TURKISH LOVE STORY
Pagi itu Renata dan Claudia telah berangkat bekerja, bersama dengan papa mereka, pak Frans. Sedangkan, Vivian hanya duduk merenung di meja makan sambil memainkan sendok di atas piringnya. Mbok Sekar yang merupakan asisten rumah tangga di rumah itu menatap Vivian dengan penuh keheranan.
"Ada apa, Non? Kok, sarapannya tidak dihabiskan?" tanya Mbok Sekar dengan penuh keheranan.
"huuuf... Aku bosan, Mbok." sahut Vivian sambil menyandarkan kepalanya di kursi.
"Apakah masakan Mbok tidak enak, Non?" tanya Mbok Sekar dengan rasa kurang percaya diri. Vivian hanya terdiam, sambil mengangkat kepalanya ke atas, kedua bola matanya menatap langit-langit rumahnya yang luas.
"Aku hanya bosan tinggal di rumah, Mbok." ucapnya dengan wajah yang cemberut. Mbok Sekar, hanya tersenyum tipis menatap wajah Vivian. Mbok Sekar yang sudah mengabdi pada ayah dan ibu Vivian, hanya bisa merasa iba pada Vivian. Kedua kakaknya bebas berkeliaran di luar rumah, sedangkan Vivian hanya bisa diam di rumah tanpa bisa melakukan kegiatan apapun. Vivian mendapat perlakuan yang sedikit berbeda dengan kedua kakak perempuannya. Bukan hanya perlakuan berbeda, fisik Vivian juga berbeda dengan kedua kakaknya. Mata Vivian yang biru, hidung yang mancung, rambut pirang sejak lahir yang membuat kecantikan Vivian semakin terlihat sempurna. Hanya Vivian yang mewarisi wajah bule dari mamanya yaitu bu Sophia yang merupakan keturunan Jerman.
"Sabar ya, Non." ucap Mbok Sekar yang berusaha menghibur Vivian.
"Mengapa ayah dan ibu tidak mengijinkan aku keluar rumah, Mbok?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. Mbok Sekar terdiam, lalu menghela nafas panjang, membayangkan masa kecil Vivian yang sering sakit-sakitan. Bahkan, saat terjatuh saja Vivian bisa demam sampai berhari-hari. Mungkin inilah penyebabnya sehingga pak Frans dan bu Sophia tidak membebaskan Vivian untuk keluar rumah. Bahkan, Vivian juga hanya bisa sekolah dan belajar di rumah, pak Frans dan bu Sophia memanggil guru privat untuk Vivian. "Mboook... Kok melamun sih?" tanya Vivian dengan nada tinggi. Mbok Sekar tersentak kaget mendengar teriakan Vivian.
"Maaf, Non." sahutnya dengan perasaan bersalah.
"Ahh... Sudahlah!" ucap Vivian, sambil beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Mbok Sekar yang masih berdiri menatap kepergian Vivian.
"Hmmm... Kasihan Non Vivian. Dia pasti merasa bosan di rumah." guman Mbok Sekar dengan perasaan iba. Vivian menemui ibunya yaitu bu Sophia yang berada di taman belakang rumah mereka yang luas. Bu Sophia sedang menyiram beberapa tanaman peliharaannya.
"Di mana pak Bowo? Mengapa mama yang menyiram tanaman?" tanya Vivian sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan pak Bowo, tukang kebun mereka.
"Hari ini pak Bowo sedang sakit. Mama menyuruhnya istirahat dulu di kamar belakang." sahut bu Sophia dengan nada lembut.
"Biar aku saja yang menyiram bunganya, ma." Vivian menawarkan diri untuk membantu mamanya.
"Tidak usah, Vivian. Mama juga sudah hampir selesai, kok." sahut mamanya sambil tersenyum tipis. Terlihat wajah Vivian yang sedang kesal, karena bu Sophia menolak bantuannya. "Kamu istirahat saja di kamar, ya." bujuk bu Sophia dengan lembut.
"Aku bukan orang sakit, ma. Aku bosan setiap hari hanya berdiam diri saja di rumah." ucap Vivian dengan nada kesal. "Aku juga ingin seperti kak Claudia dan kak Renata." ucapnya lagi. Bu Sophia menatap wajah putri bungsunya dengan sorot mata yang tajam. Bu Sophia tidak menduga jika, Vivian sekarang pandai memprotes sesuatu yang bertentangan dengan hatinya.
"Tidak ada yang bisa kamu kerjakan di rumah ini, Vivian." ucap bu Sophia dengan suara kecil.
"Kenapa sih, mama membatasi ruang gerak aku?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. "Sejak kecil, aku selalu dilarang mengerjakan sesuatu." protes Vivian dengan nada kesal. "Bahkan, aku juga hanya bisa belajar di rumah." ucapnya lagi dengan nada yang masih kesal. Bu Sophia, menghela nafas panjang dan perlahan menghembuskannya lagi. Bu Sophia ingin jujur tentang penyakit putri bungsunya itu, namun bu Sophia mengurungkan niatnya.
"Suatu saat nanti, mama akan mengijinkanmu untuk keluar rumah." ucap bu Sophia dengan penuh keyakinan.
"Kapan, ma?" tanya Vivian dengan rasa tidak sabar. "Sejak dulu mama selalu mengatakan hal yang sama." ucapnya lagi dengan nada kesal.
"Sabar, ya. Kamu jangan mendesak mama, dong." ucap bu sophia sambil menatap wajah Vivian yang kelihatan cemberut.
"Kenapa aku tidak boleh keluar rumah, ma? Apa alasannya?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. "Usiaku sudah 25 tahun, ma. Aku sudah dewasa." protes Vivian. Bu Sophia menatap wajah putri bungsunya dengan sorot mata yang tajam.
"Mama akan bicarakan dengan papamu dulu, ya." ucap bu Sophia sambil memegang pundak putrinya. Vivian menatap mata mamanya, dalam hatinya penuh kekesalan terhadap sikap mamanya. Seketika, Vivian membalikkan badannya, lalu melangkah dengan terburu-buru meninggalkan mamanya dan masuk kembali ke dalam kamarnya dengan penuh kekesalan. Mbok Sekar melihat semuanya dari balik pintu, perlahan Mbok Sekar mendekati bu Sophia.
"Maaf, Nyonya. Sebaiknya sesekali, Non Vivian di ajak keluar." ucap Mbok Sekar dengan nada pelan. Bu Sophia terdiam, ingatannya kembali di masa lalu. Membayankan fisik Vivian yang lemah, bahkan beberapa kali masuk rumah sakit, karena sering pinsan hanya karena masalah sepele.
"Nanti aku pikirkan, Mbok." sahut bu Sophia.
"Saya hanya kasihan pada Non Vivian. Selama ini dia tidak pernah melihat dunia luar." ucap Mbok Sekar lagi dengan perasaan iba sambil menatap wajah Nyonyanya dengan tatapan sendu. "Biar aku yang menemaninya keluar rumah, Nyonya." pinta Mbok Sekar sambil menatap wajah bu Sophia dengan penuh permohonan.
"Kamu tahu penyebabnya, Mbok." ucap bu Sophia. "Aku juga kasihan pada Vivian." ucapnya lagi dengan perasaan bersalah. "Aku tidak bisa mengontrolnya, jika Vivian berada di luar rumah." ucapnya lagi dengan perasaan cemas.
"Saya bisa menemaninya, Nyonya." ucap Mbok Sekar dengan penuh keyakinan. Bu Sophia menghela nafas panjang, lalu melangkah dengan cepat tanpa memperdulikan perkataan Mbok Sekar, dan meninggalkan Mbok Sekar yang masih berdiri sambil menatap pintu kamar Vivian yang tertutup dengan rapat. Dalam hati Mbok Sekar, ingin rasanya berkata jujur terhadap Vivian tentang penyebab dirinya yang tidak diijinkan keluar rumah oleh pak Frans dan bu Sophia. Sejak kecil, Vivian mempunyai jantung yang lemah dan sering pinsan.
"Nyonya terlalu keras terhadap Non Vivian. Sekarang, Non Vivian sudah dewasa." guman Mbok Sekar. "Tidak ada yang perlu di cemaskan lagi. Nyonya terlalu berlebihan terhadap Non Vivian." gumannya lagi dengan perasaan iba terhadap majikan kecilnya yaitu Vivian. Mbok Sekar melangkah dengan pelan, lalu menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya sehari-harinya yaitu memasak dan menyiapkan makan siang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments