"Hutan ini benar-benar menyejukkan, Ra," kataku, menarik napas dalam-dalam, merasakan kesegaran udara di Hutan Pinus Mangunan. Kami duduk di salah satu kursi kayu yang tersusun rapi di depan panggung kecil, menikmati sejenak ketenangan sebelum melanjutkan perjalanan. Namun, sebuah perasaan gelisah mulai mengusikku. Kiara tampak ceria, namun ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyumnya.
"Iya, Ci. Kamu harusnya ikut aku mendaki sesekali," ajaknya, suaranya sedikit lebih bersemangat daripada biasanya, seakan ingin mengalihkan perhatianku. Dia memang sangat menyukai kegiatan mendaki gunung.
"Oh, tidak. Untuk mendaki, aku tidak mau," tolakku tegas, meski sebenarnya ada keinginan terpendam untuk menantang diri sendiri. Aku ingin mendaki, tapi aku tidak sekuat dia. Aku takut merepotkan teman jika stamina tak mendukung.
Setelah beberapa saat menikmati suasana, kami beranjak melanjutkan perjalanan menuju Obelix Sea View. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam itu cukup menegangkan. Jalan menuju Obelix berkelok-kelok, menanjak tajam di beberapa titik, dan melewati hutan yang rimbun. Motor yang kami sewa—sebuah NMax yang kami pilih khusus untuk perjalanan ini—terbukti menjadi pilihan yang tepat untuk menghadapi medan yang cukup ekstrim.
Untuk menikmati keindahan Obelix, kami harus membayar tiket di tiga tempat berbeda: di pintu gerbang kawasan Parangtritis, di pos dekat kawasan Obelix, dan tiket masuk Obelix Sea View itu sendiri, sebesar 30 ribu rupiah per orang di hari biasa. Biaya yang cukup tinggi, namun terbayar lunas dengan pemandangan yang kami saksikan.
Sesampainya di Obelix, kami langsung disambut oleh hamparan laut biru yang luas membentang hingga ke cakrawala. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah kami. Aku dan Kiara berlarian seperti anak kecil, bersemangat mengabadikan momen di berbagai spot foto yang tersedia. Pemandangan dari ketinggian Obelix sungguh menakjubkan. Hamparan laut biru yang tak berujung, padu dengan hijaunya pepohonan dan pegunungan di sekitar, membentuk panorama yang begitu memesona. Matahari sore mulai tenggelam di ufuk barat, melukis langit dengan warna-warna jingga, ungu, dan merah muda yang begitu indah. Kami tak henti-hentinya mengabadikan momen-momen berharga ini. Keindahan alam yang benar-benar patut disyukuri. Namun, di tengah keceriaan itu, aku masih merasakan gelisah yang belum terselesaikan. Ada sesuatu yang disembunyikan Kiara, dan aku merasa harus segera mengetahuinya.
Langit semakin gelap, menyambut kedatangan malam. Cahaya lampu di Obelix mulai berkelap-kelip, menciptakan suasana magis yang menawan. Bukan hanya lampu-lampu modern, tapi juga cahaya-cahaya temaram dari lentera-lentera kecil yang tergantung di antara pepohonan, menambah nuansa mistis dan romantis. Aroma khas laut bercampur dengan aroma makanan dari food court menambah semarak suasana. Kami berdua duduk di kursi melingkar setengah lingkaran, menghadap panggung pertunjukan yang terbuat dari kayu jati tua yang sudah dipoles hingga berkilau. Detik-detik mendebarkan menjelang pertunjukan tari tradisional. Suara gamelan mengalun pelan, menciptakan suasana syahdu yang menenangkan.
Musik gamelan mengalun lebih kencang, menandai dimulainya pertunjukan tari tradisional. "Wah, mulai nih, Ci!" bisik Kiara, matanya berbinar menatap para penari yang mulai berdatangan dengan kostumnya yang indah.
Ciara mengangguk, terpesona oleh keindahan para penari. "Bagus banget, Ra. Aku nggak nyangka seindah ini," katanya, sambil sibuk mengarahkan kameranya.
Pertunjukan berlangsung memukau. Di tengah-tengah tari klasik, tiba-tiba muncul penampilan tari api yang dramatis. "Aduh, seru banget!" seru Kiara, hampir berteriak karena terkejut sekaligus kagum.
Ciara hanya bisa mengangguk, jari-jarinya sibuk mengabadikan setiap gerakan penari api yang lincah dan penuh energi. Api yang menari-nari diiringi gamelan yang semakin kencang, membuat suasana semakin menegangkan dan meriah. Kemudian kembang api meledak di atas panggung, menciptakan efek visual yang spektakuler.
"Masya Allah, indah banget!" Kiara berdecak kagum. Ciara, meski sedikit khawatir kameranya akan lecet karena saking semangatnya merekam, tetap fokus mengabadikan momen tersebut.
Setelah pertunjukan berakhir, tepuk tangan penonton bergemuruh. "Keren banget, Ci! Aku sampai merinding," kata Kiara, masih terkesima.
Ciara tersenyum. "Iya, aku juga. Nggak nyangka bisa nonton pertunjukan tari seindah ini."
Perut mereka mulai keroncongan sekitar jam sembilan malam. "Laper banget, Ci! Yuk, kita makan di food court," ajak Kiara.
Mereka menuju food court, aroma makanan yang menggugah selera menyambut mereka. Setelah kenyang, mereka memutuskan untuk pulang. "Jalan pulang agak jauh dan gelap ya, Ci," kata Kiara, sedikit khawatir.
"Iya, tapi nggak apa-apa kok. Kita hati-hati aja," jawab Ciara, mencoba menenangkan Kiara. Namun, perjalanan pulang memang cukup menegangkan. Jalanan gelap dan sepi, turunan yang curam membuat jantung mereka berdebar. Bulan purnama yang terang justru menambah kesan mencekam.
Sesampainya di kawasan pintu gerbang Parangtritis, rasa lega menyelimuti Ciara dan Kiara. Namun, perasaan lega itu sirna seketika. Di depan mata mereka, sebuah kecelakaan terjadi. Sebuah motor melaju kencang di tikungan tajam, lalu hilang kendali. Sebelum mereka sempat bereaksi, terdengar suara braaak yang menggelegar. Motor tersebut menghantam bagian belakang sebuah mobil yang melaju pelan. Benturannya sangat keras, seperti bom meledak di dekat mereka. Tubuh Ciara menegang, Kiara langsung menutup mata erat-erat.
Kedua pengendara motor terpental sejauh beberapa meter, terbanting keras ke aspal. Ciara melihat dengan jelas salah satu pengendara, seorang gadis muda, terkapar tak bergerak di dekat mereka. Wajahnya yang ayu bersimbah darah. Ciara mengenali gadis itu, senyumnya sama seperti yang dilihatnya di kereta beberapa waktu lalu. Namun, kali ini senyum itu membeku, matanya terpejam, terpejam selamanya. Jantung Ciara seakan berhenti berdetak saat menatap wajah gadis itu. Pengendara lainnya merintih kesakitan. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk kejadian.
Bau amis darah memenuhi udara, bercampur dengan bau plastik dari body motor yang berserakan di sekitar lokasi kejadian. Ciara terpaku, suaranya tercekat di tenggorokan, perutnya mual. Pandangannya mulai kabur. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Dengan tangan gemetar, ia menepikan motor, lalu terduduk lemas. Kakinya gemetar hebat, air mata mengalir deras tanpa bisa dicegah. Kiara masih meringkuk di sampingnya, menutup matanya erat-erat, ketakutan setengah mati. Sirene polisi dan ambulans memecah kesunyian malam, semakin menambah rasa ngeri yang mereka rasakan.
Malam yang seharusnya berakhir indah di Obelix, berakhir dengan tragedi mengerikan yang tak terlupakan. Pengalaman traumatis ini akan selalu terukir dalam memori Ciara dan Kiara. Bau amis darah masih tercium hingga beberapa jam kemudian, mengingatkan mereka akan kejadian mengerikan tersebut dan wajah gadis muda yang tersenyum untuk terakhir kalinya.
Dengan mata yang tergenang air mata, Ciara menyaksikan kerumunan orang mengerubungi lokasi kecelakaan. Pandangannya tertuju pada genangan darah di aspal, mengingatkannya pada gadis manis yang beberapa waktu lalu ia temui di kereta. Bayangan senyum ceria gadis itu bercampur dengan gambaran mengerikan wajahnya yang bersimbah darah. Kontras yang menyayat hati. Tangan Ciara mengepal kuat, tangisnya pecah, suara isak tangisnya tertahan namun terasa pilu. Ia melirik Kiara yang kini tampak lebih tenang, sedang membalas pesan di ponselnya. Hanya sirene ambulans yang membuatnya bergetar ketakutan; Kiara memang fobia ambulans. Ciara sendiri, terpaku pada detail mengerikan di depannya.
"Kenapa wajah itu harus mirip denganku?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk yang mulai mereda. Matanya kosong, menatap jalanan yang perlahan kembali kondusif, namun hatinya masih dipenuhi kepedihan yang dalam. Kejadian itu bagai mimpi buruk yang nyata, menorehkan luka yang begitu dalam.
Mereka duduk di lokasi selama tiga jam, Ciara masih terpaku pada bayangan gadis itu. Kiara, yang posisinya di boncengan motor saat kecelakaan terjadi, tampak lebih tenang, mungkin karena tidak merasakan benturan secara langsung. Namun, keheningan mereka diselingi isakan sesekali dari Ciara, menunjukkan betapa traumatisnya pengalaman tersebut. Tiga jam itu menjadi waktu yang berat bagi mereka berdua, untuk mencoba menenangkan hati dan mental yang terguncang hebat. Bayangan wajah gadis itu, kemiripannya dengan Ciara, dan tragedi kecelakaan itu, akan selamanya terukir dalam ingatan mereka.
Sebelum meninggalkan lokasi, Cia memperhatikan seorang pria tampan di pinggir jalan. Rambutnya yang gelap sedikit berantakan, menambah kesan kacau pada wajah tampannya. Wajahnya pucat pasi, mata indahnya sembab dan memerah karena air mata yang telah lama mengalir tanpa suara. Tubuhnya bergetar hebat; bahu bidangnya tampak lunglai, seperti patung yang kehilangan kekuatan untuk berdiri tegak. Tatapannya kosong, terpaku pada genangan darah yang belum dibersihkan—kesedihannya bukanlah kesedihan biasa, melainkan jurang tanpa dasar, duka maha dahsyat yang telah menghancurkan jiwanya hingga berkeping-keping.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments