Bab 5 : Pencarian Jodoh.

Deringan phonsel Khafi yang tertera nama mamahnya disana, membuat Khafi langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo Mah. Assalamualaikum... Khafi masih di kantor Mah... Iya, Khafi inget kok... Apah! 10 menit sampai, Mah yang bener aja dong! Jarak kantor sampai rumah kalau kecepatan tinggi saja 30 menitan sampai, ini malah minta 10 menit sampai emangnya pakai teleportasi... Setengah jam Khafi sampai, tunggu aja di rumah." Panggilan itu tertutup dengan wajah Khafi yang sudah campur aduk. Kesal marah nggak tahu rasanya gimana.

Setelah sampai di rumah, pukul 13.40 menit Khafi yang menjemput mamah di rumah menuju tempat arisan dimana mereka janjian ketemuan.

"Lama banget kamu kamu tahu nggak waktu kumpulnya itu jam 2 siang, mamah bisa telat nih!" Sewotan sang mamah pada putranya yang baru saja datang itu.

"Segini sudah paling cepat loh Mah!" ucap Khafi yang membukakan pintu untuk mamahnya.

"Ingat ya Khafi sama janji kamu sama Mamah, kamu akan lebih ramah sama temen-temen mamah, kamu bisakan Khafi." peringatan sang mamah yang membuat Khafi hanya bisa menarik nafasnya pasrah.

"Iya Mamahkusayang. Lagian kapan Khafi nggak ramah atau nggak sopan sama temen-temen mamah, atau sana orang yang lebih tua dari Khafi." Pembelaan diri dari Khafi.

"Kamu ini kalau di bilangin sama orang tua ngeyel aja, pokoknya kamu harus lebih berhati-hati dalam ucapan maupun melakukan tindakan."

"Iya Mah, tapi Khafi juga punya permintaan sama Mamah." Walau matanya fokus pada jalan di depannya, Khafi masih sempat memikirkan hal yang tidak mah merugikan diri sendiri.

"Apa! Jangan yang aneh-aneh loh," ucap mamahnya yang menatap putranya.

"Yaelah padahal Khafi belum juga mengatakan apa permintaan sudah di sekakmat dulu!" ucap Khafi yang protes.

"Yaudah apa permintaan kamu?" ujar sang mamah yang wajahnya sudah cemberut.

"Setelah pulang dari arisan Mamah ikut aku kontrol kesehatan Mamah, kalau Mamah menolak Khafi juga akan menolak ngater mamah ke tempat arisan atau ketemu sama anak temen mamah itu." Ancaman dari Kahfi yang membuat Airin langsung menatap putranya yang sedang menyetir itu.

"Apakah kamu sedang mengancam mamahmu ini Khafi?" ucap sang mamah yang menatap putranya yang masih terlihat santai dan biasa saja.

"Khafi masih memperdulikan mamah loh ini, jika Mamah pengen dituruti semua sama Khafi iya syaratnya Mamah juga harus nurut dong!" Ucapan Khafi dipertegas kembali, suara Khafi yang mengatakan hal seperti itu sangat mirip dengan papah jika menasehati dirinya.

Khafi cukup sabar menghadapi temperamen mamahnya itu, sifat yang kadang tidak bisa di tebak sang mamah masih bisa di maklumi oleh Khafi karena dia di latih oleh keadaan untuk belajar lebih sabar untuk menghadapi kaum wanita.

"Nggak! Cuman negosiasi dengan mamah saja," ucap Khafi yang masih sangat tenang.

"Kamu pikir ini soal bisnis kamu mau negosiasi dengan Mamah Khafi?" ucap Airin yang mukanya sudah mulai bete.

Khafi hanya menggelengkan kepala tak mau memperpanjang urusan dia sekarang lebih fokus untuk menyetir mobilnya, tak ada percakapan lainnya Mamah sibuk membalas pesan.

Setelah sampai di tempat arisan, Airin langsung di sambut dengan sangat heboh oleh semua temen-temen arisannya, beberapa temennya ada yang membawa cucu dan anak-anak mereka untuk mendampingi. Khafi juga bertemu beberapa kenalannya dan klien yang pernah kerja sama dengannya.

Para emak-emak yang pada sibuk dengan arisan, Khafi yang masih duduk santai di tempat tunggu sambil memainkan hp sambil liat email yang masuk di imboknya.

Datanglah seseorang yang cukup familiar bagi Khafi, tapi saking banyak kenalan yang di temui Khafi dia lupa nama sama orang tersebut.

"Permisi? Mohon maaf menganggu pak, apakah benar ini Pak Khafi ya?" tanyanya ragu-ragu.

"Iya benar saya Khafi, maaf anda siapa yah?" tanya balik Khafi yang menatap pria itu dengan tatapan yang bingung.

"Ya Tuhan saya tidak menyangka akan bertemu dengan anda disini. Apa kabar anda pak," Sapaan dari salah satu mantan kliennya.

"Iya Alhamdulillah baik," jawab Khafi yang masih bingung tapi menerima jabatan tangan yang di tarik itu.

"Saya Junno pak? Klien bapak soal gedung greamadia." Jawabnya penuh dengan semangat.

Khafi sempat berpikir sejenak mengingat hal itu, setelah ingat Khafi baru menujukan wajah sumringahnya.

"Ouh Pak Junno, Ya ampun aku sampai bingung karena nggak mengenal pak Junno saking sudah lama kita nggak ketemu, apa kabar pak Junno?" jawab Khafi sambil menyambut baik uluran jabatan tangan dari Junno.

"Hahaha... Alhamdulillah baik juga pak, nggak apa-apa pak nama juga banyak kenalan jadi bapak lupa itu wajar," jawab Junno yang ikut duduk disana.

Tak lama satu persatu yang kenal dengan Khafi mulai datang, sekarang seperti reunian bagi mantan klien-klien Khafi disana. Airin hanya melihat putranya tengah asik ngobrol dengan beberapa pria disana. Airin langsung menghampiri temen arisannya Ulfa.

"Jeng, mana Shofia?" tanya Airin sangat penasaran.

"Aduh jeng putriku masih belum datang, sebentar lagi yah. Katanya dia masih perjalanan," ucap Ulfa yang menenangkan Airin.

"Aku sudah nggak sabar sama anakmu loh. Terakhir ketemu waktu Dia SMP ya," ucap Airin yang mengingatnya.

"Iya. Sudah lama banget ya?" ucap Ulfa.

Tak lama digname kedatangan Shofia membuat beberapa pelayan di sana terpesona akan kecantikan dari wanita yang baru saja memasuki aula kumpulan tersebut, semua langsung menoleh dan melihat siapa yang datang.

"Kyaaa... Cantik banget," beberapa yang teriak dsn mengatakan secara lantang.

Khafi melihat kedatangan Shofia, walau sekilas karena panggilan telfon berdering dari handphone miliknya tertera nama Kenan.

"Walaikumsalam iya mas, ada apa?... Khafi lagi ngater Mamah kumpulan arisan... Iya, nanti pulang dari sini akan Khafi ajak Mamah kontrol kok..." Saat Khafi sibuk telfonan dengan kakaknya.

Airin yang terpesona akan kedatangan Shofia ini sempat diam sejenak melihatnya, sebelum Ulfa mengenalkan putrinya pada Airin.

"Nah itu putriku Shofia. Shofi ini semua temen-temen mamih, dan kamu pasti sudah kenal sama Tante Airin kan," ucap Ulfa yang menyuruh putrinya menyapanya semua temen-temen yah.

"Ulfa putri kamu cantik banget sih, andai putraku belum menikah sudah ku jodohkan saja dengan putraku."

"Enak saja, kalau itu juga aku mau. Udah sama anakku saja dia Sarjana Arsitek, dia kerja di Jerman sekarang gimana?"

Temen-temen Ulfa yang melihat Shofia refleks malah jadi rebutan ingin meminta Shofia sebagai menantu mereka, Airin jadi hanya bisa diam saja. Airin malah jadi bingung sendiri mau mengatakan apa, karena Shofia memang pantas untuk direbutkan.

"Airin kok kamu malah diam aja sih, kaget ya liat perubahan Shofia?" Ulfa yang langsung membelai punggung Airin yang terbengong di tempat itu.

"Ah iya, aku sampai tak mengenali putrimu. MasyaAllah dia sangat cantik banget," ucap Airin yang terbatah-batah.

Shofia tersenyum sangat lebar saat melihat Airin. Langsung di hampiri oleh Shofia, sambil memegang tangan Airin yang sudah dingin.

"Hallo Tante, apa kabar? Sudah lama yah tidak bertemu, Tante kok makin cantik aja sih." Shofia yang langsung mengulurkan tangan lalu cipika-cipiki dengan Airin.

"Bisa aja kamu sayang, kamu yang makin cantik aja. Tapi, wajah Shofia kok gak asing yah. Kayak pernah lihat di TV?" ucap Airin yang pernah menonton sebuah iklan.

"Hehehe...Aduh jeng Airin nggak tahu kah, kalau putrinya jeng Ulfa ini adalah seorang model dan bintang iklan, dan artis layar lebar juga." Sambung Erna temen arisan mereka yang mendatangi mereka.

"Eh pantesan kok kayak pernah lihat," ucap Airin masih sangat kagum pada Shofia.

"Tante mana Khafi?" ucap Shofia yang tidak sabar ingin dikenalkan oleh Airin sama Khafi.

Mendengar itu Airin langsung ingat sama tujuan dia datang dengan mengajak putranya ke acara arisan tersebut, Shofia sangat antusias sekali karena sejak dulu Shofia menyukai Khafi. Cinta yang diam-diam secara sepihak, ingin rasanya membuahkan hasil.

"Ouh iya Khafi, dimana yah? Bentar Tante cari dulu. Nah-nah itu dia yang ada di sana pakai kemeja biru laut itu. Maaf seperti itulah dia, sok sibuk." Penjelasan Airin saat melihat putranya sedang menerima panggilan.

Shofia yang melihat postur tubuh tegap, dan gagah Khafi yang ia lihat dari arah belakang, memperlihatkan punggung dengan bahu lebar dan sangat profesional yang bisa di lihat cukup kekar walau tertutup oleh kemeja yang digunakannya. Shofia tersenyum tipis, karena sejak dulu Khafi selalu menawan entah saat masih kecil terlihat lucu setelah dewasa malah semakin tampan.

"Khafii...!" panggilan Airin pada putranya.

Khafi menoleh ke arah sumber suara, dengan digname yang di lihat oleh Shofia begitu memperhatikan.

"Gila ganteng banget," suara Shofia pelan tapi Ulfa bisa mendengar suara itu, melihat ekspresi putri ya seperti sangat menyukai Khafi.

Ulfa hanya bisa tersenyum senang, selama ini sangat sulit mencari selera dari Shofia apa lagi pasangan untuk putrinya yang sebanding dengan kecantikan dan posisi Shofia saat ini.

"Sini nak, cepat." Pinta Airin yang meminta putranya segera mendekat.

Mendengar dirinya sudah di panggil oleh mamahnya Khafi langsung pamit pada kakaknya yang sedang menelepon dirinya itu.

"Kak, sudah dulu yah mamah sudah memanggil aku menyuruhku kesana... Aku tutup panggilan yah nanti aku sambung lagi setelah sampai rumah ... Okey, aku akan segara kabari nanti... Assalamualaikum." Panggilan itu langsung tertutup Khafi langsung memasukkan ponselnya ke saku celana.

Ia mendekati para wanita separuh baya dan 1 wanita muda disana, berjalan dengan digname yang cool sambil menundukkan pandangan membuat terpukau dengan karismatik dari seorang Khafi.

Setelah sampai para wanita paruh baya itu melihat Khafi yang sangat mirip dengan suami Airin sempat salfok.

" Ya Tuhan! Ini Khanafi, dia kembali muda, idola kita." Ucap salah satu ibu-ibu rempong yang melihat Khafi. Semua jadi semakin heboh karena melihat Khafi.

"Sayang. Kenalkan ini Shofia, yang mamah ceritakan waktu itu. Dan katanya dia temen sekolah kamu. Apakah kamu masih ingat temen TK dan SMA kamu." Penjelasan Airin pada Khafi.

Khafi hanya diam, karena dia memang tidak ingat sama sekali sama sosok Shofia, waktu TK ia beda kelas. Dan waktu SMA juga dia beda kelas jadi Khafi hanya diam sambil memikirkan apakah Shofia ini adalah temen sekolahnya, karena waktu itu dia memang tidak pernah memperhatikan setiap temen-temen yang ada di lingkungannya.

"Entah aku lupa Mah, maaf ya Shofia saya tidak ingat," ucap Khafi yang bergantian bicara dengan mamah dan Shofia.

"Iya nggak apa-apa, lagian juga itu sudah lama sekali jadi wajar jika kamu tidak ingat," ujar Shofia yang sekian lama akhirnya bisa mengajak ngobrol pujaan hatinya.

Saking senangnya Shofia salting sendiri dengan Khafi yang terlihat biasa saja dan tidak merespon jika Shofia sedang genit pada ya. Airin dan Ulfa langsung pergi saja meninggal kedua orang tersebut, agar Khafi dan Shofia bisa mengobrol lebih banyak.

Khafi yang bingung mau bicara apa dia juga diam saja tak ada yang ia tanyakan juga pada Shofia, karena merasa tidak tertarik memulai percakapan dengan wanita yang tidak ia sukai. Shofia mulai membuka pembicaraan, panjang kali lebar. Khafi hanya menjawab dan tanya balik seadanya.

Di kediaman rumah seorang wanita yang tengah sibuk memetik sayur mayur di pekarangan rumahnya. Di temani seorang wanita separuh baya yang ikut membantu, mereka cukup senang karena bisa panen hari ini.

"Teteh, sudah dengar kabar belum soal Rani anaknya Bu Marni, katanya sudah lahiran kemarin lusa. Ibu belum sempet jenguk."

"Alhamdulillah, laki-laki apa perempuan Bu." Tanya Dita yang sangat penasaran.

"Katanya anaknya laki-laki. Sesar, kasihan emaknya tensi tinggi. Jadi cuman anaknya aja yang di bawa pulang emaknya masih di rumah sakit."

"Ya Allah kasihan," ucap Dita yang ikut memikirkan.

"Terus kamu dapat undangan tuh dari temen kamu Namanya Sarah, temen kamu kan?"

"Iya buu, dia temen Dita. Mana undangan yah?"

"Di atas meja makan, tadi bapakmu yang menerimanya."

"Ouh gitu! Iya aku dengar dia mau nikah, tapi belum dapat undangannya."

"Emang kamu belum ada pandangan buat ke arah sana?" ucap spontan dari Dania ibu dari Dita

Deg...

Ucapan itu membuat Dita hanya bisa tersenyum getir dan tak bisa ia lampiaskan rasa yang ada didadahnya itu, karena memang dia belum tahu kapan akan itu terjadi pada dirinya.

"Teteh sebenarnya secara mental dan fisik semua siap Bu, secara finansial bisa dibicarakan baik-baik sama pasangan mau bagaimana. Tapi, ini yang jadi masalahnya adalah calonnya. Calonnya belum ada Bu, sabar yah!" ucapan itu hanya menenangkan sang ibu agar dapat mengerti.

"Memang kamu nggak usaha kah Teh buat cari, gitu?"

"Usaha sudah Bu, tapi ya mau bagaimana lagi belum ada hilalnya saja buat dapat imam yang baik. Teteh sudah dititik pasrah sama Allah, karena sebaik-baik rencana kita pasti rencana Allah adalah keputusan yang terbaik darikan Bu."

"Iya juga sih. Terkadang ibu pengen lihat teteh dan adek-adekmu bahagia, takutnya Teh. Ibu nggak bisa liat cucu," ucap Dania sambil matanya berkaca-kaca saking ia seperti merindukan hal itu.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!