Di dunia kultivasi yang kejam bernama Benua Azure Langit, seorang pemuda desa bernama Lin Feng seumur hidup dianggap “sampah” karena dantian rusak yang membuatnya tak mampu menyerap Qi. Diejek, dikhianati, bahkan tunangannya membatalkan perjodohan demi masa depan yang lebih cerah.
Dari seorang anak desa yang terbuang hingga menjadi legenda yang ditakuti sekaligus dikagumi, Lin Feng berjuang membuktikan bahwa bahkan “daun kering” bisa menjadi pedang abadi yang membelah langit. Bersama Su Ling’er, ia menapaki jalan panjang menuju keabadian—jalan yang dipenuhi darah, air mata, tawa, dan cinta abadi yang tak pernah layu seperti bunga sakura es di puncak gunung suci.
Sebuah kisah epik xianxia klasik penuh aksi kultivasi, balas dendam yang memuaskan, romansa manis yang berkembang perlahan, serta perjalanan menjadi tak terkalahkan sambil melindungi orang yang dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michael Nero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Pertarungan Melawan Elder Darah Iblis dan Kekuatan Dual Cultivation
Elder Sekte Darah Iblis itu muncul dari kegelapan seperti hantu yang lahir dari mimpi buruk. Jubahnya merah gelap, berlumur noda darah kering yang sudah menghitam, auranya seperti lautan darah yang bergolak—tekanan Golden Core tahap awal menekan seluruh lapangan hingga tanah bergetar lalu retak, sampai-sampai kabut hutan ikut mundur ketakutan.
Bau amis darah yang dikeluarkan begitu pekat sampai menusuk hidung, lebih kuat daripada mayat-mayat yang baru saja jatuh.
Wajahnya pucat, mata merah menyala, dan senyumnya memperlihatkan gigi yang diasah tajam, seperti tersirat bahwa ia telah lama tinggal di dalam neraka.
“Anak-anak kecil dari Sekte Pedang Langit… kalian berani membunuh orang-orangku? Serahkan cincin warisan itu, atau aku akan sedot darah kalian perlahan sampai hanya tulang kering kalian yang tersisa.”
Lin Feng berdiri di depan Su Ling’er meski tubuhnya sudah penuh luka. Napasnya terengah, darah masih menetes dari sudut bibir, tapi matanya tetap tajam. Ia menarik tangan gadis itu pelan, jari mereka saling terkait erat di belakang punggungnya—sentuhan hangat di tengah gentingnya malam.
“Ling’er,” bisiknya tanpa menoleh, suaranya rendah tapi penuh getar emosi. “Kalau aku bilang lari, larilah. Jangan sesekali menoleh ke belakang. Aku akan menghadapinya dengan seluruh kemampuan yang kumiliki.”
Su Ling’er menarik tangannya lebih kuat, jari-jarinya yang dingin gemetar. “Jangan bicara bodoh, Feng gege,” jawabnya dengan suara hampir pecah, air mata dingin menggenang di sudut mata birunya.
“Kau pikir aku akan meninggalkanmu sendirian di sini? Kita sudah berjanji—pulang berdua dengan selamat, atau tidak sama sekali.”
Lin Feng menoleh sekilas, melihat wajah gadis yang biasanya dingin, kini penuh kekhawatiran. “Aku tahu, aku hanya takut kehilanganmu. Sejak pertama kali kau tersenyum padaku di bawah pohon sakura, aku sudah takut hari ini akan datang.”
Su Ling’er menggigit bibir bawahnya hingga ia tak sadar kalau melukainya. “Aku juga takut. Tapi aku lebih takut hidup tanpa kau. Jadi… jangan buat aku menangis sendirian nanti.”
Elder didepan itu tertawa kasar, suaranya seperti auman singa yang kelaparan. “Sungguh mengharukan. Cinta monyet di tengah kematian. Baiklah kalau kau begitu mencintai gadis itu aku akan memulai darinya terlebih dahulu—darah es langit pasti sangat lezat.”
Ia melangkah maju, tanah di bawah kakinya membusuk instan, rumput mengering menjadi abu hitam.
Elder itu bergerak lebih cepat daripada yang dapat dibayangkan. Tinjunya menghantam ke arah Su Ling’er, disertai teknik Lautan Darah Menelan Langit—gelombang darah merah pekat menyembur dari telapaknya mengeluarkan aroma busuk seperti ratusan bangkai yang membusuk sekaligus.
Lin Feng segera mendorong Su Ling’er ke samping dengan kasar, tubuhnya menerima pukulan itu, penuh. Tinju itu menghantam dada kirinya—seketika itu juga tulang rusuknya hancur dan bergema dengan keras di kepalanya, rasa sakit yang luar biasa karena ngilu memenuhi sistem syaraf Lin Feng membuat matanya berkunang-kunang untuk sesaat.
Darah segar keluar lebih deras dari mulutnya dan tubuhnya terbang terlempar hingga sepuluh meter sebelum berhenti setelah menabrak sebuah batu hitam besar yang ikut retak karena benturannya.
“Feng gege!!!” jerit Su Ling’er, suaranya pecah untuk pertama kalinya.
Ia berlari ke arahnya, tapi gelombang darah Elder tadi segera menyusul, membakar kulit lengannya hingga melepuh merah. Rasa sakitnya membara seperti api neraka, tapi ia tak peduli.
Lin Feng jatuh berlutut sambil terbatuk-batuk yang mengeluarkan gumpalan darah hitam karena racun darah iblis. Visinya kabur, tapi ia memaksakan diri untuk bangkit.
“Ling’er… aku baik-baik saja… jangan mendekat!”
“TIDAK!” teriak Su Ling’er, air mata akhirnya jatuh, membeku menjadi kristal es kecil sebelum menyentuh tanah. “Kau bohong! Kau selalu berbohong demi melindungi aku! Aku tak mau menjadi beban lagi! Kita lawan bersama, atau aku akan ikut mati di sini bersamamu!”
Elder itu tertawa lagi. “Bagus. Aku suka dengan mangsa yang keras kepala. Darah yang penuh emosi akan jauh lebih manis dan nikmat.”
Ia mengangkat tangan, ratusan jarum darah hitam terbentuk di udara, siap menusuk mereka berdua.
Lin Feng merangkak mendekati Su Ling’er, tangannya gemetar mencari tangan gadis itu. Saat jari mereka bertemu lagi, Qi mereka otomatis mengalir—panas pedang abadi bertemu dengan dinginnya es langit mulai bercampur.
“Kita… coba sekarang,” desis Lin Feng, suaranya lemah tapi penuh tekad. “Dual cultivation di tengah pertarungan. Seperti yang kita janjikan.”
Su Ling’er mengangguk, air mata masih mengalir. “Aku percaya padamu. Selalu.”
Mereka duduk bersila saling berhadapan di tengah ancaman maut, telapak tangan menempel erat. Qi mengalir deras—panas dan dingin berputar dalam siklus yin dan yang, menyatukan dua Qi itu menjadi satu dimana muncul aura baru berwarna biru-putih berkilauan dari mereka berdua.
Melakukan dual cultivation di hadapan maut adalah hal gila, tapi justru itu yang membuatnya sempurna. Qi Lin Feng yang hangat seperti musim panas mengalir ke meridian Su Ling’er, menyembuhkan luka bakarnya seketika.
Qi es Su Ling’er yang dingin masuk ke tubuh Lin Feng, membekukan racun darah iblis dan menyatukan tulang rusuknya yang hancur dengan sensasi dingin yang menyegarkan.
Rasa sakit berubah menjadi kekuatan. Aura mereka naik drastis—Lin Feng menembus Foundation Establishment tahap awal dalam sekejap dan Su Ling’er naik ke tahap menengah. Intent pedang dan intent es menyatu menjadi sesuatu yang baru, Intent Pedang Sakura Es Abadi—setiap hembusan angin di sekitar mereka membawa kelopak es biru yang tajam seperti pedang.
Elder itu menyadari bahaya dan dengan cepat melemparkan jarum darahnya. Ratusan jarum hitam melesat seperti hujan deras yang menutupi langit.
Lin Feng dan Su Ling’er membuka mata bersamaan. Mereka segera bangkit dengan tangan masih bergandeng.
“Ling’er,” kata Lin Feng lembut di tengah badai jarum. “Maafkan aku kalau selama ini aku terlalu melindungi mu. Kau bukan gadis rapuh—kau adalah partner-ku, kekasih-ku.”
Su Ling’er tersenyum di antara air mata yang sudah kering. “Dan kau bukan pahlawan sendirian lagi. Aku akan berdiri di sampingmu, bukan di belakangmu. Selamanya.”
Mereka bergerak bersamaan seperti satu jiwa. Lin Feng menebas ke atas dengan pedang kayu, Su Ling’er menebas ke bawah dengan pedang kristal. Dua intent bertemu di tengah, menciptakan teknik gabungan baru.
Pedang Sakura Es Abadi – Mekar di Tengah Badai Darah.
Ribuan kelopak es biru meledak dari titik pertemuan pedang mereka, setiap kelopak membawa intent pedang yang mematikan. Kelopak-kelopak itu berputar seperti tornado, memotong semua jarum darah menjadi debu hitam sebelum menyentuh mereka.
Tornado kelopak es terus maju, langsung ke arah elder itu.
Wajah elder berubah dari sombong menjadi ketakutan sejati. Ia mengeluarkan perisai darah tebal, tapi kelopak es dengan mudah menembusnya seperti kertas.
Satu per satu, kelopak memotong tubuhnya—daging robek, darah mengucur, tulang terlihat putih di antara luka dalam.
Ia berteriak kesakitan saat kedua lengan dan kakinya terpotong, darahnya sendiri membeku sebelum menyentuh tanah.
Tebasan terakhir dari Lin Feng dan Su Ling’er datang bersamaan—pedang kayu dan pedang kristal menebas secara silang, memenggal kepala elder itu dengan rapi. Kepalanya berguling di tanah berlumur darah, dengan mata yang masih terbuka lebar dan mulut yang menganga dalam kengerian abadi.
Hutan akhirnya kembali menjadi teduh, menyisakan napas mereka yang masih terengah dan angin malam yang berhembus lembut.
Lin Feng dan Su Ling’er terduduk bersamaan, kehabisan tenaga tapi masih mampu bertahan hidup. Mereka saling memeluk erat di tengah lapangan yang berdarah serta tubuh yang bergetar hebat karena adrenalin dan emosi yang meluap.
“Aku… aku pikir kita akan mati tadi,” bisik Su Ling’er di dada Lin Feng, suaranya bergetar. “Aku takut sekali, takut tak bisa bilang lagi betapa aku mencintaimu.”
Lin Feng mencium keningnya pelan, rasa asin darah dan manis air mata bercampur di bibirnya. “Aku juga. Ketika melihatmu terluka, hatiku seperti diiris dengan pedang. Tapi sekarang aku tahu—kita lebih kuat bersama. Aku mencintaimu, Ling’er. Dari hari pertama sampai hari terakhir.”
Su Ling’er mendongak, mata birunya berkaca-kaca tapi penuh cahaya. “Aku juga mencintaimu, Feng gege. Bukan karena kau kuat, bukan karena warisanmu… tapi karena kau selalu melihat aku sebagai aku, bukan Putri Es Langit. Jujur dari semua pria yang pernah kujumpai hanya kau yang mampu membuat hatiku yang beku menjadi mekar.”
Setelah berkata demikian Lin Feng mendekatkan wajahnya ke arah Su Ling'er. Su Ling'er membalasnya dengan memejamkan kedua matanya, bersiap menerima bentuk kasih sayang dari pria yang ia cintai.
Dan mereka pun berciuman untuk pertama kalinya di bawah bulan sabit—ciuman lembut, penuh rasa, bercampur darah dan air mata tapi terasa seperti madu termanis.
Angin malam meniup kelopak sakura liar dari pohon terdekat yang beterbangan di sekitar mereka seperti berkah langit. Zhao Long, yang masih terikat di sudut, hanya bisa menunduk malu dan putus asa.
Saat fajar mulai menyingsing, mereka bangkit, tangan tetap bergandeng sambil membawa Zhao Long kembali ke sekte. Langkah mereka pelan tapi teguh, seperti dua jiwa yang sudah tak terpisahkan.
Di belakang mereka, mayat-mayat Sekte Darah Iblis perlahan membusuk, tapi di depan mereka—jalan menuju keabadian terbuka lebar, ditemani cinta yang baru saja ditempa dalam panasnya api neraka.
jika berkenan mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
saya suka...saya suka.../Drool//Drool/
Terima kasih banyak atas dukungan dan kesetiaan kalian dalam mengikuti novel ini.
Saat ini, novel sedang dalam proses revisi, khususnya pada segi kepenulisan dan ejaan, agar alur cerita menjadi lebih rapi, nyaman dibaca, dan sesuai dengan kualitas yang diharapkan. Selain itu, terdapat beberapa adegan yang perlu dipotong, diperbaiki, atau diganti, demi memperkuat cerita serta menjaga konsistensi plot.
Proses ini dilakukan agar pengalaman membaca kalian menjadi jauh lebih baik ke depannya. Mohon pengertiannya apabila ada perubahan pada beberapa bagian cerita.
Sekali lagi, terima kasih atas kesabaran dan dukungan kalian. Semoga versi revisi nanti bisa memberikan kesan yang lebih mendalam dan memuaskan. 🙏✨