Senyum Di Balik Apron
Udara panas dan lembap langsung menyapa Ciara begitu ia keluar dari pesawat. Rasanya… familiar. Setelah dua tahun merantau diluar pulau, bau khas Bandara seperti pelukan hangat dari rumah. Ada sedikit haru, sedikit gugup, dan banyak kerinduan memenuhi dadanya. Bandara. Kampung halaman. Ia akhirnya pulang.
Sebuah coffeeshop di bandara menjadi tujuannya untuk menunggu Lili, kakaknya, yang akan menjemput. Segelas espresso masih mengepul di depannya. Pandangannya menyapu kerumunan orang, mencari kakaknya. Tak sengaja, tatapannya bertemu dengan tiga orang di meja sebelah. Mereka tampak seperti keluarga; sang ayah berkacamata membaca koran, ibunya tenang dengan rambut disanggul rapi, sementara anak perempuannya, berambut panjang terurai dan mengenakan kemeja putih bersih, tersenyum ramah. Senyumnya memperlihatkan gigi-gigi putih yang rapi.
"Halo, Kak!" sapa Zara, matanya berbinar.
"Hai…" Ciara membalas senyum manis Zara. Gadis itu berdiri, langkahnya ringan dan anggun, lalu duduk di sebelah Ciara. Matanya, besar dan gelap, bersinar gembira saat menatap Ciara, seolah menemukan harta karun. Ciara merasa sedikit tidak nyaman, tetapi senyum tulus Zara—senyum yang mampu mencairkan es—membuatnya luluh. Lesung pipit kecil menghiasi pipi Zara, menambah pesonanya.
"Bolehkah aku duduk di sini, Kak?" tanya Zara, matanya menatap Ciara dengan intens, penuh harap.
"Iya, boleh. Siapa namamu, Dek?" Cia menatap mata coklat Zara yang berbinar indah.
"Zara, namaku Zara, Kak. Kalau Kakak?" Senyum Zara tak pernah luntur. Ia tampak dibesarkan dengan limpahan kasih sayang.
"Ciara, panggil Kak Cia saja." Ciara menatap Zara, yang sepertinya masih siswi SMA. Sangat muda dan menawan. Orangtua Zara memperhatikan mereka berdua, tersenyum ramah ke arah Ciara, dan Ciara membalasnya dengan sedikit canggung.
"Kak, aku pergi dulu ya? Jemputan sudah datang," pamit Zara, senyumnya masih merekah.
"Iya, hati-hati di jalan, Ra." Ciara menatap kepergian keluarga itu; sebuah keluarga yang dipenuhi kasih sayang, terpancar dari senyum ramah mereka.
Sang ibu kembali menatap Cia, mengamati setiap detail wajah dan tubuh Cia. Mata hitam legam Cia begitu gelap, bagai langit malam tanpa bintang, berbinar dengan semangat muda. Rambut coklat gelapnya yang terurai panjang sebahu berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Senyum manisnya, yang memperlihatkan lesung pipit di pipi kanannya, menambah keindahan wajahnya.
"Dek, ayo pulang!" Suara Kak Lili membuat Ciara tersentak. Kakaknya masih terlihat cantik, meski sudah menjadi ibu dua anak.
"Ayo, Mbak." Ciara meraih tas dan kopernya. Namun, sebelum tangannya menyentuh koper, Indra, suami Lili, sudah lebih dulu meraihnya.
Ciara berjalan di belakang kedua kakaknya. Kak Lili masih cantik dengan rambut lurus sepunggungnya yang berkilau. Mereka sama-sama tinggi 160 cm, bermata sipit, tetapi warna kulit mereka berbeda. Kulit Kak Lili putih bersih, sementara kulit Ciara kuning langsat.
Senja di Bandara kota kelahirannya selalu spektakuler. Langit sore ini menyuguhkan gradasi oranye dan merah muda yang memukau. Ciara mengabadikan keindahan itu dengan jepretan foto dan video singkat.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam melintas pelan. Ciara tak sengaja melihat pengemudi; seorang pria tampan dan berkarisma. Rambutnya sedikit berantakan, ia mengenakan kemeja putih mahal, dan sorot matanya tajam namun ramah. Ia tersenyum singkat saat mata mereka bertemu, sebuah senyuman singkat namun meninggalkan kesan mendalam. Detak jantung Ciara sedikit berdebar. Ia menyelesaikan perekaman video saat kedua kakaknya kembali. Ia masuk mobil, namun bayangan pria itu masih tertinggal dalam pikirannya.
Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Kelelahan menguasai Ciara, dan ia langsung terlelap begitu mobil meninggalkan area bandara.
Ciara tersentak bangun. Tepukan lembut di pipinya, suara Kak Lili memanggil namanya, membuatnya merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia membuka mata, gelap malam telah menyelimuti segalanya. Kak Lili berdiri di luar pintu mobil, wajahnya lelah, tapi tersenyum kecil. Ciara melirik jam: pukul tujuh malam. Perjalanan pulang terasa singkat.
"Kok cepat banget, Mbak?" Suara Ciara masih serak. Ia buru-buru turun, menyeret tas ranselnya.
"Tadi sempat macet di Gresik, ada kecelakaan," jawab Kak Lili, suaranya lesu. Mas Indra sudah lebih dulu masuk rumah, membawa koper Ciara.
Di ruang tamu, orangtua Ciara duduk berdampingan, wajah mereka memancarkan kehangatan. "Bapak, Ibu," sapa Ciara, mencium tangan mereka.
"Bersihkan dirimu dulu, Nak," kata Ibu, lembut.
"Iya, Bu." Ciara bergegas ke kamar. Setelah mandi, rasa lapar menyerang.
Malam semakin larut. Obrolan dengan orangtuanya terasa hambar, seperti biasanya. Keheningan menyelimuti mereka, keheningan yang nyaman.
Terbaring di tempat tidur, Ciara menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Rasa lelah, rindu, dan sedikit kecemasan memenuhi pikirannya. Ia tak ingin kembali ke perantauan lagi. Ibu kota, yang penuh tantangan dan peluang, tampak seperti magnet yang menariknya. Bayangan gedung-gedung pencakar langit, kesibukan kota, dan peluang karir membangkitkan semangatnya. Ia ingin merasakan tantangan bekerja di ibu kota, menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan meraih kesuksesan. Jakarta, ia memanggilnya.
......................
Angin semilir menerbangkan uraian lembut rambut Ciara yang sebahu. Udara dingin pagi hari tak membuatnya segera memasuki rumah. Ia duduk merenung di teras, menikmati kedamaian sebelum hiruk pikuk hari dimulai. Bayangan senja di Bandara, dan terutama, bayangan pria bermobil mewah itu, masih terngiang di pikirannya. Senyum singkat pria itu, misterius dan penuh teka-teki, menciptakan sebuah kegelisahan yang menyenangkan.
"Loh, Ci, kok sudah di rumah?" sapa Bude Marni, tetangga rumahnya, suaranya ramah namun sedikit usil.
"Iya, Bude, baru datang semalam," jawab Ciara dengan senyum tulus, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan sedikit jengkel yang masih tersisa.
"Dua tahun nggak pulang. Pasti uangnya banyak," celetuk Bude Marni lagi, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu.
Ciara mendengus pelan. "Syukurlah, Bude. Bisa pulang bawa raga dan nyawa saja sudah sangat bersyukur," jawabnya, senyumnya kini terlihat dipaksakan.
"Mereka hanya melihat uang, bukan perjuangan. Batinya menambahkan," Mereka tidak tahu betapa lelahnya aku bekerja, dan betapa menariknya petualangan yang baru saja kurasakan."
"Oh, berarti pulang mau nikah ya? Tuh, Sinta, Reno, sama Luki udah pada punya anak, udah gede. Kamu nggak pingin?" Bude Marni semakin gencar bertanya, tak menyadari tatapan Ciara yang mulai tak sabar.
Ciara menghela napas dalam-dalam. "Bodo amat, yang penting aku masih hidup," gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia sudah sangat geram.
"Iya, Bude, kebetulan calon suamiku masih sibuk sama bisnisnya," jawab Ciara asal, suaranya terdengar datar, mencoba mengakhiri percakapan yang semakin membuatnya muak.
"Oh, syukurlah. Orang mana? Bisnis apa? Pasti kaya," wajah Bude Marni semakin berbinar, penasarannya tak terbendung.
Ciara menggigit bibir bawahnya. "Sabar, Ciara, sabar. Orang sabar rejekinya lancar," batinnya, mencoba menenangkan diri. Tangannya mengepal sebentar, lalu ia melepaskannya perlahan, mencoba mengatur napas.
"iya, bude. Dia tampan, kaya, pengusaha muda, pewaris juga" serunya dengan wajah kesal yang tidak bisa di tutupi. Ia merasakan getaran ponselnya di saku. Sebuah pesan masuk. Ia membuka pesan itu, sebuah foto yang dikirimkan secara anonim. Foto itu memperlihatkan pria tampan di bandara, sedang berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit di Ibu kota. Gedung itu… terlihat sangat familiar. Di bawah foto itu, hanya ada satu kalimat:
"Kita akan bertemu lagi."
Ciara tersentak. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak mengenal pria itu, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa… terhubung. Ia menatap foto itu lebih lama, mencoba mengingat-ingat detail wajah pria itu, dan tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Logo di gedung pencakar langit itu… sama dengan logo di kartu nama yang diberikan Zara, gadis kecil yang ditemuinya di bandara. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh arti. Bude Marni masih saja bertanya, namun Ciara sudah tak menghiraukannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk memulai petualangan baru di Jakarta. Petualangan yang mungkin lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia menutup pintu kamarnya dengan pelan, meninggalkan Bude Marni yang masih penasaran, dan memasuki dunia baru yang penuh misteri dan tantangan.
"tapi, darimana dia mendapat nomerku?" pekiknya tertahan. Dia terlihat bodoh, padahal sebelumnya sudah menyadari sesuatu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments