Jika kau pernah bertanya pada bayanganmu tentang arti sebuah hidup, itu artinya kau sudah berada di jalan yang tepat. Bagaimana pandanganmu tentangnya? Lalu, momentum apa yang membuatmu bisa bertanya “mengapa?” Biar aku beri sebuah jaminan.
Sejujurnya kamu sudah mulai dekat dengan kebenarannya!
Aku teringat pada sebuah jam yang berdetak dengan jarum yang terus berputar. Menunjukkan waktu yang terus bergerak dengan ritmenya, menandakan bahwa kehidupan masihlah ada. Lalu, terbesit satu pertanyaan dalam benakku. Apa yang terjadi jika suaranya hilang?
Kurasa, jika itu diterapkan dalam hidup seseorang, kehidupan itu akan terhenti seketika. Lalu, apa yang terjadi pada lingkungan di sekitarnya?
Kita tahu, lingkungan itu akan terus berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Hilangnya satu kehidupan di muka bumi ini tidak akan pernah memengaruhi jalannya seluruh dunia. Tetapi, hilangnya satu kehidupan itu akan cukup berpengaruh bagi jalannya hidup seseorang.
Ya, begitulah kenyataannya.
Sakit... ini menyakitkan!
Kenapa aku harus mengalaminya?
Aku ingin pulang....
“Oi, Brengsek, cepat makan!” Pria gendut yang baru saja kulihat tadi malam memukul wajahku dengan tongkatnya.
“Dasar budak tak berguna!” Pukulannya makin keras, kini tubuhku yang lain mendapatkan perlakuan yang sama.
Tindak kekerasan semacam ini kiranya sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Inilah yang terjadi jika kehidupan seseorang sudah sama seperti halnya benda—bahkan lebih buruk dari barang dagangan. Ketika dianggap tak berguna, orang bisa menghancurkannya dengan mudah.
“Oi, kenapa kau keras kepala!” Teriakannya makin kuat.
Pria itu masih memukulku dengan keras. Makian dan kekerasan yang dia lakukan itu seakan telah menjadi senjata andalannya. Kini rasa sakit mulai menjalar ke punggungku. Aku tak bisa merasakan lagi kehangatan yang dulu kurasakan. Apalagi dengan tubuh yang kecil dan sakit-sakitan ini. Semuanya menjadi tidak berguna.
Satu tendangan darinya kini menghantam perutku. Rasa sakit yang luar biasa kini menyerangku seketika. Tubuh kecil ini tergeletak di ujung ruang bawah tanah berbalut memar dan sedikit darah.
Terlihat sekilas olehku, pria gendut itu berjalan menjauh dengan cibiran dan hinaan. Aku tahu setiap kata yang dia lontarkan adalah bukti kesalnya padaku karena tubuh ini sangat lemah. Dengan kata lain, barang tidak berguna yang sulit dijual.
Benar, aku mengerti hal itu.
“Kau tidak apa-apa?” Samar terdengar suara anak kecil di ruangan yang sama. Rasanya dia mulai mengkhawatirkanku.
Beberapa kali kurasakan dia menyentuh tubuh rusak ini, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kurasa bisa kutebak perhatiannya itu adalah bentuk rasa iba pada teman senasib yang mengalami hal serupa.
“Kenapa kau tidak memakannya…?” tanya anak kecil itu.
“Harusnya kau makan saja! Jika kau tak makan, kau tidak akan bisa bertahan lama!” Suara pelan anak itu kini cukup berat, berubah menjadi isak tangis.
Jika diingat lagi, sudah lama aku tidak melihat seseorang apalagi anak sekecil itu menangis tulus mengkhawatirkan kondisiku. Rintih kesakitan di wajahnya adalah bukti bahwa hatinya masih utuh.
Aku menggelengkan kepala, “Aku tidak bisa....”
“Tapi kenapa?!”Dia berteriak keras.
Aku mulai menatapnya dengan serius, mata kami saling berpapasan. “Bahkan ini tidak bisa disebut makanan. Kurasa aku akan lebih sakit jika memakannya.” Isi pikiranku keluar begitu saja.
Benar, ini bukan makanan. Pikiranku tidak salah.
Dilihat dari sudut manapun, roti keras ini bukanlah makanan yang bagus untuk tubuh yang sakit-sakitan. Entah kenapa, tapi sejak aku terbangun dan mengalami semua ini aku sudah diberikan pengalaman menyedihkan.
Kulihat dengan jelas, pelan, dan penuh keteguhan dia menggelengkan kepalanya. “Kau bisa mati!” ucapnya pelan.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hati bersihnya itu seolah membuatku diam seketika. Suaranya cukup jelas hingga bisa membuatku tak bisa membantah ucapannya sedikit pun kali ini. Kata-katanya adalah sebuah kebenaran. Jika aku tidak memakannya, cepat atau lambat aku mungkin akan mati, entah mati karena kelaparan atau mati karena tubuh yang sakit.
Satu ruangan itu senyap seketika. Tidak ada lagi yang berbicara selain tetesan air yang mendarat di genangannya. Perlahan kudengar jelas isak tangisan anak kecil itu semakin kuat. Satu-satunya temanku di ruang bawah tanah ini. Tempat di mana kehidupan diperjualbelikan dengan seenaknya. Ruang bawah tanah seorang pedagang budak dari kalangan bangsawan di dunia yang tak kuketahui.
Jika kau berpikir dunia fantasi abad pertengahan adalah dunia yang indah maka kau benar-benar salah. Bahkan jika dipikir kembali, di mana pun kita berada, orang seperti pria gendut itu pasti ada di mana-mana. Tentunya dengan wujud yang berbeda.
Aku tersenyum, “Tidak, aku tidak akan mati....”
“Apa yang kau ocehkan? Lihat tubuhmu!”
Aku tahu itu. Kau juga tahu betul itu, lagipula aku sendiri yang merasakannya bagaimana tubuhku yang sekarang ini berjuang bertahan hidup.
“Aku mengerti kondisiku tidak baik. Aku tidak akan mati, jadi tenanglah....”
“Meskipun kau seorang Elf, jika kau tak makan saat sakit, kau akan mati! Dasar bodoh!” Anak kecil itu tersungkur menyerah dengan perasaannya, namun teriakannya semakin menggebu-gebu.
“Berhentilah bersikap egois! Aku tidak ingin satu-satunya orang yang kukenal mati di sini!” sambungnya.
Isak tangisnya makin kuat, kedua tangannya tidak bisa membendungnya lagi. “Kumohon, makanlah, sedikit saja....”
Kulihat kini air matanya mengalir cukup deras. Kali ini aku tidak bisa membantah lagi. Semua ekspresi itu, kata-kata itu, dia lontarkan dengan tulus. Lagi pula, kini aku tidak punya hak untuk menolaknya lagi. Apa egoku setinggi itu hingga membuat anak kecil menangis? Kurasa tidak. Nyatanya aku masih belum bisa menerima ada di dunia ini.
Di dunia yang kejam ini, kehidupan yang baru saja aku alami ternyata masih ada satu orang baik. Kuharap di luar sana akan ada banyak orang-orang baik sepertinya. Setidaknya pertemukan satu di antara mereka dengan temanku ini.
“Baiklah aku mengerti, akan kumakan benda keras itu.”
Kulihat dengan jelas kilauan harapan perlahan mulai muncul pada anak perempuan itu. “Kita pasti bisa melalui semua ini....”
Dulu, Aku pernah bermimpi. Entahlah apakah itu memang mimpi?
Sebenarnya Aku juga tidak tahu pasti.
Kala itu aku tengah berada di depan pohon besar dengan daun emas yang rimbun di tengah-tengah kebisingan tempat asing. Tepat di hadapanku kulihat hanyalah sosok perempuan itu.
Konon, hal ini pernah kudengar dari seseorang. Jika kau mampu untuk melihat sesuatu yang tidak biasa terkait dengan pohon itu, maka satu hal besar akan terjadi. Begitulah mitosnya. Tidak ada yang tahu makna cerita mitos itu. Hingga aku mengetahuinya sendiri hari ini.
Sosok misterius yang mengatakan bahwa dia adalah salah satu esensi yang dapat memperhatikan manusia, sosok roh yang ikut andil dalam kehidupan manusia, roh alam bernama Ginko, sesuai dengan nama pohonnya. Kini, ia tepat berada di hadapanku.
Daun berjatuhan lebat, angin bersiul kencang tatkala gadis itu berbicara. Satu hal yang kupahami saat itu adalah bahwa pertemuan dengannya telah mengubah segalanya.
Aku mulai berpikir seketika. Jika takdir Tuhan dapat membawa hamba-Nya pada ketaatan, lantas mengapa banyak manusia yang masih tersesat dan meragukan kuasa-Nya? Lalu, jika takdir Tuhan dapat membawa mereka pada kesesatan, lantas mengapa di antara mereka masih ada yang bertobat dan mengubah diri mereka menjadi lebih baik?
Klise bukan, tapi bukan itu saja poin utamanya.
Sederhananya, pengetahuan manusia akan hal itu terbilang tak cukup untuk menguak misteri di dalamnya. Mungkin kita memang telah didesain seperti itu. Sudah menjadi tugas bagi sosok pelopor kehidupan untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri dan tujuan hidupnya di dunia. Bukankah begitu?
Kurasa argumen ini memanglah tidak terlalu begitu penting.
Tapi, ini akan menjadi dasar dari segalanya.
“Jika kau diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu di masa lalu, apa yang akan kau pilih?”
“Apakah kau akan kembali ke masa itu?” Roh itu bertanya padaku lagi.
Kurasa jawabannya sudah pasti setelah mendengarnya. Manusia manapun yang sadar akan kondisi hidupnya akan memilih untuk memperbaikinya. Namun pernahkah kau berpikir bagaimana cara Tuhan memberikan kesempatan itu? Hal ini masih menjadi misteri, tapi hal itu bisa dijawab oleh diri kita sendiri.
Ketika jarum jam berdetak maka jarum itu akan bergerak mengikuti porosnya. Namun jika ada yang punya kuasa atas waktu dan segalanya memutuskan untuk memutar arah waktu maka apa yang terjadi? Sudah jelas bukan? Maka itu akan benar-benar terjadi. Dalam beberapa cerita fantasi, fenomena ini sering disebut Regresi.
Lalu semua ini bermula ketika aku bertemu dengannya. Sebuah kejanggalan yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan akan aku alami. Menjadi bagian dari sebuah sejarah akan egoisnya makhluk hidup. Belajar bahwa hidup itu bukan tentang kemenangan, tetapi tentang cerita dan sebuah perjalanan.
Begitulah hidup.
Ini adalah apa yang kulihat, lalu bagaimana denganmu?
“Jadi, apa jawabanmu?” Itulah kalimat yang keluar dari bibir kecil gadis itu. Tenang nan penuh keanggunan. Tidak ada kata lain yang bisa mengungkapkan tekanan misterius itu. Sikap tulus tapi terasa kosong dan hampa.
Tidak perlu kuberitahu pun, kalian pasti sudah mengerti jawaban apa yang akan kukatakan padanya, bukan?
“Maaf, aku menolak!”
Ya, Kalimat yang sakti!
Tiga kata yang sangat kuat sebagai jawaban pada orang asing yang tak kuketahui asal-usulnya.
Sejauh yang kupahami dan kuyakini, kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu tidak terbatas. Artinya selama kau masih hidup dan sadar akan kesalahanmu di masa lalu, kau masih memiliki kesempatan. Ketika masih ada nyawa di badan, setiap usaha yang tulus untuk berubah itulah yang akan dihargai oleh Sang Pencipta. Sisanya yang harus kita lakukan hanyalah menguatkan tekad.
Aku memang tidak bisa membuktikan bahwa aku adalah orang yang tidak egois dan tak memiliki dosa. Namun hidupku adalah bentuk dari setiap usahaku dan bentuk hasilnya ada pada tangan-Nya yang tak akan bisa kuketahui pada saat yang sama.
Sederhananya, masa lalu adalah milik sejarah, masa kini adalah milik kita, dan masa depan adalah milik Yang Maha Kuasa. Begitulah kalimat yang pernah aku dengar. Bermodal keyakinan itu aku menolak gadis misterius itu. Satu senyuman kecil menghiasi wajahnya.
Saat itu aku berpikir dengan naif, aku tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari senyuman itu juga aku mendapatkan satu jawaban yang sangat jelas.
Saat ini aku tidak mengerti apa pun, khususnya tentang segala hal yang terjadi pada diriku, bahkan pada dunia. Banyak orang mengatakan bahwa musuh paling berbahaya dalam setiap kehidupan adalah ketidaktahuan. Aku setuju akan hal itu.
Kini aku yakin bahwa kala itu aku membuat keputusan yang salah. Jika saja aku tidak menolaknya mungkin saja takdirku saat ini akan berbeda.
Mimpi ini adalah sebagian ingatanku di dunia sebelumnya. Satu kejadian di mana aku masihlah menjadi penulis pemula di salah satu platform online di dunia itu. Tengah mencari inspirasi untuk ceritaku selanjutnya. Saat di mana aku masih menjadi manusia biasa, bukan elf kecil yang telah tertangkap oleh penjual budak di negeri yang tak kuketahui ini.
Dari seorang penulis cerita kecil menjadi karakter kecil. Ini adalah saat di mana perjalanan dalam hidupku berubah sepenuhnya.
Apa aku bisa bertahan? Entahlah kuharap aku pun mengetahuinya.
Mata biru secerah lautan. Rambut hitam legam panjang sebahu, dengan kulit putih pucat dan tubuh kurus kering. Ini adalah gambaran yang sangat cocok denganku, salah satu anak di dalam penjara bawah tanah kediaman bangsawan yang menjalankan perdagangan budak.
Jika kau berpikir bahwa perdagangan budak itu ilegal, maka jawabannya adalah iya. Menurut pendapatku begitu.
Hanya saja, di dunia ini aku tidak terlalu tahu.
Duniaku dulu adalah dunia di mana hak asasi manusia dijunjung, disanjung, bahkan ditegakkan. Dengan sistem pemerintahan demokrasi yang dipimpin oleh presiden sebagai pemangku jabatan tertinggi.
Meskipun praktik politik di mana pun akan berpihak pada orang yang berkuasa sih. Kupikir tidak jauh berbeda dengan dunia ini. Namun, ternyata dunia tempatku hidup saat ini jauh lebih buruk. Atau mungkin aku belum tahu saja.
Wajah pucat itu terpantul di sebuah genangan air kotor. Tak jelas sama sekali, namun jika dilihat baik-baik, aku tahu betul mengapa anak ini bisa berada di sini. Parasnya yang cantik rupawan sebagai makhluk yang suci. Aku tidak menyangka mereka bisa menangkap ras elf ini. Apalagi kini elf itu adalah aku sendiri. Lalu, bagaimana bisa dia menangkap elf ini?
Aku sendiri sedikit penasaran tentang masa lalu pemilik asli tubuh ini.
Jika diperhatikan baik-baik, aku memiliki telinga yang cukup panjang layaknya seorang peri, dan entah kenapa, memiliki telinga seperti ini membuatku merasa aneh. Kau pasti akan berpikir hal yang sama jika hal yang biasa ada pada tubuhmu sebagai manusia kini tiba-tiba berubah.
Kupikir ini penampilan yang mengesankan.
Seorang anak kecil dengan kulit pucat dengan rambut hitam legam ini adalah aku sendiri. Tapi tunggu sebentar, bukankah ras elf itu memiliki rambut yang mencolok? Tapi kenapa rambutku ini berwarna hitam padam?
Seketika aku tertegun, terlena dengan pemikiranku sendiri, apalagi setelah menyadari bahwa tubuh ini sangat lemah dan sedang sakit. Bahkan satu pukulan dari pria gendut itu masih terasa sakit hingga saat ini.
Terhitung sudah satu minggu berlalu dari kejadian itu. Aku masih ingat betul tangis wajah anak perempuan di sampingku. Melihatnya tertidur pulas saat ini membuatku merasa takjub dengan kekuatan mental yang ia miliki.
Apa Om Gendut itu suka menangkap gadis berusia 10 tahun, ya…?
Gadis itu bernama Noel, itu yang aku tahu. Perihal masa lalunya, kurasa aku tidak perlu membahasnya. Namun jika perlu diungkapkan, Noel adalah anak perempuan yang tinggal di panti asuhan di daerah ini.
Tentang penangkapan yang menimpanya itu, aku tidak ingin melanjutkannya.
Apa penculikan dapat dibenarkan hanya dengan dalih mempekerjakan seseorang?
Mendengarnya bercerita mengenai masa lalunya saja membuatku muak dengan kehidupan di dunia ini. Tapi apa dayaku? Dengan tubuh kecil ini, aku tak bisa berbuat banyak. Pun jika aku masihlah orang dewasa, apakah aku memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan di dunia ini? Kurasa aku hanya akan depresi memikirkan hal itu, mengingat aku hanyalah manusia biasa di dunia tempatku berasal.
Ya, aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Bahasa Indonesia di salah satu universitas ternama di Korea Selatan.
Ah ya, aku lupa memperkenalkan diri. Setidaknya dalam peribahasa ada kata-kata bijak yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang.
Begitulah kata ibuku yang asli orang Indonesia, suku Sunda. Kurasa ayahku adalah orang yang sangat beruntung bertemu dengannya. Sikapnya yang tulus, baik, dan sedikit ceroboh... jujur saja, semenjak berada di dunia ini aku merindukan mereka.
Aku Park Hae Ji. Ya, nama yang terdengar seperti perempuan, bukan? Bahkan aku sedikit mendapatkan masalah karena nama itu. Pastinya kedua orang tuaku mempunyai alasan tersendiri karena memilih nama itu untukku.
Ketika nama Hae Ji dikatakan orang lain, khususnya di forum formal, selalu membuat situasi awal menjadi lucu. Bayangkan saja, ketika dosen baru memanggil namaku, tatapannya pasti melihat ke arah para perempuan. Ya, wajah teman-temanku itu memang bukan menertawakanku, tapi situasinya. Ketika dewasa, alangkah baiknya kau mengerti akan arti namamu sendiri. Setidaknya, nama itu akan seperti bintang terang yang akan terus menuntunmu hidup. Sederhananya, namamu adalah doa penuntun hidupmu.
Namun, saat ini aku tidak tahu nama dari anak ini. Laki-laki dari ras elf dengan mata biru dan rambut hitam layaknya langit malam. Wajahnya cukup mirip perempuan. Mungkin Om Gendut itu mengira aku adalah anak perempuan. Ya, paras anak ini kadang kala dapat menipu seseorang, bahkan diriku sendiri. Bahkan aku sempat memeriksa bagian bawah sana saking terkejutnya akan paras tubuh ini. Untungnya masih tetap sama.
Ingatan pertamaku berada di tubuh ini adalah saat sebelum aku bertemu dengan Noel. Aku adalah anak pertama yang dibawa ke ruangan bawah tanah ini. Tanpa informasi apa pun, tiba-tiba aku terbangun berada di sel ini dalam keadaan sakit-sakitan. Makian dan cacian karena aku, yang dikatakan adalah barang yang akan laku mahal, kini menjadi tak berharga ketika aku sakit.
Sungguh, aku tidak percaya. Pertemuan dengan roh pohon di taman itu membuatku bisa berada di sini. Aku pernah mendengar dan melihat di karya-karya lain bahwa ras elf ini biasanya tinggal di hutan lebat yang indah. Keterkaitannya dengan alam sangatlah erat dan tak dapat dipisahkan. Aku menganggap tubuh yang sakit ini adalah bukti bahwa alam telah direbut darinya.
“Aku akan kaya!” Itu kalimat darinya yang membuatku sakit hati saat pertama kali bertemu dengannya.
“Kenapa kau malah sakit, hah! Padahal aku ingin menjualmu siang nanti!” Bangsawan gendut itu mencaciku dengan keras. Itu adalah ucapannya yang kedua. Satu kalimat yang membuatku meratapi keadaanku sendiri.
Takdir yang tidak kuketahui alasannya ini memberikanku pengalaman baru dalam menjalani hidup. Bahkan aku tahu bahwa kehidupanku di dunia ini tidak akan baik-baik saja. Satu mimpi yang kulihat kala itu adalah bukti bahwa aku memiliki takdir mengembara di dunia lain, tentunya dengan cara transmigrasi, merasuki tubuh orang lain.
Aku tidak tahu apakah tubuh asliku kini ada di mana tapi hal yang aku inginkan adalah tidak mengalami hal seperti ini. Terlempar ke dunia lain dan menjadi barang dagangan? Yang benar saja. Aku ingin pulang. Tapi bagaimana dengan tubuh asliku?
Sudahlah, lupakan saja ini tidak ada gunanya.
Lebih baik menjalani tugas kemiliteran selama dua tahun daripada menjadi budak untuk diperjualbelikan.
Aku bukanlah barang. Apa ini hadiah dari kebaikanku selama ini? Atau mungkin ini adalah bentuk penebusan dosa-dosaku? Jika menurut mimpi itu, aku menolak tawaran yang diberikan oleh gadis misterius itu. Jadi, apa makna penolakan itu? Jika saja aku bisa mengulang masa itu, apa yang ingin kuperbuat?
Memikirkan penyesalan saja tidak ada gunanya.
Apa yang terjadi padaku sama sekali tidak bisa diubah. Meskipun kini aku berada di dunia fantasi dan menjadi ras lain, aku masihlah aku, Park Hae Ji. Sama seperti nama itu, keberanian dan ketegasanku dapat dikatakan setara dengan perempuan. Dengan kata lain, aku adalah orang yang tidak tegas pada diri sendiri dan mudah takut dalam mengambil keputusan. Tapi aku harus berubah, Berhentilah jadi pengecut, dan terus maju.
Hae Ji Kali ini kau hidup di dunia yang berbeda. Jika kau tidak bergerak, maka kau akan tetap menjadi orang pengecut yang menyesali masa lalumu!
"Park Hae Ji, kini situasi memaksamu untuk maju. Apa pilihanmu?" Setelah banyak berpikir dan secara tak sadar mengatakan hal itu, aku menatap Noel, aku mulai membuat sebuah keputusan dalam hidup ini.
Dunia mungkin telah berubah, dan jika aku masihlah menjadi sosok yang sama, maka pilihannya adalah aku yang dapat hidup di dunia dengan bebas atau kebebasanku yang direnggut oleh dunia itu sendiri.
Baiklah, setidaknya aku harus bertahan hidup untuk mencari cara pulang!
Aku menguatkan tekadku kali ini. Dalam beberapa hari kemudian kudengar terakhir kali dari ocehan Om Gendut itu ketika menyiksaku, ia akan menjual budak lain. Masih belum jelas dia memiliki berapa budak saat ini. Tapi yang pasti kesempatanku hanya satu kali.
Tatapanku jauh menatap pintu itu. Ruangan ini hanya satu petak bak kamar kosong tanpa ada apa pun. Bahkan lebih mirip penjara tanpa jeruji. Genangan air kotor sisa-sisa air hujan yang merembes di retakan atap adalah bukti bahwa ruangan ini tak pernah dirawat sama sekali. Sumber cahaya penerangan hanya satu lilin di sisi ruangan ini.
Aku tahu ini kejam tapi bukankah jika kau ingin menjual barang setidaknya perhatikanlah kondisi barang itu.
Ya, sebenarnya wajar saja jika Om Gendut itu tak pernah sukses. Hal sepele ini saja dia tak paham. Dia bukan pebisnis yang baik.
Keputusanku memang telah bulat. Tapi masalah utamanya aku tidak tahu siapa yang akan terpilih oleh pria gendut itu untuk minggu depan. Jadi hal yang bisa aku siapkan hanyalah memperbaiki tubuh ini.
Jika argumen tak mendasarku benar—bahwa elf sakit karena ia dijauhkan dari alam—maka aku harus mencari solusi akan hal itu. Bagaimanapun, ini akan menjadi pertarungan mental yang sangat panjang. Tapi bagaimana jika itu salah?
“Ini benar-benar buruk…” keluhku.
Aku tidak tahu informasi apa pun tentang dunia ini. Bahkan tentang bagaimana dunia ini berjalan. Sementara aku masih meyakini bahwa dunia ini adalah dunia fantasi barat, tempat tinggal sihir dan pedang bersinar, di mana kekuasaan dan kekuatan adalah hal tertinggi dalam menentukan nyamannya sebuah kehidupan. Bahkan mungkin dugaanku pun masih bisa salah.
“Sial, aku harus mulai dari mana?!”
“Ok, tenanglah Hae Ji, kau pasti bisa!”
“Hae Ji?” Terdengar suara lembut kini menusukku.
Gadis yang sebelumnya tidur pulas kini matanya terbuka lebar. Mungkin ia bisa begitu karena aku bicara cukup keras tadi.
“Apa itu namamu?” Noel bergegas duduk dan menatapku tajam.
Anak perempuan usia 10 tahun itu kini memancarkan rasa keingintahuannya padaku. Bola matanya benar-benar mengharapkan jawaban dariku, seolah-olah berkata, “Cepat beritahu aku!”
“Apa itu namamu?”
Jantungku berhenti seketika. Satu pertanyaan yang membuatku hampir kehilangan nyawaku. Aku tidak menduga dia akan bangun secepat ini.
“Hae Ji... Nama yang aneh!” gumannya pelan.
“Menurutmu begitu?” Aku menatap matanya dalam. Sebuah anggukan kecil dan ceria membalas ucapanku dengan cepat, disusul dengan informasi yang tidak aku duga sama sekali akan datang darinya.
“Aku kira namamu akan terdengar seperti Thalassa, dewi laut yang kami puja!”
“Dewi laut?”
“Kurasa di daerahmu tidak ada laut ya? terlihat dari wajahmu lho!”
Sial, cukup menjengkelkan. Anak kecil ini mengejekku!
Noel tertawa riang, barisan giginya terlihat jelas olehku dan kini telah berakhir dengan senyuman. Setelahnya, Noel menatapku dengan tegas, satu tarikan napas dia lakukan dan sebuat melodi asing datang menghampiri sekeliling kami.
Thalassa, bangkit dari buih purba,
Lautan adalah takhta, ombaknya kata.
Datanglah Sang Naga, dari jurang terdalam,
Memberi sisik, di badai kelam.
Kini Sang Dewi pegang pusaran air suci,
Tak ada kapal yang karam, jika ia merestui.
“Lagu?”
“Hmmm... Kamu benar!” Noel tersenyum kembali. Irama dan setiap bait lirik yang dia nyanyikan sebelumnya mengandung arti lain bagiku. Kurang lebih, aku bisa menebaknya.
Jadi Kita saat ini ada di daerah dekat lautan ya...
“Bolehkah aku menyanyikan lanjutanya?” Noel menatapku berbinar-binar. Tatapan matanya cukup silau hingga membuatku tersenyum dan menyetujuinya.
Dari lagu yang dia nyanyikan seriang itu, aku yakin. Ruang bawah tanah ini berada di bawah laut, atau tempat dimana perairan mengelilingi tempat ini. Saat Noel masih melanjutkan nyanyiannya, aku melihat kembali genangan air yang tercipta dari langit langit.
Semoga rasanya asin! dengan begitu dugaanku benar.
Saat kucuil air itu dengan jariku, aku merasakan perasaan senang yang luar biasa. Genangan itu adalah sekumpulan air laut yang merembes dari atas. Pantas tidak ada sedikitpun penerangan alami di sini.
Aku harus tahu informasi lainnya yang kebutuhan!
Noel berdeham kecil, lalu melanjutkan melodi asingnya dengan suara yang lebih riang, seolah-olah ia sedang menari di antara ombak. Noel melanjutkan balada yang dia nyanyikan sebelumnya.
Ia lindungi nakhoda, yang tulus dan berani,
Dari monster palung, dari ombak meninggi.
Sebab janji Sang Naga, mengalir di nadinya,
Menjadikan lautan ganas, bagai danau mulia.
Pelaut yang berlayar, di malam yang gelap,
Tahu bahwa ia Dewi, yang janji takkan lesap.
Di bawahnya ada Rumah, di atasnya ada buih,
Dimana Pilar Keheningan berdiri kukuh!
Maka suarakan nama, saat air membekukan,
Thalassa tak 'kan biarkan, jiwamu tenggelam.
Aku mendengarkan dengan saksama, mengabaikan rasa asin yang memuaskan di jariku. Aku bukan hanya mendengar sebuah lagu, tetapi mencoba mendengarkan sebuah peta ataupun pentunjuk yang bisa saja aku dapatkan.
Monster Palung. Ini menunjukkan ancaman yang pasti ada di kedalaman. Dimanapun aku berada Laut memang tempat yang penuh misteri.
Danau Mulia. Kontradiksi yang disengaja. Di sini, lautan ganas malah digambarkan seperti danau—tenang, terkendali. Kurasa Ini menegaskan bahwa daerah ini sangat dipengaruhi oleh kepercayaan pada Dewi Laut.
Belum ada informasi tepatnya kita berada di mana
Lalu dua baris terakhir yang kurasa paling penting "Di bawahnya ada Rumah, di atasnya ada buih, Di mana Pilar Keheningan berdiri kukuh."
Pilar Keheningan. Nama yang terlalu spesifik untuk hanya menjadi kiasan. Itu pasti nama sebuah struktur, sebuah lokasi. Mengingat aku berada di bawah laut, 'Rumah' yang dimaksud Noel bisa jadi adalah tempat ini, atau mungkin tidak. dan juga 'Pilar Keheningan' adalah struktur di atas atau di sekitarnya yang menahan tekanan air. Kurasa logika ini masuk.
“Pilar Keheningan,” gumamku pelan. “Apakah itu pilar yang sangat besar, Noel?”
Anak kecil itu mengangguk dengan semangat. “Tentu saja! Pilar itu menahan langit-langit laut agar tidak runtuh! Semua orang tahu itu, Hae Ji! Itu sebabnya kita aman di sini!”
Sini yang dia ucapkan sebenarnya dimana?
“Kita ditahan disini lho dan mungkin akan di jual oleh bangsawan itu sebentar lagi, kata aman kurasa tidaklah tepat!” ucapku santai.
“Eh... Iya juga ya!”
Aku menghela napas. Terlepas dari kepolosan Noel, banyak informasi yang harus aku bedah lagi.
Saat ini kami ada di bawah laut, anggap saja di suatu struktur yang ditopang oleh 'Pilar Keheningan'. Mungkin pilar itu merujuk pada suatu hal yang tidak aku pahami di duniaku sebelumnya, tidak mungkin pilar Keheningan adalah tempat ini. Tapi, apa salahnya memastikan kembali.
Sekarang, aku harus mencari tahu apakah pilar itu juga memiliki celah untuk melarikan diri, atau setidaknya tempat yang kering.
“Noel,” panggilku lembut, “Apakah ada yang pernah mencoba pergi ke Pilar Keheningan?”
Tawa riangnya menghilang. Mata birunya meredup. “Tentu saja ada. Mereka bilang, Pilar itu adalah gerbang... Tapi Thalassa tidak suka pengkhianat. Mereka tidak pernah kembali.”
Gerbang? Sial kepalaku sudah pusing tempat apa lagi itu!
Sebuah informasi yang berharga, tetapi membawa risiko besar, sejauh ini aku hanya menafsirkan data dengan pengetahuan minimku. Jalan keluar pasti ada, tetapi mendengar balada ini kurasa lautan banyak dengan ancaman "monster palung" dan "kutukan dewi," hal itu jauh dari kata aman.
“Aku mengerti,” kataku, sambil membersihkan air asin di jari.
“Terima kasih, Noel. Nyanyianmu sangat indah. Bisakah kau menyanyikan balada lain tentang... monster?”
Mata Noel langsung bersinar-sinar lagi, seolah permintaanku adalah hadiah paling menarik. Dia beringsut mendekatiku, suaranya kini sedikit berbisik misterius, seperti rahasia yang dibagikan di tengah malam.
“Kalau tentang monster, ada Balada 'Kutukan Siput Emas'. Itu lagu yang mengerikan, Hae Ji!”
“Kutukan Siput Emas? Menarik,” gumamku, mencoba menyembunyikan rasa frustasiku akan informasi yang kudapat selama ini. Lagi pula aku tidak bisa menanyakan secara langsung pada Noel kita ada di mana. Lagipula dia hanyalah anak perempuan usia 10 tahu yang dibohongi oleh bangsawan gendut itu dan dibawa kemari.
Monster palung pasti punya nama, dan mungkin ceritanya mengandung hal lain yang bisa kugunakan di situasi ini.
Noel menarik napas dalam-dalam, menatap genangan air di lantai seolah-olah ia sedang menatap lautan yang gelap di atas kami.
Balada Kutukan Siput Emas yang tadi dia sebutkan kini Noel nyanyikan dengan irama perlahan dan menyeramkan, seperti langkah kaki di kegelapan.
Dahulu kala, hiduplah nelayan serakah,
Yang jarah Emas Thalassa, di gua yang basah.
Ia curi mahkota, ia ambil perhiasan,
Tak peduli kutukan, tak peduli larangan.
Dewi murka hebat, tak terperikan marahnya,
Mengambil jiwa nelayan, dan juga raga.
Siput Emas, Merayap di Palung Sunyi,
Mengubah manusia menjadi Batu yang mati.
Cangkang berkilauan, memanggil jiwa kotor,
Kutukan keangkuhan, di kedalaman tidur.”
Tubuhnya tak tenggelam, tak pula mengapung,
Menjadi monster beku, di kedalaman ujung.
Kini ia berburu, di kegelapan air,
Siapa pun yang tamak, akan ditarik hadir.
Jika kau lihat cahaya, di dasar yang kelam,
Itu bukan harapan, itu jerat yang kejam.
Siput Emas, Merayap di Palung Sunyi,
Mengubah manusia menjadi Batu yang mati.
Cangkang berkilauan, memanggil jiwa kotor,
Kutukan keangkuhan, di kedalaman tidur.
Noel menyelesaikan nyanyiannya dengan desahan kecil, tubuhnya sedikit gemetar, seolah Balada itu benar-benar menyeramkan baginya. Mungkin di dunia ini lagu lagu tersebut memang sangat erat demgan kehidupan mereka. Berbeda dengan zaman modern sekarang, hanya sedikit dari orang tua bahkan pemuda yang mengetahui cerita rakyat tempat tinggal mereka.
“Monster itu masih ada, Hae Ji,” bisiknya, matanya yang secerah lautan kini dipenuhi ketakutan. “Para pelaut bilang, ia masih menjaga Emas Dewi di gua karang dekat pilar.”
“Orang mengatakan wujudnya tidak bisa disamakan dengan Keong lho!”
Aku merasakan hawa dingin, bukan karena udara, tetapi karena informasi yang baru saja kudapatkan. Dunia fantasi ini benar-benar mengerikan.
Jika orang lain terlempar ke dunia fantasi berada di tempat yang aman sejak awal, kenapa aku harus ditempatkan di tempat seperti ini. Terlebih dengan segala perlakuan yang mengerikan!
Ah... Aku ingin mati, apa mati bisa membuatku segera pulang?
Aku bodoh, pulang ke akhirat iya. Tiket VIP langsung ke neraka!
“Terima kasih, Noel. Kau memberiku banyak hal.” Aku berpikir cepat.
Monster Palung itu bernama atau diwujudkan dalam Siput Emas, bisa jadi itu hanya pemaknaan orang sekitar saja. Kutukan utamanya dari lagu itu adalah mengubah target menjadi Batu yang mati. Di duniaku kalau tidak salah ada cerita serupa. Monster itu menjaga Emas Thalassa—artinya harta karun atau mungkin hal lainya. Entahlah aku sudah pusing memikirkannya.
Asal-usul monster itu adalah nelayan serakah yang dihukum oleh Thalassa? kurasa bukan, aku yakin cerita ini lebih dari petunjuk. Ini memperkuat korelasi antara kemarahan dewi dan hukuman bagi yang tamak. Amanat yang bagus sih, tapi untuk saat ini cerita dari balada yang berkaitan dengan moster laut tidak terlalu berguna bagiku.
“Noel,” Aku memanggilnya dengan suara rendah.
“Kita tidak berada di tempat yang kau nyanyikan kan?”
Noel mengangguk pelan, “Iya benar, lagi pun itu hanyalah lagu cerita daerah kami!”
Aku terdiam. “Begitu ya, terimakasih telah bercerita”
“Hae Ji apakah kita bisa pulang kerumah, menyanyikan lagu lagu itu aku ingat akan keluargaku di panti asuhan!”
Balada yang di nyanyikan noel maknanya terlalu luas, ini tidak bisa dikaitkan dengan keadaanku saat ini.
Pada akhirnya kekuatan mental dan kebulatan tekadku sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir dari Korea Selatan harus aku gunakan untuk melawan kutukan dunia fantasi ini.
“Entahlah, Noel ....” kataku sambil tersenyum tipis. “Kurasa kita masih punya kesempatan.”
Aku kembali menatap genangan air laut di lantai, air asin yang kini terasa seperti harapan yang terjebak di tempat asing.
Aku perlu rencana. Dan rencananya harus kupikirkan sekarang.
“Noel, ceritakan padaku tentang Om Gendut itu. Siapa dia, siapa saja yang sudah dia jual dan apa kebiasaannya?”
“Tapi Kenapa Hae Ji?”
“Tentu saja agar kita bisa pulang....”
Pertarungan fisik mungkin akan mustahil. Tapi informasi? Itu adalah medan pertempuran seorang penulis. Kami harus bisa kabur dari sini. Apapun yang terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!