Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 — Damai Sebelum Badai
Pekan itu, penthouse Arganata, yang selama berbulan-bulan menjadi sarang ketegangan dan kedinginan, bertransformasi menjadi sebuah rumah. Transformasi itu tidak terjadi dengan mudah, tetapi dengan usaha yang tulus dan canggung dari Dion, dan dengan penerimaan hati-hati dari Aira.
Dion, yang biasanya bangun pukul lima pagi untuk menjalankan kekaisaran bisnisnya, kini menghabiskan pagi dengan membaca buku cerita bergambar untuk Arvan. Ia mempelajari istilah-istilah baru: ‘prinsip kepiting’ alih-alih ‘prinsip pasar modal’, ‘robot raksasa’ alih-alih ‘robotika industri’. Ia gagal dalam membangun menara balok, tetapi Arvan tertawa, dan tawa itu adalah hadiah terindah.
Aira mengamati Dion. Dia melihat bagaimana Dion, tanpa sadar, meniru gerakan Arvan, bagaimana matanya melembut setiap kali putranya memanggilnya “Om” dengan manja. Kepercayaan yang telah hancur kini tumbuh kembali, perlahan seperti tanaman yang baru bersemi setelah kemarau panjang. Sentuhan mereka bukan lagi tentang amarah atau kontrak, tetapi tentang kepastian—tangan Dion yang melingkari pinggang Aira saat mereka mengawasi Arvan, atau jari Aira yang menyentuh tangan Dion yang terluka sebagai pengingat akan janji yang telah ia buat.
Mereka telah menemukan ritme mereka sebagai orang tua yang berbagi, bukan musuh yang bersaing.
Malam itu, mereka memutuskan untuk makan malam formal pertama mereka, hanya bertiga, di ruang makan utama. Meja panjang yang biasanya menjadi tempat rapat dewan atau jamuan bisnis kini dihiasi dengan piring bergambar dinosaurus dan cangkir plastik.
Arvan duduk di tengah, diapit oleh Dion dan Aira.
“Papa membuat ini, Sayang?” tanya Arvan, menunjuk ke pasta karbonara yang dimasak oleh koki pribadi, tetapi yang Dion klaim sebagai karyanya.
“Tentu saja,” jawab Dion dengan bangga, meskipun dia hanya mengaduk sedikit bumbu. “Koki Arganata adalah yang terbaik.”
“Dion,” koreksi Aira lembut, “Jangan berbohong pada anakmu.”
Dion menyeringai, senyum yang santai dan tulus, senyum yang belum pernah Aira lihat sebelumnya. “Baiklah, Mama yang terbaik. Tapi Ayah yang mengawasi.”
Arvan terkikik, makan dengan lahap.
“Om, kenapa Om tidak mau makan broccoli?” tanya Arvan, menunjuk brokoli yang Dion singkirkan ke tepi piring.
“Itu musuh, Arvan. Musuh di medan perang piring,” jawab Dion dengan nada serius, yang langsung mengundang tawa Aira.
“Dion, kau ini,” Aira menggelengkan kepala, mengambil brokoli dan memberikannya ke Arvan. “Kalau mau kuat, harus makan sayur.”
Dion menatap Aira. Mereka bertengkar kecil, bertengkar sebagai suami istri, bertengkar sebagai orang tua yang berbagi. Rasanya sungguh luar biasa normal.
Momen ajaib itu datang saat Arvan sedang berbicara tentang Neneknya.
“Nenek bilang,” kata Arvan sambil mengunyah pasta, “kalau Papa adalah bintang yang paling terang. Tapi Nenek bilang, sekarang Papa sudah kembali dari bintang, Papa harus menjaga Mama dan aku.”
Dion dan Aira terdiam. Mereka bertukar pandang. Nyonya Siti telah mengetahui kebenaran, dan dia telah memberkati hubungan ini dengan caranya sendiri.
“Nenek benar, Sayang,” bisik Aira, penuh haru. “Papa akan menjaga kita.”
Arvan mengangguk puas. Lalu, dengan kelelahan khas anak kecil di malam hari, dia menguap lebar.
“Aku ngantuk, Mama. Aku mau tidur sama Papa,” rengek Arvan, tanpa berpikir.
“Tentu, kita akan tidur bersama,” kata Aira, hendak membawa Arvan ke kamar tidur utama.
“Tapi… aku mau Papa gendong,” pinta Arvan, merentangkan tangannya ke arah Dion.
Dion tersenyum, hatinya meleleh. Dia mengangkat Arvan dari kursinya. Arvan menyandarkan kepala kecilnya di bahu Dion.
“Terima kasih, Pa…Papa,” gumam Arvan, suaranya kecil dan polos, setengah sadar karena mengantuk.
Dion membeku.
Aira juga membeku, tangannya yang hendak membantu mengambil piring kotor menggantung di udara.
Arvan tidak sengaja memanggilnya Papa. Bukan ‘Om’, bukan ‘Tuan Dion’, tetapi panggilan intim yang lahir dari kehangatan dan kebiasaan yang ia dengar dari Neneknya, dari Aira.
Dion memejamkan mata erat-erat, air mata panas tiba-tiba menggenang. Perjalanan dari tiran yang kejam menjadi Ayah yang dicintai telah mencapai puncaknya. Pengakuan yang ia dambakan dari hasil DNA, dari Aira, kini datang dari sumber paling murni: putranya sendiri.
Dion memeluk Arvan erat-erat, hampir menangis bahagia.
“Ya, Sayang,” bisik Dion, suaranya tercekat. “Aku Papa. Aku di sini.”
Aira mendekat, menyentuh lengan Dion. Dia tersenyum, air mata haru menggenang di matanya juga. Ini adalah keluarga. Sederhana, tetapi lengkap.
Malam itu, Dion dan Aira berbaring bersama Arvan di kamar tidur utama. Arvan di tengah, tangan kecilnya memegang tangan Dion dan tangan Aira. Mereka tidak bicara. Mereka hanya merasakan kehangatan dan ketenangan yang belum pernah mereka rasakan selama ini.
Kebahagiaan itu terasa sempurna.
Namun, kebahagiaan itu tidak terjadi secara pribadi.
Di sebuah mobil hitam mewah yang diparkir jauh di seberang jalan, Tantri Arganata duduk dengan Nayra di sebelahnya.
Tantri tidak mengandalkan mata-mata lagi. Dia telah memasang kamera resolusi tinggi di salah satu gedung pencakar langit di dekat penthouse Dion. Dia memiliki akses penuh ke kehidupan Dion.
Di layar kecil di pangkuannya, Tantri melihat semuanya.
Dia melihat Dion, CEO yang dingin dan tak tersentuh, tertawa saat Aira mencubit lengannya. Dia melihat Arvan, si pewaris yang tidak sah, digendong oleh Dion. Dan yang paling menghancurkan bagi Tantri, dia melihat Dion berbaring di tempat tidur, tangan Arvan menggenggamnya, wajah Dion yang kaku kini dipenuhi kedamaian yang mendalam.
Tantri mengepalkan tinjunya. Kukunya menusuk telapak tangannya.
“Lihat dia, Nayra,” desis Tantri, suaranya penuh kebencian. “Dia bahagia. Bahagia dengan wanita desa itu. Dia telah melunak. Dia tidak peduli pada perusahaan lagi. Dia hanya peduli pada permainan keluarga bodoh ini.”
Nayra, yang melihat keintiman di layar itu, merasakan gelombang kecemburuan yang membakar. Dion seharusnya bersikap lembut padanya, bukan pada Aira.
“Dia memanggilnya Papa,” Nayra berbisik, suaranya pecah karena amarah. “Itu berarti dia telah diakui sepenuhnya. Kita terlambat, Tantri. Mereka sudah menjadi keluarga.”
Tantri memejamkan mata sejenak, menenangkan dirinya. Dia adalah ahli strategi. Dia tidak pernah menyerah.
“Tidak, Nayra. Kita belum terlambat. Kita baru saja mendapatkan konfirmasi,” kata Tantri, membuka mata. Tatapannya kini sedingin es. “Kebahagiaan mereka ini adalah kelemahan mereka. Fondasi mereka terlalu baru, terlalu rapuh. Mereka belum terbiasa dengan kebahagiaan itu, dan mereka belum siap untuk badai.”
Tantri mengambil ponselnya. Dia mengirim serangkaian perintah singkat.
“Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Jika kita menunggu lebih lama, Dion akan menikahi wanita itu secara sah, dan Arvan akan menjadi pewaris yang sah, tak tersentuh. Kita harus bergerak malam ini.”
“Malam ini?” tanya Nayra.
“Ya. Sebelum matahari terbit, fondasi kebahagiaan mereka harus runtuh. Kita harus menyerang dari dua sisi: Aira dan Arvan. Kita akan menyerang dari masa lalu Aira dan menakut-nakuti Dion dengan ancaman terhadap putranya.”
Tantri menatap penthouse Dion, yang memancarkan cahaya hangat dari kamar tidur utama. Pemandangan itu, kebahagiaan kecil itu, terasa seperti sebuah penghinaan besar bagi semua yang telah ia korbankan untuk Arganata.
Tantri tersenyum dingin, sebuah senyum yang menjanjikan kehancuran total.
“Kebahagiaan mereka terlalu indah… dan Tantri tidak suka itu.”
semoga cepet up lagi