NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Gavin Pulang

#

Suara kunci di pintu depan membuat seluruh tubuh Larasati menegang.

Jam menunjuk pukul delapan malam—Jumat, akhir dari tiga hari "perjalanan bisnis" yang sebenarnya liburan romantis di Bali. Larasati duduk di sofa ruang keluarga, sebuah buku terbuka di pangkuannya—prop untuk terlihat casual, meski dia tidak membaca sepatah kata pun dalam satu jam terakhir. Matanya hanya menatap kosong pada kalimat yang sama, berulang-ulang, sementara otaknya berputar pada satu hal: Gavin akan pulang. Dan dia harus berpura-pura.

Pintu terbuka. Suara koper di-drag di lantai marmer—bunyi yang dulu membuat Larasati excited, kini hanya membuat perutnya mual. Lalu suaranya—suara yang dulu dia cintai, sekarang hanya mengingatkannya pada rekaman audio kemarin.

_"Aku tidak cinta dia. Aku cinta kamu."_

"Lara? Aku pulang!"

Nada suaranya cheerful, ringan—tanpa beban rasa bersalah. Seolah dia baru saja dari meeting membosankan, bukan dari tempat tidur perempuan lain.

Larasati menarik napas dalam—satu, dua, tiga—lalu pasang senyum. Senyum yang sudah dia latih di depan cermin sejak tadi sore. Senyum yang harus terlihat genuine meski seluruh tubuhnya ingin muntah.

Dia berdiri, berjalan ke foyer. Dan di sana—Gavin, berdiri dengan koper di sampingnya, tas ransel di bahu, senyum lebar di wajah yang terlihat... segar. Kulitnya sedikit lebih gelap—sunkissed dari pantai Bali. Rambutnya berantakan dengan cara yang terlihat deliberate. Dia pakai kemeja linen putih yang Larasati tidak pernah lihat sebelumnya—kemeja baru, mungkin dibeli Kiran.

"Sayang," kata Gavin, melangkah menghampirinya dengan tangan terbuka.

Larasati membiarkan dirinya dipeluk—membiarkan lengan Gavin melingkar di pinggangnya, membiarkan wajahnya tertanam sebentar di dada suaminya. Dia cium bau cologne yang berbeda—bukan yang biasa Gavin pakai. Cologne baru. Dari Kiran? Atau dibeli bersama Kiran?

Setiap detail kecil seperti serpihan kaca yang menusuk.

"Aku kangen," bisik Gavin di rambutnya.

Bohong. Kalimat di audio bergema di kepala Larasati: _"Aku pengen bangun tidur tiap hari sama kamu, bukan sama..."_

"Aku juga kangen," kata Larasati, memaksa suaranya terdengar lembut. Dia lepas pelukan, menatap wajah Gavin dengan senyum. "Gimana Surabaya? Meeting-nya lancar?"

"Lancar banget!" Gavin antusias—terlalu antusias, overcompensating. "Investor setuju dengan expansion plan. Ini big win buat perusahaan, Lara. Bisa buka tiga cabang baru tahun depan."

Semua bohong. Semuanya. Tidak ada meeting. Tidak ada investor. Hanya Gavin dan Kiran di villa tepi pantai, making plans untuk masa depan mereka—masa depan yang tidak include Larasati.

"Wow, that's great!" Larasati meraih tangannya, squeeze pelan. "Aku bangga sama kamu."

Gavin tersenyum—senyum yang dulu membuat jantungnya berbunga-bunga, sekarang hanya membuat dadanya sesak. "Oh, aku bawain oleh-oleh!"

Dia buka koper, keluarkan bungkusan—tiga bungkusan berbeda. Satu besar, dua kecil.

"Ini buat kamu," kata Gavin, menyerahkan bungkusan besar. "Batik Surabaya. Katanya yang paling authentic."

Larasati buka bungkusan dengan tangan yang stabil—tidak gemetar, tidak menunjukkan apa-apa. Di dalam: kain batik dengan motif yang memang khas Surabaya. Tapi tagnya masih menempel—"Ubud Art Market, Bali."

Dia lihat tag itu selama tiga detik sebelum dengan hati-hati melipatnya ke dalam, menyembunyikan. "Cantik banget, sayang. Thank you."

Gavin tidak notice—atau pura-pura tidak notice—bahwa Larasati tahu itu bukan dari Surabaya.

"Dan ini buat Abi," lanjut Gavin, tunjukkan mainan robot. "Sama ini," sekotak dodol khas.

"Abi pasti senang. Dia udah nanya-nanya Papa kapan pulang tiap hari."

Sesuatu flicker di wajah Gavin—rasa bersalah yang cepat hilang. "Abi di mana?"

"Tidur. Dia capek main seharian sama tetangga." Kebohongan mudah. Abimanyu memang tidur, tapi tidak capek main—capek nangis karena kangen papanya yang tidak pernah ada.

"Oh." Gavin terlihat antara relieved dan disappointed. "Yah, gue gak bisa lihat dia dulu. Besok deh."

Besok. Selalu besok.

 

Mereka makan malam bersama—Larasati panaskan makanan yang sudah dia siapkan sejak sore. Beef stroganoff, kesukaan Gavin. Dia masak dengan tangan yang mekanis, pikiran yang jauh, hati yang sudah mati rasa.

Gavin makan dengan lahap. "Enak banget, Lara. Gue kangen masakan lo. Di Surabaya makannya hotel terus, bosen."

_Di Bali, maksudnya. Di restoran tepi pantai sama Kiran. Atau room service di villa._

"Syukurlah kamu suka," kata Larasati, senyum tidak lepas dari bibirnya—senyum palsu yang sekarang terasa natural karena terlalu sering dipraktekkan.

Gavin cerita tentang "meeting"—detail yang dia fabrikasi dengan impressive, tentang investor fiktif, presentasi yang tidak pernah terjadi, deal yang tidak ada. Larasati dengar dengan attentive, sesekali tanya pertanyaan, berpura-pura interested.

Di bawah meja, tangannya mengepal kuat—kuku mencengkeram telapak sampai meninggalkan bekas bulan sabit. Rasa sakit fisik kecil itu satu-satunya hal yang membuat dia tetap grounded, tetap di sini, tidak meledak dan berteriak "Aku tahu kamu bohong! Aku tahu semuanya!"

Tapi dia tidak berteriak. Dia tersenyum. Dia angguk. Dia jadi istri sempurna yang percaya setiap kata suaminya.

Setelah makan, mereka pindah ke ruang keluarga. Gavin nyalakan TV—pertandingan sepak bola yang dia tidak benar-benar tonton, hanya butuh background noise. Larasati duduk di sebelahnya, jarak yang cukup dekat untuk terlihat intimate tapi cukup jauh untuk tidak harus benar-benar menyentuh.

"Lara," kata Gavin tiba-tiba, meraih tangannya.

Larasati menatapnya. Ada sesuatu di mata Gavin—sesuatu yang membuat alarm berbunyi di kepalanya.

"Aku... aku sadar akhir-akhir ini aku jarang di rumah. Jarang quality time sama kamu dan Abi." Suaranya terdengar... apologetic? Atau itu cuma acting? "Aku mau lebih effort. Mau jadi suami dan papa yang lebih baik."

Kata-kata yang seharusnya membuat Larasati lega, seharusnya membuat hatinya hangat. Tapi sekarang? Sekarang kata-kata itu hanya terdengar seperti script—lines yang dia baca dari audio recording.

_"Aku cuma perlu timing yang tepat. Lara... dia gak akan mudah."_

Ini bukan genuine apology. Ini strategic move. Gavin sedang setting up untuk nanti—saat dia mau divorce, dia bisa bilang "Aku udah coba, tapi pernikahan kita memang sudah tidak bisa diselamatkan."

"Aku appreciate itu," kata Larasati lembut, squeeze tangannya balik. "Aku tahu kamu sibuk. Aku cuma... aku cuma pengen kita lebih deket lagi. Kayak dulu."

"Aku juga," kata Gavin, dan dia menatap Larasati dengan tatapan yang... intense.

Larasati recognize tatapan itu. Tatapan yang dulu membuat jantungnya berdetak cepat, yang dulu membuat pipinya panas. Tatapan yang berarti Gavin menginginkannya.

Dan sesuatu di perutnya jatuh.

_Oh no._

"Aku kangen kamu, Lara," bisik Gavin, tangannya naik ke pipinya, mengusap dengan ibu jari. "Beneran kangen."

Tiga hari lalu dia di Bali sama Kiran. Mungkin bahkan semalam dia tidur sama Kiran sebelum flight pagi tadi. Dan sekarang, di rumahnya sendiri, dengan istri yang dia planning untuk abandon, dia mau...

Larasati merasa mual. Tapi dia tidak mundur. Dia tidak tunjukkan disgust yang menggerogoti perutnya.

"Aku juga kangen," bisiknya, dan membiarkan Gavin menciumnya.

Ciumannya terasa asing—seperti mencium stranger. Bibir yang sama yang pernah dia cintai, tapi sekarang hanya mengingatkan pada bibir yang kemarin mencium Kiran. Lidah yang sama yang berbisik kata cinta pada perempuan lain.

Gavin memperdalam ciuman, tangannya mulai merambat—ke pinggang, ke punggung, menarik Larasati lebih dekat.

Dan Larasati membiarkan. Membiarkan karena ini part dari acting. Membiarkan karena dia harus maintain illusion bahwa semuanya oke, bahwa dia tidak tahu apa-apa.

Membiarkan karena di dalam kepalanya, dia sudah planning langkah selanjutnya—call dengan Diana besok, dokumentasi dengan Ziva, meeting dengan Reza. Ini hanya satu malam. Satu malam terakhir berpura-pura sebelum semuanya runtuh.

Gavin berdiri, menarik tangannya. "Ayo ke atas."

Dua kata simpel yang membuat seluruh tubuh Larasati memberontak. Tapi dia ikut—kaki melangkah otomatis, tangan di genggaman Gavin, senyum masih di wajah.

 

Kamar tidur terasa seperti foreign territory meski Larasati tidur di sini selama bertahun-tahun. Gavin tutup pintu, langsung tarik Larasati ke pelukan—ciuman yang lebih aggressive sekarang, tangan yang lebih demanding.

Larasati balas dengan mekanis—tangan di leher Gavin, bibir bergerak pada cue yang tepat, suara-suara kecil yang Gavin expect untuk dengar. Semua otomatis. Semua performance.

Baju mulai dibuka—tangan Gavin familiar dengan setiap kancing, setiap resleting. Dulu, intimacy mereka penuh passion. Larasati ingat malam-malam di awal pernikahan di mana mereka tidak bisa lepas tangan, di mana setiap sentuhan terasa seperti listrik, di mana mereka bercinta seperti tidak ada hari esok.

Sekarang? Sekarang Larasati hanya merasa dingin.

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!