru.
Mendesah pelan, ku buka pintu lemari, lalu meraih pakaian ganti dari dalam sana.
Bersamaan dengan tanganku yang bergerak menutup kembali pintu lemari, sepasang mataku reflek jatuh pada lemari tempat penyimpanan baju milik Arga.
Di situ otakku langsung berfikir keras, pasti ada sesuatu di dalam lemari itu.
Tanpa pikir panjang aku lantas bergegas membukanya, tapi tak bisa.
"Di kunci?" Lirihku, sambil berusaha menarik handel pintu. "Kalau tidak ada sesuatu di sana kenapa harus di kunci?"
Aku menyerah, sekeras apapun effortku membukanya, pintu ini tidak akan bisa terbuka.
Tak berhenti berupaya, aku pun mencari kuncinya ke seluruh sudut kamar. Berharap sekali Arga menyimpannya di sekitar sini.
Namun nihil. Tidak ada!!
"Pasti di bawa" Tebakku kemudian berkacak pinggang, bibirku terkatup sambil menarik napas panjang.
"Okay Alea, cukup! Nanti bisa cari tahu lagi, sekarang sudah siang. Kamu harus ke kantor"
****
Karena terburu-buru, aku sampai tidak sempat sarapan. Tapi untungnya aku bisa menyelesaikan masakanku tepat waktu.
Aku membungkus sarapanku di kotak makan, dan akan sarapan di kantor jika sempat.
Setibanya di tempat kerja, dengan langkah lebar aku menuju lift, ku tekan tombol angka digital di sisi lift untuk menuju lantai lima belas.
Begitu sampai, aku pun langsung masuk ke ruanganku.
Aku terkejut, sebab ada pak Dana yang sudah menempati meja kerjaku.
"Pak Dana?" Aku berfikir mungkin aku sudah salah memencet angka di dalam lift tadi.
"Bu Alea!"
"Maaf, pak. Saya salah masuk"
"Tidak, bu Alea. Anda tidak salah masuk" Sergahnya kilat.
Keningku reflek mengerut.
"Ini memang ruangan anda, tapi mulai hari ini, ruangan ini menjadi milik saya"
Aku semakin di buat bingung, tapi mendadak perasaanku menjadi tidak enak.
Ku telan salivaku sendiri untuk menetralisir ketidak nyamanan yang menyerangku secara tiba-tiba.
"Silakan anda ke ruang HRD untuk meminta penjelasan" Perintah pak Dana kemudian.
Dengan perasaan campur aduk, aku mengangguk. Aku lantas berbalik dan langsung mengarahkan kakiku menuju lantai tiga dimana ruang HRD berada.
"Kenapa aku jadi sering mengunjungi ruangan ini" Gumamku, sebelum akhirnya ku buka pintu HRD.
"Permisi" Kataku ramah.
"Iya bu Alea, silakan masuk"
"Terimakasih"
Ragu-ragu aku melangkahkan kaki.
"Silakan duduk!"
Akupun duduk, di kursi yang berseberangan dengan pria yang menjadi staf HRD.
"Baru saja saya mau menghubungi bu Alea, tapi bu Alea malah keburu kemari" Ucapnya tenang. Berbanding terbalik denganku yang justru deg-degan.
"Saya tahu tujuan bu Alea menemui saya" Kali ini nadanya merendah, yang membuatku justru merasa risau.
"Sebelumnya saya turut prihatin atas apa yang menimpa bu Alea, jujur saya sangat menyesali keputusan pimpinan perusahaan, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa"
"Maksud bapak?" Tanyaku dengan raut tak mengerti.
"Saya tidak tahu kenapa atasan melakukan itu"
"Bisa tolong ke intinya saja, pak" Aku mengatakan itu karena tak ingin berbasa-basi.
"Maaf bu, bu Alea di pecat"
Aku bergeming..
Shock? Tentu..
Apa salahku? Kenapa tiba-tiba di pecat?
"Apa saya melakukan kesalahan, pak?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Bu Alea tidak memiliki kesalahan apapun, hanya saja perusahaan kami memang sedang ada pengurangan karyawan"
"PHK?" Reflekku, dengan fokus penuh menatap pria berkacamata.
"Benar, bu. Perusahaan kami saat ini sedang berada di ambang kebangkrutan, jadi mohon maaf atas ketidak adilan ini"
"Bangkrut, pak? Bukankah bulan lalu ada kenaikan omset?"
"Bukan kenaikan yang besar bu" Sanggahnya cepat. "Yang sebenarnya keuangan kita benar-benar sedang krisis saat ini"
"Tapi pada saat saya mengikuti meeting satu minggu lalu kondisi keuangan perusahaan ini stabil"
"Semua bisa berubah secara mendadak, bu Alea tentu tahu, jangankan satu minggu, satu hari saja keuangan bisa langsung berubah"
Aku diam, ingin protes tapi sepertinya percuma.
"Ini sisa gaji yang bu Alea miliki, dan ini pesangon yang di dapat"
Pria di depanku menggeser dua amplop coklat ke hadapanku.
"Sekali lagi kami mohon maaf, bu. Kami sangat menyesal harus kehilangan karyawan sebaik ibu"
"Barang-barang bu Alea sudah kami kemasi, dan ada di sana" Lanjutnya melirik sekaligus menunjuk ke samping kanan.
Akupun mengikuti kemana atensinya tertuju.
Di atas meja itu, memang ada sebuah kardus yang bisa ku pastikan berisi barang-barang pribadi yang selama ini memenuhi meja kerjaku.
"Apa ini serius pak?" Tanyaku bermaksud memastikan.
"Maaf bu, ini keputusan final dari pak Hendrik, pimpinan kami"
Ku tarik nafas pasrah..
Ini ujian.
Ya, aku harus bisa lebih sabar.
Aku sangat sadar, bahwa aku sudah berada jauh dari-Nya, aku sudah melupakan-Nya, dan ujian ini mungkin Tuhan kasih supaya aku kembali mengingat-Nya sekaligus untuk menguatkanku.
Benar kata Arga, kesibukan sudah menguasai diriku sampai aku lupa bagaimana caranya bersyukur. Aku di sibukkan dengan urusan dunia hingga aku benar-benar melupakan akhirat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Ny Naya
di pecat sma suami nya sndrii,biar sadar,biar nurut,biar di rumh,ga krja Mulu.. ini suaminya kaya sbnrnya,udh prnh bacaa cma bneran lupaa dmna dan jdulnya apa
2025-06-27
1
tiara
Alea disuruh dirumah aja patuh sama suami nerima apa adanya apa yang diberikan Arga itu mungkin tujuannya supaya jadi yang lebih baik
2025-06-27
0
Purnama Pasedu
nggak harus di pecat sich
2025-06-28
0