 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Keesokan harinya, pagi mulai datang dengan cahaya mentari yang mulai masuk menyinari wajah yang masih terlelap itu, perlahan Aisy terbangun dari tidurnya, tangannya sempat meraba sisi kiri ranjang dan ternyata benar suaminya sudah tidak ada.
Lalu wanita cantik itu mulai terduduk sambil menatap nanar ruangan yang terasa sunyi dan hampa, senyum getir mulai terukir dari sudut bibirnya, ternyata benar apapun kondisinya saat ini dirinya bukan lagi menjadi prioritas suaminya lagi.
Aisy mulai beranjak dari ranjangnya, kakinya perlahan mulai melangkah ke arah jendela kamar, tempat yang biasa selalu memberikan kenyamanan tersendiri bagi dirinya.
"Mas Reyhan ....," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Aasy menatap suasana pagi dengan penuh kegundahan, namun di saat rasa gelisah mulai menyerangnya kembali tiba-tiba saja bayangan seorang anak kecil di rumah sakit kemarin terbesit dalam ingatannya.
"Zea ...." bibir ranum itu mulai sedikit bergetar memanggil nama anak itu.
Entah kenapa nama itu seperti memberi warna baru dalam hidupnya, seolah ia merasa dibutuhkan, apalagi dengan suara yang memanggilnya 'Mama' sebutan itu sudah lama ia nantikan sejak dulu.
"Mama ...." ucapnya lagi.
Kata-kata itu seolah membawa ketenangan dan rasa dihargai ada di dalam dirinya melalui sebutan yang diberi oleh seorang anak kepadanya.
"Zea ... kenapa kamu memanggilku Mama, padahal aku sudah lelah, aku sudah putus asa, karena panggilan itu tak kunjung aku dapatkan," ucap Aisy yang mulai berbicara sendiri.
Tanpa dia sadari Bi Jum mendengarkan celotehan Aisy, dan wanita paruh baya itu merasa bersyukur, akhirnya setelah dua Minggu ini majikannya diam seribu bahasa, kini mulai mau berbicara kembali meskipun hanya sendiri.
Pintu kamar terbuka perlahan, menampakkan sosok Bi Jum yang berdiri di ambang pintu sambil menenteng nampan berisi segelas susu hangat dan roti tawar yang masih mengepul.Wajah wanita paruh baya itu tampak teduh, tapi di balik tatapannya tersimpan rasa haru dan syukur.
“Alhamdulillah… Ibu udah bangun,” ucap Bi Jum pelan, takut mengagetkan.
Aisy menoleh perlahan. Matanya masih sembab, tapi ada sedikit kehidupan di sana secuil cahaya yang kemarin tak pernah tampak.
“Pagi, Bi,” jawabnya lirih.
Suara itu, meski pelan, membuat air mata Bi Jum hampir menetes. Dua minggu lamanya rumah ini hanya diisi diam dan isak dalam tidur, dan pagi ini untuk pertama kalinya suara lembut itu terdengar lagi.
Bi Jum mendekat, meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela. “Ini, Bu… minum dulu, ya. Perut kosong nanti malah masuk angin.”
Aisy mengangguk pelan. Tangannya sempat gemetar saat memegang gelas, tapi ia berusaha meneguk perlahan. Hangat susu itu seperti mengalir hingga ke dadanya bukan hanya karena suhu, tapi karena rasa peduli yang tulus dari orang yang masih setia di sisinya.
“Bi…” panggilnya lirih setelah beberapa saat.
“Iya, Bu?”
“Kalau… aku mau keluar rumah, boleh?”
Bi Jum menatapnya sedikit terkejut. “Mau ke mana, Bu? Badan Ibu kan belum benar-benar kuat.”
Aisy menatap keluar jendela, cahaya matahari menimpa wajahnya, memantulkan keindahan yang nyaris sirna karena duka.
“Aku cuma mau cari udara… ke tempat itu. Rumah sakit kemarin. Aku pengin ketemu anak itu lagi, Bi.”
Bi Jum mengerutkan kening. “Anak yang kemarin, Bu? Yang manggil Ibu ‘Mama’ itu?”
Aisy mengangguk pelan. “Iya, dia. Zea.”
Senyumnya getir tapi lembut. “Aku gak tahu kenapa… tapi waktu dia peluk aku, rasanya seperti Tuhan ngasih aku kesempatan buat… hidup lagi.”
Bi Jum menunduk, terharu. “Kalau begitu, aku temani Ibu, ya.”
Aisy hanya tersenyum samar. “Boleh. Tapi nanti siang aja, ya, Bi. Sekarang aku mau duduk di sini dulu.”
Bi Jum mengangguk dan keluar perlahan, membiarkan majikannya menatap langit pagi dengan mata yang sedikit lebih hidup dari kemarin.
Dari jendela, Aisy memandang pepohonan yang bergoyang diterpa angin lembut.
Suara burung yang bernyanyi terasa menenangkan dan untuk pertama kalinya setelah sekian hari, ia memejamkan mata tanpa air mata.
Dalam hatinya ia berbisik, “Mungkin aku gak bisa punya anak… tapi mungkin Tuhan mengirimkan anak lain untuk membuatku belajar mencinta lagi.”
☘️☘️☘️☘️
Namun jauh di seberang kota, di rumah Arsinta, Reyhan tengah menyuapi istrinya yang baru. Tangannya lembut, suaranya hangat mirip seperti dulu saat ia menenangkan Aisy.
Dan di sela suapan itu, Arsinta menatapnya dengan mata penuh kemenangan, lalu berbisik manja,
“Mas, nanti sore kontrol lagi, ya. Kata dokter, tanda-tanda awal kehamilannya sudah mulai kelihatan… kantung janinnya mulai terbentuk.”
Reyhan mengangguk pelan, meski di dalam dadanya masih ada sisa sesal yang ia abaikan. Ia tidak tahu, bahwa di sisi lain ada seorang wanita yang perlahan mulai bangkit bukan karena dirinya, tapi karena seseorang yang memanggilnya Mama.
☘️☘️☘️☘️☘️
Mentari mulai bersinar, Aisy dan Jumi sudah mulai berangkat ke rumah sakit tempat Aisy kemarin konsultan, diperjalanan terlihat jelas matanya begitu berbinar, karena memang hatinya benar-benar menginginkan anak itu.
Mobil yang ia tumpangi sudah berhenti di area rumah sakit, wanita itu masih ingat tempat anak itu mengajaknya kemarin di taman rumah sakit, dan ia pun memutuskan untuk mendatanginya.
Jumi menuntun wanita cantik itu dengan penuh kesabaran, seperti melihat secercah harapan dari sorot matanya, dan ketika Aisy sampai di taman itu suasana sepi, tidak ada tanda-tanda kedatangan anak itu.
Perlahan harapannya mulai sirna, terlihat jelas, raut kecewa yang saat ini tengah ia rasakan.
"Bi ...," panggilnya pelan.
"Iya Bu," sahut Jumi.
"Kenapa anak itu tidak ada di sini lagi?" tanya Aisy pelan.
"Bu, mungkin anak itu masih belum datang, atau hanya kemarin saja dia datang ke rumah sakit," jelas Jumi dengan pelan.
Aisy mulai menghempaskan nafasnya perlahan, kenapa disaat ia mulai merasa berharga, lagi-lagi Tuhan mulai menguji kesabarannya kembali.
"Bi, apa aku terlalu banyak berharap ya?" tanya wanita itu yang membuat hati Jumi terkejut.
"Enggak apa-apa, berharap yang baik-baik Bu, siapa tahu dari harapan dan doa, Ibu bisa dipertemukan dengan bocah itu kembali," sahut Jumi.
"Tapi jika tidak?" tanya kembali dengan nada datar.
"Kalau tidak kita usahakan lagi ya, dan Ibu gak boleh nyerah, ingat loh, Ibu itu hebat, dan wajib bahagia," ujar Jumi memberi masukan.
"Bi, aku pingin nunggu anak itu sampai sore ya, kalau sore gak datang kita pulang saja," ujar Aisy yang bersih kuku untuk menunggu kedatangan anak itu.
Jumi hanya mengiyakan, karena ia tahu anak kecil itu mulai masuk di dalam hati majikannya itu, namun di dalam benaknya ia takut jika sampai anak kecil itu tidak kunjung datang.
Waktu terus bergulir semakin cepat, dan Aisy masih menunggu anak itu di taman rumah sakit hingga sore datang, namun masih belum ada tanda-tanda anak kecil itu datang hingga pada akhirnya hatinya mulai berbesar hati untuk menerimanya.
"Bi ... dia masih gak datang," ujar Aisy seperti menahan lelah.
"Gak apa-apa besok kita datang lagi ya," kata Jumi wanita paruh baya itu begitu sabar menemani Aisy.
Aisy masih termenung, entah kenapa rasa sakitnya sudah tidak seperti kemarin, ketika ia mendengar kabar suaminya menikah lagi, dan entah kenapa wanita ini seperti mempunyai sedikit harapan terhadap anak kecil itu.
"Bi, kita pulang yuk," ajaknya dengan nada sedikit pelan.
"Beneran Bu," ucap Jumi.
"Iya beneran," sahutnya dengan tatapan teduh.
Jumi langsung meraih tangan majikannya itu, hatinya sedikit lega melihat cahaya di dalam sorot mata Aisy yang sepertinya mulai bisa menerima kembali takdir di dalam hatinya.
Langkah wanita paruh baya itu pelan sambil menuntun Aisy ke arah parkir, namun di saat sampai di tempat parkir mobil, lagi-lagi mata Aisy menangkap bayangan yang melukai hatinya lagi.
"Mas Reyhan ....," ucapnya lirih.
Bersambung ....
 
                     
                     
                    