Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Aula tengah kediaman Midnight terlalu mewah untuk satu percakapan pribadi. Langit-langit berukir simbol kuno, lampu kristal menggantung seperti bintang beku, dan setiap langkah menggema seakan ruangan itu sendiri mengawasi.
Arthur berjalan perlahan, menyentuh pinggiran meja panjang sekolah menikmati sensasinya.
“Sharon,” panggilnya, dengan nada lembut. “Jawablah satu hal. Kenapa kamu bertingkah seolah melupakan semuanya?”
“Apa?” Sharon membuka mata lebar.
Arthur menatap balik, mata merahnya menatap tajam. “Aku sudah menjelaskan ini … semuanya … bertahun-tahun lalu. Kau mengingatnya, kan?”
Sharon merasakan tubuhnya mengencang. Ia tidak tahu, tentu saja. Sharon asli yang tahu, namun sayang nya ingatan itu tidak ikut mengalir di dalam diri dia.
“aku …” Sharon menarik napas pelan. “Aku .. tidak ingat yang kamu bicarakan.”
Arthur terdiam. Sunyi itu berat. Ia mendekat, langkahnya tenang namun terukur, seolah mengamati reaksi Sharon.
“Tidak ingat?” ulangnya, lebih pelan. “Padahal aku ingat jelas kau mendengarnya dari mulutku sendiri.”
Sharon balas menatap. “Kalau aku bilang tidak ingat, ya tidak ingat!”
Arthur memiringkan kepala, seperti mempelajari sesuatu yang ganjil. Ada keraguan. Ada rasa curiga. Tapi juga ada… ketertarikan?
Namun akhirnya ia hanya menghela napas ringan.
“Kalau begitu, anggap saja aku sedang mengetesmu.”
Sharon tidak membalas, tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Arthur berhenti tepat di seberang meja, menatapnya dari jarak aman.
“Kau berubah,” katanya lirih. “Terlalu banyak berubah. Bahkan sampai hal seperti ini kamu berlagak lupa.”
“Manusia memang berubah,” balas Sharon tanpa ragu.
Arthur mengangkat alis. “Benarkah? Bahkan cara berbicaramu… bukan lagi cara berbicara Sharon Lux yang dulu.”
Sharon menahan napas sepersekian detik—lalu menatapnya datar.
“Kau mau bicara diplomatik atau mengomentari kepribadianku?”
Senang atau tidak, Arthur tertawa kecil. “Baiklah. Diplomatik dulu.” Ia meluruskan postur tubuhnya. “Aku ingin memastikan pemahamanmu mengenai tiga hal.”
Sharon menyilangkan tangan, menunggu.
Arthur mulai berkeliling meja seolah memperagakan sebuah pelajaran.
“Pertama,” katanya, “sejarah hubungan Lux dan Midnight. Kau pasti sudah tahu… keduanya tidak pernah benar-benar akur.”
Sharon mengangguk. “Itu bukan rahasia.”
Arthur menatapnya sekilas. “Kedua, perubahanmu yang mencurigakan. Kau tidak lagi bertindak seperti seseorang yang tumbuh di rumah Lux. Cara bicaramu… cara kau menilai sesuatu… seperti seseorang yang melihat dunia dari luar.”
Sharon refleks menegang.
Namun ia tetap menjaga wajah datarnya. “Aku hanya tumbuh,” jawabnya singkat.
Arthur tidak terlihat puas, tapi tidak menyanggah.
“Ketiga,” Arthur berhenti tepat di depan Sharon, “yang paling penting.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit.
“Keluarga Lux menyembunyikan sesuatu… sesuatu yang seharusnya menjadi milik Midnight.”
Sharon merasakan udara di aula mendadak membeku.
Arthur melanjutkan, suaranya tenang namun tajam bagaikan pisau.
“Aku hanya datang untuk mengambilnya kembali.”
Deg.
Sharon menegang, tapi bukan karena takut—melainkan karena firasat buruk.
Firasat bahwa apa yang dicari Arthur… bukan harta.
Bukan tanah.
Bukan gelar.
Melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Dan entah bagaimana, ia merasa dirinya berada tepat di tengahnya.
Sharon menatap Arthur tajam. “Kalau begitu, kau harus membuktikan apa yang hilang. Karena Lux juga berhak membela diri.”
Arthur tersenyum tipis. “Dengan senang hati.”
Aula kembali hening. Sunyi sekali.
Arthur berjalan mendekati Sharon seketika saja gadis itu menjadi panik, ia memasang pose siaga.
“untuk sekarang kalian boleh istirahat … topik utama akan kita bahas berdua nanti malam.”
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor