Pagi itu Renata dan Claudia telah berangkat bekerja, bersama dengan papa mereka, pak Frans. Sedangkan, Vivian hanya duduk merenung di meja makan sambil memainkan sendok di atas piringnya. Mbok Sekar yang merupakan asisten rumah tangga di rumah itu menatap Vivian dengan penuh keheranan.
"Ada apa, Non? Kok, sarapannya tidak dihabiskan?" tanya Mbok Sekar dengan penuh keheranan.
"huuuf... Aku bosan, Mbok." sahut Vivian sambil menyandarkan kepalanya di kursi.
"Apakah masakan Mbok tidak enak, Non?" tanya Mbok Sekar dengan rasa kurang percaya diri. Vivian hanya terdiam, sambil mengangkat kepalanya ke atas, kedua bola matanya menatap langit-langit rumahnya yang luas.
"Aku hanya bosan tinggal di rumah, Mbok." ucapnya dengan wajah yang cemberut. Mbok Sekar, hanya tersenyum tipis menatap wajah Vivian. Mbok Sekar yang sudah mengabdi pada ayah dan ibu Vivian, hanya bisa merasa iba pada Vivian. Kedua kakaknya bebas berkeliaran di luar rumah, sedangkan Vivian hanya bisa diam di rumah tanpa bisa melakukan kegiatan apapun. Vivian mendapat perlakuan yang sedikit berbeda dengan kedua kakak perempuannya. Bukan hanya perlakuan berbeda, fisik Vivian juga berbeda dengan kedua kakaknya. Mata Vivian yang biru, hidung yang mancung, rambut pirang sejak lahir yang membuat kecantikan Vivian semakin terlihat sempurna. Hanya Vivian yang mewarisi wajah bule dari mamanya yaitu bu Sophia yang merupakan keturunan Jerman.
"Sabar ya, Non." ucap Mbok Sekar yang berusaha menghibur Vivian.
"Mengapa ayah dan ibu tidak mengijinkan aku keluar rumah, Mbok?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. Mbok Sekar terdiam, lalu menghela nafas panjang, membayangkan masa kecil Vivian yang sering sakit-sakitan. Bahkan, saat terjatuh saja Vivian bisa demam sampai berhari-hari. Mungkin inilah penyebabnya sehingga pak Frans dan bu Sophia tidak membebaskan Vivian untuk keluar rumah. Bahkan, Vivian juga hanya bisa sekolah dan belajar di rumah, pak Frans dan bu Sophia memanggil guru privat untuk Vivian. "Mboook... Kok melamun sih?" tanya Vivian dengan nada tinggi. Mbok Sekar tersentak kaget mendengar teriakan Vivian.
"Maaf, Non." sahutnya dengan perasaan bersalah.
"Ahh... Sudahlah!" ucap Vivian, sambil beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Mbok Sekar yang masih berdiri menatap kepergian Vivian.
"Hmmm... Kasihan Non Vivian. Dia pasti merasa bosan di rumah." guman Mbok Sekar dengan perasaan iba. Vivian menemui ibunya yaitu bu Sophia yang berada di taman belakang rumah mereka yang luas. Bu Sophia sedang menyiram beberapa tanaman peliharaannya.
"Di mana pak Bowo? Mengapa mama yang menyiram tanaman?" tanya Vivian sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan pak Bowo, tukang kebun mereka.
"Hari ini pak Bowo sedang sakit. Mama menyuruhnya istirahat dulu di kamar belakang." sahut bu Sophia dengan nada lembut.
"Biar aku saja yang menyiram bunganya, ma." Vivian menawarkan diri untuk membantu mamanya.
"Tidak usah, Vivian. Mama juga sudah hampir selesai, kok." sahut mamanya sambil tersenyum tipis. Terlihat wajah Vivian yang sedang kesal, karena bu Sophia menolak bantuannya. "Kamu istirahat saja di kamar, ya." bujuk bu Sophia dengan lembut.
"Aku bukan orang sakit, ma. Aku bosan setiap hari hanya berdiam diri saja di rumah." ucap Vivian dengan nada kesal. "Aku juga ingin seperti kak Claudia dan kak Renata." ucapnya lagi. Bu Sophia menatap wajah putri bungsunya dengan sorot mata yang tajam. Bu Sophia tidak menduga jika, Vivian sekarang pandai memprotes sesuatu yang bertentangan dengan hatinya.
"Tidak ada yang bisa kamu kerjakan di rumah ini, Vivian." ucap bu Sophia dengan suara kecil.
"Kenapa sih, mama membatasi ruang gerak aku?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. "Sejak kecil, aku selalu dilarang mengerjakan sesuatu." protes Vivian dengan nada kesal. "Bahkan, aku juga hanya bisa belajar di rumah." ucapnya lagi dengan nada yang masih kesal. Bu Sophia, menghela nafas panjang dan perlahan menghembuskannya lagi. Bu Sophia ingin jujur tentang penyakit putri bungsunya itu, namun bu Sophia mengurungkan niatnya.
"Suatu saat nanti, mama akan mengijinkanmu untuk keluar rumah." ucap bu Sophia dengan penuh keyakinan.
"Kapan, ma?" tanya Vivian dengan rasa tidak sabar. "Sejak dulu mama selalu mengatakan hal yang sama." ucapnya lagi dengan nada kesal.
"Sabar, ya. Kamu jangan mendesak mama, dong." ucap bu sophia sambil menatap wajah Vivian yang kelihatan cemberut.
"Kenapa aku tidak boleh keluar rumah, ma? Apa alasannya?" tanya Vivian dengan rasa penasaran. "Usiaku sudah 25 tahun, ma. Aku sudah dewasa." protes Vivian. Bu Sophia menatap wajah putri bungsunya dengan sorot mata yang tajam.
"Mama akan bicarakan dengan papamu dulu, ya." ucap bu Sophia sambil memegang pundak putrinya. Vivian menatap mata mamanya, dalam hatinya penuh kekesalan terhadap sikap mamanya. Seketika, Vivian membalikkan badannya, lalu melangkah dengan terburu-buru meninggalkan mamanya dan masuk kembali ke dalam kamarnya dengan penuh kekesalan. Mbok Sekar melihat semuanya dari balik pintu, perlahan Mbok Sekar mendekati bu Sophia.
"Maaf, Nyonya. Sebaiknya sesekali, Non Vivian di ajak keluar." ucap Mbok Sekar dengan nada pelan. Bu Sophia terdiam, ingatannya kembali di masa lalu. Membayankan fisik Vivian yang lemah, bahkan beberapa kali masuk rumah sakit, karena sering pinsan hanya karena masalah sepele.
"Nanti aku pikirkan, Mbok." sahut bu Sophia.
"Saya hanya kasihan pada Non Vivian. Selama ini dia tidak pernah melihat dunia luar." ucap Mbok Sekar lagi dengan perasaan iba sambil menatap wajah Nyonyanya dengan tatapan sendu. "Biar aku yang menemaninya keluar rumah, Nyonya." pinta Mbok Sekar sambil menatap wajah bu Sophia dengan penuh permohonan.
"Kamu tahu penyebabnya, Mbok." ucap bu Sophia. "Aku juga kasihan pada Vivian." ucapnya lagi dengan perasaan bersalah. "Aku tidak bisa mengontrolnya, jika Vivian berada di luar rumah." ucapnya lagi dengan perasaan cemas.
"Saya bisa menemaninya, Nyonya." ucap Mbok Sekar dengan penuh keyakinan. Bu Sophia menghela nafas panjang, lalu melangkah dengan cepat tanpa memperdulikan perkataan Mbok Sekar, dan meninggalkan Mbok Sekar yang masih berdiri sambil menatap pintu kamar Vivian yang tertutup dengan rapat. Dalam hati Mbok Sekar, ingin rasanya berkata jujur terhadap Vivian tentang penyebab dirinya yang tidak diijinkan keluar rumah oleh pak Frans dan bu Sophia. Sejak kecil, Vivian mempunyai jantung yang lemah dan sering pinsan.
"Nyonya terlalu keras terhadap Non Vivian. Sekarang, Non Vivian sudah dewasa." guman Mbok Sekar. "Tidak ada yang perlu di cemaskan lagi. Nyonya terlalu berlebihan terhadap Non Vivian." gumannya lagi dengan perasaan iba terhadap majikan kecilnya yaitu Vivian. Mbok Sekar melangkah dengan pelan, lalu menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya sehari-harinya yaitu memasak dan menyiapkan makan siang.
***
Sore itu, Renata dan pak Frans tiba di rumah dengan wajah yang kusut. Setiap jam 5.30 mereka selalu pulang dari kantor. Bu Sophia menatap Renata dan suaminya dengan penuh keheranan dan rasa penasaran, karena tidak melihat putri pertamanya pulang bersama dengan suaminya dan anak keduanya.
" Mana Claudia? Kok hanya kalian berdua yang pulang?" tanya bu Sophia dengan rasa penasaran.
"Biasalah, ma. Kak Claudia pergi bersama Rival." sahut Renata sambil melangkah dengan terburu-buru menuju kamarnya. Rival adalah pacar Claudia selama 3 tahun. Cukup lama Claudia dan Rival menjalin kasih, namun mereka sama-sama belum mau meresmikan hubungan mereka ke pernikahan. Claudia masih sibuk dengan kariernya, sedangkan Rival baru saja menjabat sebagai direktur muda di perusahaan ayahnya.
"Aku ingin bicara tentang Vivian." ucap bu Sophia sambil mendekati suaminya, pak Frans.
"Kenapa dengan Vivian?" tanya pak Frans dengan rasa ingin tahu. Bu sophia, mulai mengatakan semuanya tentang Vivian yang mulai bosan berdiam diri di rumah. Pak Frans menghela nafas panjang, lalu mengarahkan pandangannya ke kamar Vivian yang tertutup dengan rapat.
"Kenapa tiba-tiba Vivian protes tinggal di rumah?" tanya pak Frans dengan penuh keheranan.
"Vivian sudah mulai besar, mas. Wajar saja, jika dia ingin melihat dunia luar." ucap bu Sophia.
"Hmmm... Aku tahu, Sophia. Aku akan bicara dengan Vivian setelah aku selesai mandi." ucap pak Frans, sambil melangkah dengan terburu-buru menuju kamarnya. Saat itu Renata keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri mamanya yaitu bu Sophia.
"Kenapa dengan Vivian, ma?" tanya Renata dengan rasa ingin tahu. Ibu Sophia mengatakan tentang keinginan Vivian yang ingin melihat dunia luar, Renata menghela nafas panjang seakan mendukung niat Vivian.
"Biarkan saja, ma. Vivian sudah dewasa." sahut Renata.
"Iya sih, Renata. Semoga saja papa mengijinkannya." ucap bu Sophia dengan penuh harap.
"Jangan terlalu menekan Vivian, ma. Dia juga berhak menentukan pilihannya." ucap Renata yang berusaha memperingati mamanya. Bu Sophia terdiam, perkataan Renata membuatnya tersadar jika Vivian kini telah beranjak dewasa. Bu Sophia merasa telah merampas kebebasan Vivian yang seharusnya Vivian miliki. Bu sophia melangkahkan kakinya, menuju kamar Vivian.
"Tok... Tok!" bu Sophia mengetuk pintu kamar Vivian. "Tolong buka pintunya, nak. Mama ingin bicara denganmu." pinta bu Sophia dengan suara yang agak keras. Vivian yang mendengar namanya dipanggil oleh bu Sophia segera membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, ma?" tanya Vivian sambil menatap wajah mamanya. Bu Sophia melangkah masuk ke kamar Vivian, dan langsung duduk di tepi ranjang Vivian.
"Duduk di samping mama, nak." pinta bu Sophia. Perlahan, Vivian duduk di samping mamanya sambil menatap wajah mamanya yang kelihatan serius. "Maafkan mama, ya!" pinta bu Sophia sembari menatap wajah putri bungsunya. Sejenak, bu Sophia menghela nafas panjang lalu perlahan menghembuskannya kembali. Dengan pelan, bu Sophia mengatakan tentang keadaan Vivian yang sering sakit-sakitan dan pinsan sejak kecil dulu. Bu Sophia mengatakan penyebab Vivian yang tidak diperbolehkan keluar rumah karena kondisi fisik Vivian yang cukup lemah. Vivian tertegun mendengar pernyataan mamanya. Dirinya tidak menyangka jika keadaan fisiknya selemah itu sejak kecil, Vivian menatap wajah mamanya dengan sorot mata yang tajam.
"Aku sudah dewasa, ma. Aku bisa menjaga diriku sendiri." ucap Vivian dengan penuh keyakinan.
"Mama tahu, nak. Namun, mama dan papa tetap menghawatirkan kesehatanmu." sahut bu Sophia dengan penuh kecemasan. Saat Vivian tengah berbincang dengan mamanya, pak Frans masuk ke dalam kamar Vivian, lalu duduk di samping Vivian.
"Anak papa sekarang sudah besar, ya." ucap pak Frans sambil merangkul pundak putri bungsunya itu dengan senyum lebar di bibirnya. "Apakah kamu ingin keluar jalan-jalan, nak?" tanya pak Frans sambil menatap wajah Vivian.
"Iya, pa. Aku juga bosan tinggal di rumah." sahut Vivian dengan wajah yang cemberut. "Kak Claudia dan kak Renata bisa bekerja dan berkeliaran di luar rumah." ucapnya lagi.
"haha... Papa tahu, kamu cemburu dengan kedua kakakmu." ucap pak Frans sambil tertawa kecil. Vivian hanya menatap wajah papanya dengan wajah yang cemberut. "Memangnya, kamu mau ke mana?" tanya pak Frans dengan rasa penasaran.
"Aku hanya ingin melihat dunia luar itu seperti apa, pa." sahut Vivian dengan rasa ingin tahu.
"Hmmm... Apa yang ingin kamu lihat, nak?" tanya pak Frans lagi sambil mengangkat kedua alisnya.
"Semuanya, pa." sahut Vivian dengan tekad yang bulat.
"baiklah... Papa akan memesan tiket untuk kita bertiga." sahut pak Frans dengan penuh keyakinan. Bu Sophia yang duduk di samping suaminya seketika menatap wajah suaminya dengan penuh tanda tanya dan rasa penasaran.
"Tiket ke mana, mas?" tanya bu Sophia dengan rasa penasaran.
"Kita bertiga akan pergi ke Turki." sahut pak Frans dengan penuh keyakinan.
"Apakah kamu yakin, mas?" tanya bu Sophia dengan penuh keraguan. "Vivian hanya ingin keluar rumah. Bukan ke luar negri, mas." ucap bu Sophia. Pak Frans, menghela nafas panjang lalu menoleh dan menatap wajah istrinya.
"Aku juga ingin liburan, ma. Kebetulan aku belum pernah mengambil cuti." ucap pak Frans.
"Lalu, bagaimana dengan Claudia dan Renata?" tanya bu Sophia.
"Selama kita pergi, mereka yang akan mengurus perusahaan." sahut pak Frans dengan penuh keyakinan.
"Apakah kamu yakin, mas?" tanya bu Sophia dengan penuh keraguan. "Claudia dan Renata akan protes jika mereka tidak ikut." ucapnya lagi.
"Papa yang akan mengaturnya, ma." sahut pak Frans dengan penuh keyakinan. "Istirahatlah, Vivian." pinta pak Frans, sambil mencium kening putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, pa." ucap Vivian sambil memeluk papanya dengan rasa bahagia.
"Iya, nak. Papa hanya ingin melihatmu bahagia." sahut pak Frans. Pak Frans lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan kamar Vivian. Bu Sophia, menatap wajah putrinya sambil tersenyum tipis.
"Dengarkan perkataan papamu, nak. Mama juga akan beristirahat." ucap bu Sophia.
"Iya, ma." sahut Vivian sambil menganggukkan kepalanya. Lalu, bu Sophia beranjak dari duduknya dan melangkah dengan pelan keluar dari kamar putrinya. Setelah kedua orangtuanya pergi, Vivian tersenyum puas sembari mengangkat kepalanya ke atas, dan menatap langit-langit kamarnya. Vivian mulai membayangkan perjalanannya ke luat negri. Vivian tidak menduga, jika papanya akan membawanya ke luar negri. Vivian hanya meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk sekedar berjalan-jalan ke luar rumah. Namun, papanya langsung hendak membawanya ke Turki.
"Aku bahagia sekali. Papa dan mama akan membawaku ke Turki." guman Vivian dengan senyum puas di wajahnya. "Di Turki pasti menyenangkan, aku jadi tidak sabar." gumannya lagi sambil tersenyum bahagia.
***
Seminggu berlalu, Vivian telah mempersiapkan dirinya untuk ke Turki bersama dengan kedua orang tuanya. Malam itu, pak Frans dan istrinya yaitu bu Sophia menemui Vivian yang sedang berada di dalam kamarnya.
"Kraaak." terdengar suara pintu yang sengaja dibuka oleh pak Frans.
"Kenapa kamu belum tidur, nak?" tanya pak Frans sambil menatap Vivian yang sedang mengatur baju-bajunya di dalam koper.
"Besok sore kita akan berangkat. Aku telah mempersiapkan semuanya, pa." sahut Vivian dengan penuh keyakinan. Pak Frans menatap mata putrinya yang indah, lalu menghela nafas panjang seakan melepaskan segala beban yang ada dalam hatinya.
"Maafkan papa, ya! Papa tidak bisa ikut denganmu, nak." ucap pak Frans sambil menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedih.
"Kenapa, pa? Bukankah papa telah memesan tiket?" tanya Vivian dengan rasa penasaran.
"Iya, nak. Tiba-tiba saja ada urusan kantor yang tidak bisa ditunda." sahut pak Frans dengan nada pelan.
"Bagaimana dengan mama?" tanya Vivian dengan penuh keraguan sambil menoleh ke arah mamanya yang berdiri di samping papanya.
"Mama yang akan menemanimu, nak." ucap bu Sophia sambil tersenyum menatap wajah putrinya yang putih.
"Apakah urusan kantor lebih penting daripada berlibur denganku, pa?" tanya Vivian sambil menatap wajah papanya. Mendengar pernyataan Vivian, membuat hati pak Frans sangat sedih. Dengan pelan, pak Frans mulai mengatakan kepada putrinya tentang rekan bisnisnya yang juga seorang investor besar di perusahaannya meminta mengadakan pertemuan selama 3 hari ke depan, yang bertepatan dengan jadwal keberangkatan mereka ke Turki.
"Papa ingin sekali ikut denganmu dan mama. Namun, papa juga tidak bisa menolak investor itu." ucap pak Frans.
"Iya, pa. Tidak apa-apa, kok." sahut Vivian dengan penuh pengertian.
"Lain waktu kita sekeluarga akan pergi ke negara lain." ucap pak Frans dengan penuh pengharapan. Pak Frans mengusap rambut putrinya yang cukup panjang dan berwarna pirang itu dengan lembut, dan penuh kasih sayang. Terlihat dengan jelas jika pak Frans sangat menyayangi Vivian. "Papa ke ruang tengah dulu, ya." ucap pak Frans sambil meninggalkan ruang kamar Vivian.
"Iya, pa." sahut Vivian sambil menatap pundak papanya dari belakang. Bu Sophia tersenyum menatap wajah putrinya yang bulat dan putih.
"Mama juga keluar, ya. Mama hendak berkemas." ucap bu Sophia sambil beranjak dari duduknya dan meninggalkan Vivian yang masih duduk di tepi ranjang sambil mengatur beberapa pakaiannya untuk di masukkan ke dalam koper. Di ruang tengah, pak Frans duduk dengan santainya sambil mengepulkan asap rokok yang keluar dari dalam mulutnya. Perlahan bu Sophia menghampiri suaminya itu.
"Apakah Claudia dan Renata tahu tentang investor itu, mas?" tanya bu Sophia dengan penuh keraguan.
"Tidak, ma. Mereka tidak tahu apa-apa tentang investor itu." sahut pak Frans dengan penuh keyakinan.
"Hmmm... Kamu harus memberitahu mereka, mas." ucap bu Sophia.
"Mereka akan tahu sendiri nanti, ma." sahut pak Frans dengan nada pelan.
"Mereka berhak tahu, mas." ucap bu Sophia. Perusahaan pak Frans sedang tertimpa masalah yang cukup serius. Pak Frans enggan mengatakan tentang masalah perusahaannya kepada kedua anak perempuannya yaitu Claudia dan Renata. Saat bu Sophia dan pak Frans sedang membahas tentang masalah perusahaan mereka, tanpa sepengetahuan pak Frans dan bu Sophia, ternyata Renata mendengar pembicaraan kedua orang tuanya. Saat itu, Renata keluar dari dalam kamarnya dan melangkah menuju ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Dengan langkah pelan, Renata menghampiri kedua orang tuanya.
"Apa yang terjadi dengan perusahaan kita, pa?" tanya Renata dengan rasa penasaran. Pak Frans dan bu Sophia tersentak kaget saat mengetahui kedatangan Renata.
"Sejak kapan kamu di situ, Renata?" tanya pak Frans dengan penuh keheranan.
"Jawab saja pertanyaanku, pa." sahut Renata dengan rasa tidak sabar. Pak Frans menghela nafas panjang, lalu kembali membuang nafasnya secara perlahan.
"Katakan saja, mas. Renata berhak tahu juga." ucap bu Sophia. Akhirnya, pak Frans mengatakan tentang masalah perusahaannya yang mengalami kerugian cukup besar selama 2 bulan terakhir. Pak Frans berniat menjual perusahaannya kepada orang lain, namun seorang sahabat pak Frans yang mengetahui masalah perusahaannya berniat membantu pak Frans dengan cara memberikan modal yang cukup besar, namun dengan catatan salah satu putrinya harus menikah dengan anak sahabatnya yang temperamen yang bernama Johan. Pak Frans juga mengatakan tentang liburan Vivian ke Turki dan menggunakan tabungan pribadi pak Frans. Mendengar pernyataan papanya, Renata menunjukkan ekspresi tidak senang.
"Jangan aku, pa. Aku tidak mau." ucap Renata yang langsung menolaknya.
"Papa juga tidak mau mengorbankan kalian bertiga, nak." ucap pak Frans dengan nada berat.
"Apakah tidak ada jalan lain, pa?" tanya Renata.
"Jalan satu-satunya adalah menjual semua aset kita, nak. Kita akan hidup sederhana dulu." ucap pak Frans.
"Aku tidak mau hidup susah, pa. Ini terlalu berat buat aku." ucap Renata.
"Menikahlah dengan Johan." pinta pak Frans dengan penuh pengharapan. Kamu tidak akan hidup susah, Renata." ucapnya lagi.
"Batalkan saja liburan Vivian, pa." pinta Renata. Tabungan papa dan mama pasti cukup untuk menutupi kerugian perusaan kita." ucapnya lagi dengan penuh keyakinan. "Biarkan saja adikmu bersenang-senang. Kasihan dia, selama ini Vivian tidak pernah keluar rumah." ucap pak Frans yang berusaha menyenangkan hati Vivian.
"Terserah papa, deh! Aku tidak mau dijodohkan dengan Johan." ucap Renata sambil melangkah dengan terburu-buru meninggalkan papa dan mamanya menuju kamarnya.
"Istirahatlah dulu, mas." pinta bu Sophia sambil memegang pundak suaminya dan beranjak dari duduknya, lalu melangkah dengan pelan menuju kamar tidur. Pak Frans, hanya terdiam dan masih duduk di kursi malasnya sambil termenung memikirkan tentang penawaran dari sahabatnya itu. Johan yang merupakan putra satu-satunya dari sahabat pak Frans yang bernama om Rudy, akan dijodohkan dengan salah satu putrinya. Pak Frans sedikit gelisah dengan sifat Johan yang temperamen. Johan adalah seorang pria tampan, mapan, dan juga mempunyai usaha yang bergerak dibidang otomotif itu. Johan yang pernah gagal dalam menjalin cinta membuatnya sulit mengontrol emosinya.
"Siapa yang akan aku jodohkan dengan Johan? Claudia sudah mempunyai kekasih, sedangkan Renata telah menolaknya. Aku juga tidak tega terhadap Vivian yang mempunyai fisik yang lemah." guman pak Frans dengan penuh kebingunan. "Aku sangat mengantuk. Besok saja aku pikirkan lagi. Semoga saja aku bisa menemukan jawabannya besok." gumannya sambil beranjak dari kursi goyang miliknya, lalu melangkah menuju kamar tidurnya. Setibanya di dalam kamarnya, dengan tubuh yang lelah, pak Frans membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan tidur di samping istrinya yang sudah lebih dulu tertidur.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!