Udara panas dan lembap langsung menyapa Ciara begitu ia keluar dari pesawat. Rasanya… familiar. Setelah dua tahun merantau diluar pulau, bau khas Bandara seperti pelukan hangat dari rumah. Ada sedikit haru, sedikit gugup, dan banyak kerinduan memenuhi dadanya. Bandara. Kampung halaman. Ia akhirnya pulang.
Sebuah coffeeshop di bandara menjadi tujuannya untuk menunggu Lili, kakaknya, yang akan menjemput. Segelas espresso masih mengepul di depannya. Pandangannya menyapu kerumunan orang, mencari kakaknya. Tak sengaja, tatapannya bertemu dengan tiga orang di meja sebelah. Mereka tampak seperti keluarga; sang ayah berkacamata membaca koran, ibunya tenang dengan rambut disanggul rapi, sementara anak perempuannya, berambut panjang terurai dan mengenakan kemeja putih bersih, tersenyum ramah. Senyumnya memperlihatkan gigi-gigi putih yang rapi.
"Halo, Kak!" sapa Zara, matanya berbinar.
"Hai…" Ciara membalas senyum manis Zara. Gadis itu berdiri, langkahnya ringan dan anggun, lalu duduk di sebelah Ciara. Matanya, besar dan gelap, bersinar gembira saat menatap Ciara, seolah menemukan harta karun. Ciara merasa sedikit tidak nyaman, tetapi senyum tulus Zara—senyum yang mampu mencairkan es—membuatnya luluh. Lesung pipit kecil menghiasi pipi Zara, menambah pesonanya.
"Bolehkah aku duduk di sini, Kak?" tanya Zara, matanya menatap Ciara dengan intens, penuh harap.
"Iya, boleh. Siapa namamu, Dek?" Cia menatap mata coklat Zara yang berbinar indah.
"Zara, namaku Zara, Kak. Kalau Kakak?" Senyum Zara tak pernah luntur. Ia tampak dibesarkan dengan limpahan kasih sayang.
"Ciara, panggil Kak Cia saja." Ciara menatap Zara, yang sepertinya masih siswi SMA. Sangat muda dan menawan. Orangtua Zara memperhatikan mereka berdua, tersenyum ramah ke arah Ciara, dan Ciara membalasnya dengan sedikit canggung.
"Kak, aku pergi dulu ya? Jemputan sudah datang," pamit Zara, senyumnya masih merekah.
"Iya, hati-hati di jalan, Ra." Ciara menatap kepergian keluarga itu; sebuah keluarga yang dipenuhi kasih sayang, terpancar dari senyum ramah mereka.
Sang ibu kembali menatap Cia, mengamati setiap detail wajah dan tubuh Cia. Mata hitam legam Cia begitu gelap, bagai langit malam tanpa bintang, berbinar dengan semangat muda. Rambut coklat gelapnya yang terurai panjang sebahu berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Senyum manisnya, yang memperlihatkan lesung pipit di pipi kanannya, menambah keindahan wajahnya.
"Dek, ayo pulang!" Suara Kak Lili membuat Ciara tersentak. Kakaknya masih terlihat cantik, meski sudah menjadi ibu dua anak.
"Ayo, Mbak." Ciara meraih tas dan kopernya. Namun, sebelum tangannya menyentuh koper, Indra, suami Lili, sudah lebih dulu meraihnya.
Ciara berjalan di belakang kedua kakaknya. Kak Lili masih cantik dengan rambut lurus sepunggungnya yang berkilau. Mereka sama-sama tinggi 160 cm, bermata sipit, tetapi warna kulit mereka berbeda. Kulit Kak Lili putih bersih, sementara kulit Ciara kuning langsat.
Senja di Bandara kota kelahirannya selalu spektakuler. Langit sore ini menyuguhkan gradasi oranye dan merah muda yang memukau. Ciara mengabadikan keindahan itu dengan jepretan foto dan video singkat.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam melintas pelan. Ciara tak sengaja melihat pengemudi; seorang pria tampan dan berkarisma. Rambutnya sedikit berantakan, ia mengenakan kemeja putih mahal, dan sorot matanya tajam namun ramah. Ia tersenyum singkat saat mata mereka bertemu, sebuah senyuman singkat namun meninggalkan kesan mendalam. Detak jantung Ciara sedikit berdebar. Ia menyelesaikan perekaman video saat kedua kakaknya kembali. Ia masuk mobil, namun bayangan pria itu masih tertinggal dalam pikirannya.
Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Kelelahan menguasai Ciara, dan ia langsung terlelap begitu mobil meninggalkan area bandara.
Ciara tersentak bangun. Tepukan lembut di pipinya, suara Kak Lili memanggil namanya, membuatnya merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia membuka mata, gelap malam telah menyelimuti segalanya. Kak Lili berdiri di luar pintu mobil, wajahnya lelah, tapi tersenyum kecil. Ciara melirik jam: pukul tujuh malam. Perjalanan pulang terasa singkat.
"Kok cepat banget, Mbak?" Suara Ciara masih serak. Ia buru-buru turun, menyeret tas ranselnya.
"Tadi sempat macet di Gresik, ada kecelakaan," jawab Kak Lili, suaranya lesu. Mas Indra sudah lebih dulu masuk rumah, membawa koper Ciara.
Di ruang tamu, orangtua Ciara duduk berdampingan, wajah mereka memancarkan kehangatan. "Bapak, Ibu," sapa Ciara, mencium tangan mereka.
"Bersihkan dirimu dulu, Nak," kata Ibu, lembut.
"Iya, Bu." Ciara bergegas ke kamar. Setelah mandi, rasa lapar menyerang.
Malam semakin larut. Obrolan dengan orangtuanya terasa hambar, seperti biasanya. Keheningan menyelimuti mereka, keheningan yang nyaman.
Terbaring di tempat tidur, Ciara menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Rasa lelah, rindu, dan sedikit kecemasan memenuhi pikirannya. Ia tak ingin kembali ke perantauan lagi. Ibu kota, yang penuh tantangan dan peluang, tampak seperti magnet yang menariknya. Bayangan gedung-gedung pencakar langit, kesibukan kota, dan peluang karir membangkitkan semangatnya. Ia ingin merasakan tantangan bekerja di ibu kota, menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan meraih kesuksesan. Jakarta, ia memanggilnya.
......................
Angin semilir menerbangkan uraian lembut rambut Ciara yang sebahu. Udara dingin pagi hari tak membuatnya segera memasuki rumah. Ia duduk merenung di teras, menikmati kedamaian sebelum hiruk pikuk hari dimulai. Bayangan senja di Bandara, dan terutama, bayangan pria bermobil mewah itu, masih terngiang di pikirannya. Senyum singkat pria itu, misterius dan penuh teka-teki, menciptakan sebuah kegelisahan yang menyenangkan.
"Loh, Ci, kok sudah di rumah?" sapa Bude Marni, tetangga rumahnya, suaranya ramah namun sedikit usil.
"Iya, Bude, baru datang semalam," jawab Ciara dengan senyum tulus, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan sedikit jengkel yang masih tersisa.
"Dua tahun nggak pulang. Pasti uangnya banyak," celetuk Bude Marni lagi, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu.
Ciara mendengus pelan. "Syukurlah, Bude. Bisa pulang bawa raga dan nyawa saja sudah sangat bersyukur," jawabnya, senyumnya kini terlihat dipaksakan.
"Mereka hanya melihat uang, bukan perjuangan. Batinya menambahkan," Mereka tidak tahu betapa lelahnya aku bekerja, dan betapa menariknya petualangan yang baru saja kurasakan."
"Oh, berarti pulang mau nikah ya? Tuh, Sinta, Reno, sama Luki udah pada punya anak, udah gede. Kamu nggak pingin?" Bude Marni semakin gencar bertanya, tak menyadari tatapan Ciara yang mulai tak sabar.
Ciara menghela napas dalam-dalam. "Bodo amat, yang penting aku masih hidup," gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia sudah sangat geram.
"Iya, Bude, kebetulan calon suamiku masih sibuk sama bisnisnya," jawab Ciara asal, suaranya terdengar datar, mencoba mengakhiri percakapan yang semakin membuatnya muak.
"Oh, syukurlah. Orang mana? Bisnis apa? Pasti kaya," wajah Bude Marni semakin berbinar, penasarannya tak terbendung.
Ciara menggigit bibir bawahnya. "Sabar, Ciara, sabar. Orang sabar rejekinya lancar," batinnya, mencoba menenangkan diri. Tangannya mengepal sebentar, lalu ia melepaskannya perlahan, mencoba mengatur napas.
"iya, bude. Dia tampan, kaya, pengusaha muda, pewaris juga" serunya dengan wajah kesal yang tidak bisa di tutupi. Ia merasakan getaran ponselnya di saku. Sebuah pesan masuk. Ia membuka pesan itu, sebuah foto yang dikirimkan secara anonim. Foto itu memperlihatkan pria tampan di bandara, sedang berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit di Ibu kota. Gedung itu… terlihat sangat familiar. Di bawah foto itu, hanya ada satu kalimat:
"Kita akan bertemu lagi."
Ciara tersentak. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak mengenal pria itu, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa… terhubung. Ia menatap foto itu lebih lama, mencoba mengingat-ingat detail wajah pria itu, dan tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Logo di gedung pencakar langit itu… sama dengan logo di kartu nama yang diberikan Zara, gadis kecil yang ditemuinya di bandara. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh arti. Bude Marni masih saja bertanya, namun Ciara sudah tak menghiraukannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk memulai petualangan baru di Jakarta. Petualangan yang mungkin lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia menutup pintu kamarnya dengan pelan, meninggalkan Bude Marni yang masih penasaran, dan memasuki dunia baru yang penuh misteri dan tantangan.
"tapi, darimana dia mendapat nomerku?" pekiknya tertahan. Dia terlihat bodoh, padahal sebelumnya sudah menyadari sesuatu.
...****************...
Dua minggu menjadi pengangguran terasa seperti dua abad bagi Ciara. Kehampaan itu hanya sedikit terobati oleh rencana liburan ke Yogyakarta bersama Kiara, sahabatnya—sebuah impian yang akhirnya terwujud setelah bertahun-tahun tertunda. Hari ini, petualangan dimulai dari Stasiun Kota L, kota kelahirannya. Degup jantung Ciara berdebar, campuran antara kegembiraan dan sedikit kecemasan.
Ransel andalannya sudah terisi penuh, cukup untuk tiga hari menjelajahi pesona Yogyakarta. Hanya tas ransel yang dibawanya, sesuai dengan rencana perjalanan yang ringkas.
"Pak, Bu, aku berangkat ya?" Ciara mencium tangan kedua orang tuanya. Rasa haru dan was-was bercampur menjadi satu. Mereka, seperti selalu, penuh kekhawatiran.
"Iya, hati-hati di sana. Kalau main jangan sampai terlalu malam," pesan Ibu, suaranya lembut namun tegas. Bapak hanya mengangguk, menguatkan pesan Ibu dengan tatapan penuh perhatian.
Ciara melaju dengan motornya menuju rumah Kiara, bayangan liburan yang menyenangkan mengusir rasa hampa yang selama ini membayangi.
Di rumah Kiara, suasana hangat sudah menanti. Pakde dan Bude tersenyum menyambutnya.
"Lama nggak ketemu, kok makin kurus? Lagi diet ya?" Bude mengelus pundak Ciara, sentuhannya penuh kasih sayang.
"Iya, Bude, diet… diet pikiran. Lagi banyak mikir, jadi nggak nafsu makan," jawab Ciara, tersenyum sedikit masam, mencoba menutupi kekhawatirannya tentang masa depan.
Kiara muncul, anggun dalam balutan gamis dan hijab lebar. Ciara, dengan celana jeans dan hoodie-nya yang nyaman, merasa seperti dua dunia yang berbeda. Sejenak, perasaan iri muncul, tapi ia segera mengusirnya. Mereka berbeda, dan itu tak apa-apa. Lagipula, Ciara lebih menyukai kenyamanan dan kepraktisan.
"Ayo, Ci, kita berangkat! Aku udah nggak sabar pengen makan gudeg!" Seruan Kiara membangunkanku dari lamunan. Suaranya penuh semangat, menular ke Ciara.
"Ayo! Tapi jangan lupa mampir beli oleh-oleh untuk orang tua kita, ya!" Ciara mengingatkan Kiara, menunjukkan sisi dewasa dan bertanggung jawabnya. Ia pamit pada Pakde dan Bude, rasa syukur dan sedikit penyesalan karena jarang pulang memenuhi hatinya.
"Hati-hati ya, Nak. Kalian perempuan, jaga diri baik-baik. Jangan sampai pulang bawa penyakit!" pesan Bude, mengulangi kekhawatiran yang sama seperti orang tua Ciara, namun dengan tambahan pesan yang lebih spesifik. Kekhawatiran itu, sebenarnya, adalah bentuk kasih sayang yang tulus. Dan Ciara memahaminya. Petualangan ke Yogyakarta, kini benar-benar dimulai.
Udara pagi masih sejuk menusuk kulit ketika mereka berboncengan dengan Vario Ciara menuju Stasiun. Embun pagi masih menempel di dedaunan, menciptakan pemandangan yang menyejukkan mata. Sinar matahari pagi yang lembut menyinari jalanan yang masih lengang. Kiara memeluk Ciara erat, mencoba menghangatkan tubuhnya dari udara dingin pagi hari. Meskipun perjalanan ke Yogyakarta masih panjang—karena kereta langsung dari kota L, belum tersedia, mereka harus transit di kota B terlebih dahulu—suasana pagi yang tenang membuat perjalanan terasa lebih nyaman.
"Ci, lihat!" seru Kiara, menunjuk ke arah sekelompok burung yang terbang rendah di atas sawah.
Ciara, yang fokus mengendarai motor, hanya mampu melirik sekilas.
"Indah sekali, ya," katanya, suara motor sedikit menutupi ucapannya.
"Iya," jawab Kiara, suaranya penuh kekaguman.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening, hanya diiringi suara motor dan kicauan burung. Sesampainya di stasiun kota L, mereka memarkir Vario dan bergegas masuk. Suasana pagi yang tenang di luar berganti dengan hiruk pikuk aktivitas di dalam stasiun.
Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka tiba di stasiun kota B. Mereka segera melakukan check-in ulang, siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Meskipun perjalanan masih panjang, kenangan indah di pagi hari akan selalu mereka ingat.
Ciara menatap Kiara yang tertidur pulas di sampingnya. Gelombang kereta yang berdebum lembut mengiringi tidur nyenyak Kiara, sejak kereta berangkat dari Kota B hingga hampir tiba di Yogyakarta. Di luar jendela, pemandangan sawah dan perbukitan hijau silih berganti, menciptakan panorama yang menenangkan. Perhatian Ciara teralihkan pada lima remaja yang asyik bercanda di kursi dekat mereka; suara tawa mereka membaur dengan alunan musik dari headphone salah satu dari mereka. Masa muda mereka begitu ceria, penuh energi. Ciara tersenyum, mengingat masa mudanya sendiri.
"Hai!" sapanya, dan mereka membalas dengan senyum ramah, salah seorang bahkan melambaikan tangan dengan senyum ceria yang menghiasi wajah cantiknya.
Ciara tertegun. Salah seorang dari mereka sangat mirip dengannya; hanya usia dan warna kulit yang sedikit berbeda. Rambutnya yang sedikit lebih panjang dan gaya berpakaiannya yang lebih kekinian membedakan mereka, tapi bentuk wajah dan senyumnya... persis sekali.
"Kakakmu, ya?" "Kayaknya itu kakaknya, mirip banget!" bisikan mereka masih terdengar. Ciara hanya tersenyum simpul, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai muncul. Lalu, pengumuman pemberhentian di Stasiun Tugu Yogyakarta pun terdengar, menandai berakhirnya perjalanan kereta yang cukup panjang.
"Ra, bangun, udah sampai," bisik Ciara, mencoba membangunkan Kiara dengan lembut. Kiara menggeliat, kepalanya masih menyandar di pundak Ciara.
"Cepet banget, Ci. Masih ngantuk," keluhnya, matanya masih setengah tertutup. Ia menguap lebar, menunjukkan betapa lelahnya ia setelah perjalanan panjang.
Setelah turun dari kereta, mereka menyusuri kerumunan penumpang yang keluar dari stasiun. Suasana ramai dan sedikit semrawut khas stasiun besar membuat Ciara sedikit pusing. Namun, di tengah kekacauan itu, mereka berhasil menemukan ojek online. Perjalanan singkat menuju hotel di kawasan Tugu Yogyakarta terasa seperti berselancar di lautan kendaraan; suara motor beradu dengan klakson mobil dan raungan mesin, membentuk simfoni khas kota Yogyakarta yang mulai terbangun. Setibanya di Grand Senyum Hotel Tugu Yogyakarta, suasana ramai kota berganti dengan ketenangan hotel. Bangunan hotel yang elegan menyambut mereka, menawarkan pelarian dari hiruk pikuk kota. Aroma harum bunga dan kayu jati menyambut mereka di lobi, menciptakan suasana yang menenangkan. Setelah check-in, mereka segera menuju kamar, siap untuk beristirahat dan menikmati sisa hari di Yogyakarta.
Setelah check-in dan beristirahat sejenak, Ciara dan Kiara memutuskan untuk menjelajahi kota Yogyakarta. Mereka menyewa sebuah motor dan memulai petualangan mereka.
"Ra, kamu yang bawa motor, aku yang lihat maps," kata Cia, langsung melompat naik ke jok belakang. Kiara menatapnya dengan ekspresi kesal, tetapi tetap menurut. Angin panas menerpa wajah mereka saat motor mulai melaju, membuat keringat mulai bercucuran. Jalanan kota Yogyakarta di siang hari sangat ramai, penuh dengan kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Suara klakson dan mesin kendaraan beradu dengan suara pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya dengan lantang. Bau khas makanan jalanan—campuran aroma gudeg, sate, dan gorengan—menggelitik indra penciuman. Suasana ramai dan sedikit semrawut khas kota besar terasa di sekitar mereka.
Hanya butuh 12 menit untuk sampai di Alun-Alun Kidul. Matahari siang menyengat kulit mereka. Begitu sampai, mereka langsung berlarian ke sana kemari tanpa beban, seperti anak kecil yang baru dibebaskan setelah tiga hari terkurung. Meskipun panas, hijau rerumputan dan rindangnya pohon-pohon beringin di sekitar alun-alun memberikan sedikit kesejukan. Di tengah alun-alun, dua pohon beringin kembar yang besar dan rindang menjulang tinggi, menawarkan tempat berteduh dari sengatan matahari. Bayangan pohon-pohon itu jatuh di rerumputan hijau, menciptakan corak cahaya yang menarik. Melihat pohon-pohon beringin itu, mereka teringat akan sejarahnya yang panjang dan misterius. Konon, pohon-pohon ini sudah ada sejak berabad-abad lalu, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Yogyakarta. Banyak cerita dan legenda yang berkembang di masyarakat tentang pohon beringin kembar ini; konon, jika berhasil melewati pohon beringin ini, keinginannya bisa terkabul.
Di sudut Alun-alun Yogyakarta yang lengang, hanya beberapa pohon rindang yang memberikan sedikit teduh dari terik matahari siang itu, dua pria dewasa mengamati Cia dan Kiara berlarian riang. Kedua gadis itu bagai kupu-kupu yang menari bebas di hamparan luas alun-alun yang sepi. Salah seorang pria, mengenakan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya dan rambut coklatnya yang sedikit berantakan, bahkan tak menyadari esnya telah habis. Ia mengenakan kaos putih polos yang sederhana, dipadukan dengan celana jeans robek-robek di lutut, menunjukkan gaya kasual yang santai. Angin siang yang tipis hanya menggoyangkan daun-daun pohon sesekali, menciptakan suasana sunyi yang hanya diiringi suara langkah kaki kedua gadis itu.
"Menggemaskan sekali," gumamnya, senyum tipis—hampir tak terlihat, menghiasi wajahnya sejenak. Meskipun tertutup kacamata hitam, sorot kehangatan terpancar dari matanya.
"Ci, ayo kita coba melewati pohon beringin kembar itu!" ajak Kiara, penuh semangat. Tantangan ini bukan hanya sekadar permainan, tetapi juga penghormatan terhadap sejarah dan legenda yang melekat pada pohon-pohon beringin tersebut.
"Oke, tapi nutup matanya pakai apa? Kalau cuma ditutup biasa, kan bisa ngintip," kata Cia, bingung.
"Tenang, nih aku udah siapin dua," seru Kiara, mengeluarkan dua penutup mata dari tasnya. Sahabatnya itu memang selalu siap sedia.
"Oke, ayo mulai!" Cia ikut bersemangat. Mereka menutup mata dan mulai melangkah. Cia berusaha berjalan lurus, tetapi tak yakin arahnya benar. Udara panas dan suara ramai sekitar masih terdengar samar-samar.
"Ci, kamu di mana, hei?" Suara Kiara terdengar dari kejauhan. Jelas, mereka sudah melenceng jauh.
Pandangan pria itu masih tertuju pada kedua gadis yang memejamkan mata, menantikan hasil permainan mereka. Teriakan Cia dan Kiara, nyaring dan jernih, memecah kesunyian siang itu. Senyum pria itu merekah kembali saat menyaksikan salah satu gadis tertawa lepas, meninggalkan Alun-alun yang kembali sunyi. Ia kembali meneguk esnya yang tersisa, tatapannya masih tertuju pada kepergian kedua gadis itu, sebelum kembali larut dalam kesunyian Alun-alun Yogyakarta.
"Ra, berhenti dulu. Kita buka saja, gimana?" Firasat Cia mengatakan mereka gagal melewati pohon beringin kembar itu.
"setuju, Ci." Kiara berteriak menjawab ajakan Cia.
Mereka membuka penutup mata. Di hadapan Cia, menjulang pohon beringin raksasa, batangnya yang kekar seperti lengan-lengan tua yang kokoh menopang tajuknya yang lebat. Ia tersentak! Kiara ada di sana, di sisi lain pohon beringin kembar itu, tepat di seberangnya. Mereka berdua berdiri di jantungnya, diapit oleh dua raksasa hijau yang penuh misteri—Cia di sisi kanan, Kiara di sisi kiri. Gelak tawa mereka pecah, merdu dan lepas, mengusik keheningan siang yang terik.
"Meskipun kita nggak berhasil melewati pohon itu dengan sempurna, sampai di tengah-tengah gini aja udah keren banget, Ra," kata Cia, mendekat ke Kiara yang masih tersenyum sumringah. Bayangan rindang pohon beringin sedikit meredakan sengatan matahari yang tak kenal ampun.
"Setuju banget, Ci! Harapan kita kayaknya udah deket banget nih," seru Kiara, suaranya bersemangat.
"Oke, lanjut!" ajak Cia.
Kiara meraih tangan Cia, jari-jarinya bertaut dengan jari Cia. Mereka berjalan beriringan, meninggalkan keajaiban pohon beringin kembar itu di belakang. Haus dan lelah menyergap mereka, membawa mereka berburu makanan dan minuman yang menyegarkan.
"Duh, ternyata Alun-Alun Kidul siang hari sepi banget ya?" keluh Kiara, wajahnya memerah karena kepanasan. Keringat membasahi kulitnya.
"Iya, kamu nggak ngerasain? Panasnya kayak mau membuat kita mencair!" sahut Cia. Baju mereka basah kuyup karena keringat, bekas petualangan mereka yang menegangkan. Pasti ramai banget di sini kalau sore nanti, saat matahari mulai mereda.
"Ya mau gimana lagi, Ci, waktu kita terbatas. Harus maksimalin semuanya!" jawab Kiara, suaranya sedikit putus asa, namun tetap teguh. Cia mengangguk setuju. Hanya dua malam di Yogyakarta, waktu yang terasa terlalu singkat untuk menjelajahi semua keindahannya.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah warung kecil yang menjual minuman tradisional. Aroma rempah-rempah yang harum menusuk hidung. Kiara memesan wedang uwuh, sementara Ciara memilih jamu kunyit asam, tertarik dengan khasiatnya yang menyegarkan dan meningkatkan imun. Saat menikmati minuman mereka, seorang pria tua dengan jubah lusuh dan kerudung putih mendekati mereka. Wajahnya penuh keriput, namun matanya tajam dan berkilat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Mbah Karto, seorang dukun.
"Mungkin kalian butuh sedikit pencerahan, Nimas-nimas muda?" suaranya serak, namun tetap berwibawa.
Kiara, yang selalu praktis dan sedikit skeptis, menolak dengan halus. "Terima kasih, Mbah, tapi kami tidak percaya dengan ramalan."
Ciara, yang selalu penasaran dan terbuka terhadap hal-hal baru, menatap Mbah Karto dengan minat. "Ramalan? Mbah bisa meramal?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Mbah Karto tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang ompong. "Hidup ini seperti sungai, Nimas. Kadang tenang, kadang deras. Aku hanya melihat alirannya." Ia menatap Ciara dengan tajam. "Aku melihat aliran yang menarik untukmu. Ada perubahan besar yang menanti. Kau akan bertemu seseorang yang akan mengubah hidupmu. Ia datang dari tempat yang jauh, dan ia membawa sebuah rahasia."
Ciara mengerutkan kening, penasaran. "Dari tempat yang jauh? Rahasia apa, Mbah?"
Mbah Karto menggeleng pelan. "Rahasia itu harus ditemukan sendiri, Nimas. Itulah bagian yang paling menarik dari perjalanan hidup." Ia meraih cangkir wedang uwuh yang hampir habis diminum Kiara. "Air ini, seperti hidup. Kadang manis, kadang pahit. Nikmati saja setiap tegukannya."
Ia meletakkan cangkir itu kembali, lalu beranjak pergi tanpa pamit, meninggalkan Ciara dan Kiara tertegun. Kiara menggelengkan kepala, takjub dengan keberanian Ciara yang mau berinteraksi dengan Mbah Karto.
"Serem juga, ya, Ci?" kata Kiara, suaranya sedikit gemetar.
Ciara tersenyum, matanya berbinar. "Seru, Ra! Aku penasaran banget sama orang yang dimaksud Mbah Karto itu. Siapa dia? Dan apa rahasianya? Apakah semua itu nyata?" Ia merasa ada sesuatu yang menarik dalam ramalan itu, sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya.
Petualangan di Yogyakarta kini terasa lebih menantang dan misterius daripada yang mereka bayangkan. Perjalanan mereka belum berakhir, dan sebuah petualangan baru, yang lebih menegangkan dan penuh teka-teki, baru saja dimulai. Bayangan pria misterius di bandara kembali muncul di pikiran Ciara, dan ia bertanya-tanya, apakah pria itu ada hubungannya dengan ramalan Mbah Karto?
...****************...
Setelah mendapat ramalan yang membuat Cia bersemangat, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke sebuah kafe. Suasana kafe yang mereka datangi sepulang dari Alun-Alun Kidul sangat menenangkan. Alunan musik jazz yang lembut, seperti bisikan rahasia, berpadu dengan aroma kopi robusta yang harum, membentuk sebuah pelukan hangat. Ciara dan Kiara memutuskan untuk beristirahat sejenak, menunggu senja tiba sebelum pergi ke Tugu Yogyakarta, berniat menghabiskan waktu hingga malam hari di sana.
"Ci, jangan langsung lihat ya? Meja sebelah kananku," bisik Kiara, suaranya penuh intrik.
Ciara menoleh ke arah kanan, tetapi Kiara langsung memukul lengannya dengan gemas.
"Sebelah kananku, Ci!" tegas Kiara, menekankan kata 'kananku'.
"Hehehe, ya ampun, bilangnya sebelah kanan aja, yang jelas dong," jawab Ciara, tersenyum geli. Ia akhirnya melihat ke arah yang benar.
Di sana, terlihat dua pria tampan sedang asyik berbincang, aura mereka memancar bak bintang yang bersinar redup. Ciara terpesona, tetapi juga merasa sedikit aneh. Salah satunya mengenakan kemeja putih yang familiar.
"Yang pakai kaos putih itu kayak familiar, ya, Ra!" kata Ciara, mencoba mengingat-ingat, tetapi memori itu masih samar bak kabut pagi. "Kayak pernah ketemu di mana gitu."
"Coba diingat-ingat lagi, Ci. Mungkin di mimpi? Atau di kehidupan nyata? Boleh tuh, kita bagi satu-satu," ajak Kiara, berbisik setengah bercanda.
"Ah, kayaknya itu cuma di mimpi deh," jawab Ciara, mengelak. Ia punya kekuarangan, yaitu mudah melupakan wajah orang-orang yang baru di temuinya beberapa kali. jadi lebih baik mengalihkan pembicaraan. "Lagian, nggak mungkin juga kan kita kenal orang kaya gitu?" tambahnya, sedikit meremehkan.
Matahari mulai berpamitan, menarik tirainya perlahan, melukis langit dengan warna-warna jingga dan ungu yang memikat. Cahaya senja yang lembut membasahi bumi, menciptakan suasana magis. Mereka bergegas menuju Tugu Yogyakarta. Di sana, mereka berjalan-jalan santai, bergantian mengabadikan momen indah, dan tak lupa ber-selfie ria.
"Langitnya... Sungguh spektakuler, ya, Ci?" ucap Kiara, matanya berbinar menatap langit senja yang memesona.
"Hm, baik sore maupun malam, semuanya terlihat luar biasa," jawab Ciara, setuju. Langit Yogyakarta memang selalu mampu mencuri perhatian.
Seiring senja berganti malam, Tugu Yogyakarta berubah menjadi panggung spektakuler. Lampu-lampu kota mulai berkelap-kelip, menciptakan gemerlap yang memesona. Tugu itu sendiri, terang benderang diterangi lampu sorot, menampilkan keanggunannya yang megah. Di sekitarnya, orang-orang berlalu lalang, suasana ramai namun tetap tertib. Angin malam yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma khas kota Yogyakarta. Di kejauhan, terdengar alunan musik dari sebuah kafe, menambah suasana romantis malam itu. Mereka duduk di sebuah bangku taman dekat Tugu, menikmati keindahan malam Yogyakarta yang tak terlupakan. Langit malam yang gelap dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, menciptakan pemandangan yang begitu menenangkan.
"Balik yuk, Ci! Kayaknya mau hujan nih," ajak Kiara, suaranya sedikit khawatir.
Ciara menatap langit yang semakin gelap, angin berhembus semakin kencang, membawa aroma tanah yang basah. Mereka bergegas pergi, membeli beberapa makanan dan jajanan untuk dinikmati di hotel nanti. Di kejauhan, terdengar alunan musik dari sebuah kafe, menambah suasana romantis malam itu, namun juga sedikit sendu karena hujan yang semakin lebat. Mereka memutuskan untuk segera kembali ke hotel, karena hujan semakin deras.
Mereka berlari kecil menuju tempat berteduh, rintik hujan yang awalnya lembut kini berubah menjadi deras. Udara dingin menusuk tulang. Di tengah guyuran hujan, mereka masih sempat tertawa karena basah kuyup.
Sesampainya di hotel, mereka langsung bergegas ke kamar, menikmati hangatnya kamar setelah basah kuyup diterpa hujan. Ciara langsung merebahkan diri di kasur, merasa lelah namun puas dengan petualangan hari itu. Kiara sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Besok kita ke mana lagi, Ci?" tanya Kiara, suaranya masih sedikit bersemangat meskipun kelelahan.
"Besok kita ke Borobudur, terus ke Hutan Pinus Mangunan, dan sorenya ke Obelix," jawab Ciara, sudah merencanakan itinerary dengan detail.
"Obelix? Ada pertunjukan tari tradisional di sana, lho!" seru Kiara, matanya berbinar. "Aku udah baca di internet, katanya bagus banget!"
"Wah, nggak sabar pengen lihat!" Ciara ikut bersemangat. Ia membayangkan keindahan tari tradisional di bawah langit malam yang bertabur bintang. Ia sudah membayangkan betapa indahnya momen itu.
Udara dingin menusuk kulit Ciara, sehingga ia menggigil meskipun sudah memeluk selimut tebal. Namun, getaran ponselnya menyentaknya dari kantuk. Alarm berbunyi—jam 5 pagi.
"Ra, kecilin dong AC-nya," kata Ciara, merasa kedinginan. Ia melihat suhu AC yang sangat rendah. Pantas saja ia menggigil.
"Hehehe, lupa, Ci. Maaf!" jawab Kiara dengan wajah polosnya.
Kiara sudah rapi. Ciara segera bangkit dan membersihkan diri, siap memulai eksplorasi terakhir mereka sebelum pulang besok.
"Ayo, buruan, Ci! Kita berangkat ke Borobudur. Soalnya lumayan jauh dari sini," seru Kiara, sudah siap dengan tas selempangnya.
Ciara bergegas. Mereka kembali menyewa motor untuk sehari. Kemarin mereka menyewa Mio seharga 50 ribu rupiah. Hari ini, mereka memilih NMax seharga 120 ribu rupiah demi kenyamanan dan keselamatan, khususnya untuk perjalanan ke Obelix di sore hari nanti.
Setelah satu jam perjalanan, Ciara dan Kiara akhirnya sampai di Candi Borobudur. Udara sejuk khas pegunungan langsung menyambut mereka. Hamparan sawah hijau sejauh mata memandang, dikelilingi perbukitan yang menawan. "Wow, indah banget, Ci!" seru Kiara, langsung mengeluarkan ponselnya untuk mengambil beberapa foto.
Ciara tersenyum. "Iya, sebanding banget sama perjalanan panjang kita." Ia mengamati sekeliling, menikmati suasana tenang dan damai. "Untung loket udah buka," tambahnya, melihat antrian yang tidak terlalu panjang.
Mereka membeli tiket masuk dan memasuki area candi. Taman yang luas dan terawat rapi menyambut mereka. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warni yang indah.
"Ci, lihat! Bunga ini warnanya unik banget, kayak warna permen kapas!" seru Kiara, menunjuk ke arah sekelompok bunga berwarna ungu muda. Ia langsung berpose untuk berfoto.
Ciara tertawa. "Iya, indah banget. Kayaknya kita harus sempetin waktu untuk foto di sini juga, Ra. Nanti kalau udah keliling candi, ya?"
"Oke!" jawab Kiara, semangat. Ia terus mengabadikan momen-momen indah di taman. Ciara lebih santai, menikmati suasana dan sesekali ikut berpose untuk foto bersama.
Mereka berjalan perlahan, menikmati keindahan taman. "Eh, Ci, lihat! Kupu-kupu!" Kiara menunjuk ke arah sekelompok kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga.
"Iya, indah sekali," jawab Ciara, sambil mengeluarkan kameranya. Mereka berdua bergantian mengabadikan momen tersebut. "Rasanya nggak cukup satu hari untuk menikmati semua keindahan di sini," ujar Ciara, sambil tersenyum.
"Iya, bener banget! Tapi kita harus maksimalin waktu yang ada, ya!" jawab Kiara, semangatnya tak pernah padam.
Di sepanjang jalan menuju candi, mereka masih sempat berhenti beberapa kali untuk berfoto. "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang pohon itu," pinta Kiara, menunjuk ke arah sebuah pohon besar yang rindang.
"Oke, siap!" jawab Ciara, sambil mengatur angle kameranya. Mereka bergantian berfoto, menciptakan berbagai pose yang unik dan menarik. Suasana pagi yang tenang dan damai membuat mereka merasa lebih dekat dengan alam dan sejarah. Mereka merasa beruntung bisa mengunjungi tempat yang begitu indah dan bersejarah ini.
Setibanya di pintu masuk Candi Borobudur, Kiara langsung berteriak, "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang candi!"
Ciara tertawa. "Oke, siap! Coba pose yang keren, ya!" Mereka kembali mengabadikan momen dengan berfoto bersama di depan gerbang candi yang megah. Ekspresi wajah mereka penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Petualangan mereka di Candi Borobudur baru saja dimulai. "Ayo masuk, aku udah nggak sabar pengen lihat relief-reliefnya!" seru Kiara, menarik tangan Ciara.
Setelah puas menjelajahi Candi Borobudur, Ciara dan Kiara kembali melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pinus Mangunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam membuat perut mereka mulai keroncongan. "Laper banget, Ci! Mungkin kita mampir beli makan siang dulu, ya?" tanya Kiara, melihat jam tangannya.
Ciara mengangguk setuju. "Iya, aku juga udah mulai laper. Cari warung makan sederhana aja, yang penting makanannya enak dan bersih."
Mereka akhirnya menemukan sebuah warung kecil di pinggir jalan. "Wah, gorengan dan kopi panasnya menggoda banget, Ci!" seru Kiara, mata berbinar melihat aneka gorengan yang terpajang di etalase.
Ciara memesan nasi pecel dan segelas teh manis, sedangkan Kiara memilih nasi goreng dan kopi panas. Aroma kopi dan gorengan yang masih hangat menemani mereka selama perjalanan selanjutnya.
Sesampainya di Hutan Pinus Mangunan, mereka segera memarkir motor. "Tujuh ribu rupiah per orang, Ci," kata Kiara, melihat papan informasi harga tiket masuk. "Murah juga ya!" tambahnya.
Mereka membayar tiket dan memasuki kawasan hutan pinus. Udara sejuk khas pegunungan langsung menyambut mereka. "Seger banget, Ci! Bener-bener beda sama udara di kota," ujar Kiara, menarik napas dalam-dalam.
Mereka berjalan menyusuri jembatan kayu. "Ih, indah banget, Ci! Kayak di negeri dongeng," seru Kiara, langsung mengeluarkan ponselnya untuk berfoto.
Ciara tersenyum. "Iya, benar-benar seperti lukisan alam. Kayaknya kita harus banyak foto di sini, Ra!"
Mereka menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan menciptakan efek cahaya yang dramatis. "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang pohon itu," pinta Kiara, menunjuk ke arah sebuah pohon pinus yang besar dan rindang.
"Oke, siap!" jawab Ciara, sambil mengatur angle kameranya. Mereka bergantian berfoto, menciptakan berbagai pose yang unik dan menarik. "Cahaya matahari yang masuk dari sela-sela pohon ini bagus banget, ya," kata Ciara, sambil mengamati hasil fotonya.
"Iya, bener banget! Kayaknya foto-foto kita di sini bakal bagus semua," jawab Kiara, semangat. Mereka terus berjalan, menikmati keindahan Hutan Pinus Mangunan dan mengabadikan momen-momen berharga. "Rasanya nggak mau pulang, Ci," ujar Kiara, sambil tersenyum. Ciara mengangguk setuju. Keindahan Hutan Pinus Mangunan benar-benar memikat hati mereka.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!