NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10. MEMASAK BERSAMA DAN KONEKSI YANG TERBENTUK

..."Di dapur yang sunyi, dua jiwa saling menyentuh tanpa kata, lewat aroma kaldu, lewat rasa yang pelan-pelan mengajarkan arti hidup kembali."...

...---•---...

Doni tidak tahu apakah ini melanggar aturan atau tidak. Napasnya tertahan sebentar, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Pasal 12. Tidak boleh ada interaksi personal yang tidak perlu. Tapi apakah ini tidak perlu? Atau justru ini yang paling perlu?

Ia melihat sesuatu di mata Naira: rasa ingin tahu. Percikan minat yang terlalu berharga untuk dibiarkan padam.

"Tentu. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di meja dapur. "Saya sedang masak sop iga sapi, menu makan siang hari ini."

Naira duduk, tangannya terlipat di atas meja. Matanya mengikuti setiap gerakan Doni dengan fokus yang intens, seperti sedang belajar sesuatu yang penting.

Doni melanjutkan pekerjaannya, berusaha tidak terlalu sadar akan tatapan itu. Ia mengambil iga sapi yang sudah direbus empat jam sampai empuk, dengan kaldu bening yang harum dan kaya rasa. Aroma daging dan tulang sum-sum memenuhi dapur, hangat dan mengundang. Sayuran sudah siap: wortel, kentang, tomat, daun bawang, seledri.

"Kenapa kaldunya bening?" tanya Naira tiba-tiba. "Biasanya sop iga agak keruh."

"Karena saya rebus dengan api kecil dan terus buang busanya selama empat jam pertama," jawab Doni sambil menumis bawang putih dan bawang bombai. Aroma harum langsung menyeruak, memenuhi ruangan. "Kaldu bening tandanya tidak banyak lemak atau kotoran. Rasanya jadi lebih bersih, lebih jelas tiap lapisannya."

"Empat jam?" Naira mengerutkan kening. "Lama sekali."

"Masakan terbaik butuh waktu. Tidak ada jalan pintas untuk rasa yang dalam," kata Doni sambil memasukkan sayuran ke dalam kaldu yang mendidih perlahan. Bunyi gelembung kecil pecah di permukaan, bunyi yang menenangkan. "Seperti penyembuhan, tidak bisa instan. Harus sabar."

Naira terdiam, mencerna kata-katanya. "Anda selalu bicara tentang makanan, tapi rasanya seperti bicara tentang hal lain."

"Karena makanan tidak pernah cuma soal makanan," ucap Doni, menambahkan garam, merica, dan sedikit pala. "Makanan itu komunikasi. Cara kita bilang 'aku peduli' tanpa perlu kata-kata."

"Itu sebabnya sambal terasi kemarin rasanya persis seperti punya Mama?" Naira tersenyum tipis. "Anda bilang 'aku tahu kamu kangen rumah' lewat sambal?"

"Mungkin." Doni ikut tersenyum. "Atau mungkin saya cuma beruntung dengan resepnya."

"Bukan kebetulan," balas Naira serius. "Anda tanya-tanya ke Bu Tuti. Saya tahu. Anda seperti riset tentang saya."

Doni tidak menyangkal. "Tugas saya bukan cuma masak. Tugas saya bikin Anda mau makan. Untuk itu, saya harus tahu apa yang Anda butuh."

"Tapi Anda tidak tanya langsung ke saya."

"Karena saya tidak yakin Anda mau jawab. Saya tidak mau maksa."

Naira mengangguk perlahan. "Anda benar. Kalau Anda tanya langsung di minggu pertama, saya pasti usir Anda dari dapur."

"Sekarang?"

"Sekarang…" Naira menatap panci yang beruap pelan, aroma iga dan sayuran memenuhi ruangan seperti pelukan hangat. "Sekarang saya penasaran. Anda mau tahu tentang saya lewat makanan. Saya mau tahu tentang Anda lewat cara Anda masak."

Doni tidak menyangka percakapan akan mengarah ke sana. "Tidak banyak yang perlu diketahui. Saya cuma koki biasa."

"Koki biasa tidak akan menang undian lalu habiskan empat jam rebus kaldu untuk orang asing," ujar Naira santai. "Anda punya restoran, kata Bu Tuti. Kenapa Anda ambil tawaran ini? Tiga tahun jauh dari bisnis sendiri itu risiko besar."

Doni mengaduk sop perlahan, membiarkan rasa menyatu. "Restoran saya hampir bangkrut. Ada utang bank, dan koki-koki yang bergantung pada gaji. Uang dari kontrak ini bisa menyelamatkan semuanya."

"Jadi ini soal uang?"

"Awalnya, ya." Doni mencicipi kuahnya dengan sendok kayu, menambahkan sedikit garam. "Tapi sekarang… saya tidak tahu. Ada hal lain."

"Apa?"

Doni menatap Naira. Untuk pertama kalinya, matanya tidak kosong. Ada keingintahuan, ada kehangatan, ada koneksi yang terjalin di antara mereka.

"Setiap orang yang masak untuk orang lain sedang berusaha menyembuhkan sesuatu," ucap Doni pelan. "Kadang orang yang dimasakkan, kadang diri sendiri."

"Kalau Anda?"

"Rasa bersalah." Kata itu keluar sebelum Doni bisa menahannya. "Tunangan saya meninggal lima tahun lalu dalam kebakaran. Saya selamat, dia tidak. Sejak itu, setiap kali saya masak, rasanya seperti saya menebus kesalahan yang tidak bisa ditebus."

Keheningan turun seperti kabut tebal. Naira tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan lembut, dengan mata yang mengerti rasa sakit seperti itu.

"Maaf," ucap Doni cepat. "Saya tidak seharusnya cerita. Pasal dua belas, tidak boleh terlalu personal."

"Lupakan pasal itu," kata Naira, suaranya tegas tapi hangat. "Anda sudah dengar cerita saya tentang Mama. Adil kalau saya dengar cerita Anda."

Doni mematikan kompor. Sop sudah matang. Ia menuang ke mangkuk, menata dengan rapi: iga di tengah, sayuran mengelilingi, daun bawang dan seledri di atas, emping di samping. Uap mengepul dari mangkuk, membawa aroma yang kaya dan menghibur.

"Sudah siap," katanya, mendorong mangkuk ke depan Naira. "Dimakan selagi hangat."

Naira menatap sop itu, lalu menatap Doni. "Makan bareng saya?"

"Saya tidak seharusnya…"

"Pasal berapa yang bilang Anda tidak boleh makan bareng klien?" Naira menaikkan alis. "Saya klien, saya yang minta. Jadi boleh."

Doni tidak bisa menahan senyum. "Logika yang menarik."

"Saya aktris, kami terlatih mencari celah di naskah." Naira tersenyum. Kali ini senyum itu sampai ke matanya.

Doni menuang sop untuk dirinya sendiri, duduk di seberang Naira. Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, hanya terdengar suara sendok menyentuh mangkuk dan gumaman puas dari Naira.

"Ini enak," katanya setelah beberapa suap. "Kaldunya bersih, tapi rasa dagingnya kuat. Dagingnya empuk, sayurnya pas."

"Terima kasih."

"Sari pasti bangga pada Anda." Naira menyebut nama tunangannya dengan lembut, penuh hormat.

Doni berhenti mengunyah. Sendok tertahan di tangannya. Dadanya terasa sesak, tapi bukan sesak yang menyakitkan, sesak dari sesuatu yang mengembang, dari grief yang akhirnya diakui dengan lembut oleh orang lain.

Tidak ada yang menyebut nama itu dengan nada seperti itu sejak lama. Biasanya orang canggung atau cepat ganti topik, seolah nama Sari adalah kata tabu yang tidak boleh diucapkan. Tapi Naira menyebutnya dengan hormat, dengan kehangatan, seperti menghormati kenangan orang yang pernah dicintai.

Matanya sedikit memanas. Ia berkedip cepat.

"Ia pasti ingin Anda bahagia lagi," lanjut Naira. "Bukan terus merasa bersalah. Orang yang mencintai kita tidak ingin kita menderita selamanya untuk mengenang mereka."

"Bicara dari pengalaman?"

"Mama. Sebelum meninggal, beliau bilang, 'Naira sayang, kalau Mama sudah pergi, jangan berhenti hidup. Mama ingin kamu tertawa, jatuh cinta lagi, makan enak, jalan-jalan. Hidup untuk dua orang, untuk Mama juga.' Tapi saya malah hampir mati ikut Mama. Bukan secara fisik, tapi secara emosional."

Doni hampir mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi ia urungkan. Pasal dua belas. Tidak ada kontak fisik. Lima ratus juta rupiah.

Namun Naira yang lebih dulu mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh punggung tangannya sekilas.

Sentuhan itu seperti percikan listrik kecil, hangat dan mengejutkan. Doni bisa merasakan warmth dari kulitnya, lembut dan nyata. Jantungnya berdetak keras, napasnya tertahan. Hanya sedetik, mungkin kurang, tapi terasa seperti dunia berhenti berputar.

Sentuhan singkat yang mengatakan lebih banyak dari ribuan kata: Aku percaya padamu. Aku tidak takut. Kamu tidak sendirian. Aku juga tidak sendirian.

"Terima kasih," ucapnya. "Untuk sop ini. Untuk semua makanan yang sudah Anda masak. Untuk peduli, meski itu bukan bagian dari kontrak."

"Itu selalu bagian dari masakan saya. Kontrak atau tidak."

Mereka menghabiskan makan siang sambil berbincang ringan. Naira bercerita tentang film-filmnya yang paling ia suka, yang paling berat. Doni bercerita tentang Dapur Sari, pelanggan setia, dan koki-koki muda yang ia latih.

Untuk pertama kalinya sejak Doni datang, rumah besar itu tidak terasa seperti penjara. Rasanya seperti rumah.

Setelah Naira kembali ke kamarnya, Doni duduk sendirian di dapur. Ia membuka laptop dan menatap spreadsheet.

Di kolom "Hari 11" ia menulis:

Sop iga sapi. Habis semua. Makan bersama untuk pertama kali. Naira mulai terbuka. Kemajuan signifikan.

Jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Lalu ia scroll ke bawah, ke bagian yang ia sembunyikan di sheet terpisah, yang tidak akan pernah ia tunjukkan pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri yang besok.

Ia mengetik perlahan:

Hari ini aku sadar, aku tidak hanya masak untuk menyelamatkan restoran. Aku masak untuk menyelamatkan seseorang yang butuh diselamatkan. Dan mungkin, dalam prosesnya, aku menyelamatkan diri sendiri.

Di luar jendela, matahari sore mulai miring. Cahaya keemasan menembus celah daun pohon di taman. Burung-burung berkicau lebih riang.

Dan di lantai dua, Naira Adani duduk di balkon kamarnya dengan perut kenyang untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan. Ia menatap langit yang mulai berwarna oranye, dan untuk pertama kali sejak perceraiannya, ia tidak berpikir tentang mati.

Ia berpikir tentang apa yang akan dimasak Doni untuk makan malam nanti. Apakah akan ada aroma bawang putih lagi? Atau mungkin sesuatu yang manis?

Dan itu, sekecil apa pun, adalah alasan untuk tetap hidup satu hari lagi.

Bukan karena dia ingin hidup untuk sesuatu yang besar. Bukan karena ada tujuan mulia atau mimpi besar. Hanya karena ada sesuatu yang kecil dan simple untuk dinanti-nantikan. Dan kadang, itu sudah cukup.

...---•---...

...Bersambung...

1
PrettyDuck
ini real. sama kayak aku yang bangun tidur langsung nanya dlm hati. pagi makan apa ya? siang? 🫠
PrettyDuck
ini naira lagi flirting bukan sih? wkwkwk
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
jadi ngiler... 🤤🤤 pake perasaan jeruk nipis.. kerupuk udang. nasi.. aahhh enakkk.🤤
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
dah boros gas aja masak 4 jam...
jiwa matematika aku meronta .🤣🤣🤣
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
kan.. dia sendiri lohh yang nyamperin. bukan Doni..
LyaAnila
foto dulu berarti. biar kalau mau lagi minta Doni buat bikinin yang sama persis😄😄
LyaAnila
pelan-pelan nggak papa. semuanya juga butuh proses kok. nggak langsung bisa sembuh
LyaAnila
betul dan aku sudah mendapatkan nya. meskipun hanya sebatas kakak adik😄
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
lanjutno dewe lah pak, aku cpek weh/Left Bah!/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
lah ktanya tugas dia hnya masak, trus skrg di sruh memagami secra emosional, gmn sih pak/Right Bah!/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
24 jam lah dipikir dia cctv hidup apa? weh dia manusia woy,
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
busyet busyet kek krja sama presiden aja beh
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
busyet knp nggk di genapi 100 pak biar afdol/Chuckle/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
nmun blm tntu di terima naira🥲
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
Karena kontrak yang di tulis dg perasaan akan membekas di hati dr od kontrak yg di tulis dg tinta
Cahaya Tulip
ah so sweet akhirnya hati yang terkunci sudh terbuka.. bu Ratna bosnya sdh makan tolong dimaklumi🤭
@dadan_kusuma89
Hati-hati, Don! Yang kau genggam adalah benda tajam, jangan sampai kau lepas kontrol melakukan tindak kriminal 😁.
@dadan_kusuma89
Kenyamanan sudah mulai timbul diantara kalian berdua. Aku harap, ini akan menjadi awal yang baik untuk kelangsungan hidup kalian ke depan.
@dadan_kusuma89
Kau tidak salah apapun terhadap Sari, Don! Bagaimanapun juga, hidup harus terus berjalan. Jangan sampai hidupmu terhambat karena kau selalu merasa bersalah terhadap seseorang di masa lalumu. Mantapkan hatimu, Don! Lihatlah ke depan!
Rezqhi Amalia
ka.n memang tugasnya. malahan dia dikontrak seribu hari
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!