Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Ruang bersalin itu dingin. Bukan karena suhu AC yang terlalu rendah, melainkan karena sikap Feng Niu sejak awal. Ia berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat, rambutnya sedikit berantakan, tapi sorot matanya tetap kosong seolah tubuh itu hanya wadah sementara yang ingin segera ia tinggalkan. “Tarik napas… Bu Feng, tarik napas pelan.”
Suara bidan terdengar sabar, berulang. Feng Niu mengerang pelan, bukan karena kesakitan semata, tapi karena marah. Marah pada tubuhnya. Marah pada perutnya. Marah pada bayi yang memaksanya berada di sini.
Ji Chen berdiri di sisi ranjang, mengenakan pakaian steril berwarna hijau pucat. Tangannya mengepal tanpa sadar. Ia tidak berani menyentuh Feng Niu. Tidak sejak beberapa bulan terakhir. Setiap kali ia mencoba mendekat, Feng Niu selalu bereaksi seperti disentuh sesuatu yang menjijikkan. “Kau bisa pegang tangannya,” kata salah satu perawat lembut.
Ji Chen menoleh. Ragu. Lalu perlahan mengulurkan tangan. Feng Niu langsung menarik tangannya sendiri. “Jangan sentuh aku,” katanya lirih, tapi tajam. “Aku bisa sendiri.” Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada teriakan.
Ji Chen menarik tangannya kembali, lalu berdiri kaku. Ia mengangguk kecil, seolah memahami. Padahal tidak. Ia tidak pernah benar-benar mengerti mengapa kehadiran bayi ini begitu dibenci oleh istrinya.
Jeritan Feng Niu memecah ruangan beberapa menit kemudian. Proses persalinan berjalan panjang, melelahkan. Keringat membasahi pelipisnya, napasnya terengah, tapi tidak sekali pun ia menyebut nama anak itu. Tidak sekali pun ia bertanya apakah bayinya baik-baik saja. Yang ada hanya keluhan, sumpah serapah tertahan, dan air mata frustrasi. Dan akhirnya
Tangisan bayi menggema. Nyaring. Hidup. Nyata. “Selamat, bayinya laki-laki.” Suara bidan terdengar cerah, hampir bahagia. Bayi kecil itu diangkat, tubuhnya masih merah, kecil, rapuh, tapi tangisnya kuat. Ji Chen menatap pemandangan itu dengan mata bergetar.
Dadanya terasa sesak. Itu… anaknya. Darah dagingnya. Tanpa sadar, air mata menetes di balik masker. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menahan luapan emosi yang datang terlalu cepat. “Bu Feng, mau lihat bayinya?” tanya bidan ramah.
Feng Niu memalingkan wajah. “Bawa saja,” katanya singkat. “Aku capek.” Kalimat itu jatuh begitu saja, tanpa ragu. Seolah yang baru saja lahir bukan bagian dari dirinya. Bidan itu terdiam sejenak. Rautnya jelas terkejut, tapi profesionalisme membuatnya tetap tersenyum tipis. “Baik… nanti akan kami bawa ke ruang bayi.”
Ji Chen menoleh cepat. “Aku… aku bisa menggendongnya?” Pertanyaannya terdengar canggung, hampir seperti izin. Bidan itu tersenyum kecil. “Tentu, Pak.”
Bayi itu diletakkan di lengannya. Kecil. Hangat. Tangisnya mulai mereda saat berada di pelukan Ji Chen, seolah mengenali sesuatu yang familiar. Ji Chen menunduk, menatap wajah kecil itu. “Xiao Fan…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Nama yang sudah ia simpan diam-diam sejak lama. Bayi itu menggerakkan bibirnya pelan, napasnya teratur. Ji Chen menelan ludah. Ada rasa takut, takut menjatuhkannya, takut menyakitinya, takut tidak cukup baik sebagai ayah. Tapi di balik semua itu, ada perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia menoleh ke arah Feng Niu. Istrinya sudah memejamkan mata, wajahnya berpaling ke dinding. Tidak ada air mata haru. Tidak ada senyum. Tidak ada satu pun tanda bahwa ia baru saja menjadi seorang ibu. Seolah semua itu tidak berarti.
Beberapa jam kemudian, Feng Niu dipindahkan ke kamar perawatan. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih gelisah. Ia menatap langit-langit kamar, mendengar langkah kaki perawat mondar-mandir, suara bayi lain menangis di kejauhan. Ji Chen masuk perlahan, menggendong Xiao Fan. “Dia sudah tenang,” kata Ji Chen pelan, seolah takut mengganggu.
Feng Niu melirik sekilas. Hanya sekilas. “Taruh saja di boks,” jawabnya datar. Ji Chen terdiam. “Kau… tidak mau menggendongnya?” Feng Niu mendengus kecil. “Untuk apa? Aku masih sakit.”
Nada itu dingin. Tidak ada penyesalan. Ji Chen mengangguk, lalu meletakkan bayi itu di boks transparan di samping ranjang. Xiao Fan menggeliat kecil, lalu kembali terlelap. Ji Chen duduk di kursi, memandangi dua sosok yang kini terikat dalam hidupnya istri yang semakin jauh, dan anak yang baru saja hadir tanpa disambut.
“Kita bisa mulai pelan-pelan,” kata Ji Chen akhirnya. “Kau tidak harus langsung… tapi setidaknya lihat dia.” Feng Niu menutup mata lebih rapat. “Jangan paksa aku.” Kalimat itu membuat Ji Chen terdiam total. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan.
Malam turun perlahan. Lampu kamar diredupkan. Feng Niu tertidur dengan wajah lelah, tapi tidak tenang. Ji Chen masih terjaga, duduk di sisi boks bayi. Ia menyentuh jari kecil Xiao Fan dengan ujung telunjuknya. “Kau lahir di keluarga yang salah,” bisiknya lirih. “Maaf.”
Air mata jatuh satu per satu. Di luar kamar, Madam Fu berdiri diam, mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya tetap dingin seperti biasa, tapi matanya menangkap semuanya anaknya yang duduk sendirian, cucunya yang tertidur tanpa pelukan ibu. Ia tidak masuk. Tidak menegur. Tidak membela. Hanya menarik napas panjang, lalu pergi dengan langkah pelan.
Beberapa jam kemudian, Feng Niu terbangun karena suara tangisan. Xiao Fan menangis pelan, seperti mencari sesuatu. Ji Chen langsung berdiri, menggendongnya. “Shh… shh… Papa di sini.” Tangisan itu mereda perlahan.
Feng Niu membuka mata. Menatap punggung Ji Chen. Menatap bayi itu di pelukannya. Untuk sesaat hanya sesaat ada sesuatu yang bergerak di dadanya. Perasaan asing. Tidak nyaman. Bukan cinta. Lebih seperti… gangguan. Ia memalingkan wajah lagi. Lebih mudah tidak peduli.
Malam itu, Xiao Fan tidur di pelukan Ji Chen. Dan untuk pertama kalinya, Ji Chen menyadari satu hal pahit: Anaknya lahir ke dunia ini tanpa pelukan ibu. Dan mungkin… tanpa cinta seorang ibu.