Pengembara Abadi Rute Sang Penulis
Jika kau pernah bertanya pada bayanganmu tentang arti sebuah hidup, itu artinya kau sudah berada di jalan yang tepat. Bagaimana pandanganmu tentangnya? Lalu, momentum apa yang membuatmu bisa bertanya “mengapa?” Biar aku beri sebuah jaminan.
Sejujurnya kamu sudah mulai dekat dengan kebenarannya!
Aku teringat pada sebuah jam yang berdetak dengan jarum yang terus berputar. Menunjukkan waktu yang terus bergerak dengan ritmenya, menandakan bahwa kehidupan masihlah ada. Lalu, terbesit satu pertanyaan dalam benakku. Apa yang terjadi jika suaranya hilang?
Kurasa, jika itu diterapkan dalam hidup seseorang, kehidupan itu akan terhenti seketika. Lalu, apa yang terjadi pada lingkungan di sekitarnya?
Kita tahu, lingkungan itu akan terus berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Hilangnya satu kehidupan di muka bumi ini tidak akan pernah memengaruhi jalannya seluruh dunia. Tetapi, hilangnya satu kehidupan itu akan cukup berpengaruh bagi jalannya hidup seseorang.
Ya, begitulah kenyataannya.
Sakit... ini menyakitkan!
Kenapa aku harus mengalaminya?
Aku ingin pulang....
“Oi, Brengsek, cepat makan!” Pria gendut yang baru saja kulihat tadi malam memukul wajahku dengan tongkatnya.
“Dasar budak tak berguna!” Pukulannya makin keras, kini tubuhku yang lain mendapatkan perlakuan yang sama.
Tindak kekerasan semacam ini kiranya sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Inilah yang terjadi jika kehidupan seseorang sudah sama seperti halnya benda—bahkan lebih buruk dari barang dagangan. Ketika dianggap tak berguna, orang bisa menghancurkannya dengan mudah.
“Oi, kenapa kau keras kepala!” Teriakannya makin kuat.
Pria itu masih memukulku dengan keras. Makian dan kekerasan yang dia lakukan itu seakan telah menjadi senjata andalannya. Kini rasa sakit mulai menjalar ke punggungku. Aku tak bisa merasakan lagi kehangatan yang dulu kurasakan. Apalagi dengan tubuh yang kecil dan sakit-sakitan ini. Semuanya menjadi tidak berguna.
Satu tendangan darinya kini menghantam perutku. Rasa sakit yang luar biasa kini menyerangku seketika. Tubuh kecil ini tergeletak di ujung ruang bawah tanah berbalut memar dan sedikit darah.
Terlihat sekilas olehku, pria gendut itu berjalan menjauh dengan cibiran dan hinaan. Aku tahu setiap kata yang dia lontarkan adalah bukti kesalnya padaku karena tubuh ini sangat lemah. Dengan kata lain, barang tidak berguna yang sulit dijual.
Benar, aku mengerti hal itu.
“Kau tidak apa-apa?” Samar terdengar suara anak kecil di ruangan yang sama. Rasanya dia mulai mengkhawatirkanku.
Beberapa kali kurasakan dia menyentuh tubuh rusak ini, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kurasa bisa kutebak perhatiannya itu adalah bentuk rasa iba pada teman senasib yang mengalami hal serupa.
“Kenapa kau tidak memakannya…?” tanya anak kecil itu.
“Harusnya kau makan saja! Jika kau tak makan, kau tidak akan bisa bertahan lama!” Suara pelan anak itu kini cukup berat, berubah menjadi isak tangis.
Jika diingat lagi, sudah lama aku tidak melihat seseorang apalagi anak sekecil itu menangis tulus mengkhawatirkan kondisiku. Rintih kesakitan di wajahnya adalah bukti bahwa hatinya masih utuh.
Aku menggelengkan kepala, “Aku tidak bisa....”
“Tapi kenapa?!”Dia berteriak keras.
Aku mulai menatapnya dengan serius, mata kami saling berpapasan. “Bahkan ini tidak bisa disebut makanan. Kurasa aku akan lebih sakit jika memakannya.” Isi pikiranku keluar begitu saja.
Benar, ini bukan makanan. Pikiranku tidak salah.
Dilihat dari sudut manapun, roti keras ini bukanlah makanan yang bagus untuk tubuh yang sakit-sakitan. Entah kenapa, tapi sejak aku terbangun dan mengalami semua ini aku sudah diberikan pengalaman menyedihkan.
Kulihat dengan jelas, pelan, dan penuh keteguhan dia menggelengkan kepalanya. “Kau bisa mati!” ucapnya pelan.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hati bersihnya itu seolah membuatku diam seketika. Suaranya cukup jelas hingga bisa membuatku tak bisa membantah ucapannya sedikit pun kali ini. Kata-katanya adalah sebuah kebenaran. Jika aku tidak memakannya, cepat atau lambat aku mungkin akan mati, entah mati karena kelaparan atau mati karena tubuh yang sakit.
Satu ruangan itu senyap seketika. Tidak ada lagi yang berbicara selain tetesan air yang mendarat di genangannya. Perlahan kudengar jelas isak tangisan anak kecil itu semakin kuat. Satu-satunya temanku di ruang bawah tanah ini. Tempat di mana kehidupan diperjualbelikan dengan seenaknya. Ruang bawah tanah seorang pedagang budak dari kalangan bangsawan di dunia yang tak kuketahui.
Jika kau berpikir dunia fantasi abad pertengahan adalah dunia yang indah maka kau benar-benar salah. Bahkan jika dipikir kembali, di mana pun kita berada, orang seperti pria gendut itu pasti ada di mana-mana. Tentunya dengan wujud yang berbeda.
Aku tersenyum, “Tidak, aku tidak akan mati....”
“Apa yang kau ocehkan? Lihat tubuhmu!”
Aku tahu itu. Kau juga tahu betul itu, lagipula aku sendiri yang merasakannya bagaimana tubuhku yang sekarang ini berjuang bertahan hidup.
“Aku mengerti kondisiku tidak baik. Aku tidak akan mati, jadi tenanglah....”
“Meskipun kau seorang Elf, jika kau tak makan saat sakit, kau akan mati! Dasar bodoh!” Anak kecil itu tersungkur menyerah dengan perasaannya, namun teriakannya semakin menggebu-gebu.
“Berhentilah bersikap egois! Aku tidak ingin satu-satunya orang yang kukenal mati di sini!” sambungnya.
Isak tangisnya makin kuat, kedua tangannya tidak bisa membendungnya lagi. “Kumohon, makanlah, sedikit saja....”
Kulihat kini air matanya mengalir cukup deras. Kali ini aku tidak bisa membantah lagi. Semua ekspresi itu, kata-kata itu, dia lontarkan dengan tulus. Lagi pula, kini aku tidak punya hak untuk menolaknya lagi. Apa egoku setinggi itu hingga membuat anak kecil menangis? Kurasa tidak. Nyatanya aku masih belum bisa menerima ada di dunia ini.
Di dunia yang kejam ini, kehidupan yang baru saja aku alami ternyata masih ada satu orang baik. Kuharap di luar sana akan ada banyak orang-orang baik sepertinya. Setidaknya pertemukan satu di antara mereka dengan temanku ini.
“Baiklah aku mengerti, akan kumakan benda keras itu.”
Kulihat dengan jelas kilauan harapan perlahan mulai muncul pada anak perempuan itu. “Kita pasti bisa melalui semua ini....”
Dulu, Aku pernah bermimpi. Entahlah apakah itu memang mimpi?
Sebenarnya Aku juga tidak tahu pasti.
Kala itu aku tengah berada di depan pohon besar dengan daun emas yang rimbun di tengah-tengah kebisingan tempat asing. Tepat di hadapanku kulihat hanyalah sosok perempuan itu.
Konon, hal ini pernah kudengar dari seseorang. Jika kau mampu untuk melihat sesuatu yang tidak biasa terkait dengan pohon itu, maka satu hal besar akan terjadi. Begitulah mitosnya. Tidak ada yang tahu makna cerita mitos itu. Hingga aku mengetahuinya sendiri hari ini.
Sosok misterius yang mengatakan bahwa dia adalah salah satu esensi yang dapat memperhatikan manusia, sosok roh yang ikut andil dalam kehidupan manusia, roh alam bernama Ginko, sesuai dengan nama pohonnya. Kini, ia tepat berada di hadapanku.
Daun berjatuhan lebat, angin bersiul kencang tatkala gadis itu berbicara. Satu hal yang kupahami saat itu adalah bahwa pertemuan dengannya telah mengubah segalanya.
Aku mulai berpikir seketika. Jika takdir Tuhan dapat membawa hamba-Nya pada ketaatan, lantas mengapa banyak manusia yang masih tersesat dan meragukan kuasa-Nya? Lalu, jika takdir Tuhan dapat membawa mereka pada kesesatan, lantas mengapa di antara mereka masih ada yang bertobat dan mengubah diri mereka menjadi lebih baik?
Klise bukan, tapi bukan itu saja poin utamanya.
Sederhananya, pengetahuan manusia akan hal itu terbilang tak cukup untuk menguak misteri di dalamnya. Mungkin kita memang telah didesain seperti itu. Sudah menjadi tugas bagi sosok pelopor kehidupan untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri dan tujuan hidupnya di dunia. Bukankah begitu?
Kurasa argumen ini memanglah tidak terlalu begitu penting.
Tapi, ini akan menjadi dasar dari segalanya.
“Jika kau diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu di masa lalu, apa yang akan kau pilih?”
“Apakah kau akan kembali ke masa itu?” Roh itu bertanya padaku lagi.
Kurasa jawabannya sudah pasti setelah mendengarnya. Manusia manapun yang sadar akan kondisi hidupnya akan memilih untuk memperbaikinya. Namun pernahkah kau berpikir bagaimana cara Tuhan memberikan kesempatan itu? Hal ini masih menjadi misteri, tapi hal itu bisa dijawab oleh diri kita sendiri.
Ketika jarum jam berdetak maka jarum itu akan bergerak mengikuti porosnya. Namun jika ada yang punya kuasa atas waktu dan segalanya memutuskan untuk memutar arah waktu maka apa yang terjadi? Sudah jelas bukan? Maka itu akan benar-benar terjadi. Dalam beberapa cerita fantasi, fenomena ini sering disebut Regresi.
Lalu semua ini bermula ketika aku bertemu dengannya. Sebuah kejanggalan yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan akan aku alami. Menjadi bagian dari sebuah sejarah akan egoisnya makhluk hidup. Belajar bahwa hidup itu bukan tentang kemenangan, tetapi tentang cerita dan sebuah perjalanan.
Begitulah hidup.
Ini adalah apa yang kulihat, lalu bagaimana denganmu?
“Jadi, apa jawabanmu?” Itulah kalimat yang keluar dari bibir kecil gadis itu. Tenang nan penuh keanggunan. Tidak ada kata lain yang bisa mengungkapkan tekanan misterius itu. Sikap tulus tapi terasa kosong dan hampa.
Tidak perlu kuberitahu pun, kalian pasti sudah mengerti jawaban apa yang akan kukatakan padanya, bukan?
“Maaf, aku menolak!”
Ya, Kalimat yang sakti!
Tiga kata yang sangat kuat sebagai jawaban pada orang asing yang tak kuketahui asal-usulnya.
Sejauh yang kupahami dan kuyakini, kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu tidak terbatas. Artinya selama kau masih hidup dan sadar akan kesalahanmu di masa lalu, kau masih memiliki kesempatan. Ketika masih ada nyawa di badan, setiap usaha yang tulus untuk berubah itulah yang akan dihargai oleh Sang Pencipta. Sisanya yang harus kita lakukan hanyalah menguatkan tekad.
Aku memang tidak bisa membuktikan bahwa aku adalah orang yang tidak egois dan tak memiliki dosa. Namun hidupku adalah bentuk dari setiap usahaku dan bentuk hasilnya ada pada tangan-Nya yang tak akan bisa kuketahui pada saat yang sama.
Sederhananya, masa lalu adalah milik sejarah, masa kini adalah milik kita, dan masa depan adalah milik Yang Maha Kuasa. Begitulah kalimat yang pernah aku dengar. Bermodal keyakinan itu aku menolak gadis misterius itu. Satu senyuman kecil menghiasi wajahnya.
Saat itu aku berpikir dengan naif, aku tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari senyuman itu juga aku mendapatkan satu jawaban yang sangat jelas.
Saat ini aku tidak mengerti apa pun, khususnya tentang segala hal yang terjadi pada diriku, bahkan pada dunia. Banyak orang mengatakan bahwa musuh paling berbahaya dalam setiap kehidupan adalah ketidaktahuan. Aku setuju akan hal itu.
Kini aku yakin bahwa kala itu aku membuat keputusan yang salah. Jika saja aku tidak menolaknya mungkin saja takdirku saat ini akan berbeda.
Mimpi ini adalah sebagian ingatanku di dunia sebelumnya. Satu kejadian di mana aku masihlah menjadi penulis pemula di salah satu platform online di dunia itu. Tengah mencari inspirasi untuk ceritaku selanjutnya. Saat di mana aku masih menjadi manusia biasa, bukan elf kecil yang telah tertangkap oleh penjual budak di negeri yang tak kuketahui ini.
Dari seorang penulis cerita kecil menjadi karakter kecil. Ini adalah saat di mana perjalanan dalam hidupku berubah sepenuhnya.
Apa aku bisa bertahan? Entahlah kuharap aku pun mengetahuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Adrian Koto
lah pindah ke isekai bukannya jadi hero malah jadi budak 😅
2025-10-25
1