Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 — Diusir dari Rumah yang Ia Bangun dengan Cinta
Hari-hari berikutnya menjadi saksi perubahan Farhan yang semakin jelas. Bukan lagi sekadar dingin, tapi seperti ada dinding kokoh yang tiba-tiba berdiri di antara mereka.
Dulu, setiap pulang kerja Farhan selalu memanggil,
"Wa… aku pulang."
Kini, suaranya hilang. Yang datang hanya suara pintu dibuka, langkah cepat, dan Farhan duduk di meja makan tanpa menunggu atau menoleh ke arah Zahwa.
Zahwa tetap berusaha.
Tetap melayani.
Tetap tersenyum.
Tetap sabar.
Tapi rupanya, kesabaran pun bisa retak ketika fitnah kecil tumbuh menjadi duri di dalam rumah.
---
Fitnah yang Disiram Perlahan
Rita semakin sering datang.
Kadang untuk numpang makan.
Kadang untuk “main”.
Kadang untuk menasehati Farhan tentang rumah tangganya, yang sebenarnya tak ada hubungannya dengannya.
Dan Bu Nina selalu mendukung anak gadis kesayangannya itu.
Satu sore, Zahwa baru saja selesai mencabut rumput di halaman. Tangannya kotor, keringat menetes, tapi ia tetap tersenyum melihat Farhan pulang lebih cepat.
Namun sebelum ia sempat mendekat, Rita sudah lebih dulu menyambut Farhan sambil berkata keras, jelas untuk Zahwa dengar.
“Han, Zahwa tuh sering keluar rumah lho. Sering banget. Katanya kerja… tapi jamnya aneh.”
Farhan berhenti melangkah.
Zahwa refleks mengangkat wajah.
“Kak Rita, aku keluar karena kerja sampingan. Kamu tahu itu.”
Rita berpura-pura kaget.
“Eh iya, kerja. Tapi sering banget lho Han. Hampir tiap sore, tiap pagi. Aku cuma takut orang ngomong macam-macam.”
Bu Nina menyambung dengan nada khawatir yang dibuat-buat.
“Betul. Zaman sekarang banyak kejadian. Perempuan keluar rumah sendirian itu… ya, ibu cuma jaga-jaga aja.”
Farhan menatap Zahwa dengan tatapan yang membuat jantungnya remuk.
“Wa, kamu keluar rumah sesering itu buat apa? Uang rumah ini kan sudah ada. Aku kan kerja.”
Zahwa menunduk.
Ia coba tersenyum, meski bibirnya bergetar.
“Han, kamu tau… aku kerja karena ingin bantu meringankan. Karena… gaji kamu sering diminta keluarga. Aku cuma—”
“Jadi kamu bilang aku nggak cukup? Kurang mencukupi sebagai laki-laki?” suara Farhan meninggi.
Zahwa terkejut.
“Masya Allah, bukan begitu maksudku…”
Tapi ucapan Zahwa sudah tak berarti.
Fitnah kecil itu sudah masuk.
---
Kemarahan yang Tak Lagi Tertahan
Malam itu, Farhan pulang semakin larut.
Saat masuk kamar, ia melempar ponselnya ke kasur dengan kasar.
Zahwa yang sedang melipat pakaian terlonjak kaget.
“Ada apa, Han?”
Farhan menatapnya dingin.
“Rumah ini… jadi omongan orang.”
Zahwa membeku.
“Omongan… apa?”
Farhan mengatur napas, tapi marahnya tak bisa disembunyikan.
“Apa benar kamu sering keluar, ngomongin masalah keluarga sama orang luar? Sama tetangga? Sama temen? Kamu bikin malu aku, Zahwa!”
Zahwa menggeleng cepat.
“Tidak… astaghfirullah… Han, aku hanya cerita sedikit ke Bu Tiara ketika Rita mengam—”
“Jadi kamu sebarkan aib keluarga?!”
Zahwa terdiam.
Napaknya hilang.
Suaranya tercekat.
Ia tak pernah menyebar aib.
Ia hanya mengadu… karena ia manusia.
Tapi bagi Farhan yang sudah termakan bisikan, penjelasan itu tak lagi punya tempat.
---
Puncak dari Segala Luka
Keesokan paginya, ketika Zahwa baru selesai shalat dhuha, suara keras dari ruang tamu membuatnya berlari keluar.
Farhan.
Bu Nina.
Rita.
Tiga orang itu berdiri dengan wajah tegang.
“Zahwa,” suara Farhan berat, “kita pisah dulu sementara.”
Zahwa terdiam.
“Pisah… sementara? Kenapa, Han?”
“Karena kamu bikin suasana rumah nggak nyaman. Kamu bikin ibu nggak tenang. Kamu bikin Rita takut tiap datang. Kamu keluar rumah sesukamu. Kamu cerita tentang keluarga ke luar.”
Rita menambahkan dengan menangis palsu,
“Itu demi kebaikan Farhan juga…”
Zahwa menatap mereka satu-satu.
Ia tak bisa berkata apa-apa.
Lalu Farhan mengucapkan kalimat yang menusuk lebuh dalam dari pisau mana pun.
“Untuk sementara… kamu tinggal di rumah Abangmu saja. Bawa barang kamu. Hari ini.”
Zahwa terbatuk menahan tangis.
“Han… ini rumah kita. Rumah yang aku rancang. Rumah yang aku bangun bersamamu. Masa aku… yang harus pergi?”
Bu Nina memotong cepat.
“Daripada rumah ini penuh negatif, pergilah dulu!”
Farhan tidak memandang Zahwa lagi.
Tidak menahan.
Tidak mencoba menjelaskan lebih halus.
Ia hanya menunjuk pintu.
“Pergi dulu, Wa. Sampai semuanya jelas.”
Dan pada saat itu…
Zahwa merasa seluruh dunia berhenti.
Perlahan, ia masuk kamar.
Mengemas pakaiannya.
Tanpa suara.
Tanpa bantahan.
Tanpa marah.
Ia tahu, kalau ia menangis di depan mereka, ia akan terlihat lemah.
Dan Zahwa… tak ingin terlihat lemah saat hatinya hancur berkeping-keping.
Saat ia melewati pintu rumahnya sendiri, angin sore menerpa wajahnya.
Sambil memeluk tas kecil berisi pakaiannya, Zahwa berbisik pelan:
“Ya Allah… kemana aku harus pulang kalau rumahku sendiri menolakku?”
Dan untuk pertama kalinya,
rumah yang Zahwa bangun dengan cinta,
menjadi tempat yang mengusirnya pergi.