Dibuang Suami, Dinikahi Duda Tajir

Nyonya Martha terkejut tak percaya saat tahu putranya sudah tidak ada di rumah di pagi buta seperti ini, apalagi saat melihat wajah Inara yang terlihat lelah dan sedikit pincang, pikirnya telah terjadi sesuatu tadi malam setelah ia memberikan madu ku*t yang ia peroleh dari salah satu temannya. padahal kejadiannya tidak seperti itu, Inara pincang karena kakinya sempat terkilir saat terjatuh dari atas tubuhnya Rayyan, itu semua murni terjadi karena kecelakaan, tidak seperti yang ada dalam pikiran ibu mertuanya.

Nyonya Inara memperhatikan menantunya yang saat ini kedapatan sedang menggendong baby Daffa.

"Inara, jika kau merasa lelah dan capek, sebaiknya kau istirahat saja di kamar, biarkan Baby Daffa di asuh oleh Suster Ana!"

Kemudian Suster Ana mendekat ia berusaha meraih tubuh mungil Daffa.

"tidak apa-apa Bu, Sus, saya baik-baik saja! Lagian sebentar lagi Daffa mau tidur, abis dikasih nen langsung mengantuk sepertinya!"

"yasudah, tapi setelah ini kamu istirahat ya, nanti ibu akan meminta Bik Sumi untuk membuat ramuan penguat stamina, biar kamu terap strong, ibu tahu pasti kamu sangat kelelahan kan semalam?" tanyanya penuh selidik.

Mendengar arah pembicaraan dari ibu mertuanya, Inara tercekat dan ia pikir bahwa dirinya dan Tuan Rayyan semalam telah....

Inara tak sanggup membayangkan semua itu, ia menggelengkan kepalanya cepat, sehingga membuat Ibu mertuanya mengernyitkan kening.

" kamu kenapa Inara? Apakah kamu baik-baik saja, hem?" tanyanya cemas.

" S... Saya tidak kenapa-kenapa Bu, Saya baik-baik saja! " jawabnya tersenyum hambar dan menunjukkan wajahnya yang tegang

.

.

Perusahaan Witjaksono

Pukul 06.30 pagi. Gedung Wijaksono grup yang megah masih diselimuti ketenangan. Hanya Rayyan, sang pemilik, yang sudah duduk di kursi kebesarannya di lantai paling atas. Ia datang jauh lebih pagi dari biasanya, dan keheningan perusahaan memberinya ruang untuk hanyut dalam pikiran.

Setelah pulang menemui dokter Jordan pagi-pagi buta, pikiran Rayyan terus berputar pada satu hal yaitu kondisi kesehatannya. Dokter bilang kondisinya mulai membaik. Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apa pemicunya? Apakah benar karena ramuan pahit yang telah disiapkan ibunya semalam? Atau... karena Inara?

Mengingat Inara, Rayyan teringat kejadian semalam. Ia meminta Inara memijatnya. Saat Inara menginjak punggungnya, wanita itu terpeleset dan jatuh tepat di atasnya. Jarak mereka begitu dekat, napas Inara bahkan menerpa wajahnya.

Rayyan perlahan menutup kedua matanya, menyandarkan kepala di sandaran kursinya yang empuk. Wajah cantik Inara yang hanya berjarak beberapa senti darinya terbayang jelas. Detik itu, tanpa sadar, seulas senyum tipis terlukis di bibirnya. Senyum yang sangat jarang ia tunjukkan.

Tok! Tok! Tok!

Pintu diketuk tiga kali, lalu didorong terbuka tanpa menunggu jawaban. Frans, asisten pribadinya, muncul dengan napas sedikit terengah dan raut wajah terkejut. Kehadiran Frans yang tiba-tiba membuat Rayyan tersentak dan segera menghilangkan senyumannya.

"Kau itu kebiasaan, kalau datang main nyelonong saja, Frans!"

Frans membungkuk sedikit."Maaf, Tuan. Saya sangat terkejut karena Tuan datang sepagi ini. Saya pikir saya yang paling pagi."

Kemudian Rayyan menghela napas "Sudah, lupakan. Ada perlu apa?"

 "Oh iya, Tuan. Kemarin malam saya mendapatkan panggilan telepon dari Nyonya Besar. Beliau meminta saya untuk mengurus acara ulang tahun perusahaan yang akan diadakan sebentar lagi. Bagaimana menurut Tuan?"

 "Lakukan apa yang diperintahkan oleh ibuku. Oh iya, aku juga ingin mengundang para saingan bisnisku, terutama keluarga Santoso!"

"Anda tenang saja, Tuan. Nanti saya akan langsung mengirimkan surat undangan kepada putra dari Pak Santoso, yakni Pak Hamdan. Setahu saya, dia baru saja menggelar acara pertunangan beberapa hari yang lalu dengan putri pemilik perusahaan properti, kalau tidak salah Tuan Abraham. Sepertinya Keluarga Santoso ingin lebih memperkuat perusahaan miliknya yang hampir terpuruk dengan cara pernikahan seperti ini!"

"Cih, sangat menjijikkan. Aku paling tidak suka pernikahan yang dilandasi mencari keuntungan seperti ini!"

TIba-tiba saja Rayyan bergumam dalam hati.

'Aku benci pernikahan semacam ini, tapi bukankah pernikahanku dengan Inara juga dilandasi pemaksaan? Sial! Aku tidak pernah menyangka keputusanku membeli hak paten desain sempurna milik Inara malah menjadi bumerang. Aku melibatkan dia dalam kesialan ini.'

 "Secepatnya kau undang perusahaan Santoso dan juga perusahaan milik Tuan Abraham itu. Setahuku seminggu yang lalu perusahaan itu mengajukan proposal kerja sama dengan perusahaan ku ini. Tak kusangka dia dan Santoso satu komplotan."

"Baik, Tuan. Akan saya siapkan daftar undangannya segera. Apakah Tuan memerlukan kopi atau sarapan pagi ini?"

 "Tidak, Frans. Kau urus saja undangannya dulu."

.

.

Abraham grup

Ruangan kerja Hamdan di lantai atas gedung Abraham grup terasa mewah, namun bagi Hamdan, ruangan itu terasa dingin dan sunyi. Pria itu kini resmi menjabat sebagai CEO, posisi yang didapatnya berkat pertunangannya dengan Megan Abraham, putri tunggal Tuan Abraham.

Hamdan duduk di belakang meja mahoni yang mengilap, memijat pelipisnya. Ia hampir tidak percaya betapa cepatnya hidupnya berubah. Dari putra konglomerat yang sempat diusir, kini ia kembali menduduki jabatan tinggi, mendapatkan kembali kemewahan yang selalu ia agung-agungkan.

"Uang memang segalanya," gumamnya sinis.

Hamdan adalah pria yang tak bisa hidup tanpa harta. Prinsip inilah yang membuatnya tega mengambil keputusan terberat dalam hidupnya, yakni membuang Inara dan putra mereka yang "istimewa", Daffa. Ia memilih kekayaan daripada keluarga kecilnya.

Namun, pengkhianatan itu datang dengan harga yang mahal.

Hamdan menyandarkan punggung, matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat pemandangan kota yang ramai.

Jauh di lubuk hatinya, Hamdan tahu ia berbohong pada dirinya sendiri. Ia masih sangat mencintai Inara. Inara adalah cinta pertamanya, wanita yang lembut hatinya, dan sosok yang ia dambakan.

Ia ingat masa-masa awal pernikahan mereka. Saat itu, ia begitu bahagia bersama Inara sehingga ia rela menentang restu orang tuanya. Pernikahan mereka bahkan sempat digelar tanpa dihadiri Ayah dan Ibunya. Itu semua ia lakukan demi Inara.

Tetapi, kebahagiaan itu layu ketika ia mulai merasakan pahitnya hidup dalam kesederhanaan. Hidup tanpa fasilitas, tanpa rekening tak terbatas, dan tanpa nama besar Keluarga Santoso terasa seperti siksaan. Hamdan menyerah.

Tepat saat ia hampir gila karena kemiskinan, kedua orang tuanya memberinya pilihan kejam.

Menceraikan Inara dan melepaskan Daffa, lalu mendapatkan kembali segalanya dari Keluarga Santoso atau tetap mempertahankan pernikahan mereka yang seumur jagung, dan hidup dalam kesengsaraan selamanya.

Hamdan, si pecandu harta, memilih yang pertama.

Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir bayangan Inara dan senyum polos Daffa. Ia sudah berusaha keras melupakan mereka, tetapi tidak bisa. Dalam hatinya, ia sangat merindukan Inara dan putranya, Daffa.

Saat ia tenggelam dalam penyesalan, telepon di mejanya berdering, memanggilnya kembali ke dunia nyata.

 "Ya, ada apa?"

"Maaf mengganggu, Pak. Ada paket dokumen dari Widjakson grup. Ini adalah surat undangan untuk acara ulang tahun perusahaan mereka, dan juga balasan proposal kerja sama yang kita ajukan minggu lalu."ucap sang sekertaris

"Witjaksono grup? Bawa masuk sekarang."

Beberapa detik kemudian, sekretarisnya meletakkan map tebal dan sebuah amplop formal di meja Hamdan. Hamdan mengambil amplop undangan itu, lambang perusahaan Witjaksono tertera jelas.

Hamdan mulai membaca perlahan. "Ulang tahun perusahaan... dan mereka mengundang kita. Bagus."

"Tuan Abraham sudah menyetujui, Pak. Beliau bilang ini adalah kesempatan bagus untuk menunjukkan soliditas kita setelah isu keuangan yang menimpa perusahaan Santoso."

"Tentu saja. Dan proposal ini?" Hamdan menunjuk map tebal.

"Mereka menyetujui kerja sama itu, Pak. Tapi mereka ingin bertemu langsung dengan Anda dan Tuan Abraham untuk finalisasi detailnya lusa pagi."

Hamdan menyeringai tipis, senyum yang tidak mencapai matanya.

"Sangat baik. Witjaksono grup akan menjadi batu loncatan sempurna untuk kita. Siapkan jadwalnya. Aku akan pastikan pertemuan itu berjalan lancar. Aku sudah terlalu lama menjilat ludah, sekarang saatnya aku mengambil alih apa yang seharusnya jadi milikku."

Hamdan berpikir, ia akan menghadapi Rayyan, salah satu pebisnis paling kejam dan paling sukses di kota itu. Namun, ia tidak peduli. Selama ada uang, semua risiko sepadan.

Bersambung...