Melawan Takdir di Bawah Laut

“Noel, ceritakan padaku tentang Om Gendut itu. Siapa dia, siapa saja yang sudah dia jual dan apa kebiasaannya?”

“Tapi Kenapa Hae Ji?”

“Tentu saja agar kita bisa pulang....”

Noel menatapku lama, bola matanya yang cerah kini memancarkan keraguan dan sedikit ketakutan. Untuk sesaat, anak kecil itu terlihat lebih tua dari usianya.

“Om Gendut itu… nama aslinya Tuan Varg,” bisiknya, suaranya kembali ke volume lirih, kontras dengan suaranya saat bernyanyi.

“Dia bukan orang sini. Dia baru tinggal di rumah besar ini kira-kira sebulan.”

Aku segera menegakkan tubuh. “Baru sebulan? Berarti dia mendirikan usaha budaknya baru-baru ini. Itu bagus, artinya jaringannya belum terlalu kuat.”

“Jaringan apa?” tanya Noel polos.

“Lupakan,” jawabku cepat. “Lanjutkan tentang Varg. Siapa yang sudah dia jual?”

Noel menghitung dengan jari-jarinya yang kotor. “Sejak aku di sini... ada tiga orang. Yang pertama, pemusa Elf. Rambutnya pirang sekali, seperti matahari. Dia dijual seminggu yang lalu. Tuan Varg bilang, 'ras murni' laku mahal di Kekaisaran.”

kurasa itu sedikitnya menjelaskan mengapa Elf dianggap barang mahal. Dan itu menegaskan dugaanku tentang ras Elfku yang aneh—rambut hitamku mungkin membuatku kurang murni dan nilai jualku lebih rendah.

“Yang kedua, seorang wanita Kurcaci,” lanjut Noel. “Dia pandai menempa. Dia dibawa pergi dua hari lalu oleh seorang pria berbaju kulit tebal. Katanya untuk bekerja di tambang.”

“Dan yang ketiga?”

Noel menunduk. “Yang ketiga... Itu anak panti asuhan bersamaku. Namanya Lena. Sebelum kamu datang, Tuan Varg segera menjualnya subuh waktu itu. Kepada bangsawan yang sama dengan yang membeli Elf pirang.”

Hatiku mencelos. Perdagangan ini cukup cepat, tanpa ampun. Dalam waktu kurang sehari, seorang budak sudah dipindahkan seperti paket surat.

Tunggu, jadi kenapa Noel masih disini? apa dia tidak laku? atau mungkin, tidak ada yang mau membelinya? aku belum tahu pasti bagaimana cara om gendut ini menjual kami.

“Varg menjualnya subuh? Selalu subuh?” tanyaku, mencoba menangkap pola.

“Tidak selalu,” Noel menggeleng. “Kadang pagi. Tapi yang pasti selalu saat air laut sedang surut.”

Aku terdiam, mengunyah informasi itu. Air surut. Itu bukan kebetulan di lokasi seperti ini.

“Mengapa air surut, Noel? Apakah mereka memggunakan perahu dan hanya bisa berlabuh saat surut?”

“Tidak tahu,” Noel mengangkat bahu. “Tapi Tuan Varg selalu terburu-buru dan marah-marah saat air laut naik. Dia bilang, Barang yang dijual harus keluar dari Rumah sebelum kapal penangkap ikan lewat saat pasang tinggi.”

Kapal penangkap ikan ya. Sebuah detail tak terduga. Varg jelas takut operasi ilegalnya tercium oleh kapal-kapal sipil yang melintas saat air pasang.

“Oke, itu informasi bagus,” kataku.

“Terus, apa kebiasaan Om Gendut—maksudku, Tuan Varg saat dia menjual barang? Apakah dia selalu membawa semua budak ke atas? Atau dia hanya membawa yang akan dijual?”

“Dia hanya membawa yang akan dijual,” jawab Noel. “Dia sangat pelit dengan lilin. Dia hanya membuka pintu dan memanggil nama 'barang' itu. Kalau tidak ada yang merespons, dia masuk dengan obor dan tongkatnya.”

Mataku beralih ke pintu besi reyot itu, lalu ke kunci kuno yang menggantung di sana.

“Dia masuk... dan kunci itu?”

“Dia kunci dari luar, Hae Ji. Tapi dia selalu membawanya,” kata Noel, menunjuk ke suatu sudut yang gelap. “Kecuali kalau dia sedang marah besar. Waktu itu dia melempar kunci cadangan di balik tumpukan karung gandum di sudut sana. Contohnya, Saat dia marah marah padamu dan memukulmu dia melakukannya!”

Aku menoleh ke sudut. Tumpukan karung yang basah dan berjamur. Kunci cadangan. Informasi yang tak ternilai harganya. Aku tidak sadar saat itu.

Waktunya subuh saat air surut. Kuncinya dibawa Varg, tapi ada cadangan saat ini. Kurasa dia tipikal penjual budak yang pemalas.

“Terakhir,” bisikku, merangkul lutut, mendekat ke Noel. “Om Gendut itu... dia punya penjaga, kan? Seberapa banyak?”

Noel memikirkannya sejenak. “Tidak banyak. Satu orang gemuk seperti dia, tapi dia selalu tidur di pos jaga di pintu masuk Rumah. Dan satu lagi, namanya Paman Krek. Dia tinggi, kurus, dan dia selalu mabuk. Paman Krek yang memberiku makanan. Dia selalu ada di dapur saat malam.”

“Tapi Hae Ji, kenapa kamu bertanya hal yang sudah jelas bukankah kamu melihatanya juga saat dibawa kemari?”

Dasar gadis cerdas, jika aku diberi ingatan bocah elf ini aku tidak perlu bertanya ini itu padamu!

Tapi tunggu, jika hanya ada dua penjaga yang tidak kompeten. Itu adalah peluang.

Aku tersenyum pada Noel, “Noel, kau telah memberiku lebih dari yang kau tahu. Kita tidak akan menunggu Varg menjual kita. Kita akan pulang.... Tapi pertama, kita harus keluar dari Rumah ini.”

Aku mencondongkan badan ke depan, menyentuh genangan air asin di lantai lagi.

“Besok subuh, saat air laut kembali surut, kita akan bergerak. Dan kita akan memulai cerita kita sendiri, Noel. Bukan cerita yang dia tulis untuk kita.”

Raut wajah Noel berubah total. Kepolosan di matanya berganti dengan campuran ketakutan dan keraguan mendalam.

“Bergerak? Hae Ji, kita tidak bisa! Ini adalah Rumah Tuan Varg... dia punya anjing besar di atas. Dan Paman Krek, meskipun mabuk, dia punya pisau besar!” Suaranya bergetar.

Aku tahu ketakutannya valid. Aku juga takut. Tubuh Elf ini masih lemah, setiap gerakan terasa nyeri. Aku hanya mengandalkan akal sebagai seorang penulis dan kecerdasan mahasiswa, bukan kekuatan fisik. Namun, aku harus meyakinkannya. Jika aku bergerak sendiri, aku hanya akan menjadi Elf kurus yang mati konyol.

“Dengar, Noel,” kataku lembut lalu meraih tangannya yang dingin. “Kau memberiku dua lagu, dua balada yang mengerikan. Aku mendengarnya sebagai cerita, dan dalam setiap cerita, selalu ada jalan keluar.”

Aku menarik napas. Waktunya menggunakan ilmu sastra dan persuasif yang kupelajari untuk kehidupan nyata di dunia lain.

“Balada Thalassa bilang Pilar Keheningan itu adalah Gerbang. Gerbang ke mana? Aku tidak tahu. Tapi itu jelas bukan akhir dari segalanya. Kita harus mencapai gerbang itu.”

Noel menggeleng kuat. “Tapi Thalassa tidak suka pengkhianat! Kita akan menjadi Batu!”

“Tepat,” balasku cepat. “Itu adalah Balada kedua. Cerita tentang Siput Emas itu bukan untuk menakut-nakuti, Noel. Itu adalah petunjuk.”

Aku mencondongkan tubuh lebih dekat, membuat suasana seolah-olah kami sedang merencanakan sesuatu yang sangat rahasia dan penting.

“Siapa Siput Emas itu? Nelayan serakah? Kurasa bukan, mahluk piaraan dewi? Entahlah. Lalu, apa kutukannya? Menjadi batu, hukuman untuk jiwa kotor dan keangkuhan. Dan apa cara untuk melewatinya?” Aku menekankan kata-kata terakhir.

“Kau sendiri yang bilang. Hanya yang paling murni, atau yang paling tidak memiliki apa-apa, yang bisa melewatinya.”

Aku menunjuk diriku sendiri. “Lihat aku, Noel. Aku ini apa? Aku Elf yang sakit. Barang dagangan yang gagal. Varg bilang aku tidak berharga karena sakit. Aku tidak punya apa-apa di dunia ini. Aku bahkan bukan orang asli di tubuh ini. Aku adalah definisi dari 'yang paling tidak memiliki apa-apa'.”

Kemudian aku menatap Noel dengan tatapan paling meyakinkan yang bisa kuberikan.

“Dan lihat kau. Kau adalah anak panti asuhan yang tidak punya kekayaan, yang dicabut dari keluarga barumu. Kau tidak punya ambisi busuk. Kau hanya ingin pulang. Kita berdua adalah yang paling tidak memiliki apa-apa di ruangan ini. Kutukan Siput Emas itu untuk orang-orang seperti Varg yang tamak dan mencuri Emas Thalassa. Bukan untuk kita.”

“Dewi Pasti akan melindungi kita!” Aku menatao Noel dengan penuh semangat.

Noel terdiam. Ia memproses kata-kataku, menghubungkan lirik balada kuno dengan realitas menyedihkan mereka, dan Itu berhasi. Aku telah membuat narasinya menjadi realistis, menjadikannya bagian dari cerita epik, bukan hanya dua anak kecil yang ketakutan.

Semoga tekadmu kini menguat Noel!

“Tapi... Tuan Varg punya penjaga. Dan anjing besar di atas,” ulangnya, ketakutan fisiknya kembali mendominasi.

Aku tersenyum meyakinkan. “Kita tidak akan melawan mereka, Noel. Itu adalah rencana bodoh. Kita akan menggunakan apa yang diberikan Tuan Varg pada kita, satu kebiasaan buruknya.”

Aku mulai menjabarkan strategi. Logika dan detail menggantikan ketakutan miliknya.

“Paman Krek mabuk dan di dapur. Penjaga gemuk di pos jaga. Kunci cadangan ada di karung. Dan waktu yang paling penting adalah saat subuh kala air surut.”

Aku memegang bahu Noel. “Malam ini, kita harus bergerak tanpa suara. Saat Om Gendut tidur pulas, kita akan mengambil kunci. Kita akan keluar sebelum fajar, ketika Varg sibuk mengikat budak lain yang akan ia jual. Itu adalah momen paling sibuk dan paling cerobohnya.”

“Tunggu, Hae Ji,” sela Noel, matanya membesar karena menyadari sesuatu. “Om Gendut hanya akan menjual satu orang setiap kali air surut. Bagaimana kalau besok subuh dia hanya memanggil namaku, atau namamu?”

“Hanya tersisa kita disini! minggu lalu kau sakit sedangkan aku.... akupun begitu!, jadi bagaimana kita bisa kabur!” sambung Noel.

Sebuah pertanyaan cerdas yang langsung menusuk ke inti masalah. Jika salah satu dari kami dipanggil, yang lain akan ditinggalkan.

“Itulah sebabnya kita tidak boleh menunggu dipanggil,” kataku.

“Tadi kamu bilang begitu!” Noel cemberut.

Aku tertawa kecil, “Maaf aku salah bicara, intinya kita harus bertindak sebelum salah satu dari kita dipanggil. Kita akan keluar dan bersembunyi di suatu tempat dekat sini sebelum Varg bangun dan menyadari kunci cadangan itu hilang.”

Aku menatap genangan air di lantai. Tubuhku menggigil, bukan lagi karena sakit, tetapi karena adrenalin dan antisipasi. Aku harus meyakinkan Noel, bukan hanya dengan logika, tetapi dengan harapan.

“Kau rindu panti asuhanmu, Noel? Kau rindu teman-temanmu? Aku juga rindu rumahku. Aku rindu Ibuku. Kita harus mencari jalan pulang, dan jalan itu tidak akan datang jika kita hanya diam dan menangis.”

“Aku tidak menangis,” protes Noel pelan, tetapi air matanya sudah menggenang.

“Aku tahu. Kau kuat, lagi pula kamu yang telah membuatku sehebat ini,” pujiku.

“Kau lebih kuat dari yang kau duga. Balada yang kau nyanyikan, itu bukan hanya lagu daerah. Itu adalah kekuatan milikmu. Kau bisa mengingat dan menyebarkan cerita. Sekarang, gunakan kekuatan itu untuk membantuku mendapatkan kembali kebebasan kita.”

Noel menarik napas yang dalam dan panjang, mengusap air mata dengan punggung tangannya yang kotor. Kepalanya terangkat. Ekspresi ketakutan digantikan oleh tekad yang ramping dan rapuh.

“Baiklah, Hae Ji. Aku akan membantumu. Tapi... bagaimana kita tahu di mana karung gandum itu, dan bagaimana kita tahu kapan air laut surut?”

Aku tersenyum lebar. Ini akan menjadi cerita terbaik yang pernah aku alami. Pengalaman yang tidak ingin kuulang lagi.

“Waktunya untuk 'Paman Krek' yang mabuk itu berguna,” kataku sambil menyeringai.

“Dan soal karung gandum, kita akan merangkak di saat lilin padam. Kau ingat betul susunan ruangan di luar sel ini, kan?”

Noel mengangguk. “Aku ingat. Dindingnya licin, dan ada tangga batu curam menuju atas.”

“Bagus. Malam ini, kita tidak tidur. Malam ini, kita bekerja.” Aku merasakan denyutan aneh di telinga Elf-ku yang panjang, seolah alam akhirnya merespons niatku yang teguh.

“Pertama, mari cari kunci cadangan itu di karung gandum!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!