Enam bulan telah berlalu, namun kecelakaan mengerikan malam itu masih menghantui Ciara. Suara teriakan panik yang menusuk kalbu, rintihan kesakitan yang menggelegar di setiap sudut hatinya, dan terutama, wajah gadis manis yang terkapar bersimbah darah—bayangan itu tak pernah bisa ia lupakan. Gadis yang tersenyum manis padanya di kereta beberapa hari sebelum kejadian, wajah yang kini menghantuinya setiap saat. Wajah itu muncul setiap kali Ciara bercermin, atau bahkan saat melihat fotonya sendiri. Bayangannya selalu mengikutinya, mengingatkannya pada tragedi yang telah terjadi.
"Ci, mikirin apaan sih?" Kiara melambaikan tangan di depan wajah Ciara, menariknya kembali ke kenyataan. Mereka sedang duduk di sebuah kafe, menikmati secangkir kopi hangat. Namun, kesunyian kafe tak mampu membendung gelombang kenangan yang menerjang Ciara.
"Aku masih mengingat malam itu dengan jelas, Ra," ucap Ciara lirih, suaranya bergetar menahan isakan. Air matanya mengancam untuk tumpah, namun ia berusaha keras untuk menahannya.
"Aku juga terkadang mengingatnya, Ci. Tapi, apa yang membuatmu tidak pernah bisa melupakannya seperti ini?" tanya Kiara, wajahnya terlihat khawatir. Ia tahu betapa kejadian itu telah mengguncang jiwa sahabatnya.
Ciara menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Dia… dia gadis manis yang menyapaku di kereta. Wajahnya sangat mirip denganku, hanya usia dan warna kulit yang membuatnya berbeda. Dan dia… dia terkapar di samping motor kita saat kejadian itu," jelasnya, suaranya gemetar tak terkendali. Bayangan wajah gadis itu kembali muncul di benaknya, sejelas kristal.
Ingatan itu kembali berputar, menyiksa. Gadis manis itu, yang Ciara yakin sudah tak bernyawa, terpental beberapa meter dari motornya. Wajahnya pucat pasi, terluka parah. Darah segar mengalir deras dari kepalanya, membasahi aspal. Bau amis darah masih terasa menyengat di hidung Ciara, membuat perutnya mual hingga sekarang. Senyum manisnya di kereta, kini tergantikan oleh wajah pucat penuh luka. Kontras yang begitu menyakitkan. Bayangan itu terus menghantuinya, menyiksa jiwanya setiap saat. Ciara tak tahu bagaimana caranya melupakan wajah gadis itu, wajah yang begitu mirip dirinya, wajah yang kini hanya tinggal kenangan pilu yang tak akan pernah bisa ia hapus dari ingatannya.
"Ci, dengar. Alihkan pikiranmu kalau kamu mulai ingat hal itu. Jangan terlalu larut. Fokus saja untuk meraih tujuanmu lagi," Kiara mengingatkan, suaranya terdengar lebih lembut dan penuh kekhawatiran daripada biasanya. Ia memperhatikan raut wajah Ciara yang tampak lelah dan kosong. Ciara menatap Kiara, sejenak linglung, tampaknya benar-benar kehilangan fokus.
"Ra, aku mau cerita. Aku diterima di restoran yang kamu rekomendasikan waktu itu!" ujar Ciara, suaranya bersemangat, namun ada sedikit getaran yang menunjukkan ia masih menyimpan beban. Senyumnya tampak dipaksakan.
Kiara menanggapi dengan antusias, namun raut wajahnya masih terlihat khawatir. "Serius? Kapan berangkat ke Ibu Kota?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
"Lusa, Ra. Aku harus berangkat lusa karena harus mulai kerja Sabtu," jawab Ciara, suaranya masih terdengar lesu. Ia tampak kelelahan, bahkan untuk hal yang seharusnya membahagiakan ini.
Kiara tampak cemas. "Gak papa, Ci. Nanti soal kos, aku minta tolong Adel lagi. Tapi… kamu yakin bisa, Ci? Setelah kejadian itu…" suaranya terhenti, menunjukkan ia masih memikirkan kecelakaan beberapa bulan lalu.
Ciara mengangguk, mencoba meyakinkan sahabatnya. "Kayaknya aku harus ngucapin terima kasih berkali-kali sama Adel nanti kalau ketemu," katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Iya, ucapin terima kasih pas ketemu nanti. Jangan lupa! Tapi Ci… cari jodohnya jangan dilupakan, ya," jawab Kiara, usaha untuk bercanda terlihat dipaksakan. Ia lebih terlihat khawatir daripada bersemangat.
Ciara memandang Kiara yang memperhatikan sekitar kafe, perhatiannya terbagi antara sahabatnya dan lingkungan sekitar. Kiara tampak gelisah.
"Eh, tunggu! Gimana sama Pakde dan Bude? Kamu sudah dapat izin?" tanya Kiara, suaranya terdengar cemas. Ia benar-benar khawatir tentang Ciara.
"Sudah, Ra. Tenang saja. Awalnya Bapak memang nggak setuju. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah hampir stres menganggur di rumah terus," keluh Ciara frustrasi, suaranya terdengar putus asa.
Kiara tampak semakin khawatir. Menganggur selama enam bulan telah membuat Ciara stres, apalagi ditambah dengan trauma kecelakaan beberapa bulan lalu. "Syukurlah. Kamu harus jaga diri baik-baik di sana. Jangan terlalu memaksakan diri, ya, Ci. Kalau kamu butuh apa-apa, hubungi aku langsung," ucap Kiara, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Iya, Ra. Tenang saja, aku bisa jaga diri kok," ucap Ciara, mencoba menenangkan Kiara, namun suaranya terdengar sedikit ragu. Ia tahu, perjalanan ke depan tidak akan mudah, baik untuk karirnya maupun untuk menyembuhkan lukanya.
......................
Ciara menatap koper dan ransel di depannya. Perjalanan panjang menanti: kereta Kita L- Kota B, lalu Kota B-Ibu Kota. Ia sengaja memilih keberangkatan siang untuk bisa beristirahat di kereta. Kakak iparnya, Mas Indra, mengantarnya ke stasiun sebelum kembali ke kota S.
"Hati-hati di sana, Nak. Fokus kerja, jangan main-main malam-malam," pesan ibunya terngiang di telinganya saat duduk sendiri di dalam kereta Argo Anjasmoro.
Nasihat Mas Indra juga terpatri dalam pikirannya: "Jangan mudah terbawa arus. Kamu perempuan, harus bisa jaga diri baik-baik."
Kereta mulai bergerak, meninggalkan stasiun. Suasana gerbong cukup ramai, meskipun masih banyak kursi kosong. Seorang ibu muda menggendong bayinya yang tertidur pulas, sesekali menepuk punggung kecilnya. Di seberang, seorang mahasiswa sibuk mengerjakan tugas kuliah di laptopnya. Suara deru kereta berpadu dengan obrolan penumpang, menciptakan irama perjalanan yang khas. Aroma kopi dan makanan ringan memenuhi gerbong. Pemandangan sawah hijau terhampar di luar jendela; musim padi sepertinya telah dimulai. Namun, di tengah suasana itu, bayangan senyum manis gadis remaja yang menjadi korban kecelakaan beberapa bulan lalu kembali terbayang—senyum yang tak akan pernah Ciara lupakan.
Delapan jam perjalanan terasa panjang. Meskipun kereta nyaman, Ciara hanya bisa tertidur sesekali. Ia turun dari kereta dengan susah payah, barang bawaannya cukup banyak. Di tengah keramaian Stasiun G, ia mencari area penjemputan GoCar.
Perjalanan ke daerah M, lokasi kos dan restorannya, membuat Ciara menyadari betapa padatnya kota J, terutama malam hari. GoCar berhenti di depan pagar tinggi sebuah bangunan; seorang perempuan berdiri menunggu. Sepertinya dia Adel, yang telah banyak membantunya selama proses melamar kerja.
Setelah membayar GoCar, perempuan itu menghampiri Ciara dengan senyum ramah. "Kamu Ciara, ya? Aku Adel," katanya, mengulurkan tangan.
"Iya, terima kasih, Adel, karena sudah banyak membantuku," jawab Ciara, menyambut uluran tangan Adel.
"Ayo masuk! Pantesan naik GoCar, ternyata bawa koper gede," ujar Adel ramah. Ia terlihat mudah bergaul dan ramah.
"Iya, Del, kalau naik motor nggak muat," jawab Ciara, mengikuti Adel menaiki tangga ke lantai dua. Ia berharap kehidupan barunya di kota J akan lebih baik daripada yang ia bayangkan.
"Kos seharga 800 ribuan? Murah sekali untuk Ibu Kota," gumam Ciara, heran sekaligus lega. Kos yang baru saja ia lihat memang nyaman dan terlihat mewah. Warna putih bersih mendominasi bangunan, pencahayaan terang di sepanjang koridor, dan sebuah taman kecil dengan beberapa kursi di tengahnya menciptakan suasana yang menenangkan. Seorang pria muda asyik membaca buku sambil menyeruput kopi, dua perempuan lain berbincang sambil mengecek ponsel mereka. Suasana terasa santai dan ramah. Aroma kopi dan sesuatu yang manis tercium samar-samar di udara.
Ciara mengamati setiap kamar; beberapa terbuka, memperlihatkan interior minimalis namun rapi. Beberapa lampu mati, menandakan penghuninya sedang tidak ada. Beberapa penghuni bersantai di taman bawah, minum kopi atau mengerjakan tugas dengan laptop. Ada yang mengenakan hijab, ada yang berambut pendek dan mengenakan pakaian kasual. Mereka terlihat beragam, dari segi penampilan hingga usia. Hanya satu hal yang sedikit membuatnya waswas: kos ini campur, pria dan wanita tinggal bersama, hanya terpisah bagian saja—wanita di sisi kanan, pria di sisi kiri. Namun, dari yang dilihatnya, suasana tetap terkesan tenang dan tertib. Ciara mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan baik-baik saja.
"Ini kunci yang dititipkan Kak Nina. Pembayarannya sudah ditransfer, kan?" tanya Adel, menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan kayu bertuliskan angka 12. Sebuah rasa lega memenuhi dada Ciara. Akhirnya, ia memiliki tempat tinggal di kota besar ini. Namun, rasa cemas masih sedikit menghantuinya.
"Iya, Del, sudah aku transfer kok. Terima kasih ya," ucap Ciara, suaranya terdengar sedikit gemetar karena kelelahan setelah perjalanan panjang. Ia kembali mengucapkan terima kasih, merasa berhutang budi pada Adel.
"Iya, santai saja. Istirahat gih, besok kan sudah mulai kerja?" kata Adel sambil melambaikan tangan, meninggalkan Ciara di depan kamarnya. Ciara merasakan sedikit kecemasan bercampur dengan rasa ingin segera beristirahat. Ia membuka kunci kamarnya, memasuki ruangan mungil yang akan menjadi tempat tinggalnya untuk beberapa waktu ke depan. Harapan dan kekhawatiran bercampur aduk dalam hatinya.
Ciara tersenyum lega, kemudian mulai memasukkan barang-barang ke dalam kamar kosnya. Kamar itu cukup nyaman: kamar mandi dalam, kasur single bed, lemari plastik, dan kipas angin. Rasa syukur memenuhi hatinya. Ia heran, sebaik apa pemilik kos ini sampai memasang harga semurah ini di Jakarta. Sejenak, ia membayangkan betapa beratnya perjuangan mencari pekerjaan dan tempat tinggal di kota besar ini.
Setelah membersihkan diri, Ciara melangkah keluar kamar, mencari dapur untuk menyimpan beberapa makanan yang dibawanya. Namun, langkahnya terhenti. Pandangannya terpaku pada seorang pria yang sedang merokok di depan kamarnya. Wajah pria itu sangat familiar, namun Ciara benar-benar tidak bisa mengingatnya. Dahinya berkerut, ia berusaha keras mengingat dari mana ia mengenal pria itu. Rasa bingung bercampur dengan sedikit ketakutan mulai mendatanginya. Ia merasa seperti pernah bertemu pria itu di suatu tempat, namun ingatannya seperti kabur, samar-samar. "Siapa dia? Dan mengapa wajahnya begitu kukenal?" Jantung Ciara berdebar lebih cepat. Ia ragu untuk mendekat, namun rasa penasaran mendorongnya untuk terus memperhatikan pria itu.
"ah, postur tubuhnya mirip Park Chanyeol ternyata." gumamnya sembari berlalu.
Kembali dari dapur, pria itu masih di sana. Masih berdiri di tempat yang sama, rokok setengah terbakar di tangannya. Tatapannya tajam, intens, menembus Ciara, membuat bulu kuduknya merinding. Kehadiran pria itu membuat Ciara sangat tidak nyaman. Namun… senyum yang baru saja diberikan pria itu padanya… apakah itu tulus? Atau… ada yang disembunyikan di balik senyum ramah itu? Ciara tak mampu memastikannya. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang membuatnya bingung dan sedikit takut. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria tersebut, sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan waspada.
Pria yang dilihat Cia itu hanya tersenyum tipis, asap rokoknya mengepul di udara. Tatapannya tajam, mengamati Cia dengan seksama.
"Akhirnya kita bertemu," gumamnya pelan, suaranya serak, mencampur aksen misterius di balik senyum tipisnya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments