Dua minggu menjadi pengangguran terasa seperti dua abad bagi Ciara. Kehampaan itu hanya sedikit terobati oleh rencana liburan ke Yogyakarta bersama Kiara, sahabatnya—sebuah impian yang akhirnya terwujud setelah bertahun-tahun tertunda. Hari ini, petualangan dimulai dari Stasiun Kota L, kota kelahirannya. Degup jantung Ciara berdebar, campuran antara kegembiraan dan sedikit kecemasan.
Ransel andalannya sudah terisi penuh, cukup untuk tiga hari menjelajahi pesona Yogyakarta. Hanya tas ransel yang dibawanya, sesuai dengan rencana perjalanan yang ringkas.
"Pak, Bu, aku berangkat ya?" Ciara mencium tangan kedua orang tuanya. Rasa haru dan was-was bercampur menjadi satu. Mereka, seperti selalu, penuh kekhawatiran.
"Iya, hati-hati di sana. Kalau main jangan sampai terlalu malam," pesan Ibu, suaranya lembut namun tegas. Bapak hanya mengangguk, menguatkan pesan Ibu dengan tatapan penuh perhatian.
Ciara melaju dengan motornya menuju rumah Kiara, bayangan liburan yang menyenangkan mengusir rasa hampa yang selama ini membayangi.
Di rumah Kiara, suasana hangat sudah menanti. Pakde dan Bude tersenyum menyambutnya.
"Lama nggak ketemu, kok makin kurus? Lagi diet ya?" Bude mengelus pundak Ciara, sentuhannya penuh kasih sayang.
"Iya, Bude, diet… diet pikiran. Lagi banyak mikir, jadi nggak nafsu makan," jawab Ciara, tersenyum sedikit masam, mencoba menutupi kekhawatirannya tentang masa depan.
Kiara muncul, anggun dalam balutan gamis dan hijab lebar. Ciara, dengan celana jeans dan hoodie-nya yang nyaman, merasa seperti dua dunia yang berbeda. Sejenak, perasaan iri muncul, tapi ia segera mengusirnya. Mereka berbeda, dan itu tak apa-apa. Lagipula, Ciara lebih menyukai kenyamanan dan kepraktisan.
"Ayo, Ci, kita berangkat! Aku udah nggak sabar pengen makan gudeg!" Seruan Kiara membangunkanku dari lamunan. Suaranya penuh semangat, menular ke Ciara.
"Ayo! Tapi jangan lupa mampir beli oleh-oleh untuk orang tua kita, ya!" Ciara mengingatkan Kiara, menunjukkan sisi dewasa dan bertanggung jawabnya. Ia pamit pada Pakde dan Bude, rasa syukur dan sedikit penyesalan karena jarang pulang memenuhi hatinya.
"Hati-hati ya, Nak. Kalian perempuan, jaga diri baik-baik. Jangan sampai pulang bawa penyakit!" pesan Bude, mengulangi kekhawatiran yang sama seperti orang tua Ciara, namun dengan tambahan pesan yang lebih spesifik. Kekhawatiran itu, sebenarnya, adalah bentuk kasih sayang yang tulus. Dan Ciara memahaminya. Petualangan ke Yogyakarta, kini benar-benar dimulai.
Udara pagi masih sejuk menusuk kulit ketika mereka berboncengan dengan Vario Ciara menuju Stasiun. Embun pagi masih menempel di dedaunan, menciptakan pemandangan yang menyejukkan mata. Sinar matahari pagi yang lembut menyinari jalanan yang masih lengang. Kiara memeluk Ciara erat, mencoba menghangatkan tubuhnya dari udara dingin pagi hari. Meskipun perjalanan ke Yogyakarta masih panjang—karena kereta langsung dari kota L, belum tersedia, mereka harus transit di kota B terlebih dahulu—suasana pagi yang tenang membuat perjalanan terasa lebih nyaman.
"Ci, lihat!" seru Kiara, menunjuk ke arah sekelompok burung yang terbang rendah di atas sawah.
Ciara, yang fokus mengendarai motor, hanya mampu melirik sekilas.
"Indah sekali, ya," katanya, suara motor sedikit menutupi ucapannya.
"Iya," jawab Kiara, suaranya penuh kekaguman.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening, hanya diiringi suara motor dan kicauan burung. Sesampainya di stasiun kota L, mereka memarkir Vario dan bergegas masuk. Suasana pagi yang tenang di luar berganti dengan hiruk pikuk aktivitas di dalam stasiun.
Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka tiba di stasiun kota B. Mereka segera melakukan check-in ulang, siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Meskipun perjalanan masih panjang, kenangan indah di pagi hari akan selalu mereka ingat.
Ciara menatap Kiara yang tertidur pulas di sampingnya. Gelombang kereta yang berdebum lembut mengiringi tidur nyenyak Kiara, sejak kereta berangkat dari Kota B hingga hampir tiba di Yogyakarta. Di luar jendela, pemandangan sawah dan perbukitan hijau silih berganti, menciptakan panorama yang menenangkan. Perhatian Ciara teralihkan pada lima remaja yang asyik bercanda di kursi dekat mereka; suara tawa mereka membaur dengan alunan musik dari headphone salah satu dari mereka. Masa muda mereka begitu ceria, penuh energi. Ciara tersenyum, mengingat masa mudanya sendiri.
"Hai!" sapanya, dan mereka membalas dengan senyum ramah, salah seorang bahkan melambaikan tangan dengan senyum ceria yang menghiasi wajah cantiknya.
Ciara tertegun. Salah seorang dari mereka sangat mirip dengannya; hanya usia dan warna kulit yang sedikit berbeda. Rambutnya yang sedikit lebih panjang dan gaya berpakaiannya yang lebih kekinian membedakan mereka, tapi bentuk wajah dan senyumnya... persis sekali.
"Kakakmu, ya?" "Kayaknya itu kakaknya, mirip banget!" bisikan mereka masih terdengar. Ciara hanya tersenyum simpul, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai muncul. Lalu, pengumuman pemberhentian di Stasiun Tugu Yogyakarta pun terdengar, menandai berakhirnya perjalanan kereta yang cukup panjang.
"Ra, bangun, udah sampai," bisik Ciara, mencoba membangunkan Kiara dengan lembut. Kiara menggeliat, kepalanya masih menyandar di pundak Ciara.
"Cepet banget, Ci. Masih ngantuk," keluhnya, matanya masih setengah tertutup. Ia menguap lebar, menunjukkan betapa lelahnya ia setelah perjalanan panjang.
Setelah turun dari kereta, mereka menyusuri kerumunan penumpang yang keluar dari stasiun. Suasana ramai dan sedikit semrawut khas stasiun besar membuat Ciara sedikit pusing. Namun, di tengah kekacauan itu, mereka berhasil menemukan ojek online. Perjalanan singkat menuju hotel di kawasan Tugu Yogyakarta terasa seperti berselancar di lautan kendaraan; suara motor beradu dengan klakson mobil dan raungan mesin, membentuk simfoni khas kota Yogyakarta yang mulai terbangun. Setibanya di Grand Senyum Hotel Tugu Yogyakarta, suasana ramai kota berganti dengan ketenangan hotel. Bangunan hotel yang elegan menyambut mereka, menawarkan pelarian dari hiruk pikuk kota. Aroma harum bunga dan kayu jati menyambut mereka di lobi, menciptakan suasana yang menenangkan. Setelah check-in, mereka segera menuju kamar, siap untuk beristirahat dan menikmati sisa hari di Yogyakarta.
Setelah check-in dan beristirahat sejenak, Ciara dan Kiara memutuskan untuk menjelajahi kota Yogyakarta. Mereka menyewa sebuah motor dan memulai petualangan mereka.
"Ra, kamu yang bawa motor, aku yang lihat maps," kata Cia, langsung melompat naik ke jok belakang. Kiara menatapnya dengan ekspresi kesal, tetapi tetap menurut. Angin panas menerpa wajah mereka saat motor mulai melaju, membuat keringat mulai bercucuran. Jalanan kota Yogyakarta di siang hari sangat ramai, penuh dengan kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Suara klakson dan mesin kendaraan beradu dengan suara pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya dengan lantang. Bau khas makanan jalanan—campuran aroma gudeg, sate, dan gorengan—menggelitik indra penciuman. Suasana ramai dan sedikit semrawut khas kota besar terasa di sekitar mereka.
Hanya butuh 12 menit untuk sampai di Alun-Alun Kidul. Matahari siang menyengat kulit mereka. Begitu sampai, mereka langsung berlarian ke sana kemari tanpa beban, seperti anak kecil yang baru dibebaskan setelah tiga hari terkurung. Meskipun panas, hijau rerumputan dan rindangnya pohon-pohon beringin di sekitar alun-alun memberikan sedikit kesejukan. Di tengah alun-alun, dua pohon beringin kembar yang besar dan rindang menjulang tinggi, menawarkan tempat berteduh dari sengatan matahari. Bayangan pohon-pohon itu jatuh di rerumputan hijau, menciptakan corak cahaya yang menarik. Melihat pohon-pohon beringin itu, mereka teringat akan sejarahnya yang panjang dan misterius. Konon, pohon-pohon ini sudah ada sejak berabad-abad lalu, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Yogyakarta. Banyak cerita dan legenda yang berkembang di masyarakat tentang pohon beringin kembar ini; konon, jika berhasil melewati pohon beringin ini, keinginannya bisa terkabul.
Di sudut Alun-alun Yogyakarta yang lengang, hanya beberapa pohon rindang yang memberikan sedikit teduh dari terik matahari siang itu, dua pria dewasa mengamati Cia dan Kiara berlarian riang. Kedua gadis itu bagai kupu-kupu yang menari bebas di hamparan luas alun-alun yang sepi. Salah seorang pria, mengenakan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya dan rambut coklatnya yang sedikit berantakan, bahkan tak menyadari esnya telah habis. Ia mengenakan kaos putih polos yang sederhana, dipadukan dengan celana jeans robek-robek di lutut, menunjukkan gaya kasual yang santai. Angin siang yang tipis hanya menggoyangkan daun-daun pohon sesekali, menciptakan suasana sunyi yang hanya diiringi suara langkah kaki kedua gadis itu.
"Menggemaskan sekali," gumamnya, senyum tipis—hampir tak terlihat, menghiasi wajahnya sejenak. Meskipun tertutup kacamata hitam, sorot kehangatan terpancar dari matanya.
"Ci, ayo kita coba melewati pohon beringin kembar itu!" ajak Kiara, penuh semangat. Tantangan ini bukan hanya sekadar permainan, tetapi juga penghormatan terhadap sejarah dan legenda yang melekat pada pohon-pohon beringin tersebut.
"Oke, tapi nutup matanya pakai apa? Kalau cuma ditutup biasa, kan bisa ngintip," kata Cia, bingung.
"Tenang, nih aku udah siapin dua," seru Kiara, mengeluarkan dua penutup mata dari tasnya. Sahabatnya itu memang selalu siap sedia.
"Oke, ayo mulai!" Cia ikut bersemangat. Mereka menutup mata dan mulai melangkah. Cia berusaha berjalan lurus, tetapi tak yakin arahnya benar. Udara panas dan suara ramai sekitar masih terdengar samar-samar.
"Ci, kamu di mana, hei?" Suara Kiara terdengar dari kejauhan. Jelas, mereka sudah melenceng jauh.
Pandangan pria itu masih tertuju pada kedua gadis yang memejamkan mata, menantikan hasil permainan mereka. Teriakan Cia dan Kiara, nyaring dan jernih, memecah kesunyian siang itu. Senyum pria itu merekah kembali saat menyaksikan salah satu gadis tertawa lepas, meninggalkan Alun-alun yang kembali sunyi. Ia kembali meneguk esnya yang tersisa, tatapannya masih tertuju pada kepergian kedua gadis itu, sebelum kembali larut dalam kesunyian Alun-alun Yogyakarta.
"Ra, berhenti dulu. Kita buka saja, gimana?" Firasat Cia mengatakan mereka gagal melewati pohon beringin kembar itu.
"setuju, Ci." Kiara berteriak menjawab ajakan Cia.
Mereka membuka penutup mata. Di hadapan Cia, menjulang pohon beringin raksasa, batangnya yang kekar seperti lengan-lengan tua yang kokoh menopang tajuknya yang lebat. Ia tersentak! Kiara ada di sana, di sisi lain pohon beringin kembar itu, tepat di seberangnya. Mereka berdua berdiri di jantungnya, diapit oleh dua raksasa hijau yang penuh misteri—Cia di sisi kanan, Kiara di sisi kiri. Gelak tawa mereka pecah, merdu dan lepas, mengusik keheningan siang yang terik.
"Meskipun kita nggak berhasil melewati pohon itu dengan sempurna, sampai di tengah-tengah gini aja udah keren banget, Ra," kata Cia, mendekat ke Kiara yang masih tersenyum sumringah. Bayangan rindang pohon beringin sedikit meredakan sengatan matahari yang tak kenal ampun.
"Setuju banget, Ci! Harapan kita kayaknya udah deket banget nih," seru Kiara, suaranya bersemangat.
"Oke, lanjut!" ajak Cia.
Kiara meraih tangan Cia, jari-jarinya bertaut dengan jari Cia. Mereka berjalan beriringan, meninggalkan keajaiban pohon beringin kembar itu di belakang. Haus dan lelah menyergap mereka, membawa mereka berburu makanan dan minuman yang menyegarkan.
"Duh, ternyata Alun-Alun Kidul siang hari sepi banget ya?" keluh Kiara, wajahnya memerah karena kepanasan. Keringat membasahi kulitnya.
"Iya, kamu nggak ngerasain? Panasnya kayak mau membuat kita mencair!" sahut Cia. Baju mereka basah kuyup karena keringat, bekas petualangan mereka yang menegangkan. Pasti ramai banget di sini kalau sore nanti, saat matahari mulai mereda.
"Ya mau gimana lagi, Ci, waktu kita terbatas. Harus maksimalin semuanya!" jawab Kiara, suaranya sedikit putus asa, namun tetap teguh. Cia mengangguk setuju. Hanya dua malam di Yogyakarta, waktu yang terasa terlalu singkat untuk menjelajahi semua keindahannya.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah warung kecil yang menjual minuman tradisional. Aroma rempah-rempah yang harum menusuk hidung. Kiara memesan wedang uwuh, sementara Ciara memilih jamu kunyit asam, tertarik dengan khasiatnya yang menyegarkan dan meningkatkan imun. Saat menikmati minuman mereka, seorang pria tua dengan jubah lusuh dan kerudung putih mendekati mereka. Wajahnya penuh keriput, namun matanya tajam dan berkilat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Mbah Karto, seorang dukun.
"Mungkin kalian butuh sedikit pencerahan, Nimas-nimas muda?" suaranya serak, namun tetap berwibawa.
Kiara, yang selalu praktis dan sedikit skeptis, menolak dengan halus. "Terima kasih, Mbah, tapi kami tidak percaya dengan ramalan."
Ciara, yang selalu penasaran dan terbuka terhadap hal-hal baru, menatap Mbah Karto dengan minat. "Ramalan? Mbah bisa meramal?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Mbah Karto tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang ompong. "Hidup ini seperti sungai, Nimas. Kadang tenang, kadang deras. Aku hanya melihat alirannya." Ia menatap Ciara dengan tajam. "Aku melihat aliran yang menarik untukmu. Ada perubahan besar yang menanti. Kau akan bertemu seseorang yang akan mengubah hidupmu. Ia datang dari tempat yang jauh, dan ia membawa sebuah rahasia."
Ciara mengerutkan kening, penasaran. "Dari tempat yang jauh? Rahasia apa, Mbah?"
Mbah Karto menggeleng pelan. "Rahasia itu harus ditemukan sendiri, Nimas. Itulah bagian yang paling menarik dari perjalanan hidup." Ia meraih cangkir wedang uwuh yang hampir habis diminum Kiara. "Air ini, seperti hidup. Kadang manis, kadang pahit. Nikmati saja setiap tegukannya."
Ia meletakkan cangkir itu kembali, lalu beranjak pergi tanpa pamit, meninggalkan Ciara dan Kiara tertegun. Kiara menggelengkan kepala, takjub dengan keberanian Ciara yang mau berinteraksi dengan Mbah Karto.
"Serem juga, ya, Ci?" kata Kiara, suaranya sedikit gemetar.
Ciara tersenyum, matanya berbinar. "Seru, Ra! Aku penasaran banget sama orang yang dimaksud Mbah Karto itu. Siapa dia? Dan apa rahasianya? Apakah semua itu nyata?" Ia merasa ada sesuatu yang menarik dalam ramalan itu, sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya.
Petualangan di Yogyakarta kini terasa lebih menantang dan misterius daripada yang mereka bayangkan. Perjalanan mereka belum berakhir, dan sebuah petualangan baru, yang lebih menegangkan dan penuh teka-teki, baru saja dimulai. Bayangan pria misterius di bandara kembali muncul di pikiran Ciara, dan ia bertanya-tanya, apakah pria itu ada hubungannya dengan ramalan Mbah Karto?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments