Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Menjauh Darinya
“Kau yang amnesia Marchel, aku bukan siapa-siapamu sekarang. Kau tidak ingat malam itu kau menceraikan aku, kau menjatuhkan talak padaku? Kau mencampakkan aku Marchel,” balas Hulya dengan air mata yang meluncur bebas dari kelopak indahnya.
Marchel terdiam, saking fokusnya untuk merawat Hulya, dia lupa kalau saat ini Hulya bukanlah istrinya lagi.
“Hulya, kita bisa rujuk kembali, kita masih bisa mempertahankan rumah tangga kita kan,” balas Marchel sambil menangkup wajah Hulya.
“Tapi aku tidak, Marchel.”
“Tidak, maksudmu?”
“Aku tidak ingin rujuk denganmu, kau terlalu mengerikan bagiku.” Marchel terpaku, situasi saat ini sedang tidak baik.
“Sudahlah, kita bisa memikirkan hal ini nanti, yang jelas sekarang kita pulang dulu ya.”
“Aku tidak mau ikut denganmu lagi, aku trauma kembali ke mansion itu, kenangan di mana kau menyiksaku, tidak mudah untuk dilupakan.” Marchel terlihat frustasi, dia tidak ingin kehilangan Hulya.
“Jangan begini, kalau kamu tidak ingin ke mansion, kita akan ke apartemen, kamu bisa istirahat di sana tapi ikutlah bersamaku, aku akan menjagamu.”
“Menjaga bagaimana? Kau tidak lihat kondisiku sekarang? Aku begini karena amarahmu, Marchel. Aku butuh ruang untuk sendiri, aku tidak ingin ikut denganmu atau bersamamu lagi, kau dengan kejamnya sudah membunuh anak kita.”
Marchel benar-benar tidak bisa lagi mengontrol hatinya, dia takut untuk memaksa Hulya tapi dia juga tidak ingin kehilangan Hulya.
“Kali ini saja Hulya, tolonglah aku, jangan berpikir untuk jauh dariku dulu, kau membutuhkan aku dan aku sadar dengan semua kesalahanku itu.”
“Aku tidak membutuhkan kamu Marchel, dulu aku menerima semua keinginanmu, aku tidak pernah membantah apapun yang kau katakan dan untuk kali ini, aku mohon, kabulkan permintaanku. Aku ingin sendiri dulu, tolong mengertilah.”
Marchel melihat wajah Hulya yang berkata penuh tekad, akhirnya diapun mengalah demi kesehatan Hulya sendiri.
“Baiklah, sampai kapan kau akan menjauh dariku?”
“Entahlah, yang jelas saat ini aku ingin sendiri.”
“Oke, kamu mau ke mana?”
“Aku ingin menyewa apartemen.”
“Untuk apa menyewa? Aku memiliki banyak apartemen, kamu bisa pilih untuk tinggal di mana saja.”
“Aku tidak mau menempati sesuatu yang masih berhubungan denganmu, aku ingin kehidupanku sendiri.”
“Baik, aku akan carikan apartemen yang bagus untukmu.”
“Tidak perlu, aku bisa mencarinya sendiri, Marchel.”
“Hulya, tolong jangan keras kepala, aku sudah menuruti keinginanmu. Biar aku yang mencarikan...”
“Aku bisa cari sendiri Marchel, lebih baik kamu pulang dan aku akan pergi. Aku tidak ingin dekat denganmu dulu.” Suara Hulya mulai meninggi, Marchel terdiam lalu mengangguk pasrah.
“Tolong jangan pergi jauh dari kota ini, Hulya.”
“Aku tidak akan jauh tapi dengan syarat, kau tidak boleh menguntitku atau menampakkan wajahmu padaku. Biarkan aku tenang dengan hidupku sendiri, Marchel.”
“Ya aku setuju, aku berharap ini tidak akan lama.”
Mereka berjalan keluar rumah sakit, Hulya menaiki taksi, dia diberi bekal kartu kredit dan ATM oleh Marchel. Semua kebutuhan Hulya akan dia penuhi walau pun mereka tidak bersama lagi.
...***...
Hulya memilih untuk tinggal di kota yang berbeda dengan Marchel, dia benar-benar memilih menjauh dari mantan suaminya itu, ketakutan dan trauma yang dia alami membuat dirinya mantap untuk meninggalkan Marchel.
Tanpa sepengetahuan Marchel, Hulya pergi ke Los Angeles, California. Memulai kehidupan baru di sana dengan uang tabungan yang memang dia miliki, dia sama sekali tidak akan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Marchel.
Perjalanan panjang dilalui oleh Hulya, kondisinya yang masih sakit seperti itu membuat dia kelelahan. Hulya memilih apartemen yang berada di pusat kota agar nyaman dan mudah untuk pergi ke mana pun.
Dia menempati unit yang sangat strategis saat ini, Hulya benar-benar bisa bernapas lega ketika dia tinggal sendiri tanpa Marchel.
“Maaf Marchel, aku mungkin tidak akan rujuk lagi denganmu, kau sangat menakutkan,” gumam Hulya sebelum memejamkan matanya.
...***...
Marchel memenuhi janji untuk tidak mencari tahu keberadaan Hulya. Tapi bukan Marchel jika dia menyerah begitu saja, dia melacak ponsel Hulya dan masih berada di New York tanpa Marchel tahu kalau Hulya sudah memanipulasi titik lokasinya.
Seminggu tinggal di apartemen itu, Hulya mulai bangkit, dia membangun kembali bisnis butik yang pernah dia jalani selama ini. Wanita 24 tahun itu menjalani kebebasan selama seminggu ini, hidup dalam kedamaian tanpa kekangan dari siapa pun termasuk Marchel.
Butik tersebut memang masih baru tapi dengan dana yang Hulya miliki, butik bisa berdiri dengan kuat dalam waktu singkat.
Setelah seharian di butik, Hulya pulang ke apartemen dengan semangat, baginya kehidupan saat ini sungguh nikmat dari kehidupan bersama Marchel dulu.
Walau pun Marchel meratukan dirinya tapi sikap posesif dan obsesif Marchel sedikit membuat Hulya tertekan, belum lagi kalau Marchel marah.
Ketika sedang mandi, lampu di apartemennya mati, dia segera menyelesaikan mandi dan berpakaian. Hulya memeriksa apakah ada yang konslet, ternyata ada, lampu di kamar lain ternyata putus dan meledak.
Hulya keluar dari apartemennya, kebetulan melihat seorang pria dengan pakaian teknisi listrik.
“Maaf, tolong perbaiki lampu di unit saya, lampunya mati,” pinta Hulya dengan sopan dan ramah tapi pria itu justru menatapnya dengan dingin dan cuek.
“Aku sibuk.” Pria itu meninggalkan Hulya begitu saja, Hulya mengejarnya.
“Tolonglah, aku ada banyak pekerjaan malam ini, jika lampunya mati, aku tidak bisa bekerja, aku mohon.” Karena melihat Hulya memohon begitu, pria tadi mau membantu.
Dia memperbaiki listrik di unit Hulya sehingga semua membaik dan seperti biasa lagi, Hulya memberikan uang pada pria itu.
“Kau pikir aku ini tukang listrik?” Hulya menganga, dia menatap pria itu dari atas sampai bawah dan memang dia memakai pakaian seragam teknisi listrik.
“Tanpa aku tanya, seragammu ini sudah menjawabnya.” Pria itu mendengus kesal setelah melihat pakaian yang menempel di tubuhnya itu.
“Aku tidak butuh uangmu.” Pria itu pergi meninggalkan Hulya begitu saja.
“Kalau begitu terima kasih sudah membantuku.”
“Hm.”
Hulya mengantarkan pria itu keluar, saat akan menutup pintu, dia melihat pria tersebut memasuki unit yang berada tepat di depan unitnya.
“Siapa namamu?” seru Hulya dan tanpa menoleh, pria itu menjawab tegas.
“Dexter Dellucci, kau bisa memanggilku Dexter.”
“Saya Hulya.” Pria itu menutup pintunya tanpa mendengarkan perkataan Hulya.
...***...
Malam harinya, Hulya keluar mencari bahan makanan untuk dimasak besok, karena kesibukannya, dia tidak memiliki waktu untuk belanja di siang hari. Hulya ke supermarket yang tidak jauh dari apartemennya.
Ketika keluar, dia berpapasan dengan Dexter— pria tegap dan kokoh itu terlihat rapi dengan kemeja hitam serta pakaian formal yang membuat penampilannya sangat berbeda dengan tadi.
"Malam, Dexter," sapa Hulya dengan ramah, dia tidak mengharapkan balasan dari pria tersebut karena pria itu sangat dingin.
"Malam Hulya, mau ke mana?" tanya Dexter dengan ramah, sangat jauh dari perkiraan Hulya tadi.