Suasana pagi masih menyelimuti kantor kala itu, namun aktivitas sudah mulai menggeliat.
Beberapa karyawan tampak menyesap kopi hangat sambil menelusuri tumpukan email di layar mereka, sementara yang lain begitu asyik berbincang-bincang hangat.
•
Ting!
Bunyi khas lift yang menandakan berhenti di lantai tiga terdengar jelas, disusul dengan terbukanya pintu. Seorang wanita muda melangkah keluar, mengenakan dress blazer formal berwarna vintage yang elegan.
Saat tiba di depan ruangan, ia mendadak terkejut oleh kehadiran seseorang—rekan kerja sekaligus teman seangkatannya.
"Dorr!"
"Ehh... Ayam ayam makan kebo!" serunya refleks, latah tanpa pikir panjang.
Zana yang melihat reaksi itu langsung terpingkal.
"Hahahaha! Lea, ini nih alasan kenapa gue suka banget ngagetin lo. Latah lo kocak banget, sumpah! Aduh perut gue sakit—ngakak parah!"
"Puas, lo?" ucap Lea dengan wajah datar. Ia sudah terlalu sering mendengar candaan khas Zana, meski tak jarang juga ikut tertawa jika temannya itu berhasil melontarkan lelucon baru yang segar.
"Udah ah, gue duluan ya, Zan. Banyak kerjaan hari ini," katanya sambil mengangkat setumpuk berkas dan dokumen, lalu melangkah mendahului Zana.
"Eh, Lea! Lo nggak jadi ketemuan sama Adrian? Katanya lo mau ngungkapin perasaan lo ke dia," tanya Zana, alisnya berkerut saat tiba-tiba ketika kembali ke topik utama.
Mendengar ucapan itu, langkah Lea langsung melambat sejenak, seolah pikirannya tertahan oleh sesuatu.
Lea kembali melangkah, kali ini dengan sikap acuh. "Gak usah, Zan. Dia mungkin sekarang lagi sama pacarnya yang lain," ucapnya pelan, dengan tatapan sendu yang menerawang jauh ke depan.
Tatapan itu tak luput dari perhatian Zana, yang sejak tadi diam-diam memperhatikan perubahan raut wajah sahabatnya─ Ia melangkah mendekat lalu merangkul pundak Lea dengan lembut.
"Ada apa sih sama sahabat gue? Tumben banget, hari ini lo beda. Biasanya nggak kayak gini."
"Nggak ada kok. Tapi semoga aja dia cepet sadar. Gue capek, Zan. Gak mau terus-terusan nungguin dia," keluh Lea pelan.
Zana memiringkan kepalanya sesaat, berpikir. "Hmm, kan itu takdir Tuhan. Kalau emang udah diizinkan buat bersatu, pasti bakal ada jalannya. Intinya, bakal ada penyesalan kalau lo terus genggam tapi malah nambah luka."
Lea mengangguk setuju, lalu tersenyum tipis mendengarnya. Dalam pandangan Lea, Zana memang anak yang sulit ditebak kepribadiannya—kadang jail, kadang bodoh, tapi juga bisa bijak. Apalagi, Zana juga sering minta saran padanya, baik soal urusan formal maupun informal.
•
•
•
Saat mereka sibuk di ruangan kerja masing-masing, Lea menyempatkan diri membuat secangkir teh untuk dirinya. Ia melirik Zana yang tampak sibuk dengan ponselnya, lalu bertanya, "Zan, mau teh juga nggak?"
"Tapi gue cuma nawarin doang ya, bukan berarti niat bikinin," lanjutnya dengan cepat sambil nahan tawa.
"Yee, jahat banget. Minimal bikinin lah," gerutu Zana sambil manyun, matanya masih terpaku pada layar ponsel.
Lea hanya membalas dengan senyum mengejek. "Nggak mau, wlee~ Lo punya kaki sendiri kan? Ya udah, bikin sendiri," katanya sambil duduk santai di kursi kerjanya.
Zana hanya memutar mata dengan malas. "Kebiasaan nih, ama besti sendiri, pelit."
"Bodo amat," sahut Lea cepat, masih sambil tertawa renyah.
Saat hendak membuka laptop, pandangan Lea jatuh pada beberapa lembar dokumen yang tertata di atas mejanya. Ia mengernyit, bingung, lalu melirik ke arah Zana.
“Eh, ini dokumen apaan ya? Kamu yang naro, Zan?”
“Oh, itu berkas lamaran dari beberapa calon karyawan IT baru di perusahaan ini,” jelas Zana sambil menghela napas. “Udah lama banget kita nyari, akhirnya nemu juga… tapi ya gitu, cuma beberapa doang yang bener-bener punya kemampuan.”
"Lah, terus kenapa ditaro di meja gue?" dengus Lea sambil mulai membolak-balik lembaran dokumen itu.
"Hehehe… meja gue juga udah penuh soalnya," jawab Zana cepat, sambil menunjuk ke arah mejanya yang tak kalah berantakan.
Saat Lea tengah menelusuri tumpukan dokumen di atas mejanya, salah satu lembaran tanpa sengaja tergelincir dan jatuh ke lantai. Ia merunduk, mengambilnya, lalu matanya tertumbuk pada nama yang tertera di pojok atas halaman CV.
Kaito Mizuno.
Alisnya terangkat pelan. "Orang Jepang?" batinnya bertanya-tanya, sambil masih menatap lembar itu.
"Gila, Zan, pemilik CV ini muda banget. Umurnya baru 17!" seru Lea sambil mendekati meja Zana dan menunjuk lembaran itu. "Gue umur segitu masih sibuknya masa-masa SMA."
Zana melotot. "Buset, 17 tahun?! Dari mana tuh anak?"
Lea kembali melirik CV-nya, matanya masih terpaku pada baris data diri. "Dari Jepang, katanya. Tapi skill IT-nya gila sih, prestasinya banyak banget. Kalo berkasnya gue kasih ke Kak Ina, bisa langsung diterima tuh. Soalnya Kak Ina kan perfeksionis, pasti suka sama yang begini." Lea terkekeh kecil.
"Owalah, Jepang toh... Pantesan," sahut Zana, mengangguk-angguk sok paham. "Anak Jepang mah biasanya kalo pinter tuh… pinter banget."
"Bener, tuh."
"Eh, ini kalian ngapain sih? Pagi-pagi gini udah ngobrol aja. Kerja! Jangan ngobrol mulu!" suara lantang Yuna tiba-tiba terdengar, memotong percakapan mereka.
Lea dan Zana langsung tersentak, hampir menjatuhkan berkas yang tadi dipegang.
Yuna berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada, tatapannya tajam khas atasan yang sedang memantau. Tak salah lagi—ia adalah pemimpin Divisi Operasional yang dikenal tegas dan gak kenal kompromi soal disiplin.
"Eh, Kak Yuna! Maaf, maaf. Masih pagi gini, Kakak udah galak aja. Udah sarapan belum?" ucap Lea basa-basi.
"Iya, Kak. Sarapan tuh penting lho, apalagi buat budak korporat kayak kita-kita ini," timpal Zana sambil mengangguk-angguk sok serius.
Tapi Yuna hanya mendengus, ekspresinya tetap datar. "Sarapan bisa di rumah. Sekali lagi saya lihat kalian main-main kayak gini, saya adukan ke HRD," ucapnya dingin sebelum membalikkan badan dan pergi dengan langkah tegas.
Lea dan Zana hanya bisa saling menatap dan tersenyum kecut setelah kehadiran Yuna benar-benar hilang dari pandangan.
"Galak banget Kak Yuna hari ini. Kayaknya habis berantem lagi sama suaminya," bisik Lea pelan.
"Iya tuh, bisa jadi," balas Zana, masih melirik ke arah pintu, lalu menambahkan pelan, "Atau mungkin... belum ngopi."
...----------------...
Saat duduk di depan komputer, Lea tiba-tiba membuka tas mininya dan mulai mengoprek isinya. Keningnya berkerut. Sepertinya ada beberapa barang penting yang tertinggal di mobil.
"Zan, gue ke bawah bentar ya? Kayaknya ada yang ketinggalan di mobil," ucap Lea sambil bangkit berdiri.
Zana yang duduk di sebelahnya hanya melirik sekilas sambil masih fokus pada layarnya. "Yoi, santai aja."
Tanpa pikir panjang, Lea pun melangkah cepat keluar ruangan, menuju basement parkiran.
•
•
Namun ketika Lea hendak berlari kecil kembali ke lantai atas, langkahnya terhenti mendadak.
Bruk!
Ia tak sengaja menabrak seseorang—seorang pria jangkung dengan tubuh atletis, mengenakan kemeja biru dongker yang lengannya dilipat rapi hingga siku. Tubuhnya terasa kokoh saat Lea menabraknya, membuatnya sedikit terpental mundur.
“Astaga! Maaf, saya nggak liat jalan—” Lea buru-buru menunduk, mendongak... dan membeku.
"No worries," ucap pria itu, logat Inggrisnya kental namun lembut. "Are you okay?"
Lea mengangguk cepat, "Y-Yeah… I’m okay. Sorry, I was in a hurry." Ucapnya singkat langsung pergi begitu saja, meninggalkan pria yang masih diam di tempat.
Pria itu masih tertegun, menatap arah wanita itu yang kini menghilang perlahan dari pandangannya, langkahnya terburu-buru.
Sebelum akhirnya mencoba mengabaikannya.
Namun saat hendak melangkah pergi, matanya menangkap sesuatu yang terjatuh di lantai—sebuah benda kecil, nyaris tak terlihat. Ia menunduk, lalu mengambilnya.
Sebuah kartu nama.
Nama wanita itu tercetak jelas di sana. Ia menatapnya sekilas, alisnya terangkat pelan. Sedikit perasaan familiar membuatnya janggal.
"Lea?" batinnya berkerut. "Apa itu namanya? Kenapa nama itu terasa begitu familiar?"
Entah mengapa, ada sesuatu dalam nama itu—dan sosok wanita tadi—yang mengusik pikirannya. Rentetan pertanyaan pun mulai berkelana, berdesakan dalam benaknya, tanpa jawaban yang jelas.
Tanpa pikir panjang, pria bule itu menyelipkan kartu nama tersebut ke dalam saku jasnya. Langkahnya kembali mantap saat ia melanjutkan perjalanan, sembari menyambungkan kembali panggilan telepon yang sempat terputus.
“Will, Kau bisa mendengar ku sekarang?” ucapnya datar, suaranya kembali tenang—seolah tak terjadi apa pun barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
vall
mampir kak
2023-08-20
1
Ayano
Nah nah
Akan ada sesuatu habis ini nih
2023-07-14
0
Ayano
Dia playboy tapi masih mikirin anak orang ya
Bukan playboy dong kalo ada prioritas
2023-07-14
0