Bab 3 - Entity and Something

Begitu Lea menyelesaikan presentasinya dan menutup laptop dengan tenang, salah satu klien yang duduk di sisi kanan meja mengangguk singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pria yang duduk tenang di tengah.

"Baiklah. Tuan Raymond, Anda bisa melanjutkan dengan penjelasan mengenai tahap integrasi sistem dan bentuk kolaborasi lanjutan dari pihak N.E International?"

Suasana ruang rapat kembali hening. Semua mata kini tertuju pada pria berkemeja biru dongker itu—yang sedari tadi duduk tenang dengan ekspresi tak terbaca. Ia menutup mapnya perlahan, lalu berdiri dengan elegan.

"Baiklah," jawab Raymond singkat, suaranya rendah dan tenang, namun cukup kuat untuk memenuhi ruangan.

Seketika, aura di dalam ruangan berubah. Ada ketegasan dalam cara bicaranya, namun juga kesan anggun yang sulit diabaikan. Lea, yang kini duduk kembali di kursinya, tanpa sadar menatap ke arahnya—mengingat lagi senyum dingin pria itu beberapa saat lalu.

"Raymond?" batinnya masih tertegun, seolah baru menyadari sesuatu.

Jangan bilang... Raymond Matthias Charles? Pemilik Group N.E International? Bangsawan muda yang katanya terkenal dari Jerman itu?

Lea sedikit tersenyum canggung. Gue cuma tau segitu... pikirnya, sambil melirik ke arah Zana.

Harusnya Zana tau lebih banyak. Dia kan penggemar beratnya.

Sekilas, Lea menatap sahabatnya yang kini serius menyimak penjelasan Raymond—terlalu fokus sampai tak menyadari tatapan curiga dari Lea yang masih mencari kepastian.

Tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang menggantung di pikirannya, Lea sedikit mencondongkan tubuh ke arah Zana yang duduk disampingnya. Suaranya ditekan serendah mungkin, nyaris seperti bisikan.

"Zan... itu Raymond Matthias Charles yang Lo maksud, bukan?"

Zana masih fokus menatap ke depan, tapi sudut matanya melirik Lea. Perlahan, ia mengangguk penuh arti. "Yup. The Raymond. CEO sekaligus pewaris N.E International... dan bangsawan dari Jerman. Gila, ya?"

Lea membulatkan mata. Jadi gue nabrak... bangsawan selama ini?! pikirnya dalam diam.

Tapi sebelum ia bisa membalas, suara Raymond terdengar lagi, tenang dan penuh kendali.

"Dan satu hal lagi…" ucapnya sambil menutup presentasi visual di layar. Pandangannya mengarah langsung ke tempat Lea duduk, membuat suasana ruangan kembali hening.

"Saya pribadi sangat menghargai sambutan hangat yang diberikan oleh perusahaan ini. Terutama dari Lea Aurelia Fujisawa—yang secara tidak langsung sudah membuat pagi saya jadi lebih berkesan."

Seketika, kepala beberapa orang menoleh ke arah Lea. Ada yang berbisik, ada pula yang tersenyum penuh tanda tanya.

Sementara itu, Lea... hanya bisa membeku di tempat. Matanya membulat, mulutnya terkatup rapat, dan pipinya—dengan sangat cepat—memerah.

Zana menatapnya dengan ekspresi nyaris menjerit tertahan. “OH. MY. GOD. Lea... Dia ngeflirt barusan.”

Lea menunduk cepat, mencoba menahan gemuruh jantung yang mendadak jadi kacau.

Raymond Matthias Charles baru saja menyebut namaku... di ruang rapat... depan semua orang?! Dasar orang gila!!!!

Lea tak henti-hentinya mengutuk pria itu dalam hati. Ia merasa dipermalukan secara tak sengaja.

...----------------...

Seusai pertemuan formal yang cukup menguras energi, Lea akhirnya bisa menarik napas lega. Meski sempat ada sedikit hambatan, secara keseluruhan ia berhasil melewatinya dengan cukup baik.

"Fyuhh… hampir aja…" gumamnya dalam hati sambil berjalan keluar ruang meeting.

Namun pikirannya masih tertuju pada satu sosok—pria berkemeja biru dongker itu.

"Rrghh… gara-gara pria itu gue jadi gugup nggak karuan. Sialan."

Ia mendengus pelan, "Muka ganteng tapi nyebelin! Percuma. Gue pengen tahu Zana obsesi dia dari mana ya, paling dari muka sama kekayaan."

Dalam perjalanan di koridor, Lea sempat memeriksa saku roknya—dan saat itulah jantungnya sempat berhenti sejenak.

Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi satu barang penting… lenyap begitu saja.

Ia merogoh saku satunya lagi, lalu cek ulang ke saku depan blazer. Nihil.

"Eh…! Kartu… kartu namaku mana?!" batinnya panik. "Jangan-jangan… jatuh waktu aku presentasi tadi?"

Lea langsung berbalik cepat, langkahnya sedikit terburu. Ia kembali ke ruang rapat yang kini sudah kosong, berharap benda kecil itu belum benar-benar hilang—dan belum ditemukan oleh tangan yang salah.

Langkah Lea semakin cepat, hampir setengah berlari menuju ruang rapat yang sudah sepi. Lampu di dalamnya kini diredupkan, hanya cahaya dari jendela besar yang menyaring sinar sore membuat ruangan tampak lengang namun tenang.

Saat mendorong pintu dan melangkah masuk, ia mengedarkan pandangan, berharap melihat secarik kartu kecil di lantai atau di sela meja.

Namun bukan itu yang pertama ia temukan.

Di ujung ruangan, berdiri seorang pria yang sedang menyender santai di sisi meja panjang—masih dengan kemeja biru Dongker nya yang kini digulung hingga siku. Wajahnya menoleh perlahan saat mendengar suara pintu terbuka. Dan di tangan kanannya, ia memegang sesuatu—kartu kecil yang sudah tak asing lagi bagi Lea.

"Kau mencari ini?" tanyanya tenang, mengangkat kartu nama Lea di antara dua jarinya.

Lea menelan ludah. "I-iya… itu… bisa saya ambil?" ucapnya pelan, mencoba terdengar profesional meski suaranya sedikit kaku.

Raymond melangkah perlahan mendekat. Tatapannya tak berpaling sedikit pun dari wajah Lea.

"Menarik sekali. Sejak tadi aku penasaran... apakah ini kebetulan? Atau memang takdir yang memaksa kita bertemu dua kali dalam satu hari."

Lea tak menjawab. Pandangannya tertuju pada kartu itu, namun pikirannya berusaha untuk menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan.

Raymond berhenti tepat di depannya, lalu menyodorkan kartu itu... tapi masih menggenggamnya ketika Lea hendak meraihnya.

"Sebelum ku kembalikan," ucapnya pelan namun dalam, "Izinkan aku mengajukan satu pertanyaan."

"Baik, apa yang ingin Anda tanyakan?" Lea mengangkat wajah, bertemu langsung dengan tatapan tajam namun tenang itu.

"Apakah benar... kau benar-benar tak mengenalku?"

"A… apa maksud Anda?" suara Lea terdengar goyah. "Saya… saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan."

Tangannya masih tergantung di udara, belum berhasil merebut kembali kartu nama yang kini terasa seperti simbol kendali dalam genggaman Raymond.

Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, seolah tengah membaca ekspresi Lea lebih dalam daripada sekadar mendengar jawabannya. Matanya tak berkedip.

"Begitu ya," gumam Raymond, seolah bicara pada dirinya sendiri. "Mungkin memang belum waktunya kau mengingat semuanya."

Lea mengerutkan kening. “Mengingat… apa?”

Raymond tersenyum tipis, kali ini lebih samar, nyaris seperti senyum seseorang yang menyimpan rahasia besar. "Aku pernah melihatmu. Tapi bukan di hari ini. Dan bukan di negara ini," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Jantung Lea berdetak makin cepat. "Sepertinya anda salah orang,” katanya mencoba terdengar yakin. Tapi dalam hatinya, keraguan mulai muncul. Ada sesuatu dalam suara pria itu—atau mungkin tatapannya—yang mengguncang memori internalnya.

Pria itu akhirnya menyerahkan kartu nama itu, membiarkannya jatuh perlahan ke telapak tangan Lea. "Kita akan sering bertemu mulai hari ini, Nona Fujisawa. Dan… saat kau mengingatnya nanti, aku harap kau akan jujur padaku."

Sebelum Lea sempat berkata apa pun, sosok itu sudah melangkah pergi, melewatinya begitu saja—meninggalkan aroma khas parfum maskulin yang samar namun menyusup tajam ke inderanya.

Lea hanya berdiri diam di sana, menatap punggung pria itu yang menjauh menuju pintu. Jemarinya menggenggam erat kartu nama itu, dan di dadanya… rasa penasaran dan perasaan familiar bercampur jadi satu.

Apa maksudnya? Apa kamu benar-benar pernah bertemu? Jika iya, dimana dan kapan??

Dan yang lebih mengganggu…

Kenapa bagian dari diriku… merasa dia tidak berbohong?

Perasaan familiar itu terus mengusik, mengendap di dalam dirinya seperti bayangan samar yang tak mau hilang.

Sesampainya di koridor, tepat sebelum Lea membuka pintu ruang kerjanya, suara asing namun lembut menyapanya dari arah samping.

"Halo, apa kau benar Nona Fujisawa? Wah… sepertinya kita berasal dari negara yang sama," ucap seorang pria muda dengan ramah.

Lea menoleh, sedikit terkejut namun segera tersenyum sopan.

"Senang bertemu denganmu," lanjut pemuda itu cepat, matanya berbinar cerah. "Aku magang di sini… mungkin itu sebabnya aku terlihat seperti karyawan termuda di antara beberapa orang di perusahaan ini."

Surai kecokelatan yang jatuh alami di dahinya, dipadu dengan bola mata hijau cerah yang tampak jernih, memberi kesan hangat dan tulus. Ada kelembutan dalam caranya berbicara, yang membuatnya tampak bersinar—baik luar maupun dalam.

"Ah, kamu anak SMA—maaf, maksudku… kamu yang 17 tahun itu, ya?" tanya Lea, mencoba memastikan dengan nada ramah.

Pemuda itu mengangguk sopan. “Iya, nama saya Kaito Mizuno.”

"Oalah…" gumam Lea pelan, setengah terkejut, setengah kagum.

"Pantesan… kalau dilihat-lihat, cowok ini imut juga," batinnya, mata sedikit berbinar tanpa sadar. Wajah polos dan senyum tulus Kaito memang punya daya tarik tersendiri—berbeda jauh dari aura tajam dan mendominasi milik Raymond.

...----------------...

Setelah menutup sambungan telepon, tak butuh waktu lama hingga seorang pria muda berpakaian rapi mendekat dengan langkah cepat dan sopan. Ia menunduk hormat begitu berada di dekat atasannya.

"Baik, Tuan."

Sebelum Willy sempat berbalik, Raymond menyelipkan sesuatu ke tangannya—selembar kartu nama yang tampak baru, namun jelas bukan milik asli.

"Oh, satu hal lagi… Selidiki wanita yang ada di dalam foto ini," ucap Raymond singkat, suaranya tenang namun menyimpan tekanan yang tak terbantahkan.

Willy menerima kartu nama tersebut—duplikat sempurna dari milik Lea Aurelia Fujisawa.

"Segera, Tuan," jawabnya tanpa ragu, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan, menjalankan tugas seperti bayangan yang tak bersuara.

Setelah Willy pergi, Raymond menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam. Asap tipis melayang di udara, menyatu dengan senja yang merambat masuk dari balik jendela. Tatapannya kosong, dingin, namun di baliknya tersimpan renungan yang dalam—tentang masa lalu, dan tentang seseorang yang kini mulai mengguncang ketenangannya.

Lea Aurelia Fujisawa... siapa sebenarnya kau?

Mengapa aku selalu merasakan perasaan familiar ketika bertemu tadi? Apa kita pernah bertemu saat itu? pikirnya dalam diam.

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Waduh.... serasa bakalan kissing 😅

2023-12-14

0

Ayano

Ayano

Kalau di anime dia kebingungan dan canggung keknya

2023-12-14

0

Asher

Asher

gunanya bintang2 ini apa sih?

2023-07-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!