Spring Love : First And Last Love Story
#foreshadowing
•
Malam semakin larut. suasana terasa mencekam dengan hening yang merebak, kegelapan pun mulai mendominasi seiring dimatikannya beberapa penerangan ditepi jalan raya dekat jembatan.
Sosok wanita muda kini menatap desiran sungai yang mengalir tenang disertai hembusan angin.
Dari atas pagar jembatan tinggi yang sudah reot dan bobrok, gadis itu berdiri menjulang, masih berbalut dress putih dengan rok selutut. Di balik tangannya yang mengepal erat, tergenggam sebuah kertas kecil.
Tes. Tes. Tes.
Bulir air mata jatuh perlahan, membasahi pipi mulusnya. Jembatan yang ia tempati—atau lebih tepatnya incar—adalah Jembatan Golden Gate, jembatan yang sering kali menjadi bahan perbincangan dan desas-desus berbau angker.
...----------------...
Lea terus menatap kosong ke arah aliran sungai di bawah sana. Arus yang semula deras kini perlahan membeku—tenang, sunyi, membentuk permukaan sejernih cermin kematian. Wajahnya pucat pasi, bak mayat yang belum dikuburkan, dengan jejak air mata yang masih membekas seperti luka yang tak sempat mengering.
Krakk!
Ia tak sanggup menahannya lagi. Begitu ingatan itu menyeruak, matanya kembali berair. Lagi—wanita itu menangis, tersedu sejadi-jadinya, lalu berteriak sekeras yang ia bisa. Mungkin, itulah satu-satunya cara untuk meluapkan kekesalan dan penyesalan yang selama ini terkubur dalam diam.
Kakinya tergerak sedikit ke depan.
Desiran sungai yang menghantam bebatuan terdengar bagai sebuah melodi, seolah menggoda dirinya untuk terjun.
•
•
Hatinya memaksa untuk mengakhiri, tapi tubuhnya bergetar tanpa disadari. Kakinya memilih berhenti, sementara tubuhnya menolak mati—padahal wanita itu sudah siap menerima apa pun yang terjadi.
"Anjir ni tubuh," lirih. Kedua tangannya di sisi tubuh meremas bajunya sendiri.
Sejenak ia menghela napas.
"Aku sudah muak." Gumam lirih dengan serak. Tangan kirinya yang sejak tadi meremas kertas itu perlahan melemah. Genggamannya mengendur, dan tanpa ia sadari, kertas itu terlepas, jatuh melayang seakan menyerah pada angin.
Tanpa ragu, wanita itu melompat ke dalam sungai yang tenang.
"Salah paham...? Apa aku sebodoh itu, sampai tak mau mendengarkan penjelasannya? Dan sekarang... semuanya sudah terlambat. Terlalu terlambat. Mustahil bagiku untuk bisa menemuinya lagi," batinnya bergemuruh, dipenuhi penyesalan yang menghantui.
Begitu cepat—refleks matanya terpejam sebelum tubuhnya jatuh. Ia tak bisa berenang. Itulah alasan ia memilih sungai sedalam itu, agar tak ada jalan kembali. Dalam ketiadaan dirinya, ia berharap semua rasa cemas dan bersalah akan lenyap seketika. Bahwa dengan hilangnya ia dari dunia, orang-orang yang membencinya pun akhirnya bisa melupakan bahwa ia pernah ada.
Byur! Splash!
Bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyum terakhir, kala tubuhnya terus terbawa arus. Semakin lama, semakin dalam, hingga gelap mulai menelan cahaya. Penglihatannya di dalam air pun perlahan mengabur—dan di dalam hati, wanita itu terus mengucapkan beberapa kata.
Aku tahu apa yang kulakukan. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu terus menghantui setelah melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat.
Maaf... Semua ini salahku. Aku pantas menerima hukuman yang setimpal atas semuanya.
Cebur!
Setelah hampir kehilangan napas dan raganya, gadis itu terkejut oleh kedatangan seseorang tak diundang—yang rela menceburkan diri demi menyelamatkan seseorang yang begitu berharga baginya.
"Lea!!" jerit batinnya, histeris—wajahnya dipenuhi kepanikan dan ketakutan yang tak dapat disembunyikan.
Adrian...?!
Wanita itu terpaku sesaat—nyawanya sudah di ambang hidup dan mati. Pandangannya mulai buram, tapi ia yakin… sosok itu adalah Adrian. Sahabatnya!
Greppp...!
Dengan genggaman yang semakin kuat, pria itu menarik Lea ke arah pinggiran sungai, berusaha menyelamatkannya dari arus yang menelan.
Lea, bertahanlah. Gue tahu apa yang Lo rasain... Lo pasti kecewa banget. Lo juga pasti ngerasa bersalah banget atas kejadian itu, kan?
Di atas rerumputan basah di bawah jembatan, tubuh wanita itu terbaring lemah. Napasnya nyaris hilang—hingga akhirnya, setelah ciuman penuh kepanikan dari Adrian sebagai napas buatan, kelopak matanya perlahan terbuka. Ia terbangun… di antara hidup dan mati, oleh seseorang yang tak menyerah padanya.
"Kenapa? Kenapa lo masih nyelametin gue? Lo tahu kan... kalau gue itu penjahat?!" cecar Lea sambil terus menangis tersedu-sedu.
Di saat yang bersamaan, pria itu hanya menatapnya tanpa bergeming, lalu menghela napas panjang.
"Gue udah tahu semuanya, Le. Gue tahu… tapi gue gak mau lo terus nyalahin diri lo sendiri sampai kayak gini! Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue!" teriaknya di depan wajah Lea, penuh emosi.
Perasaan khawatir terus berkecamuk dalam benak, Adrian masih menatap lurus ke arahnya.
"Intinya, lo gak sepenuhnya salah, Le!" Kalimat itu meluncur dari mulut sahabatnya, menggantung di udara—dan seketika, suasana pun menjadi hening.
Wanita itu hanya diam dan duduk memeluk lutut. "Tapi ... Bagaimana dengan dia? Apa dia masih bisa terus bersama gue?"
"Jawab gue, Adrian─"
Ucapan Lea terpotong oleh suara Adrian yang terdengar berat.
"Apa lo masih mencintainya? Lo memang nggak bersalah… tapi apa lo masih mau bersamanya setelah dia mencampakkan lo? Sadarlah, Le. Dia yang nyakitin lo—kenapa lo yang harus merasa bersalah?!"
Wanita itu masih terpaku, kepala tertunduk, tak sanggup menatap apa pun di depannya.
"Lo nggak bersalah, Le..." suara Adrian bergetar, menahan emosi.
"Lo cuma terlalu baik… terlalu bodoh sampai rela nanggung semua dosa yang bahkan bukan milik lo!" lanjutnya, seraya mengguncang kedua pundak Lea, seolah ingin menyadarkannya dari halusinasi.
Lea masih kehilangan kata-kata akibat rentetan pernyataan itu. Bibirnya terkatup rapat, tak sanggup membalas. Namun dalam hati, ia tahu… setiap kata yang dilontarkan sahabatnya adalah kenyataan. Ia memang terlalu naif.
"Jangan salah paham… Gue nggak pernah berniat nyakitin lo. Gue cuma pengen lo jauhin dia, supaya dia nggak terus-terusan nyakitin lo," ucap Adrian, suaranya mulai melemah—nyaris seperti bisikan yang dipenuhi kekhawatiran.
"Gue tau." Lirih dengan singkat.
Adrian menatapnya dengan sorot sendu.
"Lantas… kenapa lo masih cinta, kalau lo sendiri udah tahu semuanya?"
Wanita yang sudah basah kuyup di depannya masih menundukkan kepala, wajahnya tersembunyi di balik poni yang basah.
"Gue tahu… tapi hati gue nggak bisa nerima kalau harus kehilangan dia, Ad. Gue harus gimana?" isak Lea, bulir air mata kembali jatuh ketika ia menatap lekat pria di hadapannya.
Alisnya saling bertaut saat Adrian menatap wajah Lea yang sembab. Perlahan, ia mengusap wajah ayu itu dengan jemarinya—seolah ingin menghapus luka yang tak terlihat. Tanpa kata, ia tiba-tiba menarik Lea ke dalam pelukannya, mendekap erat seolah takut kehilangan. Lalu, dengan suara lirih bagai penenang, ia berbisik di telinga sahabatnya.
"Lea, maaf... kalau gue nggak bisa bantu lo sepenuhnya. Tapi lo boleh nangis, kok. Nangis aja… gue nggak akan pernah ngejek lo," ucap Adrian lembut, dan seketika… tangis Lea pun pecah tak terbendung.
•
Waktu terus berlalu, namun gadis itu tak kunjung berhenti menangis. Ia tak tahu harus berkata apa lagi—semuanya sudah terlalu jelas, bukan?
Sementara itu, Adrian hanya bisa menemaninya dalam diam, menepuk pelan bahu Lea, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri ikut terluka.
Setitik kenangan itu terus membekas, meski telah menjadi abu. Ia masih menginginkan kehadiran pria itu—seseorang yang sempat berhasil membuatnya jatuh cinta, namun juga tanpa disadari telah menjatuhkannya ke dalam jurang yang dalam.
"Ad... Menurut lo gimana? Apa gue terlalu berharap sama orang itu?" ucap wanita itu dengan suara serak, kosong.
"Gue lihat di berita... dia akan menikah lagi besok, sama Vera. Padahal, pernikahan gue dengannya dulu kayak perjanjian di atas kertas. Tapi kenapa... kenapa perasaan gue masih nggak bisa nerima setelah kami cerai?"
Harapan yang ia genggam kini telah kandas, berganti menjadi putus asa. Untuk saat ini, ia benar-benar tenggelam dalam jurang… namun anehnya, masih saja mengharapkan sesuatu yang mustahil.
"Tenanglah dulu... Gue tahu apa yang Lo rasakan. Tapi, gue harap Lo nggak akan pernah melakukan hal itu lagi."
"You can do it, right?"
Lea masih terdiam, lalu perlahan menatap Adrian. Ia mengangguk lemah, dan senyum teduh pun mengembang di wajah Adrian.
Alih-alih, suasana berubah dalam sekejap. Adrian kembali mengusap air mata di wajah Lea, lalu perlahan membantunya berdiri.
"Ok, let's go home! Lo nggak kedinginan, Le?" tanyanya sambil menggenggam tangan Lea, bersiap untuk pergi.
Namun wanita itu tetap diam di tempat, seolah masih ingin berlama-lama di sana—di tempat yang menyimpan luka, tapi juga kelegaan.
"Kenapa lo diam? Ayo kita pulang, bokap nyokap lo udah khawatir sama lo," ucap Adrian, kembali menarik tangan Lea.
Gadis itu masih di tempatnya, tak bergeming—seperti patung yang kokoh membatu.
Perlahan, ia menyeringai, tatapannya tajam seperti sebilah pedang.
"Ayah? Ibu? Mereka mengkhawatirkan gue?"
Nada suaranya sinis, dan kalimat itu seolah menjadi lelucon pahit yang membuatnya tertawa sendiri—tawa yang lebih mirip tangisan yang tertahan terlalu lama.
"Lo lupa, ya, sama semua perbuatan keji mereka ke gue? Hah… kayaknya lo nggak akan paham."
"Udahlah, anterin gue ke apartemen aja."
Adrian hanya terdiam, pasrah, lalu melangkah mengikuti Lea dari belakang—tanpa kata.
"Hah... baiklah, gue tahu. Gue akan antar Lo ke apartemen," ujar Adrian pelan. "Tapi... apa Lo nggak lapar?" tanyanya sekali lagi, mencoba tetap peduli di tengah dinginnya suasana.
"Tida—"
KRUUUK... KRUUUK...
Tepat sekali. Adrian sudah menduganya. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja menangis sejadi-jadinya bisa benar-benar tidak lapar?
"Pfftth--" Adrian terkekeh pelan.
"Baiklah... tapi harus nasi goreng! Nggak boleh yang lain!" ujar Lea, masih dengan sikap acuh di hadapan sahabatnya.
"Siap, dimengerti. Ini baru Lea yang gue kenal—bukan cengeng, tapi keras kepala!" kelakar Adrian sambil tersenyum.
"Apa?!" sahut Lea, spontan, menatapnya tajam meski ada kilatan geli di matanya.
"Cengeng? Keras kepala? Jadi lo ngejek gue sekarang?" tukasnya sambil menyipitkan mata tajam ke arah Adrian, seolah tak terima—meski nada suaranya mengandung sedikit geli yang sulit disembunyikan.
"Hahaha! Sorry, sorry... ehm." Adrian meredakan tawanya, lalu menatap Lea dengan serius.
"Tapi beneran, kalau ada masalah, jangan kayak tadi lagi, ya. Please, janji? Kita sahabat. Dan sebagai sahabat, Gue bakal selalu ada buat Lo—entah di saat suka ataupun duka. Kita akan selalu bareng… selamanya. Bukankah itu tugas sahabat?"
Perlahan, pelupuk mata Lea kembali basah. Air mata itu mulai merembas diam-diam, membuat Adrian semakin cemas.
"Hei, lo nggak apa-apa?" tanyanya lembut, menatap wajah sahabatnya dengan khawatir.
Lea menggeleng pelan, lalu tersenyum cerah—seperti pelangi yang jarang muncul, namun akhirnya kembali bersinar setelah badai mereda.
"Ya, gue baik-baik aja!" ucap Lea sambil tersenyum.
"Tapi tolong, jangan dipikirin terus. Sekarang gue laper, dan kedinginan. Ayo pulang, biar lo bisa masak nasi goreng favorit gue!"
Tanpa menunggu jawaban, Lea langsung melangkah lebih dulu, mendahului Adrian dengan semangat yang mulai kembali menyala.
Adrian yang melihatnya merasa lega.
"Gue akan selalu ada buat lo... Tolong kasih gue satu kesempatan lagi buat ngejaga lo, Le," gumamnya dengan senyum tipis, menatap punggung seseorang yang mulai menjauh. Sebuah rasa asing menggelitik hatinya—hangat, tapi juga menggetarkan.
Lea menoleh ke belakang dan berteriak lantang, "Woi, cepetan! Gue udah kedinginan nih!" Tubuhnya tampak gemetar, bajunya masih basah kuyup, membuatnya menggigil sambil menahan senyum kesal.
Adrian membalas dengan lambaian tangan, lalu segera menyusul.
"Gue nggak tahu pasti tentang perasaan ini… tapi yang jelas, gue cinta sama lo, Lea," batinnya berbisik pelan.
Sebuah perasaan asing mulai tumbuh dalam dirinya—hangat namun membingungkan. Dan disaat itu juga, Adrian menyadari… mungkin benar adanya, bahwa persahabatan antara lawan jenis jarang berakhir hanya sebagai teman. Karena perasaan, pada akhirnya, tak bisa dibatasi oleh label apa pun.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di tempat lain—tepatnya di dalam sebuah mansion mewah yang megah—seorang pria berdiri terpaku di lorong koridor dekat perapian. Langkahnya terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi, seperti kehilangan arah.
Ia tahu sesuatu, tapi memilih bungkam. Bukan karena tak bisa bicara, melainkan karena semenjak kebenaran itu terungkap… mulutnya seakan terkunci.
Semua yang didengarnya kini hanya terdengar seperti omong kosong—kosong, tak berarti, dan menghancurkan dari dalam.
Brakk!
Ditinju tembok itu hingga tangannya mengeluarkan darah segar yang merembas ke sela-sela jari.
Tak bisa ia menerima suatu kenyataan pahit yang memilukan. Semua kertas-kertas itu ia hempaskan kedalam perapian, lalu membiarkannya hangus terbakar sampai tak tersisa kecuali kenyataan itu yang sudah diketahui oleh semua orang yang terlibat. Alih-alih frustasi, dirinya masih mencintai seseorang tapi cintanya masih melekat seperti lem.
"Sial! Bangs*t! Kalau saja semua itu tidak pernah terjadi mungkin kesialan tidak pernah ada…!" Suara pekikannya menggema di ruangan gelap yang hanya diterangi nyala api dari perapian.
"Aku yakin semua itu cuma kebohongan—kebohongan busuk!" lanjutnya, amarah membuncah tak terbendung.
Dengan kasar, ia menjatuhkan dirinya ke sofa, tubuhnya terguncang oleh gejolak emosi yang tak sanggup ia redam.
Mengingat kembali semua kenangan yang pernah ia lalui bersama seseorang yang dicintainya, membuat dadanya seakan dihujam tombak besar—berulang kali, tanpa ampun.
Amarah dan luka yang membusuk di dalamnya akhirnya meledak.
Dengan sengaja, ia melemparkan satu botol alkohol besar yang masih tersegel ke lantai. Suaranya pecah menggema, sekeras hatinya yang retak tak bisa lagi ditambal.
"Aku tidak akan terima dengan kenyataan!! Takdir itu cuma omong kosong—dan aku tidak percaya pada takdir!" teriaknya lantang, suaranya menggema di ruangan sunyi yang luas.
Di tengah kesunyian itu, hanya ada satu orang yang menyaksikan ledakan emosi itu—pelayan pribadinya, Kyle Watson.
Namun pria paruh baya itu lebih dikenal hanya sebagai Watson, seiring usianya yang telah melewati setengah abad. Rambutnya kini nyaris sepenuhnya beruban, tapi sorot matanya tetap tajam, penuh pemahaman.
Pria itu masih menunduk dengan tangan mengepal penuh darah diatas pinggiran sofa, menatap ke suatu tempat dengan tajam.
Ia akan segera menikah lagi dengan wanita pilihan, meskipun pernikahan pertamanya hanyalah sebuah perjanjian tertulis— namun sebuah perpisahan tetap akan terjadi.
"Perceraian? Aku tidak akan menerima omong kosong itu...!" Napasnya masih memburu, berat dan tersengal, ada sedikit obsesi dan rasa tak rela perlahan mengambil alih dirinya.
•
"Tuan Muda Raymond, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Tuan dan Nyonya Besar meminta Anda untuk menghadiri makan malam pertunangan dengan Nona Lancaster," ujar Watson sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya.
Pria itu hanya mendelik dingin, kemudian segera bergegas keluar dari mansion menuju bandara. Ia tak peduli apa yang akan terjadi jika dirinya dan wanita itu tak bisa bersama pada akhirnya—karena ia sudah memaksakan jalan yang berbeda.
"Watson, batalkan makan malam pertunanganku. Aku tidak akan mengikuti perjodohan itu," ujarnya tegas sambil mengenakan jas. "Aku akan kembali ke Negara X untuk menemui wanita itu. Dia milikku! Aku tidak akan tinggal diam—aku akan mengubah segalanya!"
Ia lalu menarik benda pipih dari saku celananya dan segera menghubungi asistennya.
"Will, daftarkan aku di penerbangan darurat secepatnya! Aku tidak punya banyak waktu!" katanya dengan nada mendesak.
"E-eh... ba-baik, Tuan!" sahut Will tergagap, mengangguk cepat tanpa benar-benar memahami alasannya.
Sementara itu, Watson hanya terdiam di tempatnya. Namun dengan keberanian yang terkumpul, ia akhirnya memberanikan diri menghadang langkah Tuan Muda-nya.
"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak bisa pergi ke negara itu sekarang. Tuan dan Nyonya Besar melarangnya! Dan saya… saya tidak bisa menyampaikan pembatalan makan malam itu kepada mereka," jelas Watson, suaranya mengandung tekanan tegas.
Namun, ucapannya justru memicu reaksi tak terduga. Pria itu sontak berbalik, lalu menodongkan senjata api tepat ke wajah Watson.
Klak!
"Berani menghalangiku? Aku pastikan hidupmu tak lebih dari sejengkal setelah peluru ini menembus kepalamu." Nada suaranya terdengar dingin dan acuh, namun mengandung ancaman yang menggigilkan tulang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
jembatan Ancol juga angker sama kayanya
2024-08-29
0
Pena dua jempol
mampir sejenak karena ceritanya seru 👍🏿❤️
2024-06-24
1
R.F
semangat
mampir ya
2024-01-09
1