#foreshadowing
•
Malam semakin larut. suasana terasa mencekam dengan hening yang merebak, kegelapan pun mulai mendominasi seiring dimatikannya beberapa penerangan ditepi jalan raya dekat jembatan.
Sosok wanita muda kini menatap desiran sungai yang mengalir tenang disertai hembusan angin.
Dari atas pagar jembatan tinggi yang sudah reot dan bobrok, gadis itu berdiri menjulang, masih berbalut dress putih dengan rok selutut. Di balik tangannya yang mengepal erat, tergenggam sebuah kertas kecil.
Tes. Tes. Tes.
Bulir air mata jatuh perlahan, membasahi pipi mulusnya. Jembatan yang ia tempati—atau lebih tepatnya incar—adalah Jembatan Golden Gate, jembatan yang sering kali menjadi bahan perbincangan dan desas-desus berbau angker.
...----------------...
Lea terus menatap kosong ke arah aliran sungai di bawah sana. Arus yang semula deras kini perlahan membeku—tenang, sunyi, membentuk permukaan sejernih cermin kematian. Wajahnya pucat pasi, bak mayat yang belum dikuburkan, dengan jejak air mata yang masih membekas seperti luka yang tak sempat mengering.
Krakk!
Ia tak sanggup menahannya lagi. Begitu ingatan itu menyeruak, matanya kembali berair. Lagi—wanita itu menangis, tersedu sejadi-jadinya, lalu berteriak sekeras yang ia bisa. Mungkin, itulah satu-satunya cara untuk meluapkan kekesalan dan penyesalan yang selama ini terkubur dalam diam.
Kakinya tergerak sedikit ke depan.
Desiran sungai yang menghantam bebatuan terdengar bagai sebuah melodi, seolah menggoda dirinya untuk terjun.
•
•
Hatinya memaksa untuk mengakhiri, tapi tubuhnya bergetar tanpa disadari. Kakinya memilih berhenti, sementara tubuhnya menolak mati—padahal wanita itu sudah siap menerima apa pun yang terjadi.
"Anjir ni tubuh," lirih. Kedua tangannya di sisi tubuh meremas bajunya sendiri.
Sejenak ia menghela napas.
"Aku sudah muak." Gumam lirih dengan serak. Tangan kirinya yang sejak tadi meremas kertas itu perlahan melemah. Genggamannya mengendur, dan tanpa ia sadari, kertas itu terlepas, jatuh melayang seakan menyerah pada angin.
Tanpa ragu, wanita itu melompat ke dalam sungai yang tenang.
"Salah paham...? Apa aku sebodoh itu, sampai tak mau mendengarkan penjelasannya? Dan sekarang... semuanya sudah terlambat. Terlalu terlambat. Mustahil bagiku untuk bisa menemuinya lagi," batinnya bergemuruh, dipenuhi penyesalan yang menghantui.
Begitu cepat—refleks matanya terpejam sebelum tubuhnya jatuh. Ia tak bisa berenang. Itulah alasan ia memilih sungai sedalam itu, agar tak ada jalan kembali. Dalam ketiadaan dirinya, ia berharap semua rasa cemas dan bersalah akan lenyap seketika. Bahwa dengan hilangnya ia dari dunia, orang-orang yang membencinya pun akhirnya bisa melupakan bahwa ia pernah ada.
Byur! Splash!
Bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyum terakhir, kala tubuhnya terus terbawa arus. Semakin lama, semakin dalam, hingga gelap mulai menelan cahaya. Penglihatannya di dalam air pun perlahan mengabur—dan di dalam hati, wanita itu terus mengucapkan beberapa kata.
Aku tahu apa yang kulakukan. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu terus menghantui setelah melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat.
Maaf... Semua ini salahku. Aku pantas menerima hukuman yang setimpal atas semuanya.
Cebur!
Setelah hampir kehilangan napas dan raganya, gadis itu terkejut oleh kedatangan seseorang tak diundang—yang rela menceburkan diri demi menyelamatkan seseorang yang begitu berharga baginya.
"Lea!!" jerit batinnya, histeris—wajahnya dipenuhi kepanikan dan ketakutan yang tak dapat disembunyikan.
Adrian...?!
Wanita itu terpaku sesaat—nyawanya sudah di ambang hidup dan mati. Pandangannya mulai buram, tapi ia yakin… sosok itu adalah Adrian. Sahabatnya!
Greppp...!
Dengan genggaman yang semakin kuat, pria itu menarik Lea ke arah pinggiran sungai, berusaha menyelamatkannya dari arus yang menelan.
Lea, bertahanlah. Gue tahu apa yang Lo rasain... Lo pasti kecewa banget. Lo juga pasti ngerasa bersalah banget atas kejadian itu, kan?
Di atas rerumputan basah di bawah jembatan, tubuh wanita itu terbaring lemah. Napasnya nyaris hilang—hingga akhirnya, setelah ciuman penuh kepanikan dari Adrian sebagai napas buatan, kelopak matanya perlahan terbuka. Ia terbangun… di antara hidup dan mati, oleh seseorang yang tak menyerah padanya.
"Kenapa? Kenapa lo masih nyelametin gue? Lo tahu kan... kalau gue itu penjahat?!" cecar Lea sambil terus menangis tersedu-sedu.
Di saat yang bersamaan, pria itu hanya menatapnya tanpa bergeming, lalu menghela napas panjang.
"Gue udah tahu semuanya, Le. Gue tahu… tapi gue gak mau lo terus nyalahin diri lo sendiri sampai kayak gini! Gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue!" teriaknya di depan wajah Lea, penuh emosi.
Perasaan khawatir terus berkecamuk dalam benak, Adrian masih menatap lurus ke arahnya.
"Intinya, lo gak sepenuhnya salah, Le!" Kalimat itu meluncur dari mulut sahabatnya, menggantung di udara—dan seketika, suasana pun menjadi hening.
Wanita itu hanya diam dan duduk memeluk lutut. "Tapi ... Bagaimana dengan dia? Apa dia masih bisa terus bersama gue?"
"Jawab gue, Adrian─"
Ucapan Lea terpotong oleh suara Adrian yang terdengar berat.
"Apa lo masih mencintainya? Lo memang nggak bersalah… tapi apa lo masih mau bersamanya setelah dia mencampakkan lo? Sadarlah, Le. Dia yang nyakitin lo—kenapa lo yang harus merasa bersalah?!"
Wanita itu masih terpaku, kepala tertunduk, tak sanggup menatap apa pun di depannya.
"Lo nggak bersalah, Le..." suara Adrian bergetar, menahan emosi.
"Lo cuma terlalu baik… terlalu bodoh sampai rela nanggung semua dosa yang bahkan bukan milik lo!" lanjutnya, seraya mengguncang kedua pundak Lea, seolah ingin menyadarkannya dari halusinasi.
Lea masih kehilangan kata-kata akibat rentetan pernyataan itu. Bibirnya terkatup rapat, tak sanggup membalas. Namun dalam hati, ia tahu… setiap kata yang dilontarkan sahabatnya adalah kenyataan. Ia memang terlalu naif.
"Jangan salah paham… Gue nggak pernah berniat nyakitin lo. Gue cuma pengen lo jauhin dia, supaya dia nggak terus-terusan nyakitin lo," ucap Adrian, suaranya mulai melemah—nyaris seperti bisikan yang dipenuhi kekhawatiran.
"Gue tau." Lirih dengan singkat.
Adrian menatapnya dengan sorot sendu.
"Lantas… kenapa lo masih cinta, kalau lo sendiri udah tahu semuanya?"
Wanita yang sudah basah kuyup di depannya masih menundukkan kepala, wajahnya tersembunyi di balik poni yang basah.
"Gue tahu… tapi hati gue nggak bisa nerima kalau harus kehilangan dia, Ad. Gue harus gimana?" isak Lea, bulir air mata kembali jatuh ketika ia menatap lekat pria di hadapannya.
Alisnya saling bertaut saat Adrian menatap wajah Lea yang sembab. Perlahan, ia mengusap wajah ayu itu dengan jemarinya—seolah ingin menghapus luka yang tak terlihat. Tanpa kata, ia tiba-tiba menarik Lea ke dalam pelukannya, mendekap erat seolah takut kehilangan. Lalu, dengan suara lirih bagai penenang, ia berbisik di telinga sahabatnya.
"Lea, maaf... kalau gue nggak bisa bantu lo sepenuhnya. Tapi lo boleh nangis, kok. Nangis aja… gue nggak akan pernah ngejek lo," ucap Adrian lembut, dan seketika… tangis Lea pun pecah tak terbendung.
•
Waktu terus berlalu, namun gadis itu tak kunjung berhenti menangis. Ia tak tahu harus berkata apa lagi—semuanya sudah terlalu jelas, bukan?
Sementara itu, Adrian hanya bisa menemaninya dalam diam, menepuk pelan bahu Lea, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri ikut terluka.
Setitik kenangan itu terus membekas, meski telah menjadi abu. Ia masih menginginkan kehadiran pria itu—seseorang yang sempat berhasil membuatnya jatuh cinta, namun juga tanpa disadari telah menjatuhkannya ke dalam jurang yang dalam.
"Ad... Menurut lo gimana? Apa gue terlalu berharap sama orang itu?" ucap wanita itu dengan suara serak, kosong.
"Gue lihat di berita... dia akan menikah lagi besok, sama Vera. Padahal, pernikahan gue dengannya dulu kayak perjanjian di atas kertas. Tapi kenapa... kenapa perasaan gue masih nggak bisa nerima setelah kami cerai?"
Harapan yang ia genggam kini telah kandas, berganti menjadi putus asa. Untuk saat ini, ia benar-benar tenggelam dalam jurang… namun anehnya, masih saja mengharapkan sesuatu yang mustahil.
"Tenanglah dulu... Gue tahu apa yang Lo rasakan. Tapi, gue harap Lo nggak akan pernah melakukan hal itu lagi."
"You can do it, right?"
Lea masih terdiam, lalu perlahan menatap Adrian. Ia mengangguk lemah, dan senyum teduh pun mengembang di wajah Adrian.
Alih-alih, suasana berubah dalam sekejap. Adrian kembali mengusap air mata di wajah Lea, lalu perlahan membantunya berdiri.
"Ok, let's go home! Lo nggak kedinginan, Le?" tanyanya sambil menggenggam tangan Lea, bersiap untuk pergi.
Namun wanita itu tetap diam di tempat, seolah masih ingin berlama-lama di sana—di tempat yang menyimpan luka, tapi juga kelegaan.
"Kenapa lo diam? Ayo kita pulang, bokap nyokap lo udah khawatir sama lo," ucap Adrian, kembali menarik tangan Lea.
Gadis itu masih di tempatnya, tak bergeming—seperti patung yang kokoh membatu.
Perlahan, ia menyeringai, tatapannya tajam seperti sebilah pedang.
"Ayah? Ibu? Mereka mengkhawatirkan gue?"
Nada suaranya sinis, dan kalimat itu seolah menjadi lelucon pahit yang membuatnya tertawa sendiri—tawa yang lebih mirip tangisan yang tertahan terlalu lama.
"Lo lupa, ya, sama semua perbuatan keji mereka ke gue? Hah… kayaknya lo nggak akan paham."
"Udahlah, anterin gue ke apartemen aja."
Adrian hanya terdiam, pasrah, lalu melangkah mengikuti Lea dari belakang—tanpa kata.
"Hah... baiklah, gue tahu. Gue akan antar Lo ke apartemen," ujar Adrian pelan. "Tapi... apa Lo nggak lapar?" tanyanya sekali lagi, mencoba tetap peduli di tengah dinginnya suasana.
"Tida—"
KRUUUK... KRUUUK...
Tepat sekali. Adrian sudah menduganya. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja menangis sejadi-jadinya bisa benar-benar tidak lapar?
"Pfftth--" Adrian terkekeh pelan.
"Baiklah... tapi harus nasi goreng! Nggak boleh yang lain!" ujar Lea, masih dengan sikap acuh di hadapan sahabatnya.
"Siap, dimengerti. Ini baru Lea yang gue kenal—bukan cengeng, tapi keras kepala!" kelakar Adrian sambil tersenyum.
"Apa?!" sahut Lea, spontan, menatapnya tajam meski ada kilatan geli di matanya.
"Cengeng? Keras kepala? Jadi lo ngejek gue sekarang?" tukasnya sambil menyipitkan mata tajam ke arah Adrian, seolah tak terima—meski nada suaranya mengandung sedikit geli yang sulit disembunyikan.
"Hahaha! Sorry, sorry... ehm." Adrian meredakan tawanya, lalu menatap Lea dengan serius.
"Tapi beneran, kalau ada masalah, jangan kayak tadi lagi, ya. Please, janji? Kita sahabat. Dan sebagai sahabat, Gue bakal selalu ada buat Lo—entah di saat suka ataupun duka. Kita akan selalu bareng… selamanya. Bukankah itu tugas sahabat?"
Perlahan, pelupuk mata Lea kembali basah. Air mata itu mulai merembas diam-diam, membuat Adrian semakin cemas.
"Hei, lo nggak apa-apa?" tanyanya lembut, menatap wajah sahabatnya dengan khawatir.
Lea menggeleng pelan, lalu tersenyum cerah—seperti pelangi yang jarang muncul, namun akhirnya kembali bersinar setelah badai mereda.
"Ya, gue baik-baik aja!" ucap Lea sambil tersenyum.
"Tapi tolong, jangan dipikirin terus. Sekarang gue laper, dan kedinginan. Ayo pulang, biar lo bisa masak nasi goreng favorit gue!"
Tanpa menunggu jawaban, Lea langsung melangkah lebih dulu, mendahului Adrian dengan semangat yang mulai kembali menyala.
Adrian yang melihatnya merasa lega.
"Gue akan selalu ada buat lo... Tolong kasih gue satu kesempatan lagi buat ngejaga lo, Le," gumamnya dengan senyum tipis, menatap punggung seseorang yang mulai menjauh. Sebuah rasa asing menggelitik hatinya—hangat, tapi juga menggetarkan.
Lea menoleh ke belakang dan berteriak lantang, "Woi, cepetan! Gue udah kedinginan nih!" Tubuhnya tampak gemetar, bajunya masih basah kuyup, membuatnya menggigil sambil menahan senyum kesal.
Adrian membalas dengan lambaian tangan, lalu segera menyusul.
"Gue nggak tahu pasti tentang perasaan ini… tapi yang jelas, gue cinta sama lo, Lea," batinnya berbisik pelan.
Sebuah perasaan asing mulai tumbuh dalam dirinya—hangat namun membingungkan. Dan disaat itu juga, Adrian menyadari… mungkin benar adanya, bahwa persahabatan antara lawan jenis jarang berakhir hanya sebagai teman. Karena perasaan, pada akhirnya, tak bisa dibatasi oleh label apa pun.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di tempat lain—tepatnya di dalam sebuah mansion mewah yang megah—seorang pria berdiri terpaku di lorong koridor dekat perapian. Langkahnya terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi, seperti kehilangan arah.
Ia tahu sesuatu, tapi memilih bungkam. Bukan karena tak bisa bicara, melainkan karena semenjak kebenaran itu terungkap… mulutnya seakan terkunci.
Semua yang didengarnya kini hanya terdengar seperti omong kosong—kosong, tak berarti, dan menghancurkan dari dalam.
Brakk!
Ditinju tembok itu hingga tangannya mengeluarkan darah segar yang merembas ke sela-sela jari.
Tak bisa ia menerima suatu kenyataan pahit yang memilukan. Semua kertas-kertas itu ia hempaskan kedalam perapian, lalu membiarkannya hangus terbakar sampai tak tersisa kecuali kenyataan itu yang sudah diketahui oleh semua orang yang terlibat. Alih-alih frustasi, dirinya masih mencintai seseorang tapi cintanya masih melekat seperti lem.
"Sial! Bangs*t! Kalau saja semua itu tidak pernah terjadi mungkin kesialan tidak pernah ada…!" Suara pekikannya menggema di ruangan gelap yang hanya diterangi nyala api dari perapian.
"Aku yakin semua itu cuma kebohongan—kebohongan busuk!" lanjutnya, amarah membuncah tak terbendung.
Dengan kasar, ia menjatuhkan dirinya ke sofa, tubuhnya terguncang oleh gejolak emosi yang tak sanggup ia redam.
Mengingat kembali semua kenangan yang pernah ia lalui bersama seseorang yang dicintainya, membuat dadanya seakan dihujam tombak besar—berulang kali, tanpa ampun.
Amarah dan luka yang membusuk di dalamnya akhirnya meledak.
Dengan sengaja, ia melemparkan satu botol alkohol besar yang masih tersegel ke lantai. Suaranya pecah menggema, sekeras hatinya yang retak tak bisa lagi ditambal.
"Aku tidak akan terima dengan kenyataan!! Takdir itu cuma omong kosong—dan aku tidak percaya pada takdir!" teriaknya lantang, suaranya menggema di ruangan sunyi yang luas.
Di tengah kesunyian itu, hanya ada satu orang yang menyaksikan ledakan emosi itu—pelayan pribadinya, Kyle Watson.
Namun pria paruh baya itu lebih dikenal hanya sebagai Watson, seiring usianya yang telah melewati setengah abad. Rambutnya kini nyaris sepenuhnya beruban, tapi sorot matanya tetap tajam, penuh pemahaman.
Pria itu masih menunduk dengan tangan mengepal penuh darah diatas pinggiran sofa, menatap ke suatu tempat dengan tajam.
Ia akan segera menikah lagi dengan wanita pilihan, meskipun pernikahan pertamanya hanyalah sebuah perjanjian tertulis— namun sebuah perpisahan tetap akan terjadi.
"Perceraian? Aku tidak akan menerima omong kosong itu...!" Napasnya masih memburu, berat dan tersengal, ada sedikit obsesi dan rasa tak rela perlahan mengambil alih dirinya.
•
"Tuan Muda Raymond, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Tuan dan Nyonya Besar meminta Anda untuk menghadiri makan malam pertunangan dengan Nona Lancaster," ujar Watson sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya.
Pria itu hanya mendelik dingin, kemudian segera bergegas keluar dari mansion menuju bandara. Ia tak peduli apa yang akan terjadi jika dirinya dan wanita itu tak bisa bersama pada akhirnya—karena ia sudah memaksakan jalan yang berbeda.
"Watson, batalkan makan malam pertunanganku. Aku tidak akan mengikuti perjodohan itu," ujarnya tegas sambil mengenakan jas. "Aku akan kembali ke Negara X untuk menemui wanita itu. Dia milikku! Aku tidak akan tinggal diam—aku akan mengubah segalanya!"
Ia lalu menarik benda pipih dari saku celananya dan segera menghubungi asistennya.
"Will, daftarkan aku di penerbangan darurat secepatnya! Aku tidak punya banyak waktu!" katanya dengan nada mendesak.
"E-eh... ba-baik, Tuan!" sahut Will tergagap, mengangguk cepat tanpa benar-benar memahami alasannya.
Sementara itu, Watson hanya terdiam di tempatnya. Namun dengan keberanian yang terkumpul, ia akhirnya memberanikan diri menghadang langkah Tuan Muda-nya.
"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak bisa pergi ke negara itu sekarang. Tuan dan Nyonya Besar melarangnya! Dan saya… saya tidak bisa menyampaikan pembatalan makan malam itu kepada mereka," jelas Watson, suaranya mengandung tekanan tegas.
Namun, ucapannya justru memicu reaksi tak terduga. Pria itu sontak berbalik, lalu menodongkan senjata api tepat ke wajah Watson.
Klak!
"Berani menghalangiku? Aku pastikan hidupmu tak lebih dari sejengkal setelah peluru ini menembus kepalamu." Nada suaranya terdengar dingin dan acuh, namun mengandung ancaman yang menggigilkan tulang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana pagi masih menyelimuti kantor kala itu, namun aktivitas sudah mulai menggeliat.
Beberapa karyawan tampak menyesap kopi hangat sambil menelusuri tumpukan email di layar mereka, sementara yang lain begitu asyik berbincang-bincang hangat.
•
Ting!
Bunyi khas lift yang menandakan berhenti di lantai tiga terdengar jelas, disusul dengan terbukanya pintu. Seorang wanita muda melangkah keluar, mengenakan dress blazer formal berwarna vintage yang elegan.
Saat tiba di depan ruangan, ia mendadak terkejut oleh kehadiran seseorang—rekan kerja sekaligus teman seangkatannya.
"Dorr!"
"Ehh... Ayam ayam makan kebo!" serunya refleks, latah tanpa pikir panjang.
Zana yang melihat reaksi itu langsung terpingkal.
"Hahahaha! Lea, ini nih alasan kenapa gue suka banget ngagetin lo. Latah lo kocak banget, sumpah! Aduh perut gue sakit—ngakak parah!"
"Puas, lo?" ucap Lea dengan wajah datar. Ia sudah terlalu sering mendengar candaan khas Zana, meski tak jarang juga ikut tertawa jika temannya itu berhasil melontarkan lelucon baru yang segar.
"Udah ah, gue duluan ya, Zan. Banyak kerjaan hari ini," katanya sambil mengangkat setumpuk berkas dan dokumen, lalu melangkah mendahului Zana.
"Eh, Lea! Lo nggak jadi ketemuan sama Adrian? Katanya lo mau ngungkapin perasaan lo ke dia," tanya Zana, alisnya berkerut saat tiba-tiba ketika kembali ke topik utama.
Mendengar ucapan itu, langkah Lea langsung melambat sejenak, seolah pikirannya tertahan oleh sesuatu.
Lea kembali melangkah, kali ini dengan sikap acuh. "Gak usah, Zan. Dia mungkin sekarang lagi sama pacarnya yang lain," ucapnya pelan, dengan tatapan sendu yang menerawang jauh ke depan.
Tatapan itu tak luput dari perhatian Zana, yang sejak tadi diam-diam memperhatikan perubahan raut wajah sahabatnya─ Ia melangkah mendekat lalu merangkul pundak Lea dengan lembut.
"Ada apa sih sama sahabat gue? Tumben banget, hari ini lo beda. Biasanya nggak kayak gini."
"Nggak ada kok. Tapi semoga aja dia cepet sadar. Gue capek, Zan. Gak mau terus-terusan nungguin dia," keluh Lea pelan.
Zana memiringkan kepalanya sesaat, berpikir. "Hmm, kan itu takdir Tuhan. Kalau emang udah diizinkan buat bersatu, pasti bakal ada jalannya. Intinya, bakal ada penyesalan kalau lo terus genggam tapi malah nambah luka."
Lea mengangguk setuju, lalu tersenyum tipis mendengarnya. Dalam pandangan Lea, Zana memang anak yang sulit ditebak kepribadiannya—kadang jail, kadang bodoh, tapi juga bisa bijak. Apalagi, Zana juga sering minta saran padanya, baik soal urusan formal maupun informal.
•
•
•
Saat mereka sibuk di ruangan kerja masing-masing, Lea menyempatkan diri membuat secangkir teh untuk dirinya. Ia melirik Zana yang tampak sibuk dengan ponselnya, lalu bertanya, "Zan, mau teh juga nggak?"
"Tapi gue cuma nawarin doang ya, bukan berarti niat bikinin," lanjutnya dengan cepat sambil nahan tawa.
"Yee, jahat banget. Minimal bikinin lah," gerutu Zana sambil manyun, matanya masih terpaku pada layar ponsel.
Lea hanya membalas dengan senyum mengejek. "Nggak mau, wlee~ Lo punya kaki sendiri kan? Ya udah, bikin sendiri," katanya sambil duduk santai di kursi kerjanya.
Zana hanya memutar mata dengan malas. "Kebiasaan nih, ama besti sendiri, pelit."
"Bodo amat," sahut Lea cepat, masih sambil tertawa renyah.
Saat hendak membuka laptop, pandangan Lea jatuh pada beberapa lembar dokumen yang tertata di atas mejanya. Ia mengernyit, bingung, lalu melirik ke arah Zana.
“Eh, ini dokumen apaan ya? Kamu yang naro, Zan?”
“Oh, itu berkas lamaran dari beberapa calon karyawan IT baru di perusahaan ini,” jelas Zana sambil menghela napas. “Udah lama banget kita nyari, akhirnya nemu juga… tapi ya gitu, cuma beberapa doang yang bener-bener punya kemampuan.”
"Lah, terus kenapa ditaro di meja gue?" dengus Lea sambil mulai membolak-balik lembaran dokumen itu.
"Hehehe… meja gue juga udah penuh soalnya," jawab Zana cepat, sambil menunjuk ke arah mejanya yang tak kalah berantakan.
Saat Lea tengah menelusuri tumpukan dokumen di atas mejanya, salah satu lembaran tanpa sengaja tergelincir dan jatuh ke lantai. Ia merunduk, mengambilnya, lalu matanya tertumbuk pada nama yang tertera di pojok atas halaman CV.
Kaito Mizuno.
Alisnya terangkat pelan. "Orang Jepang?" batinnya bertanya-tanya, sambil masih menatap lembar itu.
"Gila, Zan, pemilik CV ini muda banget. Umurnya baru 17!" seru Lea sambil mendekati meja Zana dan menunjuk lembaran itu. "Gue umur segitu masih sibuknya masa-masa SMA."
Zana melotot. "Buset, 17 tahun?! Dari mana tuh anak?"
Lea kembali melirik CV-nya, matanya masih terpaku pada baris data diri. "Dari Jepang, katanya. Tapi skill IT-nya gila sih, prestasinya banyak banget. Kalo berkasnya gue kasih ke Kak Ina, bisa langsung diterima tuh. Soalnya Kak Ina kan perfeksionis, pasti suka sama yang begini." Lea terkekeh kecil.
"Owalah, Jepang toh... Pantesan," sahut Zana, mengangguk-angguk sok paham. "Anak Jepang mah biasanya kalo pinter tuh… pinter banget."
"Bener, tuh."
"Eh, ini kalian ngapain sih? Pagi-pagi gini udah ngobrol aja. Kerja! Jangan ngobrol mulu!" suara lantang Yuna tiba-tiba terdengar, memotong percakapan mereka.
Lea dan Zana langsung tersentak, hampir menjatuhkan berkas yang tadi dipegang.
Yuna berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tajam khas atasan yang sedang memantau. Tak salah lagi—ia adalah pemimpin Divisi Operasional yang dikenal tegas dan gak kenal kompromi soal disiplin.
"Eh, Kak Yuna! Maaf, maaf. Masih pagi gini, Kakak udah galak aja. Udah sarapan belum?" ucap Lea basa-basi.
"Iya, Kak. Sarapan tuh penting lho, apalagi buat budak korporat kayak kita-kita ini," timpal Zana sambil mengangguk-angguk sok serius.
Tapi Yuna hanya mendengus, ekspresinya tetap datar. "Sarapan bisa di rumah. Sekali lagi saya lihat kalian main-main kayak gini, saya adukan ke HRD," ucapnya dingin sebelum membalikkan badan dan pergi dengan langkah tegas.
Lea dan Zana hanya bisa saling menatap dan tersenyum kecut setelah kehadiran Yuna benar-benar hilang dari pandangan.
"Galak banget Kak Yuna hari ini. Kayaknya habis berantem lagi sama suaminya," bisik Lea pelan.
"Iya tuh, bisa jadi," balas Zana, masih melirik ke arah pintu, lalu menambahkan pelan, "Atau mungkin... belum ngopi."
...----------------...
Saat duduk di depan komputer, Lea tiba-tiba membuka tas mininya dan mulai mengoprek isinya. Keningnya berkerut. Sepertinya ada beberapa barang penting yang tertinggal di mobil.
"Zan, gue ke bawah bentar ya? Kayaknya ada yang ketinggalan di mobil," ucap Lea sambil bangkit berdiri.
Zana yang duduk di sebelahnya hanya melirik sekilas sambil masih fokus pada layarnya. "Yoi, santai aja."
Tanpa pikir panjang, Lea pun melangkah cepat keluar ruangan, menuju basement parkiran.
•
•
Namun ketika Lea hendak berlari kecil kembali ke lantai atas, langkahnya terhenti mendadak.
Bruk!
Ia tak sengaja menabrak seseorang—seorang pria jangkung dengan tubuh atletis, mengenakan kemeja biru dongker yang lengannya dilipat rapi hingga siku. Tubuhnya terasa kokoh saat Lea menabraknya, membuatnya sedikit terpental mundur.
“Astaga! Maaf, saya nggak liat jalan—” Lea buru-buru menunduk, mendongak... dan membeku.
"No worries," ucap pria itu, logat Inggrisnya kental namun lembut. "Are you okay?"
Lea mengangguk cepat, "Y-Yeah… I’m okay. Sorry, I was in a hurry." Ucapnya singkat langsung pergi begitu saja, meninggalkan pria yang masih diam di tempat.
Pria itu masih tertegun, menatap arah wanita itu yang kini menghilang perlahan dari pandangannya, langkahnya terburu-buru.
Sebelum akhirnya mencoba mengabaikannya.
Namun saat hendak melangkah pergi, matanya menangkap sesuatu yang terjatuh di lantai—sebuah benda kecil, nyaris tak terlihat. Ia menunduk, lalu mengambilnya.
Sebuah kartu nama.
Nama wanita itu tercetak jelas di sana. Ia menatapnya sekilas, alisnya terangkat pelan. Sedikit perasaan familiar membuatnya janggal.
"Lea?" batinnya berkerut. "Apa itu namanya? Kenapa nama itu terasa begitu familiar?"
Entah mengapa, ada sesuatu dalam nama itu—dan sosok wanita tadi—yang mengusik pikirannya. Rentetan pertanyaan pun mulai berkelana, berdesakan dalam benaknya, tanpa jawaban yang jelas.
Tanpa pikir panjang, pria bule itu menyelipkan kartu nama tersebut ke dalam saku jasnya. Langkahnya kembali mantap saat ia melanjutkan perjalanan, sembari menyambungkan kembali panggilan telepon yang sempat terputus.
“Will, Kau bisa mendengar ku sekarang?” ucapnya datar, suaranya kembali tenang—seolah tak terjadi apa pun barusan.
Setibanya di ruang kerjanya, Lea mendesah pelan sambil melirik ke arah jam tangan di pergelangan. Jarumnya sudah menunjuk pukul tujuh lewat lima belas menit—artinya, ia terlambat sepuluh menit dari janji ‘lima menit’ yang ia bilang tadi saat pamit ke basement.
Ia sempat menghela napas lega dan bergumam, "Fyuh... untung tadi nggak sempat ketemu Kak Yuna."
Baru saja ia duduk, suara Zana langsung menyambut dengan nada menggoda.
"Sepuluh menit ya, bukan lima. Waktu lo kayaknya pake zona waktu Tokyo deh."
Lea melirik sinis tapi tak bisa menahan tawa kecil. "Maaf Bu Timer, tadi ada insiden kecil."
Zana menaikkan alis. "Insiden? Jangan bilang ban mobil bocor... atau Lo kejebak lift lagi?"
Lea menggeleng cepat, lalu mendekat sedikit sambil berbisik, "Enggak. Tapi... tadi gue nabrak orang."
Zana membulatkan mata. "Nabrak?! Serius? Siapa? Satpam? OB?"
Lea menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu berkata pelan, "Kayak bule tapi rambutnya item, cuma matanya aja yang biru lautnya mencolok kayak bukan dari softlens."
Zana langsung duduk tegak. "BULE?! Tunggu. Maksud lo, kayak... bule asli? Tinggi, ganteng, beraroma cappuccino mahal?"
Lea terkekeh. "Kurang lebih. Dia pakai kemeja biru dongker, lengan digulung, dan... yeah, literally smells expensive gitu."
Zana berbisik penuh antusias, "Lo ambil nomor kontaknya gak?!"
Seketika Lea menjitak kepala Zana. "Mimpi apa sih Lo? Ya, enggak dong! Gue kan tadi terburu-buru,” ucap Lea datar.
Zana menatapnya dramatis sambil mengusap kepala. "Lea sayang... itu bukan insiden. Itu takdir!"
Lea menambahi dengan tawa renyah, "Takdir? Udah ngopi belum? Mana takdir begituan, konyol banget hahahaha!"
"Ish, Lo nggak tau cerita WP, Drakor, Dracin, Anime?"
"Kagak."
"Dih. Dasar kudet!"
"Bodo amat."
•
•
•
Beberapa saat kemudian, Lea masih sibuk menatap layar ponselnya. Sesekali senyumnya merekah ketika membaca sebuah pesan masuk—dari Adrian.
Ting!
"Gue bakal balik ke Indonesia minggu depan. Kenapa?"
Mata Lea langsung berbinar, dan tanpa sadar bibirnya membentuk senyum semringah. Dengan semangat, ia segera membalas pesan itu, jemarinya bergerak cepat di atas layar.
“Serius? Lo punya waktu hari ini nggak? Gue pengen banget ketemu. Udah lama banget, lho, kita nggak ngobrol langsung.”
Pesan itu terkirim. Detik berikutnya, centang dua langsung berubah biru—terbaca. Wajah Lea memanas disaat yang bersamaan.
Pesan masuk: "Tentu saja! Gue akan pulang besok pagi. Tunggu gue di bandara, ya. Kita akan rayakan pertemuan ini di villa. Hari ini, perusahaan gue sedang merayakan Anniversary yang ke-100."
Deg. Deg. Deg.
Jantung Lea berdegup tak karuan. Perasaan yang selama ini ia simpan diam-diam untuk Adrian kembali muncul ke permukaan. Ia memang belum siap untuk mengungkapkan semuanya… belum saatnya.
"Oke, gue akan nunggu. Lo harus janji ya?" tulisnya, lalu menekan tombol kirim.
Tak butuh waktu lama, balasan cepat masuk:"Iya, gue janji."
Lea mematikan ponsel perlahan, lalu bersandar sambil menutup wajah dengan satu tangan—pipinya sudah memerah.
Ada secercah harapan yang menyelinap ke dalam hatinya… tapi juga keraguan yang samar. "Apa lo bener-bener bakal nepatin janji kali ini, Adrian?" batinnya lirih.
...----------------...
Setelah sibuk mengetik tanpa henti, jemarinya menari lincah di atas keyboard, beberapa menit kemudian Zana muncul di depan meja kerjanya.
"Lea, buruan. Meeting-nya mulai sebentar lagi."
Lea langsung sigap. Ia sudah menyiapkan semuanya dari tadi—laptop, catatan, bahkan slide presentasi. Tapi ada satu hal yang tak ia sadari... Kartu nama miliknya telah hilang.
"Adrian… tunggu aku di bandara. Jangan kecewakan aku lagi untuk janji yang kali ini," batin Lea, matanya masih terpaku pada layar ponselnya yang kini sudah gelap. Pikirannya melayang, tenggelam dalam harapan yang pelan-pelan tumbuh.
Namun dari jarak dekat, Zana memperhatikannya dengan dahi berkerut. Tatapan Lea yang tiba-tiba sendu namun berbinar itu membuat Zana penasaran.
"Lea, lo kenapa? Senyum-senyum sendiri dari tadi. Jangan bilang… lo lagi jatuh cinta?" godanya, separuh serius.
"Eh, enggak lah!" sela Lea cepat, sedikit gugup.
"Udah, yuk. Nanti rapatnya keburu mulai," tambahnya buru-buru, langsung melangkah mendahului Zana.
Zana yang berjalan di belakangnya sempat memperhatikan pipi Lea yang merona halus. Senyum menggoda pun muncul di wajahnya.
"Oooh... jangan bilang itu dari Adrian, ya?" godanya sambil tertawa pelan. "Lo tuh gampang banget ditebak, sumpah!"
"Ih, apaan sih! Nggak lah!" sanggah Lea cepat, berusaha tetap tenang.
"Tuh kan, buktinya wajah lo memerah," cibir Zana sambil menunjuk pipi Lea dengan telunjuknya.
Lea langsung menepis tangan sahabatnya itu sambil memalingkan wajah. "Udah ah, diam!"
Zana hanya tertawa puas, merasa menang. "Hmm… Lea lagi berbunga-bunga, nih~"
"Zana!!"
"Iya, iya, gue diam. Gue cuman bercanda kok..." ujar Zana dengan santainya.
•
•
Saat Lea dan Zana tiba di depan pintu ruang meeting, langkah Lea sempat melambat. Ada rasa gugup yang perlahan menyelinap ke dadanya.
Ini adalah kali pertama baginya mengikuti rapat bersama jajaran penting—orang-orang berpengaruh yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam dunia teknologi. Dan yang membuatnya semakin tegang, salah satunya berasal dari perusahaan ternama yang reputasinya mendunia, N.E International Corp.
Lea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Gue bisa. Santai. Profesional. batinnya menyemangati diri sendiri
Sebelum Lea sempat membuka pintu ruang meeting, Zana tiba-tiba mendekat dan berbisik pelan di samping telinganya.
"Napak tilas terakhir sebelum masuk dunia korporat elite, siap nggak lo?"
Lea melirik sekilas, berusaha menahan tawa gugup. "Napas gue aja nyangkut, tapi ya... gas."
Zana tersenyum, menepuk pelan punggung sahabatnya. "Tenang, kalau lo jatuh, gue yang ketawain pertama."
Mereka pun saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya Lea membuka pintu perlahan. Sinar putih dari dalam ruangan langsung menyambut wajah-wajah serius yang sudah menunggu.
Dari sekian banyak orang penting yang hadir dalam ruang meeting itu, pandangan Lea akhirnya berhenti pada satu sosok—seorang pria berkemeja biru dongker yang duduk di bangku tengah. Wajahnya tampan, berkarisma, dan tampak begitu tenang meski dikelilingi aura serius.
Saat insiden di basement tadi, Lea hanya sempat melihat kemejanya sekilas. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat wajah pria itu. Dan tanpa sadar, langkahnya sempat terhenti.
Ia sedikit tertegun, begitu pula pria itu—yang saat itu tengah memeriksa lembaran map di tangannya. Namun saat menyadari kehadiran Lea, pria tersebut mengangkat wajahnya perlahan, menatap balik dengan tatapan dingin namun diiringi senyum tipis yang sulit diartikan. Senyum yang tidak sepenuhnya ramah… tapi cukup untuk membuat Lea terbujur kaku.
“Hai... kita bertemu lagi, ya?” sapa pria itu dengan senyum tipis, seolah ingin memastikan sesuatu.
Lea mengerutkan kening, sedikit bingung. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa janggal. Wajah pria di depannya itu memang asing... namun entah mengapa, menyisakan rasa yang sulit dijelaskan. Seolah ada bagian dari dirinya yang pernah mengenal pria itu—tanpa ia sadari kapan dan di mana.
"Maaf, Tuan. Sepertinya Anda salah mengenali orang," sahut Lea dengan nada sopan namun tegas. "Perkenalkan, nama saya Lea Aurelia Fujisawa. Saya Account Manager dari Tuan Rangga."
Saat ia memperkenalkan diri, beberapa bisik-bisik kecil terdengar dari sudut ruangan. Beberapa peserta rapat tampak saling berbisik, menyebut namanya disertai pujian lirih—entah karena reputasinya, atau mungkin karena penampilannya yang profesional dan tenang di tengah situasi yang cukup tegang.
"Cantik juga wanita itu... ternyata benar apa yang kau katakan," bisik seorang pria kepada rekannya di sebelah.
"Kan sudah kubilang," sahut pria paruh baya bertubuh tambun yang mengenakan jas hitam mewah. Ia menyunggingkan senyum miring penuh maksud. "Perusahaan ini memang tahu cara memilih. Tak hanya kinerjanya bagus, tapi juga... penampilan yang memikat."
Itu adalah Presiden Direktur Zhou, salah satu perwakilan dari perusahaan teknologi besar asal Tiongkok—dikenal bukan hanya karena kekuatan bisnisnya, tapi juga komentarnya yang kerap menyebalkan.
Mendengar ucapan simpang siur, Lea hanya tersenyum tipis—datar dan tanpa makna. Ia segera mengambil inisiatif untuk kembali ke jalur formal, tak ingin memberi ruang pada komentar bermata keranjang seperti itu.
Ia berdiri di depan meja rapat, suaranya tenang namun penuh wibawa.
"Mohon maaf, jika diperkenankan, apakah rapat kali ini bisa segera dimulai?" ucapnya sambil menatap sekeliling dengan percaya diri.
Ruangan seketika menjadi lebih tenang. Bisik-bisik dan senyum menggoda yang sempat beredar di sudut meja pun langsung sirna, tergantikan oleh tatapan serius para peserta rapat.
Beberapa peserta langsung membetulkan posisi duduk. Sementara itu, pria bule berkemeja dongker tadi—yang duduk di sisi tengah ruangan—masih menatap Lea dengan pandangan yang sulit ditebak. Kali ini tak ada senyum tipis, hanya sorot mata yang tajam… seolah sedang mengamati sesuatu yang lebih dalam dari sekadar presentasi rapat.
Presdir Zhou hanya berdeham kecil, lalu menunduk ke dokumen di depannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Lea mengangguk singkat, lalu mulai membuka slide presentasi di layar utama.
"Baik, terima kasih atas waktunya. Hari ini kita akan membahas rancangan proyek kolaborasi digital lintas regional antara perusahaan kita dan N.E International, termasuk strategi integrasi sistem terbaru yang akan digunakan," ucapnya dengan nada mantap.
Zana yang duduk di sisi lain ruangan mencuri pandang ke arah Lea dan tersenyum bangga dalam diam.
Dan di tengah keseriusan rapat yang mulai bergulir, sorot mata pria asing itu… tak berpaling sedikit pun dari sosok wanita yang kini berdiri percaya diri di hadapan mereka semua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!