RENCANA YANG INDAH KIRIMAN DARI TUHAN

RENCANA YANG INDAH KIRIMAN DARI TUHAN

Bab 1 : Mamah Minta Kado.

Seorang pria yang terlihat sangat lelah ini menujukan ekspresi yang tidak enak saat membuka pintu rumahnya, benar saja firasatnya tidak pernah membohongi. Baru sampai dirumah dengan niat hati yang awal ingin segera beristirahat, akan tetapi semua bayangan itu sirna saat melihat wanita separuh baya sudah berdiri tegap sambil melipat tangannya dihadapan mata, walau dengan beberapa pengawal yang sudah menunggu disamping-samping sudut ruangan di rumahnya sendiri.

"Assalamualaikum, Mamahku tersayang. Ada apa ini? Kok banyak banget bodyguard di rumah?" ucapnya sambari berjalan mendekati wanita paruh baya tersebut.

Terlihat pria muda yanga ada di belakang sang mamah memberikan kode pada Khafi jika mood sang mamah sendang kurang baik. Khafi langsung paham dengan kode yang di berikan oleh asistennya itu.

"Kok salam Khafi nggak di jawab si mah?" ucapnya kembali sambil tersenyum tipis ke arah sang mamah, dengan wajah sang mamah yang cemberut dengan tatapan tajam kearah sang putra.

"Walaikum'salam!" jawabnya jutek, entah kenapa mamahnya terlihat sangat kesal dengannya.

"Ada apa sih Mah anakmu ini baru pulang kerja loh, udah dapat tatapan kayak orang gak suka gitu?" ucap sang putra pada sang mamah.

"Mamah lagi marah sama kamu!" masih dengan nada yang agak jutek dengan ekspresi kesal.

"Waw! Apa ini kok jawabnya gitu? Nanti cantik mamah hilang loh!" sang anak yang masih sempat menggoda mamahnya yang masih dengan wajah kesal dan marah.

"Khafi," panggilan itu membuat Khafi otomatis menegang karena panggilan khas sang mamah jika lagi ngambek padanya.

"Iya Mamahku tersayang, yang cantik yang manis. Ada apa? Kenapa Mamah datang kok nggak bilang sama Khafi dulu, kan bisa Khafi jemput kalau mau datang."

"Jangan basa-basi lagi. Sini kamu! Mamah mau minta pertanggung jawab dari kamu sebagai seorang anak," ucapnya dengan nada agak marah.

Tak bisa ia tolak permintaan sang mamah, ia langsung menurut dan mendekatkan diri pada ibunya. Seraya menundukkan kepalanya, menarik nafasnya perlahan.

"Iya Mah ada apa?" jawabnya lemah lembut pada wanita yang telah melahirkan dirinya ini.

"Nak, Mamah tidak tahu lagi harus bagaimana memberikan peringatan sama kamu, dan mamahbjuga nggak tahu lagi cara pikiran kamu sebagai seorang anak. Kamu katanya janji sama Mamah jika tahun ini kamu akan memberi kan mamah mantu, dan akan membawa calonnya, tapi sampai detik ini kamu tidak ada tanda-tanda untuk mengenalkannya. Kamu pasti bohongin Mamah lagi kan," ungkap Airin, yang sedang memarahi putra bungsunya yang kadang buat dia naik darah karena tingkahnya yang semaunya aja.

Sang anak hanya bisa menarik nafas pasrah, dia lupa akan janji yang dia ucapkan di ulang tahun mamahnya tahun lalu bahwa dia akan bawa kado yang spesial untuk mamahnya di tahun ini tapi.. Saking sibuknya, dia sampai lupa akan janji tersebut, untuk mencari kado untuk sang mamah.

"Nggak kok!" Jawabnya seakan tak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Bahkan kamu tidak yakin sama apa yang kamu katakan itu Khafi, kamu mungkin bisa membohongi orang lain yang tidak kenal sama kamu, tapi kamu tidak bisa membohongi mamahmu yang 10 bulan aku mengandung kamuu," ucap sang mamah yang mengelus kepala putranya lembut.

"Maaf yah mah. Lagi di cari kok," ucap Khafi yang masih berusaha untuk tetap terlihat tenang.

"Masih ada waktu kok! Mamah akan menunggu dengan sabar, sampai hari H. Kamu belum dapat, kamu mau ta'aruf sama anak temen mamah?" ucap Airin.

"Iya, nanti di liat dulu cocok apa nggak sama Khafi. Karena aku mau cari yang nyaman mah, bukan sekedar seorang pendamping saja. Tapi yang juga bisa di terima sama mamah dan aku," ucap Khafi yang menjelaskan.

"Baiklah, kalau kamu begitu," ucap Airin yang melihat ekspresi wajah putranya sudah mulai serius.

Airin sangat tahu sekali soal putranya, karena sifat Khafi yang begitu sangat mirip dengannya, saking miripnya kata-kata Khafi juga sama dengan dirinya waktu di tanya sama orang tuanya dulu saat mau di jodohkan dengan Khanafi Radhitya Prasetyo.

Disisi lain ia tak mau berbohong pada sang mamah, tapi ia juga tidak yakin akan kemampuannya untuk mencari pasangan seorang diri dengan jadwal dia yang padat. Walau dia seorang pria yang sudah dikatakan sangat mapan dalam segara urusan dan punya segalanya, hanya kurang satu yaitu seorang pelengkap ibadahnya yaitu seorang pendamping yang bisa berjalan bersama-sama dengannya.

"Lalu kapan! Kapan kamu akan kenalkan dia sama Mamah? Jangan lama-lama yah Khafi." tanya sang mamah menujukan ekspresi yang begitu sangat penasaran.

"Hemmm... Nanti ya Mah, sabar!" jawab Khafi yang ingin menenangkan sang mamah sementara.

"Mamah masih harus sabar lagi yah Khafi , berapa lama lagi Mamah harus sabar Khaafiii..." Nadanya sudah mulai menekan.

"Iya nanti Mah, sabar! Belum ketemu hilalnya aja, kalau sudah ketemu hilalnya nanti Khafi akan langsung kenalkan dia ke mamah." Khafi yang bingung harus bilang apa lagi untuk menenangkannya.

"Jangan bilang kamu belum punya pacar atau wanita yang kamu sukai atau yang akan kamu jadikan istri, iyakan!" Tebakan sang mamah tepat sasaran.

Khafi hanya menelan salivanya bulat-bulat, Khafi hanya bisa diam. Fakta memang dia tak punya bayangan akan sosok wanita yang dia ingin kenalkan atau untuk dia lamar sebagai seorang pendamping memang tidak ada di lintasan pikiran.

"Maaf ya Mah." Wajahnya mulai tertunduk saat mendengar suara permintaan mamah.

"Mamah gak butuh permintaan maaf kamu, Mamah hanya butuh kamu bawa calon istrimu ke depan Mamah. Sampai 6 bulan di hari H, jika kamu belum juga bawa kadonya buat mamah. Nanti Mamah akan purik loh. Nggak mau minum obat, mogok makan, dan nggak mau kontrol titik. Ayo Wendi kita pulang," ucap Airin yang membuang muka pada putranya.

"Eh! Kok berasa kayak aku yang rugi yah! Padahal Mamah yang nggak mau minum obatnya loh," dumalan Khafi yang saat ini bingung.

"Baik nyonya." Jawab Wendi sang asisten. 8 orang itu berjalan pergi meninggalkan tempat, mengikuti sang nyonya, wendi dan 7 bodyguard sang mamah yang berjalan meninggalkan rumah singgah Khafi.

"Eh kok gitu sih ancamannya? MAAAH, tunggu dulu dong..." Teriakan sang putra tidak ia hiraukan lagi, langsung berjalan pergi meninggalkan tempat.

Wanita separuh baya itu langsung berjalan menuju pintu keluar dan di ikuti sama asisten pribadinya, dengan beberapa pengawalnya yang satu persatu di tangan mereka membawa satu persatu barang-barang milik nyonya ya.

"Maafkan saya Pak, Nyonya memaksa ingin datang kerumah, nyonya tahu jika anda akan pulang dari LN hari ini. Beliau juga seharusnya ada jadwal kontrol hari ini tapi..." ucapan itu terputus karena teriakan panggilan dari Airin membuat Wendi harus cepat-cepat pergi.

"WENDI! Cepat kesini sekarang juga." Panggilan keras dari wanita yang sudah sampai di pintu keluar.

"Iya nyonya. Maafkan saya Pak," ucapnya secara bergantian menyahuti nyonya dan bicara dengan Khafi, putra dari majikannya.

"Tidak apa-apa Wendi, pergilah." Jawab Khafi yang hanya melepaskan Wendi.

"Saya permisi pak," ucap Wendi sambil pamit pada Khafi.

Setelah kepergian Mamahnya, Khafi berjalan ke arah sofa dengan badannya ia jatuhkan terduduk dengan sangat lemas sambil menatap langit-langit ruangan tersebut. Ia bingung dengan apa yang dikatakan oleh mamahnya, ancaman mamahnya terkadang membuat dia khawatir sendiri.

Kenan yang langsung buru-buru datang karena khawatir dengan kondisi Airin, jika terlalu sering emosional itu akan menganggu kesehatannya. Baru saja masuk ke rumah Khafi setelah melihat Mamahnya keluar dari rumah dengan sangat buru-buru, ia awalnya ingin bicara dengan Mamahnya. Tapi, karena Airin sudah masuk ke dalam mobil, jadi Kenan tak bisa mendatangi mamahnya yang sudah melaju keluar dari halaman rumah Khafi.

"Sorry dek! Mas gak bisa cegah Mamah, untuk datang ke sini. Mas tahu tempat ini privasi buat kamu," ucap sang kakak yang merasa bersalah pada adek yah itu.

"Nggak apa-apa Mas, lagian ini juga salah aku kok!" jawab Khafi yang memang sudah pasrah.

"Mas harus kejar mamah, dia belum kontrol bulan ini. Yaudah Mas pergi ya, kamu istirahat dulu besok kalau kamu mau ketemuan sama Mas, bisa kamu datang aja kerumah kita obrolin bersama-sama." Sambil menepuk pundak sang adek sebelum pergi.

"Iya Mas. Ati-ati di jalan, Salam aja buat Reva dan Mba Inara," ucap Khafi.

"Iya. Assalamualaikum," ucap sang kakak yang lansung buru-buru pergi agar bisa kekejar mobil mamahnya.

"Walaikum'salam warohmatullahi wabarakatuh." jawab salam yang lengkap sekali.

"Dalam 6 Bulan mau cari dimana? Ya Allah, aku pasrahkan semua jalan takdirku yang engkau rencanakan ini untukku." Doanya yang begitu tulus dalam lamunannya.

...****************...

Keesokan paginya, Khafi yang tengah duduk di singgasana kantor dengan berkutat dengan beberapa tumpukan dokumen pekerjaan dan laporan-laporan pekerjaan yang baru saja di list oleh sekretarisnya.

"Fi, ini data yang kamu minta kemarin." Suara yang baru saja masuk dari pintu, suara khas Dimas adalah sekretaris sekaligus sahabatnya. Meletakkan dokumen itu di meja, sambil melihat kopi yang di minum Khafi sudah habis.

"Thanks!" jawab Khafi tanpa melihat Dimas, ia masih fokus pada komputernya.

"Why? Apakah ada masalah?" tanya Dimas yang khawatir karena masih pagi tapi kopi Khafi sudah habis 2 gelas.

" Iya aku baik, jangan tanya masalah padaku jelas pasti banyak masalah." Jawab Khafi yang memperlihatkan bahwa dirinya tengah sangat lelah bingung dan perasaan yang bercampur aduk.

"Okey, sorry jika pertanyaanku salah. Apakah kamu bisa cerita padaku," ucap Dimas sebagai sahabat yang baik ia menawarkan jasa pendengar.

"Nggak! Semua baik kok." Khafi yang gensi tak mau mengatakannya kelu kesa itu pada siapapun. Karena dia tahu jika itu adalah masalah sendiri yang dia buat dalam pikirannya.

"Di kantor, apa di rumah atau tempat lainnya?" Dimas gak mau menyerah ia masih tetap berusaha untuk menggali informasi.

"Apanya?" Kebingungan Khafi dengan pertanyaan itu.

"Mukamu itu tidak bisa menujukan ke bohongan Khafiii..." Dimas yang sudah faham akan sikap, tingkah, dan bagaimana si Khafi.

"Aku baik-baik saja Dim, udah sana kerjain lainnya." Risih akan kehadiran sahabatnya itu membuat dia tak mau Dimas ada di ruangannya terlalu lama.

"Tante Airin minta menantu lagi kan!" Tebakan itu membuat Khafi langsung menoleh.

"Bagaimana kamu tahu?" Spontanitas Khafi langsung mengatakannya.

"Hahaha... Sudah aku duga dan menebaknya dengan tepat." Dimas malah tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi kaget yang konyol dari muka syok milik Khafi.

"Hah! Kamu tahu dari mana? Apakah kamu bisa baca pikiranku?" ucapan konyol dari seorang jenius seperti Khafi membuat Dimas menatap dengan tatapan mata tajam.

"Khafi, aku ini bukan temenan sama kamu kemarin atau seminggu yang lalu, tapi kita temenan sudah hampir seperapat abad. Kita temenan sejak kita TK, mana mungkin aku tidak tahu bagaimana kau dan keluarga besarmu." Penjelasan Dimas yang mengatakan dengan ketegasan.

Khafi hanya manggut-manggut karena apa yang dikatakan oleh Dimas memang ada benarnya, Dimas adalah anak dari sahabat ibunya. Makanya saat pertama kali di pertemukan mereka, itu menjadi hari pertama mereka berteman, tak heran jika mereka sudah seperti saudara sendiri.

"Gimana? Kamu sudah punya rencana, atau kamu sudah menemukan tambatan hatimu. Jangan bilang kamu belum punya?" ucap Dimas yang mengatakan ingin mengetahui lebih lanjut.

"Memang belum, bahkan terlintas saja dipikiran ku nggak ada." Jawab Khafi yang pasrah akan keadaannya yang sangat frustasi.

Dimas malah ikut rungsing dengan hal itu, disisi lainnya Khafi sudah seperti saudaranya. Apa lagi di usia mereka saja Khafi sudah tertinggal jauh, Dimas yang sekarang sudah punya istri dan mau dua anak karena istrinya sedang hamil anak kedua mereka.

"Ulang tahun Mamah kali ini minta di kenalkan lagi, gimana mau cari cewek dalam waktu singkat!" Dumal Khafi yang terdengar oleh Dimas yang masih ada di hadapannya.

"Iya makanya Khafi, kamu itu jangan terlalu fokus sama kerja dong! Masalah pribadi kamu juga harus kamu pikirkan. Yaudah gini saya mau kasih kamu saran, mendingan kamu balikan lagi saja sama mantanmu si Resti lagian aku dengar dia sudah janda tuu."

"Nggak mau!" Jawaban Khafi sangat tegas menolak.

"Kenapa?" Dimas semakin bingung karena dulu Khafi sangat bucin sekali sama Resti.

"Dim kamu tahu kan aku putus sama dia gara-gara apa alasannya, so aku udah gak cinta lagi sama dia." Penjelasan Khafi yang membuat Dimas faham.

"Iya cinta bisa berjalan seiringnya waktu bro, ayolah dari pada kamu di tagih terus kan sama Mamahmu."

"Nggak deh! Biarlah dunia ini hancur, dan jika seandainya sampai di dunia ini tak ada wanita lagi hanya menyisakan satu wanita yaitu Resti. Saya lebih baik jadi petapah gunung."

"Ha ha ha..."

Dimas ketawa begitu sangat lepas mendengar ucapan Khafi yang konyol, sedangkan Khafi yang diam memandang Dimas yang tertawa.

"Apa yang lucu Dim?" ucap Khafi yang menatap tajam.

"Iya kata-kata kamu itu lucu banget sih Khafi, pantes aja Tante sangat khawatir jika putra kesayangannya itu seorang GAY, karena pemikiran kamu yang konyol soal asmara ini buat semua orang ketar-ketir."

"Mau gimana lagi orang belum ada yang mampuh untuk menanam satu bunga di tanah yang gersang kan."

"Apa maksudmu? Apakah kamu jadikan hatimu sebagai ladang atau gurun, wah perumpamaan yang bagus. Lalu apakah kamu punya persiapan buat kado ulta tante?" tanya Dimas yang menoreh luka kembali.

"Dimas kamu sengaja melukai aku atau kamu sengaja menyindir ku, itu lah mamah minta kado agar dia di kenalkan sama calon istri ku. Kamu ini gimana sih," ucap Khafi yang menatap tatapan elangnya.

"Okey! Sorry sorry sorry, jadi kamu belum ada pandangan gitu buat nyari atau ada cewek yang kamu incer, atau cewek yang kamu suka kek minimal."

"Nggak ada. Satupun tak ada. Jelas!" Khafi mempertegas yah.

"Baiklah. Coba deh kamu pikirkan lagi mungkin cinta pertama kamu atau orang yang pernah kamu temui, seperti klien-klien yang pernah kerja sama denganmu apakah tak ada yang kamu suka dari perempuan di luar sana."

Saran Dimas yang membuat Khafi otomatis berfikir, karena dia selama ini tidak pernah memikirkan hal lain selain kerja. Semua Klien yang dia temui semua adalah rekan bisnisnya, jadi tak punya pemikiran sedikitpun untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

"Nggak, aku nggak mau sama wanita luar negeri atau wanita bule."

Khafi yang memang tak mau punya wanita bule dengan alasan yang konyol, yaitu tak mau dia tinggal di luar negeri meninggalkan sang mamah yang tidak merestuinya.

"Lah, terus kamu cari yang gimana? Yaudah kasih tahu aku biar aku juga ikut bantu cariikan, setidaknya sesuai sama tipe kamu deh, jadi selera cewekmu ini seperti apa?"

Bersambung...

Bagaimana ceritanya kali ini? Maaf jika kurang memuaskan bisa lanjut ke episode selanjutnya, jika seru boleh minta support yah!

Boleh tambahkan ke daftar bacaan, dan like dan tinggalkan komen. Saran masukan dan keluhan, Vote dukungan juga.

Terpopuler

Comments

SONIYA SIANIPAR

SONIYA SIANIPAR

susah kalau tuntutan beginian

2025-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!