Setibanya di kantor pusat, pria itu melangkah tenang menyusuri lorong. Baru beberapa meter berjalan, ponsel di saku jasnya tiba-tiba bergetar. Ia langsung mengalihkan pandangannya, mengambil benda pipih itu, lalu menempelkannya ke telinga sambil tetap melanjutkan langkahnya tanpa terganggu.
Terdengar suara spontan dari arah kejauhan—suara seorang pria yang cukup dikenalnya. Teman lama? Bukan. Lebih tepatnya… rekan.
“Yoo, Ray! Aku baru pulang nih dari Australia! Besok mau balik ke Indonesia, mumpung perusahaanku lagi ngadain Anniversary yang ke-100. Kau mau ikut nggak?!” serunya dari kejauhan, suaranya berbinar antusias.
Pria yang dipanggil Ray itu hanya berdehem pelan, menyambut sapaan dengan tenang namun tak kehilangan wibawa.
Dalam lingkup bisnis, mereka bukan sekadar kenalan. Mereka adalah mitra—teman perusahaan yang saling mengandalkan, tumbuh bersama dalam kerja sama strategis yang sudah berjalan bertahun-tahun.
"Yaelah, datar mulu, Ray," sahut si pria sambil terkekeh. "By the way, pekan nanti malam jam dua belas di vila, seperti biasa, ya? Lo dateng dong. Jangan nggak dateng lagi. Kasihan nih temen lo udah susah payah ngundang, tapi lo-nya kagak nongol," gerutunya dramatis, layaknya ratu drama yang kehabisan stok kesabaran.
"Ya, nanti gua akan usahakan untuk datang," jawab Raymond datar. “Sudah, ya. Gue lagi ada urusan."
Sambungan langsung terputus secara sepihak, meninggalkan pria di seberang sana menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia menatap langit-langit kabin pesawat dengan pasrah.
"Masih aja dingin," gumamnya.
Ting!
Suara notifikasi ponsel menyela keheningan di dalam kabin. Adrian melirik layar sebentar, dari ponsel yang masih ia genggam.
Sebuah pesan masuk—dari seseorang yang sudah lama tak ia temui, tapi tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya: "Adrian! Lo nggak bohong kan? Gue akan nunggu di depan bandara besok pagi, begitu Lo keluar dari pintu. Jangan ingkari janji kalau udah janji, ya!”
Adrian tersenyum kecil. Pandangannya tertuju lama pada pesan itu, seolah bisa mendengar suara si pengirimnya hanya dari tulisan tersebut.
"Lucu juga ternyata. Tapi… sejak kapan aku mengingkari janji, sih?" pikirnya polos, tanpa menyadari nada khawatir dalam pesan tadi.
Ia langsung membalas dengan gaya santainya yang khas: "Iya, iya, Nona bawel. Gue akan nepatin janji, tenang aja. Tapi nanti, pekan malam jam 12, Lo harus hadir di pesta itu. Gue mau ngenalin Lo ke seseorang. Bukan... bukan pacar, maksud gue, kenalan lama."
Pesan terkirim. Ia menyandarkan punggung ke kursi, pandangannya menatap jendela kecil pesawat yang mulai dipenuhi cahaya senja.
"Semoga Lo suka kejutan ini, Lea..." bisiknya dalam hati.
Melihat beberapa pesan dari Adrian, dahi Lea langsung berkerut. Kenalan? Pacarnya, ya? pikirnya ragu. Rasanya mustahil kalau bukan—Adrian kan playboy akut.
Lea menghela napas ringan. Belum sempat bertanya, pesan baru masuk lagi, seolah Adrian bisa membaca pikirannya dari jauh.
Pesan baru masuk: "Dia laki-laki, bukan pacarku. Jangan mikir yang aneh-aneh, ya."
Lea hanya bisa melotot kecil ke layar ponsel, bibirnya membentuk garis datar.
3.
2.
1.
"Eeeehhh… YANG BENER SAJA?! Seorang playboy akut kayak dia ngenalin cowok ke gue?!" seru Lea dalam hati, nyaris tak percaya.
Wajahnya masih setengah terkejut, jari-jari mencengkram ponsel erat. "Nggak biasanya Adrian ngelakuin hal kayak gini… Ada apa, sih?"
Pikirannya mulai melayang, tenggelam dalam bayangan imajinasinya sendiri yang mulai membuatnya tertawa tak jelas.
Wah, Bagus nih, Kalo Adrian Gay!
Dari arah samping, Zana memperhatikannya dengan dahi berkerut. Tatapan Lea yang tiba-tiba sendu namun berbinar itu membuat Zana penasaran.
"Lo kenapa senyum-senyum sendiri dari tadi," tanya Zana sambil menyender di sisi meja kerja Lea, tangan kanan masih menggenggam gelas kopi instan yang tinggal setengah.
"Enggak! Nggak ada apa-apa!" sangkalnya buru-buru, meski pipinya sudah keburu merona.
Zana menaikkan alis, menyipit curiga. "Hmm… gue kenal banget ekspresi lo itu. Jangan bilang... ini soal Adrian, ya?"
"Apaan sih… kepo banget lo," Lea berusaha menyembunyikan senyum yang mencuat di sudut bibirnya, tapi gagal total.
Zana langsung terkekeh puas. "Aduh, udah ketebak banget! Tuh kan, pasti dia ngabarin lo mau balik, ya?"
Lea cuma mengangkat bahu, sok cuek. "Ya gitu deh... katanya dua hari lagi. Mau ada pesta di vila segala."
Zana langsung menepuk meja Lea pelan. "Wah, fix harus dandan maksimal sih! Jangan sampe kalah saing sama mantan-mantannya yang dulu kek kereta lewat!"
Lea tertawa pelan, tapi matanya menatap layar ponsel di mejanya. Dalam hati, tetap terselip satu rasa, penasaran—dan sedikit gugup.
"Hmm… doain gue ya," ucap Lea pelan, tapi penuh harap.
"Pasti dong!" sahut Zana cepat, lalu tiba-tiba berdiri dan merangkul bahu Lea dengan gaya dramatis. "Kita kan bestie! Jelas saling dukung satu sama lain! Eh, nanti ajak gue sekalian ya, hehehe… makanan di sana pasti mewah-mewah."
Lea tertawa kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya, Zan… kalau bisa, temenin gue, ya."
Zana menepuk pelan pundak Lea, senyumnya tulus. "Gue akan jadi bodyguard lo sekaligus partner gosip sepanjang malam!"
Lea masih tertawa, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh, Zan… tadi Adrian nge-chat gue. Katanya dia pengen ngenalin gue ke… cowok."
Zana mengerutkan kening. "Cowok? Bukan cewek?"
Lea mengangguk dramatis. "Iya! Cowok, Zan. Padahal dia itu playboy kelas berat, tapi malah ngenalin cowok ke gue. Gue jadi curiga… jangan-jangan dia udah belok gara-gara kebanyakan mantan!"
Zana langsung terdiam sejenak, lalu perlahan-lahan mengangkat tangan ke dagunya, pura-pura mikir.
"Hmmm… mungkin… dia gay," katanya serius—lalu langsung ngakak, "Tapi kalau iya, berarti dunia ini udah bener-bener mau kiamat, dong! Playboy sekelas Adrian pindah haluan? Gue nggak siap!"
Lea ikut tertawa keras. "Gue juga! Sumpah kalo dia beneran gay, gue tuntut semua mantan-mantannya yang bikin dia trauma sama cewek!"
Zana menepuk meja. "Udah fix ini mah, nanti pas ketemu dia, lo tanyain langsung. Tapi jangan tiba-tiba nanya ‘Lo gay ya?’ sambil bawa microphone kaya reporter gosip!"
"Boleh tuh. Sekalian gue bikin polling: Adrian—straight, belok, atau bingung?" balas Lea, masih terpingkal.
•
•
Di sisi lain, Adrian tiba-tiba merasakan tubuhnya tak enak. Ia bersin keras, lalu merapatkan jaketnya, menggigil seketika.
"Hachiiihh… Apa-apaan ini? Tadi rasanya masih baik-baik aja…" gumamnya sambil menggosok hidung. "Kenapa tiba-tiba gue ngerasa kayak ada firasat buruk nyamperin?"
Tak lama kemudian, satu bersin lagi menyusul.
"Hachiuuuuhhh… Siapa sih yang lagi ngomongin gue dari belakang?" gerutunya serak, kepala sedikit tertunduk, ekspresi penuh curiga dan setengah lesu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments