NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengajukan Perceraian

Aku sudah bersiap. Beberapa berkas penting yang dibutuhkan untuk mengajukan perceraian sudah kumasukkan rapi ke dalam map cokelat di atas meja. Nafasku terasa berat dan seolah setiap lembar dokumen itu membawa beban yang menekan dada. Saat hendak berdiri, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kevin masuk pelan, lalu duduk di tepi ranjangku.

“Mbak…” panggilnya lirih, pandangannya menunduk.

“Ada apa, Vin?” tanyaku, mencoba menatap matanya meski perasaanku masih campur aduk.

“Mbak yakin mau ngajuin sekarang juga? Aku lihat, mbak masih butuh waktu buat nenangin diri,” ucap Kevin ragu. Nada suaranya lembut, tapi terasa khawatir.

Aku menarik napas panjang, lalu ikut duduk di sebelahnya. Yang dikatakannya memang benar. Aku masih emosi, masih marah, masih kecewa. Tapi kalau aku tidak melakukannya sekarang, mungkin nanti aku justru goyah. Aku tahu diriku seperti apa karena aku bisa saja luluh lagi kalau melihat Keenan menangis minta ingin ketemu papanya.

“Mbak udah yakin, Vin. Mbak nggak mau nunggu lama-lama. Lagian para tetangga juga udah tahu semua. Mereka lihat sendiri drama keluarga kita tadi pagi,” ucapku berusaha tersenyum, meski hatiku terasa ngilu.

Kevin mengangguk pelan. “Kalau gitu, kalau keputusan mbak udah bulat, aku dukung. Tapi jujur, aku nggak rela kalau mbak balik lagi sama si Rendra itu.”

Aku menatap adikku itu, matanya tampak sungguh-sungguh. Senyum tipis muncul di bibirku.

“Tenang aja. Mbak udah cukup belajar dari luka.”

“Yaudah, kita berangkat sekarang aja. Mumpung Keenan dibawa ibuk kerja ke rumah depan,” ajakku. Kevin langsung bangkit dan mengangguk setuju.

**

Beberapa jam kemudian, aku sudah berada di pengadilan agama. Semua berkas sudah diserahkan, syarat-syarat pun lengkap. Petugas menyuruhku menunggu panggilan sidang dalam beberapa hari ke depan. Rasanya aneh karena seperti baru saja menandatangani akhir dari sebuah babak hidup yang dulu kuimpikan indah.

Keluar dari gedung pengadilan, aku melihat Kevin sudah menungguku di parkiran sambil bersandar di motor.

“Udah siap, mbak?” tanyanya.

“Udah,” jawabku pendek. Aku mencoba tersenyum, tapi entah kenapa rasanya hambar.

Kami pun kembali ke rumah. Kevin tak sempat turun, ia langsung berangkat kerja setelah mengantarku. Aku masuk ke dalam rumah, meletakkan map di meja ruang tamu, lalu mengganti pakaian dengan daster yang lebih nyaman. Suasana rumah sepi. Keenan masih di rumah depan, mungkin sedang bermain. Aku khawatir dia rewel atau mengganggu ibuk yang sedang bekerja.

Dengan sedikit ragu, aku melangkah keluar menuju rumah besar di depan. Rumah itu tampak lebih megah dibanding rumah kami,bahkan catnya masih baru, halamannya rapi dengan beberapa pot bunga yang disiram segar. Aku sempat menatap pagar putihnya, menenangkan diri sebentar, lalu mengetuk pelan pintu kayu di depanku.

“Assalamualaikum,” sapaku hati-hati.

“Waalaikumsalam.”

Suara berat menjawab dari dalam. Pintu terbuka, dan aku melihat sosok pria muda yang kukenal,karena beberapa kali kami memang pernah ketemu dan kebetulan dia anak pemilik rumah ini. Bahkan tadi pagi dia yang membantu melerai Kevin dan bang Rendra. Bahkan membantu bang Rendra mengobati lukanya.

“Maaf, Mas… ada ibu saya?” tanyaku, agak canggung.

“Ada, masuk aja. Ibu kamu di belakang, lagi sama mama saya,” jawabnya ramah sambil sedikit menyingkir memberi jalan.

Aku mengangguk pelan, lalu melangkah masuk. Aroma wangi jus jeruk langsung tercium dari arah dapur. Saat sampai di belakang, mataku menangkap pemandangan yang tak kuduga. Ibuk tampak santai duduk di meja makan bersama seorang wanita paruh baya berparas cantik dan berkelas,kulitnya terawat, senyumnya lembut, auranya berwibawa tapi hangat. Mereka berdua malah tampak akrab, tertawa sambil menikmati jus dingin. Sementara Keenan duduk manis di karpet, memainkan mainan mobil-mobilan dengan mulut belepotan sisa biskuit.

“Buk,” panggilku pelan.

Ibuk menoleh, sedikit terkejut akan kehadiranku.

“Aini? Kamu ke sini?”

“Iya, Aini mau jemput Keenan. Takutnya Keenan lasak, ganggu ibuk kerja,” jawabku, sambil melangkah menghampiri anakku yang langsung memeluk kakiku.

“Enggak kok, dia anteng banget malah,” sahut ibuk sambil tersenyum.

“Oh iya, Buk Ratna, kenalin ini anak perempuan saya yang sering saya ceritain,” kata ibuk memperkenalkanku dengan wanita di sebelahnya.

Aku buru-buru tersenyum sopan dan menjabat tangannya beliau.

“Aini, Bu.”

“Ratna. Panggil aja Tante, ya,” balasnya ramah, senyumnya benar-benar menenangkan.

“Aininya cantik banget, pantesan aja Ibu Ira masih cantik di usia segini. Dan saya tebak dulunya juga pasti sangat cantik waktu muda.”

Ibuk langsung tertawa malu sambil memukul pelan lengan bosnya.

“Ah, Buk Ratna bisa aja.”

Aku hanya bisa mengerling kecil. Dalam hati aku heran, bisa-bisanya ibuk bersikap seluwes itu sama atasannya. Kupikir kerja di rumah orang kaya bakal bikin ibuk kaku dan tegang, ternyata malah santai begitu. Pantas saja tadi pagi ibuk melarangku menggantikan dia kerja.

“Gimana urusannya tadi?” tanya ibuk kemudian.

“Lancar, Buk,” jawabku singkat.

Suaraku sedikit pelan, karena malu juga kalau urusan rumah tanggaku dibahas di depan orang lain. Tapi sepertinya ibuk sudah cerita banyak dengan Tante Ratna.

“Oh ya, Aini…”

Tante Ratna berdiri, lalu menoleh ke arah pria yang tadi membukakan pintu untukku.

“Kenalin, ini anak Tante satu-satunya, Arsya.”

Aku refleks menatap pria itu lagi. Wajahnya tenang, ada sedikit kemiripan dengan ibunya yang tegas tapi ramah. Ia mengulurkan tangan sopan.

Aku menyambut sekadarnya.

“Aini,” ujarku singkat, lalu buru-buru menarik tanganku kembali. Entah kenapa jantungku berdetak sedikit lebih cepat karena malu juga.

“Kalau gitu, Aini pamit dulu, Buk, Tante, Mas Arsya,” ucapku sambil membujuk Keenan untuk pulang. Syukurlah, Keenan langsung nurut.

“Besok-besok Keenan main ke sini lagi, ya. Minta ikut saja sama neneknya kalau mau ke sini. Oma senang kalau ada anak kecil di rumah,” kata Tante Ratna, lalu mengecup pipi Keenan dengan sayang.

Aku tersenyum kecil. “Terima kasih, Tante.”

Saat aku hendak melangkah pergi, Tante Ratna kembali memanggilku.

“Aini!”

Aku menoleh.

“Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja sama Tante, ya. Tante bisa bantu cariin kuasa hukum supaya proses perceraian kamu lancar.”

Aku terdiam sejenak. Sungguh, aku tahu niatnya baik, tapi rasanya seperti ada yang menekan dadaku. Masalah rumah tanggaku sudah cukup jadi tontonan tetangga dan aku tak ingin kini jadi bahan kasihan orang lain. Meski begitu, aku tersenyum sopan dan mengangguk pelan.

“Terima kasih banyak, Tante. Aini pamit dulu, ya.”

Dengan Keenan di gendongan, aku berjalan pulang. Di belakangku, aku masih bisa mendengar suara tawa ibuk dan Tante Ratna yang kembali melanjutkan obrolan. Sementara hatiku terasa hampa, antara lega, lelah, dan takut menghadapi hari-hari selanjutnya sebagai seorang perempuan yang sebentar lagi akan benar-benar sendiri dan membesarkan anaknya sendiri.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!