Setelah mendapat ramalan yang membuat Cia bersemangat, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke sebuah kafe. Suasana kafe yang mereka datangi sepulang dari Alun-Alun Kidul sangat menenangkan. Alunan musik jazz yang lembut, seperti bisikan rahasia, berpadu dengan aroma kopi robusta yang harum, membentuk sebuah pelukan hangat. Ciara dan Kiara memutuskan untuk beristirahat sejenak, menunggu senja tiba sebelum pergi ke Tugu Yogyakarta, berniat menghabiskan waktu hingga malam hari di sana.
"Ci, jangan langsung lihat ya? Meja sebelah kananku," bisik Kiara, suaranya penuh intrik.
Ciara menoleh ke arah kanan, tetapi Kiara langsung memukul lengannya dengan gemas.
"Sebelah kananku, Ci!" tegas Kiara, menekankan kata 'kananku'.
"Hehehe, ya ampun, bilangnya sebelah kanan aja, yang jelas dong," jawab Ciara, tersenyum geli. Ia akhirnya melihat ke arah yang benar.
Di sana, terlihat dua pria tampan sedang asyik berbincang, aura mereka memancar bak bintang yang bersinar redup. Ciara terpesona, tetapi juga merasa sedikit aneh. Salah satunya mengenakan kemeja putih yang familiar.
"Yang pakai kaos putih itu kayak familiar, ya, Ra!" kata Ciara, mencoba mengingat-ingat, tetapi memori itu masih samar bak kabut pagi. "Kayak pernah ketemu di mana gitu."
"Coba diingat-ingat lagi, Ci. Mungkin di mimpi? Atau di kehidupan nyata? Boleh tuh, kita bagi satu-satu," ajak Kiara, berbisik setengah bercanda.
"Ah, kayaknya itu cuma di mimpi deh," jawab Ciara, mengelak. Ia punya kekuarangan, yaitu mudah melupakan wajah orang-orang yang baru di temuinya beberapa kali. jadi lebih baik mengalihkan pembicaraan. "Lagian, nggak mungkin juga kan kita kenal orang kaya gitu?" tambahnya, sedikit meremehkan.
Matahari mulai berpamitan, menarik tirainya perlahan, melukis langit dengan warna-warna jingga dan ungu yang memikat. Cahaya senja yang lembut membasahi bumi, menciptakan suasana magis. Mereka bergegas menuju Tugu Yogyakarta. Di sana, mereka berjalan-jalan santai, bergantian mengabadikan momen indah, dan tak lupa ber-selfie ria.
"Langitnya... Sungguh spektakuler, ya, Ci?" ucap Kiara, matanya berbinar menatap langit senja yang memesona.
"Hm, baik sore maupun malam, semuanya terlihat luar biasa," jawab Ciara, setuju. Langit Yogyakarta memang selalu mampu mencuri perhatian.
Seiring senja berganti malam, Tugu Yogyakarta berubah menjadi panggung spektakuler. Lampu-lampu kota mulai berkelap-kelip, menciptakan gemerlap yang memesona. Tugu itu sendiri, terang benderang diterangi lampu sorot, menampilkan keanggunannya yang megah. Di sekitarnya, orang-orang berlalu lalang, suasana ramai namun tetap tertib. Angin malam yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma khas kota Yogyakarta. Di kejauhan, terdengar alunan musik dari sebuah kafe, menambah suasana romantis malam itu. Mereka duduk di sebuah bangku taman dekat Tugu, menikmati keindahan malam Yogyakarta yang tak terlupakan. Langit malam yang gelap dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, menciptakan pemandangan yang begitu menenangkan.
"Balik yuk, Ci! Kayaknya mau hujan nih," ajak Kiara, suaranya sedikit khawatir.
Ciara menatap langit yang semakin gelap, angin berhembus semakin kencang, membawa aroma tanah yang basah. Mereka bergegas pergi, membeli beberapa makanan dan jajanan untuk dinikmati di hotel nanti. Di kejauhan, terdengar alunan musik dari sebuah kafe, menambah suasana romantis malam itu, namun juga sedikit sendu karena hujan yang semakin lebat. Mereka memutuskan untuk segera kembali ke hotel, karena hujan semakin deras.
Mereka berlari kecil menuju tempat berteduh, rintik hujan yang awalnya lembut kini berubah menjadi deras. Udara dingin menusuk tulang. Di tengah guyuran hujan, mereka masih sempat tertawa karena basah kuyup.
Sesampainya di hotel, mereka langsung bergegas ke kamar, menikmati hangatnya kamar setelah basah kuyup diterpa hujan. Ciara langsung merebahkan diri di kasur, merasa lelah namun puas dengan petualangan hari itu. Kiara sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Besok kita ke mana lagi, Ci?" tanya Kiara, suaranya masih sedikit bersemangat meskipun kelelahan.
"Besok kita ke Borobudur, terus ke Hutan Pinus Mangunan, dan sorenya ke Obelix," jawab Ciara, sudah merencanakan itinerary dengan detail.
"Obelix? Ada pertunjukan tari tradisional di sana, lho!" seru Kiara, matanya berbinar. "Aku udah baca di internet, katanya bagus banget!"
"Wah, nggak sabar pengen lihat!" Ciara ikut bersemangat. Ia membayangkan keindahan tari tradisional di bawah langit malam yang bertabur bintang. Ia sudah membayangkan betapa indahnya momen itu.
Udara dingin menusuk kulit Ciara, sehingga ia menggigil meskipun sudah memeluk selimut tebal. Namun, getaran ponselnya menyentaknya dari kantuk. Alarm berbunyi—jam 5 pagi.
"Ra, kecilin dong AC-nya," kata Ciara, merasa kedinginan. Ia melihat suhu AC yang sangat rendah. Pantas saja ia menggigil.
"Hehehe, lupa, Ci. Maaf!" jawab Kiara dengan wajah polosnya.
Kiara sudah rapi. Ciara segera bangkit dan membersihkan diri, siap memulai eksplorasi terakhir mereka sebelum pulang besok.
"Ayo, buruan, Ci! Kita berangkat ke Borobudur. Soalnya lumayan jauh dari sini," seru Kiara, sudah siap dengan tas selempangnya.
Ciara bergegas. Mereka kembali menyewa motor untuk sehari. Kemarin mereka menyewa Mio seharga 50 ribu rupiah. Hari ini, mereka memilih NMax seharga 120 ribu rupiah demi kenyamanan dan keselamatan, khususnya untuk perjalanan ke Obelix di sore hari nanti.
Setelah satu jam perjalanan, Ciara dan Kiara akhirnya sampai di Candi Borobudur. Udara sejuk khas pegunungan langsung menyambut mereka. Hamparan sawah hijau sejauh mata memandang, dikelilingi perbukitan yang menawan. "Wow, indah banget, Ci!" seru Kiara, langsung mengeluarkan ponselnya untuk mengambil beberapa foto.
Ciara tersenyum. "Iya, sebanding banget sama perjalanan panjang kita." Ia mengamati sekeliling, menikmati suasana tenang dan damai. "Untung loket udah buka," tambahnya, melihat antrian yang tidak terlalu panjang.
Mereka membeli tiket masuk dan memasuki area candi. Taman yang luas dan terawat rapi menyambut mereka. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warni yang indah.
"Ci, lihat! Bunga ini warnanya unik banget, kayak warna permen kapas!" seru Kiara, menunjuk ke arah sekelompok bunga berwarna ungu muda. Ia langsung berpose untuk berfoto.
Ciara tertawa. "Iya, indah banget. Kayaknya kita harus sempetin waktu untuk foto di sini juga, Ra. Nanti kalau udah keliling candi, ya?"
"Oke!" jawab Kiara, semangat. Ia terus mengabadikan momen-momen indah di taman. Ciara lebih santai, menikmati suasana dan sesekali ikut berpose untuk foto bersama.
Mereka berjalan perlahan, menikmati keindahan taman. "Eh, Ci, lihat! Kupu-kupu!" Kiara menunjuk ke arah sekelompok kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga.
"Iya, indah sekali," jawab Ciara, sambil mengeluarkan kameranya. Mereka berdua bergantian mengabadikan momen tersebut. "Rasanya nggak cukup satu hari untuk menikmati semua keindahan di sini," ujar Ciara, sambil tersenyum.
"Iya, bener banget! Tapi kita harus maksimalin waktu yang ada, ya!" jawab Kiara, semangatnya tak pernah padam.
Di sepanjang jalan menuju candi, mereka masih sempat berhenti beberapa kali untuk berfoto. "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang pohon itu," pinta Kiara, menunjuk ke arah sebuah pohon besar yang rindang.
"Oke, siap!" jawab Ciara, sambil mengatur angle kameranya. Mereka bergantian berfoto, menciptakan berbagai pose yang unik dan menarik. Suasana pagi yang tenang dan damai membuat mereka merasa lebih dekat dengan alam dan sejarah. Mereka merasa beruntung bisa mengunjungi tempat yang begitu indah dan bersejarah ini.
Setibanya di pintu masuk Candi Borobudur, Kiara langsung berteriak, "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang candi!"
Ciara tertawa. "Oke, siap! Coba pose yang keren, ya!" Mereka kembali mengabadikan momen dengan berfoto bersama di depan gerbang candi yang megah. Ekspresi wajah mereka penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Petualangan mereka di Candi Borobudur baru saja dimulai. "Ayo masuk, aku udah nggak sabar pengen lihat relief-reliefnya!" seru Kiara, menarik tangan Ciara.
Setelah puas menjelajahi Candi Borobudur, Ciara dan Kiara kembali melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pinus Mangunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam membuat perut mereka mulai keroncongan. "Laper banget, Ci! Mungkin kita mampir beli makan siang dulu, ya?" tanya Kiara, melihat jam tangannya.
Ciara mengangguk setuju. "Iya, aku juga udah mulai laper. Cari warung makan sederhana aja, yang penting makanannya enak dan bersih."
Mereka akhirnya menemukan sebuah warung kecil di pinggir jalan. "Wah, gorengan dan kopi panasnya menggoda banget, Ci!" seru Kiara, mata berbinar melihat aneka gorengan yang terpajang di etalase.
Ciara memesan nasi pecel dan segelas teh manis, sedangkan Kiara memilih nasi goreng dan kopi panas. Aroma kopi dan gorengan yang masih hangat menemani mereka selama perjalanan selanjutnya.
Sesampainya di Hutan Pinus Mangunan, mereka segera memarkir motor. "Tujuh ribu rupiah per orang, Ci," kata Kiara, melihat papan informasi harga tiket masuk. "Murah juga ya!" tambahnya.
Mereka membayar tiket dan memasuki kawasan hutan pinus. Udara sejuk khas pegunungan langsung menyambut mereka. "Seger banget, Ci! Bener-bener beda sama udara di kota," ujar Kiara, menarik napas dalam-dalam.
Mereka berjalan menyusuri jembatan kayu. "Ih, indah banget, Ci! Kayak di negeri dongeng," seru Kiara, langsung mengeluarkan ponselnya untuk berfoto.
Ciara tersenyum. "Iya, benar-benar seperti lukisan alam. Kayaknya kita harus banyak foto di sini, Ra!"
Mereka menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan menciptakan efek cahaya yang dramatis. "Ci, fotoin aku di sini, ya! Aku mau foto dengan latar belakang pohon itu," pinta Kiara, menunjuk ke arah sebuah pohon pinus yang besar dan rindang.
"Oke, siap!" jawab Ciara, sambil mengatur angle kameranya. Mereka bergantian berfoto, menciptakan berbagai pose yang unik dan menarik. "Cahaya matahari yang masuk dari sela-sela pohon ini bagus banget, ya," kata Ciara, sambil mengamati hasil fotonya.
"Iya, bener banget! Kayaknya foto-foto kita di sini bakal bagus semua," jawab Kiara, semangat. Mereka terus berjalan, menikmati keindahan Hutan Pinus Mangunan dan mengabadikan momen-momen berharga. "Rasanya nggak mau pulang, Ci," ujar Kiara, sambil tersenyum. Ciara mengangguk setuju. Keindahan Hutan Pinus Mangunan benar-benar memikat hati mereka.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments