Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khayalan Hanin
“Jangan asal bicara, dari mana kau mendapatkan informasi seperti itu?” tanya Awan mencoba mengelak.
“Kau pikir aku tidak bisa melacakmu, dari mana pun berita itu aku hanya ingin mengingatkanmu untuk tidak lagi mendekati Hani.”
Awan beranjak, lalu mendekati Satya. Dengan sikap sok akrab merangkul bahu Satya untuk meraih simpatinya. Namun, tanpa segan Satya menyingkirkan tangan Awan dari bahunya. Awan berpikir harus menghadapi Satya dengan cara yang baik.
“Aku menghormatimu sebagai saudara Hanin, jadi alangkah baiknya jika kita berteman saja. Lagi pula dengan keadaannya yang seperti itu, kemungkinan tidak akan ada yang bersedia menjadi kekasihnya.”
Plakk!!
Satu tamparan tak terduga mendarat di wajah Awan. Dua teman Awan langsung menghampirinya.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa.” Awan memegangi wajah sebelah kirinya menahan geram.
“Itu hanya untuk mengingatkanmu supaya kau berhati-hati dengan ucapanmu.” Satya menghampiri Hanin, kemudian membawanya meninggalkan kantin. Sekali lagi mereka harus batal menikmati makanan yang sudah dipesan itu.
Sebelum tiba di kelas, Satya mendapatkan laporan dari teman satu kelas bahwa anak yang diberinya makanan saat ini juga masuk rumah sakit karena sakit perut. Hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang tidak beres dengan makanan yang mereka pesan dan kemungkinan ada hubungannya dengan sakit perutnya Zaki.
Satya menjadi cemas. Di sepanjang perjalanan pulang sekolah dia melihat ke arah Hanin yang duduk tenang di belakang. Melihat Hanin baik-baik saja saat ini Satya sedikit merasa lega.
Tiba di rumah, Satya langsung berganti pakaian dan siap-siap pergi lagi. Melihat gelagatnya, Miranda mengejarnya.
“Kau mau ke mana, Satya?” tanya Miranda dari ambang pintu.
“Ada pertemuan sebentar dengan teman, Mah.”
“Tapi ada hal penting yang ingin mama bicarakan denganmu!”
“Nanti saja setelah pulang!”
Satya tampak sangat terburu-buru. Menyalakan motornya dan dalam sekejap motor itu melesat pergi meninggalkan halaman rumah.
Miranda mencari tahu melalui Hanin tentang kepergian Satya yang begitu terburu-buru.
“Kak Satya tak mengatakan apa pun di sepanjang jalan. Hanya saja hari ini ada kejadian beberapa teman satu kelas tiba-tiba sakit perut dan akhirnya dibawa ke dokter bahkan ke rumah sakit,” cerita Hanin.
“Mereka keracunan makanan maksudmu?”
“Belum tahu, Mah, mungkin itu juga ada hubungannya dengan kepergian Kak Satya.”
“Tapi kalian berdua baik-baik saja, Kan?” Miranda bertanya cemas, kemudian memeriksa keadaan Hanin.
“Mama bisa lihat sendiri kami baik-baik saja.”
Selama ada Satya di sampingnya, Hanin cukup merasa tenang. Kekhawatiran hari itu di sekolah akan cemoohan teman-temannya pun memudar. Hari pertama masuk sekolah dirinya baik-baik saja dan itu semua berkat Satya.
••
Ketika tiduran di kamarnya, Hanin senyum-senyum sendiri mengingat semua kejadian hari itu di sekolah. ‘Andai saja aku memiliki pacar yang baiknya seperti Kak Satya, mungkin Kakak tidak akan melarangku menjadi pacar orang itu, tapi apa ada orang yang sifatnya seperti Kak Satya?’
Hanin senang saat Satya menggendongnya, dia bisa melihat wajah tampan kakaknya secara diam-diam yang membuatnya berkhayal Satya adalah kekasihnya dan bukan kakaknya. Pria yang nyaris sempurna baik batin maupun fisiknya.
‘Perempuan yang kelak menjadi istrinya pasti beruntung,’ batinnya.
Hanin mendengus kesal setiap kali menyadari bahwa pria yang ada dalam angan-angan menjadi suami adalah Satya. Yang itu mustahil karena Satya adalah saudara laki-lakinya sendiri. Di sisi lain Hanin harus bersyukur bisa menjadi saudara perempuan Satya yang sangat menyayangi dirinya.
Hanin tertidur tanpa sadar dengan senyum tersungging di bibirnya. Khayalannya terbawa hingga ke dalam mimpi. Bersama Satya di sebuah padang yang dipenuhi bunga. Berlarian kejar-kejaran di rerumputan yang hijau. Menaiki perahu di tengah laut yang airnya jernih dan dipenuhi kerlap kerlip pantulan cahaya matahari. Sedetik kemudian tiba-tiba mereka sudah kembali di tengah ladang tanaman bunga. Satya menghampirinya begitu dekat dengan dirinya. Mendekatkan wajahnya hingga begitu jelas hidung mancungnya, sepasang mata yang menyejukkan dan bibir merah yang membuat Hanin berpikir untuk memejamkan kedua matanya.
“Auw!!”
Hanin membuka kedua matanya kaget, menyentuh bibirnya yang terasa dingin.
“Kak Satya?? Apa yang barusan kau lakukan?” melihat wajah Satya dekat di hadapannya Hanin menyingkir langsung menuduhnya telah melakukan sesuatu pada dirinya.
“Kau mimpi apa barusan?” tanya Satya.
Dicecar pertanyaan itu Hanin tak berani berterus terang mengenai mimpinya, Satya pasti menertawakannya.
“Bukan apa-apa,” jawab Hanin kelimpungan.
Melihat wajah Hanin yang merona Satya merasa gemas untuk terus menggodanya.
“Katakan siapa yang sudah berani ingin menciummu hah?” Satya pura-pura marah.
“Kak, itu hanya mimpi. Apa Kak Satya ingin memarahinya juga.”
“Jadi, benar kau bermimpi seperti itu?”
Akhirnya jebakan Satya untuk membuat Hanin berbicara jujur berhasil menjebaknya juga. Meskipun secara tidak langsung Hanin mengakui seseorang ingin menciumnya di dalam mimpi.
“Sudah lupakan saja, hanya mimpi untuk apa dibahas.” Hanin beranjak duduk. “Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Empat sore.
“Hani belum mandi.”
“Akan kakak siapkan.”
“Tunggu, Kak!” Hanin mencekal lengan Satya. “Tadi yang dingin di bibir Hanin itu apa?” tanya Hanin penasaran.
Menyadari masih ada tatapan curiga adiknya, Satya kembali mengerjainya.
“Kak Satya tadi habis minum es,” jawab Satya.
“Tapi mengapa bibir Hani terasa dingin juga.”
“Itu rahasia.” Satya berlalu pergi menuju kamar mandi membuat Hanin bertambah penasaran. Hanin benar-benar berpikir Mungkinkah Satya memang mencium dirinya seperti yang hampir terjadi di dalam mimpi. Jika benar itu terjadi ...,
‘Ah tidak mungkin, dia kakakku tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu, tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi. Kak Satya seorang pria dan belum memiliki pacar, lalu penasaran dan dia menggunakan diriku sebagai kelinci percobaan.’
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Hani? Semenjak tadi kau terus geleng-geleng kepala. Sebaiknya kau minum ini supaya otakmu juga dingin.” Satya menyodorkan jus alpukat yang masih terlihat dingin ke hadapan Hanin sampai menyentuh hidungnya. Rasa dingin itu sama persis dengan yang dirasakannya saat bangun tidur. Hanin meminumnya hingga habis separuh.
“Jadi bagaimana? Pikiranmu sudah jernih sekarang?” tanya Satya.
“Jadi yang aku rasakan dingin itu ini?” tebak Hanin.
“Entah.” Satya mengangkat kedua bahunya kembali memberikan jawaban yang tak jelas. Dan Hanin lebih merasa yakin memang cup berisi jus itu yang menempel di bibirnya, Satya sepertinya memang sengaja sedang mengerjainya.
Setelah membantu Hanin ke kamar mandi, Satya masih harus menunggunya sampai Hanin selesai. Satya yang merasakan lelah tak sengaja ketiduran di kamar itu dan bangun dengan kaget ketika Hanin memanggil dirinya.
Satya bergegas menuju kamar mandi. Menghampiri Hanin yang duduk di tepi bathub dengan piama handuk. Sebelumnya Satya selalu mengangkat tubuh Hanin sampai di tempat tidur. Namun, kali itu Satya berpikiran lain.
“Kakak pikir ini sudah saatnya kau mencoba jalan sendiri, Hani, kakak yakin kau sudah mampu berjalan,” pikir Satya.
“Jadi, Kak Satya sudah capek membantu Hani?” Hani merajuk.
“Kalau kakak merasa capek sudah dari satu bulan yang lalu. Kak Satya tentu saja lebih senang melihatmu kembali berjalan dengan normal, apa kau tidak ingin seperti itu?”
Hanin menganggukkan kepalanya.
“Itu artinya kau setuju untuk mencobanya kan?”
“Tapi Kakak jangan jauh-jauh, kalau Hani jatuh bagaimana?”
“Kakak siap menangkapmu.”
Hani tersenyum setelah Satya meyakinkannya.