Kami menunggu hingga malam semakin larut.
Lilin di sudut ruangan yang nyalanya redup itu perlahan menipis, membuang bayangan panjang dan mengerikan di dinding batu yang lembap. Udara di penjara bawah tanah ini terasa dingin dan berat, berbau lumut, air asin, dan juga aroma khas kotoran yang bercampur.
Aku menggunakan momen itu untuk melakukan pemetaan ulang mental.
Objek A: Kunci Cadangan. Tersembunyi di balik karung gandum.
Objek B: Paman Krek. Mabuk, di dapur. Akan menjadi pengalih perhatian.
Objek C: Tuan Varg & Penjaga Gemuk. Tidur di lantai atas.
Aku berbisik pada Noel, “Kau bilang Paman Krek biasanya memberi makan. Apakah dia pernah meninggalkan piring atau sisa makanan di dekat pintu?”
Noel mengangguk. “Tadi sore. Dia meletakkan wadah bubur basi di dekat pintu sel. Dia tidak membersihkannya.”
Aku menyeringai dalam kegelapan. Aroma makanan busuk bisa menutupi bau kami saat merangkak.
Tapi apa aku bisa menahan baunya?
“Tak apa. Saat lilin padam, kita bergerak. Kita harus merangkak serendah mungkin, Noel. Kau harus diam, seolah-olah kau hanya bayangan.”
Lilin itu akhirnya berkedip, lalu menyerah pada kegelapan total.
Kegelapan total. Udara di penjara ini menjadi sangat pekat, dan pendengaran kami menajam, menangkap setiap tetesan air yang jatuh dan setiap dengkuran samar yang datang dari lantai atas.
“Aku takut, Hae Ji,” bisik Noel.
“Ingat, Siput Emas hanya menangkap yang tamak,” balasku, menggunakan Balada itu sebagai mantra keberanian. “Kita tidak tamak. Kita hanya ingin bebas.”
Aku merangkak perlahan menuju pintu besi. Kami mengandalkan indra peraba kami untuk melacak dinding dan lantai yang penuh lumut. Setiap inci terasa seperti perjalanan yang panjang.
Tangan kurusku menyentuh tumpukan karung yang disebutkan Noel. Aku mulai mengaduk-aduk karung itu dengan hati-hati.
“Di mana dia melemparnya?” bisikku.
“Saat itu Tuan Varg sangat marah padamu terlebih penjaga juga tidur. Dia melemparnya sekeras-kerasnya ke belakang tumpukan,” jawab Noel.
Aku menggeser karung yang paling besar. Jantungku berdebar kencang. Tangan kurusku meraba-raba tanah becek di balik karung.
Klang.
Sebuah bunyi logam kecil. Aku merogoh ke dalam lumpur dan lumpur, dan menariknya keluar. Itu dingin, berkarat, dan bentuknya seperti kunci kuno yang besar.
Ini kunci Cadangan, akhirnya!
“Dapat,” bisikku pada Noel, suaraku nyaris tidak terdengar.
Aku merangkak kembali ke pintu. Kunci ini besar, berat, dan terasa dingin di tangan kurusku. Aku memasukkan kunci itu ke lubang kunci. Seret. Kunci itu tidak mau masuk.
“Sial,” desisku pelan. Pikiranku berputar cepat. Kunci itu berkarat.
“Pegang ini,” kataku pada Noel, menyerahkan kunci itu. Aku mengorek lumpur kental dari lantai, lalu melumuri kunci itu dengan lumpur yang lebih tebal. “Lumpur ini bisa melumasi, sedikit, semoga.”
Aku mencobanya lagi. Aku memutar kunci itu perlahan, sangat perlahan, dan boom!
Krrrrrr… KLIK!
Jantungku melonjak hingga ke tenggorokan. Kunci itu berputar! Pintu sel kami terbuka sedikit, mengeluarkan bunyi derit halus yang terasa memekakkan telinga dalam keheningan bawah tanah.
Aku menarik pintu dan melangkah keluar ke koridor kecil. Baunya lebih pekat di sini.
“Cepat, Noel. Tutup pintunya, jangan dikunci.”
Kami berdiri di luar, di koridor yang sama gelapnya dengan sel kami. Di ujung koridor itu, ada tangga batu yang pasti menuju ke lantai atas.
“Ingat,” kataku, memegang tangan Noel. “Kita butuh Paman Krek. Kita harus membuat Varg dan penjaganya sibuk dengan Paman Krek. Dapur!”
Kami mulai mendaki tangga batu yang dingin. Setiap langkah kecil terasa seperti mengkhianati takdir yang telah disiapkan.
Setelah kira-kira dua puluh anak tangga, udara mulai berubah. Kelembapan air asin berkurang, digantikan oleh bau masakan basi, asap kayu bakar yang sudah lama padam, dan yang paling jelas—aroma anggur keras.
Kami sampai di puncak tangga. Kami melewati Aula utama dan berhasil mencapai pintu dapur. Aku mengintip melalui celah kecil pada engsel pintu.
Paman Krek sedang tidur telungkup di atas meja kayu. Botol anggur kosong berserakan.
Aku mengambil beberapa buah busuk, dan kantong kecil berisi garam kasar. Lalu, aku mendekati Paman Krek. Aku mengambil kantong garam itu dan menaburkannya ke wajah Krek.
Krek bergerak-gerak, mengerang. Aku melihat keranjang berisi piring-piring tembikar dan timah yang kotor di rak tinggi. Ini dia pemicunya.
Aku melompat ke meja di samping Krek yang masih menggeliat, lalu mendorong keranjang itu.
KRUUUKK! GLONTANG! PECAH!
Suara pecahan tembikar di lantai kayu bergema di seluruh rumah.
“Sialan! Krek!”
Sebuah raungan marah membelah udara dari arah Aula. Tepat sasaran!
“LARI, NOEL!” teriakku.
Aku dan Noel melompat berdiri, berlari melintasi Aula. Suara dengkuran penjaga gemuk di perapian langsung terhenti.
“HEI! BARANG DAGANGAN!” raungan Varg lebih keras lagi.
Kami mencapai Pintu Utama. Di samping pintu, di meja kecil, Penjaga Gemuk tertidur. Penglihatan kami semakin jelas.
“Kunci itu!” tunjukku.
Varg berteriak histeris. “Krek! Kau mabuk lagi, dasar bajingan!” Varg masih menyalahkan Paman Krek.
Aku merenggut kunci dari gantungan. Aku memasukkannya ke lubang kunci.
Cepat, Hae Ji. Cepat!
Aku memutar kunci itu.
KRKKK... KLANG!
Kunci itu terbuka. Aku menarik pintu besi itu. Udara dingin dan segar laut langsung menerpa wajah kami. Di luar, masih gelap, tetapi langit timur sudah mulai bersemburat merah. Air laut sedang surut.
“Lari, Noel! Ke arah laut!”
Kami melompat keluar. Di halaman belakang yang kecil, lolongan anjing terdengar.
“Anjing, Varg Cepat!”
Kami memanjat pagar batu yang tinggi, menarik diri dengan putus asa. Aku melompati pagar. Kakiku mendarat di tanah basah—tanah liat pesisir yang lembek dan berbau lumpur. Kami bebas dari rumah itu.
Di hadapan kami, terbentang pantai becek yang luas. Dan di kejauhan, di garis cakrawala yang memudar, terlihat bayangan hitam yang menjulang tinggi di atas air: Mercusuar Tua yang menjadi penanda di pesisir itu.
“ Kita ke sana, Noel! Menjauh dari rumah ini!”
Kami mulai berlari, merangkak, dan tersandung di lumpur pantai yang dingin beberapa kali. Di belakang kami, lolongan anjing dan raungan Varg semakin menjauh. Kami telah berhasil menciptakan plot pelarian, tapi apa itu cukup? kurasa tidak. Sekarang, waktunya menghadapi konsekuensi dari kebebasan ini.
Lumpur di bawah kaki kami tebal dan menghisap. Karena air sedang surut, area yang biasanya terendam kini menjadi dataran berlumpur yang luas dan licin, berbau amis dan rumput laut yang membusuk. Setiap langkah membutuhkan usaha keras. Tubuh Elfku yang kurus dan pucat itu dengan cepat kehabisan tenaga.
Sialan tubuh ini buruk sekali
“Hae Ji... Aku tidak kuat,” desah Noel, suaranya tercekik. Dia jatuh berlutut, lumpur menempel di pakaiannya.
“Jangan berhenti, Noel! Tarik dirimu!” Aku menarik tangannya, tetapi kakiku sendiri mulai tenggelam.
Tiba-tiba, lolongan anjing Varg yang terdengar jauh kini lebih dekat. Itu adalah suara lolongan berburu, tajam dan dingin.
“Mereka sudah dekat!” kataku, panik.
Aku melihat ke belakang. Di atas pagar batu tempat kami melompati tadi, muncul dua sosok: Tuan Varg yang besar, memegang obor yang bergoyang, dan di sampingnya, seekor anjing besar berwarna gelap, yang kini melompat ke tanah becek dengan sekali hentakan. Anjing itu segera mengendus tanah dan mulai mengejar kami dengan kecepatan mengerikan.
“Noel, lepaskan pakaianmu!” seruku tiba-tiba.
“Apa?!”
“Cepat! Anjing itu mengejar bau. Kita harus meninggalkan beberapa 'umpan' di belakang!”
Ini adalah insting primal, atau mungkin trik yang pernah kubaca di novel survival. Aku menarik robekan kecil dari celanaku yang sudah compang-camping, mengolesinya dengan lumpur yang paling tebal, dan melemparkannya beberapa meter ke samping.
Noel, meskipun bingung, mengikuti instruksiku. Dia merobek ujung lengan bajunya yang kotor dan melemparkannya ke arah yang berbeda.
Anjing itu berlari kencang, lalu tiba-tiba melambat saat mencapai titik kami mulai berlari. Ia bingung, mencium tiga bau berbeda: bau lumpur tebal yang menutupi bau kami, bau robekan kain, dan bau kami yang samar-samar. Ia mendengus, lalu mengikuti bau robekan kain yang kulempar.
Kami mendapat jeda, syukurlah.
“Terus, Noel! Jangan lari lurus. Kita bergerak zig-zag di antara karang-karang kecil itu!”
Kami mengubah arah, merangkak melewati batu-batu karang kecil yang ditutupi tiram tajam. Gerakan ini jauh lebih sulit dan menyakitkan, tetapi lumpur di dekat karang tidak terlalu dalam, dan anjing pelacak akan kesulitan melacak di permukaan yang berbatu.
Napas kami terengah-engah. Semburat merah di timur kini semakin nyata, menandakan fajar akan segera menyingsing. Kami harus mencapai Mercusuar Tua itu sebelum cahaya membanjiri pesisir.
Sudah berapa lama kami berlari?
“Mercusuar itu...” Noel menunjuk. “Tinggi sekali.”
Bayangan hitam yang awalnya hanya siluet, kini mulai menunjukkan detailnya. Itu bukan sekadar mercusuar, melainkan menara batu yang sangat tua, dibangun dari balok-balok raksasa yang tampak seperti peninggalan dari zaman yang terlupakan. Pilar itu menjulang di atas tonjolan karang, dan di dasarnya, terdapat sebuah pintu besi yang terkunci dan berkarat.
“Itu pasti tempat yang kering,” bisikku, tekadku kembali membara. Tempat kering adalah keselamatan sementara dari Varg dan anjingnya.
Kami berhasil mencapai area yang lebih padat, hampir seperti jalan setapak karang yang timbul karena air surut. Pergerakan kami menjadi jauh lebih cepat.
Lolongan anjing kembali terdengar di belakang kami, lebih frustrasi sekarang, tetapi lebih dekat. Anjing itu telah menyadari trik kami.
“Tangan kanan, Noel!” kataku, sambil mengayunkan tinjuku ke udara.
Aku mengambil segenggam penuh lumpur basah yang kami injak, lalu—tanpa berhenti—aku berputar dan melemparkan lumpur itu sekeras mungkin ke arah sumber suara anjing.
Lumpur itu menghantam sesuatu dengan bunyi Plak! yang memuaskan. Lolongan anjing itu terpotong menjadi rengekan terkejut, diikuti oleh dengusan marah. Kami tidak mengenainya, tetapi kami telah membeli beberapa detik lagi.
Tepat di hadapan kami, berdiri menara batu Mercusuar Tua yang megah. Dasar menara itu dikelilingi oleh air surut yang kini hanya menyisakan kolam-kolam kecil.
“Pintu itu, Hae Ji! Terkunci!” teriak Noel, putus asa.
Pintu besi itu tampak tak tertembus, dengan palang besi tebal dan lubang kunci yang disumbat karat selama bertahun-tahun.
“Tidak mungkin,” bisikku.
Setelah semua ini, kenapa keberuntunganku tidak pernah bekerja!
Aku menjatuhkan diri di sebelah pintu, mencoba menariknya dengan putus asa. Pintu itu kokoh, tidak bergerak satu milimeter pun.
Aku mendongak. Di atas kami, di sekitar jendela pengawas yang kecil di puncak menara, ada celah-celah kecil dan jeruji besi yang patah.
“Tidak ada jalan masuk, Noel,” kataku, keputusasaan mulai mencekikku.
Lolongan keras anjing Varg kini terdengar sangat dekat. Hanya sekitar 50 meter di belakang kami. Aku bisa mendengar raungan Varg yang mengejar.
Tidak mungkin berakhir di sini. Tidak setelah semua ini. Kumohon sekali ini saja, jalan keluar munculah!
Pikiranku berputar cepat, mencari solusi. Kunci. Kami tidak punya kunci menara. Kami hanya punya kunci cadangan sel dan kunci gerbang.
Aku melihat ke sekeliling. Dinding batu menara itu kasar, ditumbuhi lumut dan cangkang tiram yang tajam. Tembok adalah satu-satunya harapan.
“Noel, kita panjat! Kita cari celah di atas!”
Noel menatapku, matanya dipenuhi ketakutan akan ketinggian dan ancaman anjing di belakang kami.
“Kita tidak punya pilihan!” seruku.
Aku meraih tangan Noel. Aku memanjat dinding batu itu, menggunakan setiap tonjolan dan celah sebagai pegangan. Aku memosisikan diriku sebagai penyangga bagi Noel. Tubuh Elf ini memang kurus, tetapi otot-ototnya, yang tidak pernah kugunakan sebelumnya, ternyata memiliki kekuatan dan cengkeraman yang mengejutkan. Energiku terkuras lebih cepat lagi.
Aku menarik Noel ke atas, menempatkannya di atas bahuku, dan memaksanya untuk meraih celah di atas.
“Naik, Noel! Terus naik!”
Lolongan anjing itu sudah ada di dasar menara. Grrrr... Growl!
Tiba-tiba, telingaku menangkap suara yang lebih mengerikan daripada lolongan anjing. Suara berat Varg yang tersengal-sengal, namun penuh kemenangan.
“Mereka di sana! Gigit mereka, Nak! Gigit bocah sialan itu!”
Kami hanya tinggal beberapa meter dari celah jendela yang pecah di lantai dua. Itu adalah titik masuk yang sempit, tetapi mungkin cukup.
Aku merasakan napas panas dan bau tak sedap di pergelangan kakiku. Anjing itu sudah melompat ke dinding!
Sial
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments