Aira tidak pernah berharap menikah untuk kedua kalinya. Namun dia menyangka, takdir pernikahan pertamanya kandas dengan tragis. Seiring dengan kepedihan hatinya yang masih ada, takdir membawanya bertemu dengan seorang pria.
"Aku menerimamu dengan seluruh kegetiran dan kemarahanmu pada seorang lelaki. Aku akan menikahimu meski hatimu tidak tertuju padaku. Aku bersedia menunggu hatimu terbuka untukku," ujar pria itu.
"Kamu ... sakit jiwa," desis Aira kesal sambil menggeram marah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manajer Baru
Semua bibir menggumam membicarakan manajer baru mereka, Ibrar. Mereka merasa menemukan oase yang berharga. Menambah lagi satu wajah yang bisa di kagumi di mall ini selain pak boss dan manajer fashion yang tampan sekaligus ramah, Yuta. Ketiga orang itu berdiri sebagai satu frame yang menakjubkan.
Sementara Aira terperangkap dalam pikirannnya sendiri. Dia. Pria yang salah mengira bahwa Aira adalah istrinya.
Kenapa harus menjadi manajer mall ini? sesal Aira dalam hati.
"Enggak makan, Ai? Rugi lho. Ini kan gratis, tis, tis ...," ujar mbak Gea sambil makan. Setelah acara perkenalan tadi, pak boss mempersilakan bawahannya untuk makan. Semua berdengung senang. Apalagi bagi para staff yang sudah menjadi ibu-ibu. Ini kesempatan untuk menghemat biaya makan di rumah.
"Sebentar lagi, Mbak."
Di tempat Yeri duduk, dia memperhatikan kawannya yang masih belum mengambil makanan. Di sebelah tangan kanannya, hanya ada jus. Perempuan itu tidak menyentuh makanan. Saat ada kesempatan, Yeri kasih pesan buat Aira untuk makan.
"Iya. Nih, aku mau ambil makanan." Aira membalas pesan Yeri sambil berdiri dan menuju meja yang ada di pinggir tempat duduk semuanya. Makanan dan tempat duduk memang di pisah. Sengaja begitu agar meja tampak lapang. Di atas meja hanya ada buah dan air mineral.
Aira mencoba memilih makanan yang benar-benar di sukainya. Dia tidak ingin rasa makanan membuatnya mual di saat dirinya bersama yang lain. Bibir Aira masih bungkam soal kehamilannya pada kawan-kawannya.
Tubuh Aira yang berbalik menemukan sepasang mata sedang memandanginya dari suatu tempat duduk. Bukan maksud Aira untuk melihat ke arah sana, tapi dia tidak sengaja melakukannya. Mata pria itu memperhatikan dari balik gelasnya.
Aira mengangguk. Menunjukkan sikap sopannya. Pria itu juga mengangguk. Lalu Aira kembali ke mejanya dan makan. Semua ingin bertanya pada manajer baru. Soal umur juga status. Karena pak bos mempersilakan mereka menanyakan banyak hal, serentetan pertanyaan di luncurkan.
"Saya belum menikah," ujarnya ramah saat semua bertanya. Semua staff yang berisi banyak perempuan tersenyum. Menyambut dengan bahagia status manajer baru mereka. Dari tempat duduknya, Aira mendengar pria itu berkata.
Belum menikah? Palsu sekali. Padahal istrinya baru saja melahirkan, dengkus Aira dalam hati.
Aira yang masih jelas ingat pria ini, tahu bahwa manajernya sudah berstatus menikah. Mengingat istrinya adalah wanita yang lebih tua, berarti selera pria itu adalah perempuan mapan dan berumur. Melihat para staff yang sudah berumur dan matang, pria itu sengaja memalsukan statusnya yang sudah menikah.
Pria itu sama saja. Aira mendengus lagi dalam hati. Makanan ini enak dan juga tidak membuat mual. Aira menghabiskannya dengan pelan.
Tiba acara penutupan semua di perkenankan bersalaman dan pulang kerumah masing-masing. Semua staff berbaris dari depan dan belakang untuk bergantian bersalaman dengan manajer baru. Sementara staff HRD tentu saja berdiri berjejer di depan menemani boss dan manajer baru. Pak boss memang lebih sering di kantor HRD, dan ruangan Aira sebagai tempat kedua yang paling sering di kunjungi.
Sampailah giliran Aira bersalaman. Yeri tersenyum melihatnya. Itu anak memang sangat ceria seperti bocah, walaupun saat masuk dalam pekerjaannya dia bersikap dewasa.
Lagi-lagi mata pria ini menatapnya. Bagaimanapun dia pernah melihat Aira menangis di tempat dokter Gogot. Mungkin banyak pertanyaan di benaknya yang memerlukan jawaban. Seorang istri di nyatakan hamil tapi tidak bahagia, justru menangis dan tampak marah? Apalagi dia tiba-tiba saja memberi nasehat yang mengejutkan.
"Selamat," ucap Aira pendek sambil sedikit membungkukkan tubuh menunjukkan kesopanan dan mengulurkan tangan. Juga melukiskan senyum tipis di atas bibirnya.
"Ya. Terima kasih," jawabnya manajer baru itu ringan sambil menerima jabat tangan Aira. Nada tegas tapi tidak tinggi. Mata pria ini masih memperhatikan Aira dari ketinggian tubuhnya yang menjulang. Kaki Aira bergeser setelah Ibrar melepaskan jabat tangan mereka.
Untung saja pria itu tidak berkata macam-macam, desah Aira lega.
Acara selesai sampai pukul 9 malam. Belum terlalu malam hingga masih ada waktu untuk keluar jalan-jalan. Yeri sudah memaksanya. Bahkan Pima sudah menelepon berkali-kali.
"Baiklah..." Aira pasrah. Mereka berdua melangkah menuju pelataran parkir. Ternyata mobil pak boss berada di dekat mobil Aira yang ada di pinggir. Memang masih ada jalan, tapi itu sempit.
"Wah, motormu enggak bisa keluar dong," seru Yeri yang melihat keadaan Sigi. "Bagaimana bisa pak Wira parkir mobil mepet begini?" Yeri geleng-geleng kepala. "Aku ambil motor dulu ya. Sekalian coba menelepon mbak Lea, minta tolong pada bos untuk memindah mobilnya." Aira mengangguk tanpa menoleh. Dia masih mencari cara sendiri untuk keluar dari himpitan mobil bos. Sementara Yeri segera menuju tempat dia meletakkan motornya.
"Ada yang bermasalah dengan mobilku?" tegur seseorang. Aira menoleh. Rupanya manajer baru itu. Tubuh Aira membungkuk memberi hormat. Ternyata itu mobil manajer baru, bukan milik bos.
"Maaf. Saya tidak bermaksud mengawasi mobil Anda. Mobil Anda menghalangi motor saya untuk keluar." Aira menunjukkan motornya yang berada di belakang mobilnya. Kepala pria itu melongok mencoba untuk melihat.
"Itu motor kamu?" tanya manajer itu.
"Ya," jawab Aira pendek.
"Maaf. Aku akan memindahkan mobil." Aira menggeser tubuhnya. Memberi ruang pada manajer itu untuk memindah mobilnya. Setelah berhasil, Aira menuju motornya. Dari kaca spion, Ibrar memperhatikan staff muda itu.
Di salah satu rumah di kawasan perumahan elit, siang tadi.
"Rar, penyambutanmu di adakan nanti sekitar jam 7!" seru Arden memberitahu. Sedikit berteriak karena orang yang di ajak bicara sedang berada di balik pintu kamarnya. Siang ini dia sedang ada di rumah milik temannya. Tubuhnya berbaring santai di sofa di depan tv. Boss mall terbesar di kota ini bisa bertingkah tidak berwibawa tentu hanya di hadapan Ibrar teman dekatnya.
"Aku tidak perlu pesta penyambutan," jawab Ibrar keluar dari kamar sudah berganti kaos baru. Sejak tadi malam dia sudah berjaga di rumah sakit. Menunggui bayi kesayangannya yang sudah lahir.
"Aku yang menginginkannya." Arden masih tetap pada pose bermalas-malasannya.
"Aku tidak menyangka kau adalah boss pemilik mall besar itu. Tingkahmu sekarang bahkan lebih mirip dengan pengangguran," cela Ibrar sambil melangkah menuju ke pantry.
"Aku tidak peduli. Aku bisa bertingkah seperti ini hanya di depanmu. Aku lelah." Arden memejamkan mata.
"Kau habis darimana?" tanya Ibrar masih sibuk membuat espresso pada mesin berwarna chrome. Mesin favoritnya. Dia penyuka espresso.
"Bertemu orang kepolisian."
"Ada masalah?"
"Tidak. Hanya pertemuan biasa. Bukan dari polres, tapi polsek. Kamu sendiri?" Ibrar sudah selesai membuat espresso dan menghampiri Arden. Membawa dua espresso. Meletakkan di atas meja dan duduk di dekat Arden. Menyandarkan punggungnya di badan sofa dengan nyaman.
"Menemani wanitaku melahirkan."
"Oh, benarkah? Laki-laki atau perempuan?" Arden membuka mata dan menoleh ke Ibrar.
"Laki-laki." Ibrar menyesap espressonya. "Untukmu. Segera minum mumpung masih hangat." Ibrar menunjuk secangkir espresso dengan dagunya. Arden bangkit dan segera meminumnya.
"Berarti sekarang punya jagoan nih?" Alis Arden terangkat.
"Ya." Ibrar tersenyum senang.
Ibrar akhirnya datang ke kantor fashion bersama Arden dan Yuta. Disana dia di sambut oleh Lea dan Yeri yang sudah di beritahu lebih dulu.
"Perkenalkan, dia Ibrar. Manajer baru di building management." Arden memperkenalkan. Lea dan Yeri berjabat tangan. Ibrar menyambut jabatan dengan tenang. "Apakah kamu sudah mempersiapkannya, Lea?" tanya Arden.
"Sudah, Pak. Penyambutan manajer baru ada di bawah gedung MB. Semua sudah di persiapkan. Saat ini para staff berada disana menunggu Anda." Lea menjabarkan. Arden mengangguk.
"Seharusnya tidak perlu pesta penyambutan." Ibrar mengungkapkan isi hatinya.
"Bagaimanapun pesta kecil di butuhkan disini. Ayo, kita kesana. Aku yakin semua tidak sabar menunggu manajer baru yang akan jadi idola baru mereka," ujar Yuta sambil sedikit tersenyum menggoda Ibrar. Arden juga demikian. Mata Ibrar melirik malas melihat tingkah mereka. Lea dan Yeri tersenyum tipis.
banyak pelajaran yang di dapat
berharap ada bonchap sampai aira melahirkan
masih terbawa kesel sm nara dan eros
rasa sakit dan trauma aira belum sebanding sakitnya nara dan penyesalan eros
Aira masih sangat ingin dekat eros
Buktinya dia masih g bisa move on
Kesan nya kayak perempuan bodoh
Anak dalam nikah meninggal
Jadi aira ga da iktan lagi
kalo Aira, kakaknya Ibrar dijodohin sama Yuta gimana y...?