Senyum Di Balik Apron

Senyum Di Balik Apron

Bab 1 Batas Takdir

Udara panas dan lembap langsung menyapa Ciara begitu ia keluar dari pesawat. Rasanya… familiar. Setelah dua tahun merantau diluar pulau, bau khas Bandara seperti pelukan hangat dari rumah. Ada sedikit haru, sedikit gugup, dan banyak kerinduan memenuhi dadanya. Bandara. Kampung halaman. Ia akhirnya pulang.

Sebuah coffeeshop di bandara menjadi tujuannya untuk menunggu Lili, kakaknya, yang akan menjemput. Segelas espresso masih mengepul di depannya. Pandangannya menyapu kerumunan orang, mencari kakaknya. Tak sengaja, tatapannya bertemu dengan tiga orang di meja sebelah. Mereka tampak seperti keluarga; sang ayah berkacamata membaca koran, ibunya tenang dengan rambut disanggul rapi, sementara anak perempuannya, berambut panjang terurai dan mengenakan kemeja putih bersih, tersenyum ramah. Senyumnya memperlihatkan gigi-gigi putih yang rapi.

"Halo, Kak!" sapa Zara, matanya berbinar.

"Hai…" Ciara membalas senyum manis Zara. Gadis itu berdiri, langkahnya ringan dan anggun, lalu duduk di sebelah Ciara. Matanya, besar dan gelap, bersinar gembira saat menatap Ciara, seolah menemukan harta karun. Ciara merasa sedikit tidak nyaman, tetapi senyum tulus Zara—senyum yang mampu mencairkan es—membuatnya luluh. Lesung pipit kecil menghiasi pipi Zara, menambah pesonanya.

"Bolehkah aku duduk di sini, Kak?" tanya Zara, matanya menatap Ciara dengan intens, penuh harap.

"Iya, boleh. Siapa namamu, Dek?" Cia menatap mata coklat Zara yang berbinar indah.

"Zara, namaku Zara, Kak. Kalau Kakak?" Senyum Zara tak pernah luntur. Ia tampak dibesarkan dengan limpahan kasih sayang.

"Ciara, panggil Kak Cia saja." Ciara menatap Zara, yang sepertinya masih siswi SMA. Sangat muda dan menawan. Orangtua Zara memperhatikan mereka berdua, tersenyum ramah ke arah Ciara, dan Ciara membalasnya dengan sedikit canggung.

"Kak, aku pergi dulu ya? Jemputan sudah datang," pamit Zara, senyumnya masih merekah.

"Iya, hati-hati di jalan, Ra." Ciara menatap kepergian keluarga itu; sebuah keluarga yang dipenuhi kasih sayang, terpancar dari senyum ramah mereka.

Sang ibu kembali menatap Cia, mengamati setiap detail wajah dan tubuh Cia. Mata hitam legam Cia begitu gelap, bagai langit malam tanpa bintang, berbinar dengan semangat muda. Rambut coklat gelapnya yang terurai panjang sebahu berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Senyum manisnya, yang memperlihatkan lesung pipit di pipi kanannya, menambah keindahan wajahnya.

"Dek, ayo pulang!" Suara Kak Lili membuat Ciara tersentak. Kakaknya masih terlihat cantik, meski sudah menjadi ibu dua anak.

"Ayo, Mbak." Ciara meraih tas dan kopernya. Namun, sebelum tangannya menyentuh koper, Indra, suami Lili, sudah lebih dulu meraihnya.

Ciara berjalan di belakang kedua kakaknya. Kak Lili masih cantik dengan rambut lurus sepunggungnya yang berkilau. Mereka sama-sama tinggi 160 cm, bermata sipit, tetapi warna kulit mereka berbeda. Kulit Kak Lili putih bersih, sementara kulit Ciara kuning langsat.

Senja di Bandara kota kelahirannya selalu spektakuler. Langit sore ini menyuguhkan gradasi oranye dan merah muda yang memukau. Ciara mengabadikan keindahan itu dengan jepretan foto dan video singkat.

Sebuah mobil mewah berwarna hitam melintas pelan. Ciara tak sengaja melihat pengemudi; seorang pria tampan dan berkarisma. Rambutnya sedikit berantakan, ia mengenakan kemeja putih mahal, dan sorot matanya tajam namun ramah. Ia tersenyum singkat saat mata mereka bertemu, sebuah senyuman singkat namun meninggalkan kesan mendalam. Detak jantung Ciara sedikit berdebar. Ia menyelesaikan perekaman video saat kedua kakaknya kembali. Ia masuk mobil, namun bayangan pria itu masih tertinggal dalam pikirannya.

Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Kelelahan menguasai Ciara, dan ia langsung terlelap begitu mobil meninggalkan area bandara.

Ciara tersentak bangun. Tepukan lembut di pipinya, suara Kak Lili memanggil namanya, membuatnya merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia membuka mata, gelap malam telah menyelimuti segalanya. Kak Lili berdiri di luar pintu mobil, wajahnya lelah, tapi tersenyum kecil. Ciara melirik jam: pukul tujuh malam. Perjalanan pulang terasa singkat.

"Kok cepat banget, Mbak?" Suara Ciara masih serak. Ia buru-buru turun, menyeret tas ranselnya.

"Tadi sempat macet di Gresik, ada kecelakaan," jawab Kak Lili, suaranya lesu. Mas Indra sudah lebih dulu masuk rumah, membawa koper Ciara.

Di ruang tamu, orangtua Ciara duduk berdampingan, wajah mereka memancarkan kehangatan. "Bapak, Ibu," sapa Ciara, mencium tangan mereka.

"Bersihkan dirimu dulu, Nak," kata Ibu, lembut.

"Iya, Bu." Ciara bergegas ke kamar. Setelah mandi, rasa lapar menyerang.

Malam semakin larut. Obrolan dengan orangtuanya terasa hambar, seperti biasanya. Keheningan menyelimuti mereka, keheningan yang nyaman.

Terbaring di tempat tidur, Ciara menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Rasa lelah, rindu, dan sedikit kecemasan memenuhi pikirannya. Ia tak ingin kembali ke perantauan lagi. Ibu kota, yang penuh tantangan dan peluang, tampak seperti magnet yang menariknya. Bayangan gedung-gedung pencakar langit, kesibukan kota, dan peluang karir membangkitkan semangatnya. Ia ingin merasakan tantangan bekerja di ibu kota, menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan meraih kesuksesan. Jakarta, ia memanggilnya.

......................

Angin semilir menerbangkan uraian lembut rambut Ciara yang sebahu. Udara dingin pagi hari tak membuatnya segera memasuki rumah. Ia duduk merenung di teras, menikmati kedamaian sebelum hiruk pikuk hari dimulai. Bayangan senja di Bandara, dan terutama, bayangan pria bermobil mewah itu, masih terngiang di pikirannya. Senyum singkat pria itu, misterius dan penuh teka-teki, menciptakan sebuah kegelisahan yang menyenangkan.

"Loh, Ci, kok sudah di rumah?" sapa Bude Marni, tetangga rumahnya, suaranya ramah namun sedikit usil.

"Iya, Bude, baru datang semalam," jawab Ciara dengan senyum tulus, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan sedikit jengkel yang masih tersisa.

"Dua tahun nggak pulang. Pasti uangnya banyak," celetuk Bude Marni lagi, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu.

Ciara mendengus pelan. "Syukurlah, Bude. Bisa pulang bawa raga dan nyawa saja sudah sangat bersyukur," jawabnya, senyumnya kini terlihat dipaksakan.

"Mereka hanya melihat uang, bukan perjuangan. Batinya menambahkan," Mereka tidak tahu betapa lelahnya aku bekerja, dan betapa menariknya petualangan yang baru saja kurasakan."

"Oh, berarti pulang mau nikah ya? Tuh, Sinta, Reno, sama Luki udah pada punya anak, udah gede. Kamu nggak pingin?" Bude Marni semakin gencar bertanya, tak menyadari tatapan Ciara yang mulai tak sabar.

Ciara menghela napas dalam-dalam. "Bodo amat, yang penting aku masih hidup," gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia sudah sangat geram.

"Iya, Bude, kebetulan calon suamiku masih sibuk sama bisnisnya," jawab Ciara asal, suaranya terdengar datar, mencoba mengakhiri percakapan yang semakin membuatnya muak.

"Oh, syukurlah. Orang mana? Bisnis apa? Pasti kaya," wajah Bude Marni semakin berbinar, penasarannya tak terbendung.

Ciara menggigit bibir bawahnya. "Sabar, Ciara, sabar. Orang sabar rejekinya lancar," batinnya, mencoba menenangkan diri. Tangannya mengepal sebentar, lalu ia melepaskannya perlahan, mencoba mengatur napas.

"iya, bude. Dia tampan, kaya, pengusaha muda, pewaris juga" serunya dengan wajah kesal yang tidak bisa di tutupi. Ia merasakan getaran ponselnya di saku. Sebuah pesan masuk. Ia membuka pesan itu, sebuah foto yang dikirimkan secara anonim. Foto itu memperlihatkan pria tampan di bandara, sedang berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit di Ibu kota. Gedung itu… terlihat sangat familiar. Di bawah foto itu, hanya ada satu kalimat:

 "Kita akan bertemu lagi."

Ciara tersentak. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak mengenal pria itu, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa… terhubung. Ia menatap foto itu lebih lama, mencoba mengingat-ingat detail wajah pria itu, dan tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Logo di gedung pencakar langit itu… sama dengan logo di kartu nama yang diberikan Zara, gadis kecil yang ditemuinya di bandara. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh arti. Bude Marni masih saja bertanya, namun Ciara sudah tak menghiraukannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk memulai petualangan baru di Jakarta. Petualangan yang mungkin lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia menutup pintu kamarnya dengan pelan, meninggalkan Bude Marni yang masih penasaran, dan memasuki dunia baru yang penuh misteri dan tantangan.

"tapi, darimana dia mendapat nomerku?" pekiknya tertahan. Dia terlihat bodoh, padahal sebelumnya sudah menyadari sesuatu.

...****************...

Episodes
1 Bab 1 Batas Takdir
2 Bab 2 Liburan
3 Bab 3 Liburan Hari ke 2
4 Bab 4 Tragedi
5 Bab 5 Ingatan
6 Bab 6 Hari pertama Kerja
7 Bab 7 Masih hari pertama
8 Bab 8 Bertemu secara langsung
9 Bab 9 Malam Mendebarkan
10 Bab 10 Kenangan Menyakitkan
11 Bab 11 Gosip
12 Bab 12 Gosip yang sama
13 Bab 13 Siapa mereka
14 Bab 14 Mencari Masalah
15 Bab 15 Pengakuan
16 Bab 16 Gosip Baru
17 Bab 17 Gosip Lagi
18 Bab 18 Salah Paham
19 Bab 19 Ketahuan
20 Bab 20 Masalah Selesai
21 Bab 21 satu per satu
22 Bab 22 Ramalan
23 Bab 23 Ingatan
24 Bab 24 Sila
25 Bab 25 Sandiwara
26 Bab 26 Satu Per Satu
27 Bab 27 Sandiwara Berlanjut
28 Bab 28 Khawatir
29 Bab 29 Amarah Tertahan
30 Bab 30 Akhirnya
31 Bab 31 Terbebas
32 Bab 32 Kepolosan Zara
33 Bab 33 Manusia Biasa
34 Bab 34 Aroma Kebebasan
35 Bab 35 Ingatan Masa Lalu
36 Bab 36 Masalah Baru
37 Bab 37 Orang Baru
38 Bab 38 Laura
39 Bab 39 Masa Lalu Chandra
40 Bab 40 Laura Berulah
41 Bab 41 Chandra Sakit
42 Bab 42 Keputusan Chandra
43 Bab 43 Chandra Pening
44 Bab 44 Perjodohan
45 Bab 45 Satu Pergi, Satu Datang
46 Bab 46 Pertemuan
47 Bab 47 Amarah
48 Bab 48 Perhatian Kecil
49 Bab 49 Bertemu Putri
50 Bab 50 Ketua Geng
51 Bab 51 Ide Konyol
52 Bab 52 Candaan
53 Bab 53 Chandra Berulah
54 Bab 54 Ketahuan
55 Bab 55 Hukuman Zara
56 Bab 56 Tante Celine
57 Bab 57 Hari Libur
58 Bab 58 Chandra Dan Riko
59 Bab 59 Obrolan Malam
Episodes

Updated 59 Episodes

1
Bab 1 Batas Takdir
2
Bab 2 Liburan
3
Bab 3 Liburan Hari ke 2
4
Bab 4 Tragedi
5
Bab 5 Ingatan
6
Bab 6 Hari pertama Kerja
7
Bab 7 Masih hari pertama
8
Bab 8 Bertemu secara langsung
9
Bab 9 Malam Mendebarkan
10
Bab 10 Kenangan Menyakitkan
11
Bab 11 Gosip
12
Bab 12 Gosip yang sama
13
Bab 13 Siapa mereka
14
Bab 14 Mencari Masalah
15
Bab 15 Pengakuan
16
Bab 16 Gosip Baru
17
Bab 17 Gosip Lagi
18
Bab 18 Salah Paham
19
Bab 19 Ketahuan
20
Bab 20 Masalah Selesai
21
Bab 21 satu per satu
22
Bab 22 Ramalan
23
Bab 23 Ingatan
24
Bab 24 Sila
25
Bab 25 Sandiwara
26
Bab 26 Satu Per Satu
27
Bab 27 Sandiwara Berlanjut
28
Bab 28 Khawatir
29
Bab 29 Amarah Tertahan
30
Bab 30 Akhirnya
31
Bab 31 Terbebas
32
Bab 32 Kepolosan Zara
33
Bab 33 Manusia Biasa
34
Bab 34 Aroma Kebebasan
35
Bab 35 Ingatan Masa Lalu
36
Bab 36 Masalah Baru
37
Bab 37 Orang Baru
38
Bab 38 Laura
39
Bab 39 Masa Lalu Chandra
40
Bab 40 Laura Berulah
41
Bab 41 Chandra Sakit
42
Bab 42 Keputusan Chandra
43
Bab 43 Chandra Pening
44
Bab 44 Perjodohan
45
Bab 45 Satu Pergi, Satu Datang
46
Bab 46 Pertemuan
47
Bab 47 Amarah
48
Bab 48 Perhatian Kecil
49
Bab 49 Bertemu Putri
50
Bab 50 Ketua Geng
51
Bab 51 Ide Konyol
52
Bab 52 Candaan
53
Bab 53 Chandra Berulah
54
Bab 54 Ketahuan
55
Bab 55 Hukuman Zara
56
Bab 56 Tante Celine
57
Bab 57 Hari Libur
58
Bab 58 Chandra Dan Riko
59
Bab 59 Obrolan Malam

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!